Aku sudah pernah meramal nasib orang yang mau kawin tapi nggak jadi.Aku juga pernah baca tarot buat bos besar yang takut ketahuan selingkuh.Tapi aku belum pernah… dicium tangannya sama klien sendiri. Dan bukan cuma dicium.Tatapannya? Seperti bara api yang menyelinap ke dalam darahku.Namaku Anya, 22 tahun, pembaca tarot profesional. Hari ini, aku jaga booth di event Imlek di sebuah mal besar di Jakarta. Biasanya, yang datang ke booth-ku antara dua: cewek-cewek galau yang mantannya nggak move on, atau ibu-ibu yang kepo kapan anaknya nikah.Tapi dia… bukan dua-duanya.Laki-laki itu muncul di depanku seperti aktor drama Korea yang kesasar ke dunia nyata. Usianya sekitar 34 tahun, tinggi, kulitnya terang khas orang Singapura, pakai kemeja biru yang entah kenapa bikin dia kelihatan makin mahal."Duduklah," aku menyapanya profesional. Tapi aneh, suaraku sendiri terdengar lebih pelan dari biasanya.Dia duduk, tersenyum kecil. "Saya ingin membaca masa depan. Apakah perjalanan hidup saya m
Hari sudah sore ketika dua pria duduk di depanku.Yang satu berwajah tegas, dengan rahang kokoh dan mata tajam, seperti pria kantoran yang selalu rapi.Yang satunya lebih lembut, dengan kacamata bundar dan senyum yang sedikit gugup.Dari cara mereka duduk berdekatan, aku bisa menebak mereka bukan sekadar teman biasa.Aku tersenyum profesional. "Selamat sore. Mau baca tarot tentang apa?"Si pria berkacamata langsung menunduk, sementara yang berrahang tegas menatapku lurus. "Kami ingin tahu… apakah hubungan kami akan direstui keluarga?"Aku menatap mereka. Pertanyaan yang tidak mudah."Tolong acak kartunya, dan ambil tiga," kataku sambil menyodorkan dek tarot.Si pria berkacamata yang mengambil kartu. Jemarinya sedikit gemetar.Aku membuka kartu pertama: The Hierophant.Aku mengangguk. "Ini kartu tentang tradisi, aturan keluarga, dan restu dari figur yang lebih tua. Ini berarti… keputusan keluarga kalian punya pengaruh besar dalam hubungan ini."Si pria berkacamata menelan ludah. "Jadi…
Rina mendadak muncul di sampingku dengan ekspresi khasnya—kombinasi antara kepo, gosip, dan sedikit niat mengerjai aku."Anyaaa~ ada klien spesial buat lo!" katanya sambil menyenggol lenganku.Aku menatapnya curiga. "Spesial gimana?""Empat anak SMA. Kayaknya mereka mau investigasi cinta."Aku mengerutkan dahi. "Investigasi cinta?"Rina terkikik. "Mereka mau lo bacain tarot buat ngecek status hubungan cowok yang lagi populer di sekolah mereka. Punya pacar atau nggak."Aku menghela napas. "Astaga, ini booth tarot, bukan agensi detektif."Tapi sebelum aku bisa protes lebih lanjut, empat gadis berseragam putih abu-abu sudah berdiri di depanku. Wajah mereka penuh harapan dan sedikit… dramatis."Kaakkk… tolong bantuin kita!" salah satu dari mereka—yang sepertinya ketua geng—langsung merengek.Aku mengangkat alis. "Tolong bantuin apa?"Mereka langsung duduk berdesakan di depanku, mendekat seperti mau ngebongkar rahasia negara."Kami mau nanya soal Raka!" salah satu dari mereka berkata penuh
