Share

7. Ciuman Berbahaya.

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-04-29 16:59:29

Meski takut, aku mencoba tenang dan menjawab dengan suara menantang.

"Itu bukan urusanmu, Rigen. Kita hanya menikah kontrak," ucapku lirih, mengingatkan bahwa hubungan ini tidak seharusnya penuh dengan keterikatan seperti ini.

Namun, kata-kataku justru menjadi pemicu yang membuatnya bergerak cepat.

Dalam sekejap, rahangnya mengeras, dan sebelum aku sempat menarik napas, bibirnya sudah menabrak bibirku dengan kasar.

Ciumannya tidak lembut, tidak penuh kasih—ini adalah tanda kepemilikan.

“R-Rigen!”

Aku terkejut, tanganku mendorong dadanya, berusaha menjauh, tapi tubuh Rigen seperti batu, tak bergeming sedikit pun.

Bibirnya terus memburu bibirku, menekan, menuntut, menandai. Ia tidak memberiku kesempatan untuk bernapas, untuk berpikir, seolah ingin menghancurkan semua pertahananku.

Aku merintih pelan di antara lumatan panasnya.

Aku ingin melawan, mengingatkan bahwa pernikahan ini hanyalah kontrak, tapi bagaimana aku bisa bertahan saat ia terus menenggelamkanku dalam lautan emosinya yang liar dan mendominasi?

Napas Rigen memburu saat ia akhirnya menarik wajahnya beberapa inci dariku, matanya masih menyala dengan api kepemilikan.

"Nikah kontrak atau bukan, kamu istriku, Ariella. Dan aku tak akan membiarkan pria lain mendekatimu."

Jantungku berdentum keras di dadaku. Aku tak tahu apakah itu karena ketakutan… atau karena sesuatu yang lain.

Tangan Rigen tetap mencengkeram tengkukku, menahan agar aku tidak bisa menghindar.

Napasnya yang berat terasa di kulitku, membawa aroma maskulin yang membuatku limbung. "Aku menyesal sudah mengizinkanmu keluar," gumamnya rendah.

"Tidak ada alasan menahan aku keluar, Rigen. Aku bukan budak atau tawananmu."

"Hmm, yah. Kamu benar, Riel. Tapi kamu terus menggaruk syarafku sejak kita pertama bertemu. Apa yang harus kulakukan dengan itu?" balasnya, tak tahu malu.

Aku yang masih marah dengan tindakannya kemarin yang meninggalkan aku seperti sampah, berkata dengan ketus.

"Kamu kan orang jahat, jadi kenapa aku harus peduli?"

Rigen tertawa mendengar itu, seakan yang kukatakan adalah hal lucu.

"Lihatlah dirimu, Riel. Kamu tidak ada takut-takutnya padaku. Tidak tahu siapa aku, hm?"

"Aku tahu. Tapi aku tidak peduli!" balasku, memalingkan muka darinya.

"Wow, istriku sekarang semakin pemberani. Apakah pelajaran kemarin belum cukup membuat dirimu mengerti, Sayang?"

Dia bertanya dengan nada berbahaya.

Mengingat kejadian memalukan kemarin, tubuhku reflek gemetar.

"Tidak! Aku tidak mau!" seruku, berusaha melepaskan diri darinya.

Rigen semakin mengencangkan cengkeramannya di daguku dan berkata dengan nada malas.

"Tapi mau bagaimana lagi, Riel. Kamu harus meredakan kemarahanku. Jadi aku harus menghukummu."

"T-tidak. Rigen.... "

Aku berusaha melangkah mundur, tapi Rigen lebih cepat. Tangannya sudah melingkar di pinggangku, menarikku dengan mudah seolah aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan.

"Rigen…" bisikku, mencoba mencari celah untuk menghindar.

"Riel, kamu barusan bilang kalau aku orang jahat, bukan?"

Suaranya terdengar seperti bisikan maut di telingaku. "Jadi, biarkan aku menunjukkan betapa jahatnya aku, Sayang."

Mataku melebar saat ia menekan tubuhku lebih erat, membuatku tidak bisa lari dari cengkeramannya. Aku tahu tidak ada gunanya melawan. Aku tahu, malam ini… aku akan kalah.

Aku nyaris tak bisa berpikir saat Rigen menatapku dengan sorot mata gelapnya. Di ruangan yang hanya diterangi cahaya remang, napasnya terdengar berat dan dalam, seolah menahan badai yang siap meledak kapan saja.

"Kamu harus dihukum, Riel."

Suaranya rendah, tajam seperti belati yang siap mengiris habis pertahananku.

Tangannya sudah melingkar di pinggangku, menarikku mendekat hingga tubuh kami bertabrakan. "Tidak ada gunanya lari, Sayang. Aku sudah cukup sabar hari ini, Riel."

"Rigen, lepaskan aku!"

Aku berusaha memberontak, tapi genggamannya terlalu kuat.

Ia hanya tersenyum miring, menunduk hingga bibirnya hampir menyentuh telingaku. "Kamu pikir kamu bisa keluar dari ini begitu saja?"

