"Ariella hilang dari ruang rawat."Kalimat itu terus menggema di kepala Rigen saat ia menginjak gas mobil sekuat tenaga. Sirine dari kendaraan pengawal di belakangnya meraung, menembus keheningan malam kota.Tangannya menggenggam setir begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Wajahnya tegang, matanya fokus lurus ke depan."Jangan sampai terlambat... jangan sampai terlambat..." gumamnya berulang-ulang, seperti doa yang putus asa.Telepon di tangan kirinya masih tersambung. "Katakan lagi, apa yang terjadi di rumah sakit?"Suara dari ujung telepon panik."Kami masuk ke ruang rawatnya lima menit lalu... tapi tempat tidur kosong. CCTV di lorong utama rusak, dan satu-satunya saksi bilang melihat dua orang berseragam perawat mendorong ranjang keluar melalui lift servis!""ID mereka?""Tak terdaftar dalam sistem, Tuan Rigen. Ini... jelas perencanaan matang."Rigen mengumpat pelan, menekan tombol di dasbor mobil."Hubungi kepala keamanan. Tutup seluruh jalan keluar dari rumah sakit sampai pel
"Kamu yang memulai ini..."Suara di laptop itu masih berputar di telinga Elisabeth saat suara ketukan keras menggema dari pintu kamar hotelnya.Duk! Duk! Duk!Ia terkesiap. Refleks, ia menutup layar laptop, meraih pistol kecil dari laci, dan berjalan perlahan menuju pintu."Siapa?" tanyanya tajam.Tak ada jawaban.Ketukan kembali terdengar—lebih keras, lebih mendesak.Dan kemudian..."Buka pintunya, Elisabeth. Sekarang."Suara itu membekukan darahnya.Rigen.Elisabeth berdiri terpaku beberapa detik, sebelum akhirnya membuka pintu dengan napas tersengal. Tubuh tegap Rigen berdiri di ambang, mengenakan jas hitam, rahangnya mengeras, sorot matanya seperti bara api."Masuk," gumamnya, mencoba menjaga suara tetap tenang.Rigen melangkah masuk tanpa bicara, matanya langsung menyapu seluruh ruangan. Ketika ia melihat laptop terbuka dan amplop merah di atas meja, ia memicingkan mata."Apa yang kamu lakukan di sini, Elisabeth?" tanyanya pelan tapi tajam.Elisabeth menutup pintu perlahan. "Kam
"Dia pikir aku akan menyerah hanya karena dikurung beberapa bulan?"Suara Elisabeth terdengar seperti gumaman tajam di tengah senyap malam. Ia menatap dirinya di cermin besar kamar hotel mewah lantai tertinggi. Wajahnya tampak tenang, nyaris damai—tapi di balik sorot mata itu, badai strategi terus bergemuruh."Lucu," lanjutnya sambil menyentuh bibirnya dengan ujung jemari. "Lucu sekali, Jason. Bahkan lebih lucu dari ekspresi Rigen saat aku pura-pura menangis di depannya."Ia berdiri dari kursi rias, melangkah perlahan menuju jendela besar yang menampilkan panorama kota yang berkelip di bawah sana. Gaun sutra hitam yang membalut tubuhnya berdesir ringan, mengikuti gerak angin dari celah ventilasi."Ariella..." nama itu meluncur dari bibirnya seperti racun. "Kamu pikir kau sudah menang karena Rigen memilihmu? Karena kamu sedang mengandung anaknya? Sayang... kemenangan bukan tentang siapa yang dicintai." Ia tertawa pelan. "Ini tentang siapa yang paling bertahan sampai akhir."Tiba-tiba
“Rigen... aku masih tidak menyangka kamu bisa atur semua itu,” bisik Ariella pelan, saat mereka berdua berdiri di balkon lantai atas ballroom, jauh dari keramaian yang perlahan mulai reda. Angin malam membelai wajahnya yang lembut, dan cahaya lampu kota membingkai siluet keduanya bagaikan lukisan hidup. Di balik gaun biru tuanya yang kini agak kusut karena malam panjang yang penuh tekanan, Ariella tampak tetap memesona. Rigen meraih tangannya, menggenggamnya erat dan menjawab dengan nada sungguh-sungguh. “Aku kan sudah janji akan selalu melindungimu. Bahkan jika seluruh dunia menuduhmu... aku akan tetap jadi tamengmu, Riel. Jadi, tentu saja aku akan melakukan hal seperti tadi.” Ariella menunduk, tak bisa menyembunyikan matanya berkaca-kaca. “Aku takut tadi... takut kehilangan semuanya tadi, sungguh," bisiknya dengan suara gemetar. “Yang penting sekarang kamu tahu,” ucap Rigen, mengangkat dagu istrinya lembut, lalu menatap dalam ke matanya, “kamu tidak pernah sendirian, Istri
Malam itu datang dengan tenang, tapi aroma ketegangan menyelimuti udara bagaikan kabut tak kasatmata.Jamuan keluarga Ataraka digelar di ballroom hotel mewah milik jaringan bisnis mereka sendiri. Dinding-dindingnya berlapis marmer putih, lampu gantung kristal menggantung megah di langit-langit tinggi, dan denting alat musik klasik mengalun halus dari panggung kecil di ujung ruangan.Rigen dan Ariella memasuki ruangan dengan tangan saling bertaut.Tatapan para tamu langsung terarah pada mereka—terutama pada perut Ariella yang mulai terlihat bulat di balik gaun panjang biru tua berpotongan elegan.“Dia datang...” bisik seorang wanita tua di sudut.“Itu dia... wanita yang katanya hanya cari warisan.”Rigen mendengarnya. Tapi ia tidak menoleh. Kepalanya tegak.“Siap?” bisiknya pada Ariella.“Selalu.”Di sisi lain ruangan, Elisabeth berdiri berdampingan dengan Jason. Gaun hitam berbelahan tinggi melekat sempurna di tubuhnya, dan senyumnya—ah, senyumnya malam itu seperti racun dalam bentuk
Malam itu, Elisabeth kembali ke apartemennya dengan tubuh letih tapi otak tetap berjaga. Setiap langkahnya terasa berat, seakan tubuhnya menyadari bahwa waktu bermain-main sudah habis.Ia baru saja membuka pintu ketika suara familiar terdengar dari dalam ruangan.“Aku harap kamu tidak mengira bisa pulang diam-diam setelah bertemu Ariella.”Jason duduk di sofa, mengenakan pakaian serba hitam, segelas wine di tangan.Elisabeth tak terkejut. “Kamu mengikutiku.”“Tentu.” Ia memutar gelas pelan. “Kamu terlalu... tidak konsisten untuk dibiarkan sendirian.”Elisabeth menutup pintu, meletakkan tas, lalu berjalan perlahan ke meja. “Kamu ingin tahu apa yang kubicarakan dengan Ariella?”Jason mengangguk, seolah itu hal kecil. “Tentu. Tapi aku lebih tertarik pada ekspresi wajahmu waktu bertemu dia. Hmm, kamu masih cemburu, ya?”Elisabeth menahan napas sejenak. “Kalau aku cemburu, sudah sejak lama aku membunuhnya," jawab gadis itu dengan tangan terkepal. Jason tertawa pelan. “Tapi kamu tidak mela