Aku merebahkan diri di sofa setelah seharian membaca tarot di booth. Ponselku tergeletak di atas meja, masih terbuka di chat terakhir dari El."Tetap semangat bekerja."Pesan singkat yang membuatku kepikiran berjam-jam.Kenapa dia bisa menemukan nomorku?Kenapa aku merasa ada sesuatu di antara kami, padahal baru sekali bertemu?Dan yang paling mengganggu… kenapa aku sampai menangis waktu dia mencium tanganku?Aku menghela napas.Tiba-tiba, otakku yang usil mendapat ide."Kenapa nggak cari tahu lebih jauh tentang dia?"Jari-jariku langsung mengetik namanya di Google.El*…* Singapore.*Aku menunggu hasil pencarian muncul di layar. Awalnya hanya LinkedIn dan beberapa berita bisnis. Tapi saat aku menggulir lebih jauh… mataku membelalak."Pengusaha Muda Singapura Tersandung Kasus Hukum: Diduga Menyiksa ART karena Tuduhan Racun di Minuman"Dadaku mencelos.Aku membaca lebih dalam. Tahun lalu, El dilaporkan ke polisi karena menuduh Asisten Rumah Tangga (ART)-nya meracuni minuman dingin yang
Aku baru aja selesai beresin kartu tarot di meja ketika Rina tiba-tiba nyelonong masuk ke booth-ku dengan senyum jahilnya yang khas."Anyaaa~" katanya dengan nada menggoda.Aku melirik sekilas. "Apaan, Rin?"Dia langsung duduk di depanku, menyilangkan tangan di dagu dengan tatapan kepo maksimal. "Jadi… barista sebelah udah mulai bayar buat dapetin perhatian lo?"Aku menghela napas. "Bukan gitu. Dia beneran mau diramal."Rina tertawa kecil. "Iya, iya. Terus dia nanya apa? ‘Apakah perempuan yang gue suka bakal ngebuka pintunya buat gue?’"Aku langsung melotot. "Lo nguping?!"Dia ngakak. "Enggak sengaja dengar! Sumpah! Tapi… anjir, Nya, lo nggak sadar? Itu kode keras banget!"Aku pura-pura cuek. "Dia cuma klien."Rina menepuk meja. "Dengerin, ya. Cowok biasa nggak akan bayar buat tarot kalau mereka nggak beneran kepo atau… ya, pengen deket sama pembacanya!"Aku menggeleng. "Lo terlalu banyak nonton drama, Rin."Rina menyandarkan diri, menyilangkan kaki. "Oke, oke, gue kasih lo skenario l
Seorang pria duduk di depan meja baca tarotku. Namanya Rio. Umurnya sekitar 28 tahun, tinggi, rapi, dengan gaya santai khas anak konglomerat."Aku punya dua hal yang lagi aku jalani, nih," katanya sambil menyandarkan punggung di kursi. "Keluargaku baru buka restoran, dan aku baru mulai serius di fotografi. Aku mau tahu, mana yang lebih prospek?"Aku mengocok kartu sambil tersenyum tipis. "Kamu serius di dua-duanya, atau ada yang cuma ikut-ikutan?"Rio tertawa kecil. "Sejujurnya, restoran ini bisnis keluarga. Mamiku yang urus. Aku kebagian promosi dan branding. Fotografi? Itu passion dari dulu."Aku menarik tiga kartu dan meletakkannya di meja. The Emperor, The Star, dan The Hanged Man.Aku menatap kartu itu, lalu menatap Rio. "Oke. Kalau restoran, peluang suksesnya besar, tapi kamu bakal kehilangan banyak kebebasan. Ini bakal mengikat kamu ke bisnis keluarga, dan kamu mungkin nggak bisa seenaknya eksplorasi hal lain."Rio mengangguk pelan. "Dan kalau fotografi?"Aku menunjuk The Star.