Aku menelan ludah, tubuhku gemetar bukan hanya karena takut, tapi karena intensitas yang ia pancarkan begitu mendominasi.

Rigen menyeretku ke tempat tidur dengan satu gerakan tegas. Tubuhku jatuh terduduk di atas kasur, sementara ia berdiri di depanku, menatapku seakan aku adalah mangsanya.

"Kamu membuatku marah, Riel. Kamu tahu apa yang terjadi kalau aku marah, kan?"

Nada suaranya lebih lembut, tapi justru terasa lebih berbahaya.

Aku menggeleng, napasku memburu. "Aku... aku tidak sengaja. Aku hanya ingin sedikit kebebasan, Rigen."

"Kebebasan?"

Rigen membungkuk, menangkup daguku, memaksaku menatap matanya yang gelap. "Kamu pikir aku akan membiarkan istriku berlarian sesuka hati, menggoda pria lain?"

"Aku tidak menggoda siapa pun!" protesku, tak terima.

Rigen terkekeh, tapi tidak ada tawa di matanya. Ia menunduk, bibirnya menyentuh leherku sekilas, lalu berbisik, "Kita lihat apakah kamu masih bisa membantah setelah ini."

Aku merasakan tubuhku ditekan ke kasur, tangannya mencengkeram pinggangku, mengunci setiap gerakanku.

Napasnya yang hangat menyentuh kulitku, membuatku menggigit bibir untuk menahan ketakutan—atau sesuatu yang lain yang tak ingin kuakui.

"Sekarang, Riel, aku ingin melihat seberapa keras kamu bisa menahan hukumanku."

"Kau harus belajar untuk tidak menentangku, Ariella," bisiknya di telingaku sebelum menarikku ke dalam pelukannya dengan erat. Memaksaku merasakan betapa mendominasinya dia.

Aku meronta, tapi dia hanya mengeratkan pelukannya.

"Aku tidak akan melepaskanmu sampai kamu mengerti siapa yang berkuasa di sini, Riel."

Detik-detik terasa panjang saat Rigen menarik wajahku lebih dekat.

Matanya gelap, penuh peringatan sekaligus ketertarikan yang membakar. Aku bisa merasakan setiap napasnya yang berat, serta aroma maskulinnya yang mendominasi ruang di antara kami.

"Sekarang, kamu akan menyesal telah menantangku, Istriku."

Suaranya semakin rendah dan berbahaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Lil Seven
hehee makasih udah mampir ya
goodnovel comment avatar
Nyai Aluh
ngeri2 sedap
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   367. CEO Bucin

    Giovanni menatap pantulan dirinya di dinding kaca ruang kerja. Setelan jas hitamnya masih rapi, dasinya masih terikat sempurna, tapi ada sesuatu di balik mata itu — sesuatu yang tak bisa lagi ia samarkan dengan logika atau gengsi. Sejak pertemuan dengan Leonardo Valez siang tadi, pikirannya tidak tenang. Bayangan tawa Alicia, cara perempuan itu menatap pria asing dengan mata berbinar, terus berputar di kepalanya seperti penghinaan yang halus tapi menyakitkan. Ia sudah berusaha menahan diri. Tapi yang tersisa sekarang hanyalah sisa kesabaran yang menipis seperti api yang kekurangan udara. “Kenapa aku masih peduli?” gumamnya, menekan pelipis dengan satu tangan. Telepon di meja berdering pelan. Giovanni melirik sekilas — nama di layar: Cia. Jari-jarinya berhenti di udara beberapa detik sebelum akhirnya ia menekan tombol jawab. “Kenapa?” suaranya datar, tapi ada nada dalam yang tak bisa disembunyikan. “Gio…” suara di seberang terdengar hati-hati, lembut tapi ragu. “Aku cuma mau

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   366. Benci Atau Butuh?

    “Aku bilang diam, Cia.” Nada Giovanni terdengar rendah, tajam, dan entah kenapa… bergetar di udara. Tatapannya menahan banyak hal — marah, cemburu, tapi juga sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Aku terpaku. Tangannya masih di sisi kursi, menjebakku di antara tubuhnya dan meja kaca itu. “Giovanni, kamu—” “Jangan panggil aku seperti itu,” potongnya cepat, suaranya pelan tapi menekan. “Kau tahu aku benci saat suaraku keluar dari bibirmu seperti itu.” “Lalu apa? Bos?” Aku mengangkat dagu, mencoba menutupi debar di dada. “Kau mau aku terus memanggilmu seperti bawahan?” Giovanni menyipit. “Kau selalu tahu cara memancingku, ya?” “Aku hanya jujur,” balasku, menahan napas saat tubuhnya sedikit condong ke depan. “Kau pikir aku takut?” Sekilas, sudut bibirnya terangkat — tapi itu bukan senyum lembut. Itu adalah tatapan seorang pria yang tahu ia berkuasa. “Tidak, Cia,” katanya pelan, hampir berbisik di dekat telingaku. “Kau tidak takut. Dan itulah masalahnya.” Aku bergeming. Napas kami h

