Ucapan Chris membuat hati Amora merasa lega. Setidaknya masih tersisa sedikit rasa di dalam hati pria itu untuknya walaupun dirinya bukan lagi wanita yang pantas untuk bersanding di sisinya.
Lain halnya dengan Cassandra, wajah wanita itu langsung berubah nanar. “Kenapa? Kamu masih ingin menikahi wanita kotor itu?” bentaknya.
Cassandra mengacungkan telunjuknya ke arah Amora dengan penuh amarah. Membuat Amora tersudutkan dengan kata-kata kasarnya tersebut.
Helaan napas panjang bergulir dari bibir Chris. Pria itu mencoba menimpali dengan tetap tenang, “Bukan begitu, Ma. Aku tidak mencintai Bianca. Bagaimana bisa Mama menyuruhku menikahinya?”
“Cinta bisa dipupuk nanti,” timpal Cassandra dengan ketus.
Kedua netra Chris terbelalak lebar mendengar ucapan ibunya itu. “Mama!”
Nada suara Chris mulai meninggi. Membuat Cassandra terperangah selama beberapa detik. Namun, wanita itu kembali melayangkan ancamannya, “Kalau kamu tidak ingin melihat Mama mati di hadapanmu, lebih baik kamu mengikuti ucapan Mama.”
Kali ini Chris tampak tak berkutik. Rahangnya mengetat. Meskipun ia tidak suka dengan pengaturan ibunya, tetapi ia tidak lagi membantahnya.
Sepasang netra Chris bertemu pandang dengan Amora yang sedang menatapnya dengan kecewa. Sayangnya, Chris sendiri juga tidak bisa membenarkan kesalahan yang dilakukan kekasih tersebut. Ia tidak bisa memaafkan pengkhianatan wanita itu kepada dirinya dan kesetiaannya.
Kelvin Walden dan istrinya akhirnya sepakat untuk mengganti mempelai wanita dengan Bianca Lysander. Amora tidak bisa mengubah kesepakatan kedua kepala keluarga yang tidak mempertimbangkan perasaannya yang hancur saat ini. Begitu juga dengan perasaan Chris yang dipenuhi dengan rasa sakit atas pengkhianatan dan sekarang harus memilih untuk menikahi dengan wanita yang tidak pernah dicintainya.
Chris tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Dibandingkan mengajukan protesnya yang berakhir sia-sia, ia memilih untuk pergi dari kediaman itu tanpa pamit kepada siapa pun.
“Biarkan saja dia. Nanti juga dia sadar kalau pilihan kami itu benar.” Cassandra berkata dengan penuh keyakinan atas penilaiannya sendiri kepada Charlie Lysander.
“Baiklah. Kalau kalian sudah menyetujuinya, saya juga hanya bisa menerimanya,” timpal Charlie dengan nada yang terdengar pasrah. Padahal di dalam hatinya ia merasa sangat senang.
Hal yang terbesit di dalam benak kepala keluarga Lysander itu hanyalah menyelamatkan nama baik keluarganya saja. Ia tidak peduli siapa yang akan menikah dengan Chris Walden. Setidaknya mereka akan tetap menjadi besan keluarga tersebut.
Setelah mencapai kesepakatan bersama, pasangan suami istri Walden tersebut pun pamit dari kediaman Lysander. Julia dan putrinya juga ikut bersama mereka karena harus segera melakukan penyesuaian gaun pengantin untuk acara pesta nanti.
Suasana hening kembali menghiasi ruangan keluarga Lysander. Kini hanya ada Charlie, Gilda dan Mario yang sedang memandang Amora yang terduduk seperti seorang yang kehilangan harapan. Cucu kesayangan Gilda itu masih bersimpuh dengan pandangan yang kosong. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap di bibirnya.
Gilda benar-benar merasa iba dengan kondisi cucunya tersebut. Ia seperti melihat kembali sosok Patricia beberapa puluh tahun silam di dalam diri Amora.
“Apa kamu masih tidak mau mengatakan siapa lelaki yang sudah menidurimu itu?”