Malam itu, aku lagi rebahan di kasur, scrolling media sosial, menikmati hidup tanpa drama. Sampai tiba-tiba ponselku bergetar.Rio.Aku menatap layar sebentar, ragu mau angkat atau nggak. Aku menggeser layar. "Halo?"Suara Rio terdengar santai, tapi ada nada antusias. "Hei, peramal cantik. Lagi sibuk?" "Kalau rebahan dihitung sibuk, ya… sibuk banget."Rio tertawa. "Oke, gini. Aku baru ngobrol sama Mami, dan dia setuju soal booth tarot di restoran. Jadi, minggu depan kamu udah bisa mulai."Aku terdiam sebentar. "Serius? Mamimu nggak keberatan?""Bukannya keberatan, dia malah excited. Katanya, ini bisa jadi daya tarik unik buat restoran. Dia bahkan tanya kamu mau meja yang gimana."Aku mengangkat alis. "Wow. Aku kira bakal susah meyakinkan beliau."Rio terkekeh. "Mamiku itu open-minded, asal bisnisnya jalan. Oh, dan dia juga tanya… apakah pembacaan tarot bisa prediksi menu yang bakal laris?"Aku ngakak. "Bisa aja Mami kamu! Kalau gitu, tiap hari aku bakal bilang, 'Kayaknya hari ini ay
Motor melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Angin malam menyapu kulitku, tapi anehnya yang lebih terasa adalah panas yang merayap di telapak tanganku, karena aku masih memegang pinggang Reza. "Anya," suaranya tiba-tiba terdengar dalam, hampir berbisik. Aku menelan ludah. "Apa?"Dia nggak langsung menjawab. Motor sedikit melambat, memberi jeda yang bikin suasana makin intens. "Lo nyaman nggak?" Aku berkedip. "Maksud lo, naik motor?" Dia tertawa rendah. "Nggak. Pegang gue gitu."Aku langsung refleks mau melepas tangan, tapi Reza dengan cepat menaruh sebelah tangannya di atas tanganku, menekannya lembut agar tetap di sana. "Jangan," katanya pelan. "Gue suka." Jantungku berdetak lebih cepat. "Reza…"Dia menghela napas. "Udah lama gue pengen lo kayak gini. Deket. Bener-bener deket."Aku menggigit bibir, merasakan dadanya naik turun pelan. Suara knalpot motor yang bergetar di jalanan malam malah terasa kayak latar musik yang makin menguatkan atmosfer di antara kami. "Lo sadar n
Anya masih terdiam setelah mendengar peringatan dari Reza. Suasana di kafe yang tadinya hangat mendadak terasa mencekam dalam pikirannya.“Aku nggak ngerti, Za… aku cuma bicara soal dekorasi dan dia minta sesi konsultasi. Sepertinya nggak ada yang aneh,” ucap Anya, masih mencoba mencerna semuanya.Reza menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya agar tidak menakut-nakuti Anya.“Aku sudah cek latar belakang Yusuf. Dia punya rekam jejak yang nggak bersih, dan aku curiga dia nggak cuma urus dekorasi. Bisa jadi dia bagian dari orang yang nggak suka sama kita atau mau ganggu pernikahan kita.”Anya menelan ludah, dadanya berdebar. Ingatan tentang El dan ancaman dari masa lalu kembali terlintas.“Kamu pikir ini ada hubungannya dengan yang dulu?” bisiknya.Reza meraih tangan Anya, menggenggamnya hangat.“Nggak usah takut. Selama aku ada, nggak akan ada yang bisa sentuh kamu. Kita sudah lewati banyak hal. Aku janji, aku akan lindungi kamu… sampai kapan pun,” ucapnya mantap.Anya mengang
Beberapa hari setelah Reza menceritakan semuanya pada Anya, suasana hati mereka mulai membaik. Mereka tetap fokus dengan persiapan pernikahan yang tinggal hitungan minggu. Undangan sudah disebar, katering sudah dipilih, bahkan pengajian menjelang pernikahan sudah direncanakan bersama keluarga besar.Namun pagi itu, saat Reza membuka pintu apartemennya, sebuah amplop coklat tanpa nama tergeletak di depan. Ia membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya ada foto-foto dirinya bersama Anya, lengkap dengan tulisan tangan berwarna merah:“Kalau pernikahan ini tetap dilanjutkan, bersiaplah kehilangan semuanya.”Reza meremas amplop itu, rahangnya mengeras.“Arman benar-benar serius…”Ia segera menelepon Rio.“Rio, gue dapet ancaman lagi. Dia makin berani.”Tak lama, Rio datang ke apartemen Reza. Mereka duduk sambil memeriksa foto-foto itu.“Ini udah nggak main-main, Za. Kita harus lapor polisi atau sewa pengamanan khusus buat acara nikah nanti,” usul Rio.Reza mengangguk, tapi sebelum ia menjawab
“Anya, lama nggak ketemu ya. Aku denger-denger kamu mau nikah… Tapi kalau ada apa-apa, kamu selalu bisa cerita sama aku, kan?” ucap Dimas sambil tersenyum dengan tatapan tajam ke arah Reza.Reza memperhatikan dengan tenang, namun dalam hati ia mulai waspada. Ia tak ingin ada gangguan dari masa lalu yang merusak hubungan mereka. Setelah pertemuan keluarga selesai, Reza dan Anya sempat bicara di perjalanan pulang.“Za, jangan salah paham ya. Dimas memang dari dulu suka sok perhatian begitu. Aku anggap dia cuma sepupu dan teman,” ujar Anya menenangkan.Reza mengangguk pelan.“Aku ngerti, sayang. Aku percaya sama kamu. Kita fokus ke persiapan kita aja ya.”Walau begitu, diam-diam Reza memutuskan akan lebih waspada pada Dimas. Ia tak ingin calon istrinya diganggu oleh siapa pun. Hubungan mereka sudah terlalu jauh untuk digoyahkan.Perjalanan ke Bandung mempererat hubungan kedua keluarga. Semua sepakat untuk menggelar akad nikah di Jakarta, dilanjutkan dengan resepsi sederhana namun hangat.
