Share

Chapter 5

"Hem—"

Tristan menarik nafas dan membuangnya pelan. Ekspresi kerasnya sedikit memudar. Ia menatap gadis yang berdiri tak jauh darinya.

"Lumayan! Tidak seburuk yang aku kira," ucapnya datar.

Tidak seburuk yang aku kira!

'Adakah yang lebih menyebalkan dari pria ini? Kenapa dia bisa-bisanya menilai buruk pekerjaan seseorang sebelum merasakan sendiri hasilnya!'

Grizelle membatin. Tak kuasa bersuara. Baginya lebih baik diam daripada merespon ucapan Tristan. Hanya mengumpat dalam hati sambil menyaksikan pria seram ini berceloteh sesuai apa yang ada di otaknya.

"Tapi sebaiknya, kau belajar lagi dari ibumu!" Sontak kedua mata Grizelle kembali melebar mendengar kalimat yang keluar dari mulut Tristan.

"Karna kopi yang kau buat ini cita rasanya belum sama seperti buatan ibumu!" celetuknya lagi. "It's oke! Tidak masalah! Bagiku ini tidak terlalu buruk, maka aku tidak akan menghukummu."

'Menghukumku? Apa maksudnya? Apakah perbedaan rasa pada minuman termasuk salah satu kesalahan yang fatal? Hingga dia berkata seperti itu?'

"Tapi, aku sarankan kepadamu agar kau bisa menyamai rasa kopi bikinanmu sama seperti buatan ibumu!"

Grizelle tak menjawab. Ia memilih diam. Dengan menyembunyikan wajah tidak senangnya, ia berusaha tetap berdiri tegak meski terasa kaku.

"Jika besok rasa kopi buatanmu masih seperti ini ... maka jangan salahkan aku kalau kau—" dengan menggunakan bolpoin yang berada di tangannya, Tristan menunjuk ke arah Grizelle yang menatapnya.

"Akan aku hukum sesuai keinginanku!" lanjutnya dengan senyuman setan.

Walau bibir terasa berat untuk diajak bicara. Dan lidah terasa keluh untuk mengungkapkan apa yang ingin dia katakan, Grizelle mengangguk pelan.

"Baik, Tuan! Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk Tuan," jawabnya penuh kepalsuan. Sebab ia sangat tidak senang dengan apa yang terlontar dari mulut Tristan dan hanya ingin agar secepatnya berlalu dari ruangan itu.

'Apa itu? Berusaha sebaik mungkin untuk pria ini? Tidak mungkin!'

Grizelle mencibir dalam hati. Terserah Tristan mau menilai kopi buatannya seperti apa, dan juga mengancamnya bagaimana. Satu yang Grizelle pastikan, dia tidak akan kembali ke ruangan ini apalagi dengan membawa secangkir kopi untuk Tristan. Sebab ibunya pasti akan mengambil alih tugas itu esok hari.

Tristan dengan seringai di bibirnya, melanjutkan kembali fokusnya pada layar laptop. Kesempatan baik bagi Grizelle untuk pamit dan segera pergi dari tempat itu.

"Kalo begitu saya permisi dulu, Tuan!" pamit Grizelle menundukkan sedikit kepalanya.

"Hem!" Tristan merespon, namun tak melihat Grizelle. Berpura-pura serius pada pekerjaannya padahal batinnya memberontak, memaksa matanya untuk kembali melihat gadis manis yang dikaguminya itu.

Grizelle memahami bagaimana Tristan. Itu sebabnya ia tak terlalu ambil pusing dengan sikap laki-laki itu kepadanya. Meski merasa tak dihargai, tapi Grizelle berusaha tak mempedulikan ekspresi angkuh itu lagi. Ia berbalik, berjalan cepat keluar ruangan. Meninggalkan Tristan yang kembali memandang punggungnya dengan liar. Ya, Tristan kembali mengamati Grizelle yang sudah berada di balik pintu ruangannya. Berdiri membelakangi pintu tentu dengan perasaan jengkel. Tristan dapat membaca ekspresi Grizelle dari gerak-geriknya. Menghentak-hentakkan kaki sambil menggerutu sendiri.

Namun, pemandangan itu bukannya membuat Tristan marah, laki-laki itu malah tersenyum. Gemas melihat Grizelle yang sedang kesal. Walau hanya dapat memandang punggung Grizelle, tapi Tristan dapat menerka apa yang sedang gadis itu cibirkan. Pastinya karena sikap yang ia tunjukkan tadi.

"Grizelle, hem —," gumamnya. "Kau begitu menggemaskan! Aku semakin tidak sabar menunggumu hingga kau matang dan dapat aku miliki seutuhnya. Dan pada saat itu aku akan menghajarmu habis-habisan. Hingga kau sendiri yang akan merasa kalo aku adalah satu-satunya orang yang berhak atas dirimu!"

Sudut bibir pria itu terangkat. Menciptakan sebuah senyuman iblis. Pikirannya melayang, dan tentu terpacu pada Grizelle yang sudah beranjak sejak tadi. Tristan mendesah sambil menghempaskan tubuhnya ke senderan kursi. Menopang kepalanya dengan kedua tangan. Menatap ke langit-langit ruangan. Fantasinya pada Grizelle muncul kembali. Membuatnya tidak lagi dapat berkonsentrasi dalam pekerjaan.

Drrtt ... Drrtt ....

Handphone yang berada di atas mejanya berbunyi. Sontak membuat Tristan tersentak dari lamunan. Menatap layar ponsel yang menyala. Kaget ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Sebab nama yang muncul mengingatkannya pada pertemuan dadakan hari ini. Ia pun segera mengangkat panggilan telepon yang tak lain dari Miko.

"Hem?" sahutnya. Diam mendengarkan apa yang dikatakan Miko diseberang sana. "Oke! Aku segera ke sana!" Tristan memutuskan panggilan. Menghela nafas berat dan panjang. Menghapus wajah dengan dua telapak tangannya.

"Brengsek! Kenapa aku jadi sange begini! Ini semua karna gadis sialan itu. Jika saja aku bisa memilikinya sekarang, pasti sakit hasratku ini bisa terobati! Ah, sial!"

Tristan meninju meja kerjanya. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Membuang segala pikiran jorok yang hinggap di otaknya. Dia harus konsentrasi dalam pekerjaan. Sebab, akan ada meeting dalam beberapa menit lagi. Namun, semua usahanya sia-sia. Tristan tidak dapat menyingkirkan fantasinya terhadap Grizelle. Gadis itu terus saja muncul di pikirannya. Menari-nari di lingkar matanya.  Otaknya sudah dipenuhi sosok gadis belia yang merupakan anak dari penjaga kantin perusahaannya.

"Arrggghh ...!! Sialan kau, Grizelle!!" teriaknya mengacak rambut. Menggeram pada diri sendiri.

"Lihat saja! Kau pasti akan aku dapatkan cepat atau lambat!" kecam Tristan kesal.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status