Saat Anya sedang merapikan kartu tarotnya di booth restoran, ponselnya bergetar. Nama Reza muncul di layar.Reza: "Hey, sorry ya, aku nggak bisa ketemu siang ini. Ada urusan keluarga mendadak."Anya: "Oh, nggak apa-apa. Santai aja."Ada jeda sebentar.Reza: "Kamu nggak kecewa?"Anya: "Kenapa harus kecewa? Aku bukan pacar kamu, Rez."Anya mengatakannya dengan nada bercanda, tapi entah kenapa, di ujung telepon, Reza malah terdiam.Reza: "Ya udah, kalau gitu nanti aku kabarin lagi."Setelah itu, telepon ditutup.---Malam harinya, Rio mengantar Anya pulang.Di perjalanan, mereka lebih banyak diam. Mungkin karena kejadian tadi siang, atau mungkin… karena tatapan Mami Rio yang masih terngiang di kepala Anya.Rio: "Aku nggak nyangka kamu bisa deket sama Mami secepat ini."Anya: "Deket? Dia lebih kayak mau menyelidiki aku, deh."Rio tertawa pelan.Rio: "Mungkin dia penasaran, bukan menyelidiki."Anya melipat tangannya, merenung.Anya: "Tapi tadi dia bilang sesuatu yang bikin aku kepikiran."
Anya duduk di depan meja riasnya, menatap pantulan dirinya di cermin."Kenapa rasanya aku kaya mau masuk perangkap?"Tadi sore, Rio mengirim pesan—menginformasikan bahwa Tante Sisca mengundangnya untuk makan malam.Rio: “Mami ngajak kamu dinner di rumah. Jangan pakai alasan sibuk, aku jemput jam 7.”Anya menghela napas. Kenapa dia merasa ini bukan sekadar makan malam biasa?---Pukul 7 malam, di mobil RioAnya masuk ke dalam mobil Rio, menatapnya curiga.Anya: "Kenapa tiba-tiba Mami kamu ngajak makan malam?"Rio: "Mami suka sama kamu."Anya: "Jangan bilang dia mau jodohin gue sama lo!"Rio tertawa.Rio: "Tenang aja, bukan itu."Anya tetap melipat tangan di dada, belum percaya sepenuhnya.Anya: "Tapi serius, kenapa aku diundang?"Rio: "Mami suka orang yang bisa dipercaya. Dan… dia penasaran sama kamu."Anya menatap Rio."Penasaran? Kenapa?"---Di Rumah Tante SiscaRumah keluarga Rio besar dan megah, dengan sentuhan klasik di setiap sudutnya.Begitu masuk, aroma masakan menggoda langsu
Rio dan Anya tiba di apartemen dalam diam. Sejak meninggalkan rumah Tante Sisca, Rio tampak gelisah.Anya ingin bertanya lebih jauh tentang apa yang terjadi tadi, tapi atmosfer di antara mereka terlalu berat.Rio: “Kita bicara besok. Jangan pikirkan terlalu banyak.”Setelah mengantar Anya ke pintu apartemennya, Rio langsung pergi ke lantai atas.Anya masuk, mengunci pintu, lalu duduk di sofa."Apa yang baru saja terjadi?"Setumpuk pertanyaan memenuhi kepalanya. Kartu tarot itu, ekspresi Rio, tawa Tante Sisca… ada sesuatu yang janggal.Tapi tubuhnya lelah. Sangat lelah.Anya merebahkan diri di kasur dan langsung tertidur.---Dalam mimpi, Anya berada di rumah besar yang sama dengan rumah Tante Sisca tadi.Tapi sekarang, rumah itu gelap. Sunyi.Anya berjalan perlahan, mendengar suara langkahnya menggema.Lalu terdengar bisikan dari arah ruang makan."Kau tidak seharusnya melihat ini…"Anya menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa.Tapi di meja makan, ada setumpuk kartu tarot yang sama denga
Setelah percakapan tadi malam dengan Rio, Anya tidak bisa tidur. Pikirannya berputar-putar."Kenapa aku harus hati-hati dengan Tante Sisca?"Ia duduk di meja kerja, menatap kartu tarotnya yang berserakan. Di antara kartu-kartu itu, satu kartu mencolok di atas yang lain.The High Priestess.Kartu tentang intuisi, rahasia, dan kebenaran yang belum terungkap.Anya menggigit bibirnya."Larasati... siapa sebenarnya dia? Kenapa kematiannya seperti ditutup-tutupi?"Ponselnya bergetar.Pesan dari nomor tak dikenal:“Jangan ikut campur, nona tarot.”Darah Anya berdesir."Sial. Baru mulai kepo, udah ada yang ngancam?"Anya: “Siapa ini?”Tidak ada balasan.Anya menghela napas panjang.“Tenang, Anya. Ini bukan pertama kalinya ada yang aneh gara-gara tarot.”Ia mengalihkan perhatian ke laptopnya. Jari-jarinya mulai mengetik di Google:"Kasus kematian Larasati, keluarga Hendro Wijaya."Sebuah artikel berita lama muncul."Meninggal akibat kecelakaan domestik, korban terjatuh dari tangga di kediaman