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   365. Aku Cuma Sekretaris

    Hari berikutnya di kantor terasa… aneh. Tidak ada sapaan pagi dari Giovanni. Tidak ada komentar sarkastik, tidak ada ejekan, bahkan tidak ada panggilan “Cia” dengan nada menyebalkannya itu. Yang ada hanya kesunyian. Dan tatapan sekilas dari balik kaca bening ruangannya setiap kali aku lewat. Entah kenapa, justru itu yang membuatku gelisah. --- Siang hari, aku membawa beberapa dokumen ke ruang Giovanni. Dia sedang menelepon, jadi aku hanya menaruh map di mejanya dengan pelan. Tapi baru saja aku hendak pergi, suaranya memanggil rendah. “Cia.” Langkahku terhenti. Aku menoleh. Dia sudah menutup teleponnya, menatapku tanpa ekspresi. “Kemarin malam.” Suara itu dalam, pelan, tapi tegas. “Aku kelewatan.” Aku menelan ludah. “Kamu sadar juga akhirnya.” Dia berdiri, mendekat. “Tapi kamu nggak sepenuhnya korban.” “Maaf?” keningku berkerut. Giovanni berhenti di depan meja, menatapku dengan tatapan yang membuat lututku lemah. “Kamu tahu gimana caranya bikin aku kehilangan kontrol.

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   364. Bukan Klien Biasa

    “Aku nggak nyangka kamu bisa segugup itu ketemu Leonardo lagi,” suara Nina, rekan satu timku, menggoda. Kami sedang bersiap untuk makan malam proyek—makan malam penting yang melibatkan klien baru dari Spanyol. Ya, dia: Leonardo Valez. Pria yang terlalu sopan, terlalu ganteng, dan terlalu tahu cara tersenyum yang bisa menyaingi bahaya. Aku memutar bola mata. “Gugup apanya? Aku cuma sekretaris, bukan yang mau negosiasi.” “Sekretaris pribadi Giovanni Axel,” Nina menekankan dengan nada bercanda. “Dan kalau gosip kantor benar, kalian... sedikit lebih dari sekadar bos dan sekretaris.” “Gosip kantor butuh terapi,” jawabku cepat. Tapi jauh di dalam dada, ada denyutan aneh yang bahkan aku sendiri tak mengerti. Giovanni sejak dua hari terakhir jadi aneh. Lebih sunyi, tapi lebih sering memperhatikan. Dan setiap kali Leonardo muncul di agenda rapat, ekspresinya berubah—dingin, tapi matanya... terlalu tajam. --- Restoran malam itu penuh cahaya keemasan. Musik jazz pelan mengalun, meja

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   363. Teguran

    “Sekretaris pribadi tidak seharusnya pulang lebih dulu dari bosnya.” Suara Giovanni terdengar pelan tapi jelas, membuat langkahku yang baru keluar dari lift langsung terhenti. Aku menatap jam tangan. Sudah pukul delapan malam. Seluruh kantor hampir gelap, hanya lampu di ruang CEO yang masih menyala samar. Ya Tuhan… kenapa aku masih di sini? Aku menoleh ke arahnya, berdiri di ambang pintu ruangannya dengan kemeja putihnya yang sedikit tergulung di lengan, dasi longgar, dan tatapan itu—tajam, malas, tapi entah kenapa selalu menelan semua ruang napas. “Jam segini?” aku mencoba terdengar santai. “Bukannya kita udah beres?” Dia tidak menjawab. Hanya menggerakkan jarinya pelan, memanggilku untuk mendekat. Isyarat sederhana, tapi sukses membuat perutku terasa dingin. “Giovanni, aku—” “Lima detik,” katanya tenang, “kalau kamu masih berdiri di sana, aku akan datang dan menyeretmu sendiri.” Sial. Aku melangkah masuk, mencoba menahan degup jantungku yang entah kenapa sema

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   362. Tatapan yang Membakar

    “Kenapa kamu diam?” Giovanni bersuara rendah, nyaris seperti desis. Suara itu terlalu dekat, terlalu dalam, dan terlalu berbahaya untuk jantungku. Aku menelan ludah. “Karena aku nggak mau menanggapi hal yang nggak penting,” sahutku cepat, pura-pura sibuk menatap layar laptop, padahal tanganku gemetar di atas keyboard. “Tidak penting?” Ia tertawa pelan, langkahnya mendekat. Aku bisa mencium aroma maskulinnya—parfum kayu manis yang terlalu khas Giovanni. “Jadi menurutmu saat aku menatapmu seperti ini… itu tidak penting?” Tubuhku otomatis menegang. Matanya menuruni wajahku perlahan, lalu berhenti di bibirku. Dan aku tahu dia tahu—aku sedang menahan napas. “Berhenti… menatap seperti itu,” bisikku hampir tak terdengar. Giovanni hanya mengangkat alis. “Sejak kapan aku harus nurut sama sekretarisku sendiri?” Aku ingin memutar bola mata saking kesalnya, tapi aku tahu kalau aku melawan, dia akan semakin menikmati permainan ini. Sial. Aku jatuh di dalam jebakan licik si CEO menyeba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status