Dua minggu setelah kejadian di pelabuhan, suasana rumah keluarga Anya penuh kehangatan. Hari itu, Reza dan keluarganya datang bersilaturahmi secara resmi ke rumah orang tua Anya. Bukan sekadar kunjungan biasa — tapi lamaran yang sudah lama dinanti.Anya mengenakan kebaya pastel lembut, rambutnya disanggul sederhana. Senyumnya tak pernah lepas sejak pagi. Reza, dengan batik elegan, duduk berdampingan dengan orang tuanya. Hatinya berdebar, namun wajahnya tetap tenang.Ayah Anya membuka percakapan dengan suara hangat, “Reza, niat baikmu kami hargai. Apalagi kami sudah melihat sendiri bagaimana kamu menjaga dan menyayangi Anya selama ini.”Reza mengangguk hormat.“Pak, Bu… saya datang ke sini dengan niat serius. Saya ingin melamar Anya, membangun rumah tangga bersama, dan membahagiakannya seumur hidup.”Ibunda Anya tersenyum haru. Anya menunduk malu, pipinya merona.Ayah Anya memandang putrinya, lalu kembali menoleh pada Reza.“Kalau Anya sudah mantap dengan pilihan hatinya, kami restui.”
Mata Anya menajam. Luka pengkhianatan terasa menyesakkan.“Kamu… kamu tega ngelakuin itu ke aku?”Rio menunduk dalam rasa bersalah.“Aku minta maaf. Aku mau tebus semua salahku. Aku bakal bantu kamu dan Reza. Aku janji.”Sementara itu, di luar kafe, seorang pria bertubuh tegap — anak buah Rino — memperhatikan mereka dari balik kaca. Ia mengirim pesan singkat pada Rino.Rio mulai berkhianat. Mau saya habisi?Rino, yang sedang duduk di kantornya, tersenyum dingin.Belum. Biarkan saja dulu. Biar dia pikir dia masih bisa main dua kaki.Di apartemen, Reza yang menunggu kepulangan Anya, menerima pesan dari nomor tak dikenal.Anya dalam bahaya. Rio nggak sebersih yang kamu kira. – RReza mengepalkan tangannya, wajahnya berubah serius. Ia mengambil kunci mobil dan bergegas menyusul Anya ke kafe.Di kafe, Anya menatap Rio tajam.“Aku nggak tahu aku bisa percaya kamu atau nggak. Tapi aku terima niat baik kamu… untuk saat ini.”Rio tersenyum samar, tapi di balik tatapan matanya, jelas ada gejola
Malam itu, Anya duduk di balkon apartemen sambil menatap kota yang berkelip. Angin malam berhembus lembut, tetapi pikirannya tidak setenang udara sekitar. Ia memikirkan siapa sebenarnya Rino, dan mengapa pria itu begitu terobsesi dengan dirinya dan Reza.Reza datang menghampiri dengan dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping Anya dan menyerahkan secangkir padanya.“Pikiranmu masih tentang ancaman itu, ya?”Anya mengangguk pelan.“Iya… Aku cuma nggak paham, kenapa orang-orang dari masa lalu kita selalu muncul lagi dan bikin kacau.”Reza menarik napas dalam, lalu perlahan berkata,“Sebenarnya aku belum cerita semuanya. Dulu, waktu aku kuliah di luar negeri, Rino itu salah satu teman dekatku. Tapi dia terlibat kasus penggelapan dana besar. Waktu kasus itu terbongkar, dia salah satu orang yang aku laporkan ke pihak kampus dan akhirnya ditangkap.”Anya membelalakkan mata.“Jadi dia dendam sama kamu?”“Iya. Dan aku baru sadar… Dia juga punya koneksi dengan El dulu. Mungkin itulah alasan