Anya langsung merasakan napasnya tercekat. Suara di seberang terdengar berat, seakan sengaja dibuat agar sulit dikenali. ???: "Kamu mau tahu siapa yang membunuh Larasati?" Anya menatap Rio yang terlihat tegang. Anya: "Siapa ini?" ???: "Jangan bertanya balik. Dengarkan baik-baik. Larasati tidak jatuh sendiri. Seseorang mendorongnya."Jantung Anya berdegup kencang. Tangannya mulai gemetar. Anya: "Siapa yang mendorongnya?" Ada jeda sebelum suara itu kembali terdengar. ???: "Cari di apartemennya. Dia meninggalkan sesuatu. Jika kamu berani." Lalu, sambungan langsung terputus. Anya menatap layar ponselnya, lalu ke arah Rio. Rio: "Apa katanya?"Anya mengulang isi percakapan barusan. Rio terdiam, matanya sedikit menyipit. Rio: "Apartemen Larasati? Bukannya udah kosong?"Anya: "Aku juga nggak tahu. Tapi kalau benar dia meninggalkan sesuatu di sana, kita harus cari." Rio menghela napas panjang. Rio: "Ini gila, Anya. Kita bisa dalam bahaya."Anya: "Tapi aku nggak bisa pura-pura ngga
Rumah Rio berdiri megah di sebuah kawasan elite. Anya melirik Rio sekilas saat mobilnya memasuki halaman rumah.Anya: "Kamu yakin mau langsung tanya, Rio?"Rio: "Udah nggak ada waktu buat main aman, Anya. Kalau kita terus menunda, kita nggak bakal tahu apa-apa."Anya menarik napas panjang. "Oke. Aku di belakangmu."Mereka melangkah masuk. Seorang asisten rumah tangga membukakan pintu, dan tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu ruang tamu.Tante Sisca.Wajahnya tetap anggun, tapi ada sedikit ketegangan di matanya saat melihat mereka.Sisca: "Rio? Ada apa? Kenapa datang sama Anya?"Rio menatap ibunya dengan ekspresi serius. "Aku mau tanya sesuatu, Mam. Dan aku mau Mami jawab jujur."Sisca tersenyum kecil. "Tanya apa? Seperti interogasi saja."Rio menaruh foto yang mereka temukan di meja. "Ini, Mam."Sisca melirik foto itu sekilas, lalu ekspresinya berubah. Matanya membesar, dan wajahnya sedikit pucat.Anya melihat reaksi itu dan yakin mereka ada di jalur ya
Anya menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar."Jangan teruskan. Jika tidak, kalian akan menyesal."Pesan itu tanpa nama. Tidak ada foto profil. Hanya sebuah ancaman singkat yang membuat bulu kuduknya meremang.Rio melirik ke arah ponsel Anya. "Apa itu?"Anya ragu sejenak sebelum memperlihatkan layar ponselnya pada Rio dan Sisca.Sisca langsung pucat. "Astaga..."Rio: "Siapa ini? Mami tahu siapa yang mengirimnya?"Sisca menelan ludah. Matanya bergerak gelisah.Sisca: "Ini dia... Dia tahu kalian mulai mencari tahu."Anya merasa napasnya berat. "Tante, siapa sebenarnya orang ini?"Sisca menggeleng. "Aku sudah bilang... Ayah Larasati bukan orang biasa. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang, tapi yang jelas, kalian dalam bahaya."Rio: "Mami selalu bilang ‘bahaya’, tapi Mami nggak pernah kasih tahu bahaya macam apa! Kita berhak tahu!"Sisca menghela napas panjang. Lalu, dengan suara yang hampir berbisik, dia berkata:"Karena dia bukan manusia biasa."Hening.Anya merasakan ud
Malam itu, setelah restoran tutup, Anya masih duduk di booth tarotnya sambil merapikan kartu-kartu yang tadi seharian dia pakai. Kepalanya masih dipenuhi dengan kata-kata Nathan."Hati-hati, Anya. Beberapa hal lebih baik nggak diungkap dengan tarot."Apa maksudnya? Kenapa rasanya seperti peringatan?Anya menghela napas panjang. Dia bukan tipe yang gampang parno, tapi instingnya bilang kalau pria itu bukan hanya pelanggan biasa.Saat dia sedang tenggelam dalam pikirannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal muncul di layar.Nomor Tak Dikenal:"Kita akan bertemu lagi. Jangan terlalu dalam menggali sesuatu yang belum saatnya diketahui."Jantung Anya langsung berdetak lebih cepat.Anya (dalam hati): "Gila! Ini pasti Nathan!"Dia mengetik cepat.Anya: "Lo siapa sebenarnya? Kenapa kirim pesan kayak gini?"Tidak ada balasan.Merasa nggak nyaman, Anya buru-buru membereskan barangnya dan keluar dari restoran. Saat berjalan menuju parkiran, dia merasa ada yang mengi