Suara Charlie kembali membahana di dalam ruangan itu. Pria tua itu masih belum menyerah untuk mencari tahu sosok pria yang sudah menghancurkan rencananya tersebut.
Sayangnya, Amora masih memilih untuk bungkam. Ia menundukkan wajahnya dan buliran kristal pun mengalir kembali dari kelopak matanya.
Wajah Charlie berubah semakin menggelap dengan sikap diam cucunya tersebut. Ia mengetukkan tongkat di tangannya berulang kali ke lantai.
“Kamu benar-benar seperti ibumu. Kalian hanya bisa memalukan nama keluarga. Kalau tau seperti ini, seharusnya dulu aku tidak membawamu kembali ke rumah ini!” bentak Charlie dengan penuh emosi yang meluap-luap.
Mario Lysander segera menghampiri ayahnya tersebut. Karena tidak dapat mengendalikan amarahnya, pria tua itu terbatuk-batuk. Deru napasnya pun tersengal-sengal.
Mario pun mengusap pelan pundak pria tua tersebut. “Ayah, tenanglah. Marah-marah seperti ini tidak baik untuk kesehatanmu,” bujuknya. Ia menyerahkan segelas minuman yang diambilnya dari atas meja tamu.
Charlie mengeluarkan sebutir pil dari saku kemejanya, lalu menelannya bersamaan dengan air yang diberikan putranya. Setelah merasa lebih baik, ia kembali berkata, “Bagaimana aku bisa tenang? Mungkin dia ingin melihatku mati baru dia akan merasa senang!”
Mario terus menepuk pelan pundak ayahnya. Menenangkannya agar tidak terus larut dalam emosinya. Kesehatan ayahnya sudah tidak terlalu baik di usia senja seperti ini.
Mario khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan jika ayahnya itu terus meluapkan kemarahannya. Di satu sisi, ibunya hanya terus menangis dalam diam. Sebagai putra mereka, Mario harus membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.
“Amora, diam seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Setidaknya kamu katakan kepada kami, siapa laki-laki itu? Biar Paman menemuinya dan meminta pertanggungjawaban darinya!” cetus Mario yang juga kesal dengan sikap keras dari keponakannya itu.
Seulas senyuman sinis terukir di wajah Amora. Ia tahu jika pamannya hanya berpura-pura peduli dengan masalahnya agar mendapatkan penilaian positif di mata kakeknya.
Amora berpikir jika selama ini pamannya dan bibinya selalu menganggapnya sebagai batu sandungan untuk mendapatkan hak waris dari kakeknya dan sekarang mungkin adalah kesempatan terbaik bagi mereka untuk menghancurkan dirinya.
Perlahan Amora mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata, lalu berkata, “Aku tidak mengenalnya.”
Kedua netra Charlie terbelalak lebar atas jawaban yang diberikan cucunya. Kali ini tongkat di tangannya benar-benar melayang dan mengenai pelipis Amora. Darah pun sedikit demi sedikit mengalir dari luka yang terbuka.
“Amora!” Gilda dan Mario berteriak bersamaan dengan syok.
Pandangan Amora mengabur secara perlahan-lahan karena derasnya darah yang mengalir dari pelipisnya itu. Akan tetapi, ia masih bisa melihat pamannya masih berusaha menghentikan kakeknya yang ingin memukulnya kembali.
Sementara itu, neneknya telah mendorong kursi rodanya menghampirinya dan memanggil para pelayan dengan histeris. Melihat kepanikan neneknya, Amora merasa sangat bersalah.
Akan tetapi, Amora berpikir kematian mungkin adalah jalan terbaik untuknya daripada harus menanggung malu dan penghinaan seperti ini. Lambat laun kesadaran Amora semakin menipis. Akan tetapi, suara tangisan neneknya masih terdengar di telinganya. Begitu juga dengan teriakan kakeknya.
“Mulai hari ini, kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini, Amora!”
Sudut bibir Amora terangkat tipis saat mendengar keputusan akhir kepala keluarga Lysander terhadap dirinya, lalu kesadarannya perlahan menghilang dan semuanya menjadi sangat gelap.
Jangan lupa tinggalkan komentar dan dukungan kalian ya kak. Terima kasih ^^
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d