Farel akhirnya mengungkapkan, bahwa bertahun-tahun lalu saat Reza masih kuliah, ia pernah terseret dalam sebuah kasus bisnis gelap yang melibatkan penipuan investasi. Meskipun Reza saat itu akhirnya keluar dari lingkaran tersebut dan membenahi hidupnya, rekam jejak itu masih ada dan beberapa orang dari masa lalu itu mulai kembali muncul di Jakarta.“Aku tidak mengatakan Reza orang jahat. Justru dia keluar dari lingkaran itu dengan susah payah. Tapi aku khawatir, mereka yang dulu pernah terlibat bisa mencoba mendekati kalian lagi, bahkan memanfaatkan momen pernikahan kalian untuk balas dendam,” jelas Farel dengan serius.Anya terdiam lama. Pandangannya jatuh pada Reza, yang kini menunduk, wajahnya diliputi rasa bersalah.“Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini ke aku?” bisik Anya.Reza menghela napas dalam.“Aku takut kamu nggak bisa terima masa lalu aku. Aku ingin kamu melihat aku yang sekarang… bukan yang dulu.”Suasana menjadi hening. Namun beberapa menit kemudian, Anya menggengga
Hari-hari Anya dan Reza semakin padat dengan persiapan pernikahan. Di tengah-tengah kesibukan itu, Reza sesekali mengajak Anya meluangkan waktu berdua untuk sekadar makan malam santai atau berjalan-jalan sore, agar mereka tak tenggelam dalam stres persiapan.Sementara itu, Rio, yang diam-diam memendam rasa kepada Anya sejak lama, mulai terlihat berbeda. Ia semakin sering menawarkan bantuan untuk segala hal, bahkan hal-hal kecil. Suatu sore saat mereka bertiga berkumpul untuk rapat vendor, Rio menatap Anya lebih lama dari biasanya. Rina, yang menyadari hal itu, menarik Rio ke samping setelah rapat.“Rio, kamu harus hati-hati dengan perasaanmu. Anya sudah akan menikah dengan Reza,” ujar Rina pelan tapi tegas.Rio menunduk, bibirnya menekan.“Aku tahu, Rin. Aku cuma… aku nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa. Aku suka dia, dari dulu.”Rina menepuk bahu Rio.“Kamu sahabat mereka berdua. Jangan rusak itu. Kalau kamu memang sayang Anya, kamu harus ikut bahagia lihat dia bahagia.”Rio meng
Anya tertawa pelan sambil menunjukkan pesan itu pada Reza.“Kayaknya sahabatku sudah nggak sabar ikut heboh.”Hari itu mereka kembali ke Jakarta dengan hati penuh rencana. Setibanya di apartemen, mereka langsung menemui orang tua Anya dan Reza. Kedua keluarga menyambut dengan suka cita dan mendukung rencana mereka sepenuhnya.Minggu-minggu berikutnya diisi dengan berbagai kesibukan. Reza menemani Anya memilih undangan, fitting kebaya akad, dan mencari tempat resepsi yang sesuai. Rio, meskipun menahan rasa di hati, ikut membantu menjadi koordinator tamu.Suatu sore di kafe langganan dekat apartemen, Rina, Anya, dan Rio berkumpul untuk membicarakan konsep dekorasi. Rina bersemangat menunjukkan moodboard yang sudah ia siapkan, sementara Rio diam-diam memperhatikan Anya dengan tatapan lembut.“Anya, kamu benar-benar bahagia sekarang, ya?” tanya Rio, suaranya tenang.Anya mengangguk penuh keyakinan.“Iya, Rio. Aku yakin Reza orang yang tepat untuk aku.”Rio mengulum senyum. Ia menunduk sej