Sore itu, langit mendung menggantung di atas kota. Suasana tegang melingkupi ruang kerja Pak Bagas saat mereka merencanakan pertemuan dengan El.“Lokasinya di gudang kosong dekat pelabuhan Sunda Kelapa,” kata Pak Bagas, meletakkan ponselnya di meja setelah percakapan dengan El berakhir.Reza mengernyit. “Tempat itu terlalu sepi. Kalau ini jebakan, Pak Bagas bisa dalam bahaya.”Anya menatap peta yang dibentangkan Rio. "Kalau kita posisikan tim di tiga titik pengawasan ini, kita bisa pantau area tanpa El menyadari," usulnya sambil menunjuk lokasi strategis.Rio mengangguk setuju. “Aku akan pimpin tim pengintai. Reza, kamu jagain Anya.”Reza melirik Anya dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku nggak akan jauh darimu.”Beberapa jam kemudian, saat senja mulai jatuh, mereka bergerak ke lokasi. Pak Bagas masuk lebih dulu ke dalam gudang tua yang nyaris runtuh, sementara Reza, Rio, dan Anya bersembunyi di jarak aman, memantau dari teropong kecil.El sudah menunggu di dalam, wajahnya puc
Di sudut parkiran, El duduk di dalam mobil hitam dengan kaca gelap. Wajahnya pucat dan tegang. Ia memandangi foto Anya yang tergeletak di kursi penumpang, lalu menatap ponselnya yang tak berhenti bergetar. Nama Nathan muncul di layar.Dengan ragu, El menjawab panggilan itu."Aku tahu kau bertemu mereka, El," suara Nathan terdengar dingin di seberang. "Jangan lupa siapa yang membesarkanmu, siapa yang membayarmu selama ini. Kau tahu apa yang harus kau lakukan."El terdiam beberapa detik, lalu menjawab pelan, "Aku tak akan membiarkan mereka menghancurkan kita. Tapi… aku tidak akan sakiti Anya."Panggilan terputus. El menghela napas panjang dan menutup matanya, jelas gelisah. Kenangan masa kecilnya bersama Larasati, kembarannya All, dan keterlibatannya dalam jaringan Nathan kembali terlintas di benaknya.Sementara itu, di apartemen Anya, Reza dengan sigap memeriksa setiap sudut ruangan, memastikan tak ada alat penyadap atau kamera tersembunyi. Anya memandangi pria itu dengan hati yang han
Keesokan paginya, matahari Bali menyinari lembut balkon kamar penginapan Anya dan Reza. Suasana masih hening, hanya suara ombak yang terdengar samar dari kejauhan. Anya duduk di kursi rotan, matanya menatap kosong laut biru, pikirannya terus memutar kata-kata Guru Adarma.Reza keluar dari kamar membawa dua cangkir kopi hangat. Ia menyerahkan satu ke Anya, lalu duduk di sampingnya. “Masih kepikiran soal El dan Rio?”Anya mengangguk pelan. “Aku merasa semuanya belum selesai, Za. Perasaan aku nggak tenang.”Reza menarik napas dalam. “Kita selesaikan satu per satu, pelan-pelan. Kita sudah jauh sampai sini, Anya. Kita harus tetap kuat.”Tiba-tiba ponsel Anya bergetar. Pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. “Kalau kau ingin tahu siapa sebenarnya El dan keterkaitannya dengan Nathan, temui aku di kafe dekat apartemenmu, sepulang dari Bali.”Anya menunjukkan pesan itu pada Reza. Ia mengernyit curiga. “Kita harus hati-hati. Jangan-jangan jebakan.”Anya menggigit bibir. “Tapi kalau benar ad
Anya dan Reza saling bertukar pandang, kegelisahan mulai meresap. "Jadi, ini sudah waktunya," kata Anya, suaranya tenang meskipun ketakutan merayapi hatinya."Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain maju," jawab Reza, sambil menatap El yang sejak tadi diam. "El, apa yang kamu tahu tentang Rio? Dia lebih terlibat dalam permainan ini daripada yang kita kira."El yang sedari tadi terdiam, kini melangkah mendekat, matanya penuh keseriusan. "Rio… dia selalu ada di sekitar Nathan. Tapi aku rasa dia lebih dari sekadar sekutu. Aku pernah mendengar Nathan berbicara tentang Rio sebagai seseorang yang bisa ‘menyelesaikan pekerjaan kotor’. Itu berarti, kita menghadapi lebih dari sekadar ancaman biasa."Anya mengangguk, mengerti. "Jadi, kita harus memutar otak. Aku tidak akan menyerahkan apapun pada mereka."Reza menggenggam tangan Anya dengan erat. "Kita akan bertindak lebih cepat. Jika kita terus menunda, mereka akan lebih dulu bergerak."Malam itu, setelah pertemuan yang panjang, mereka me
Guru Adarma melangkah masuk dengan tenang. Tatapannya dalam, seolah bisa membaca pikiran Anya, Reza, dan El hanya dengan melihat sorot mata mereka. Ia duduk di kursi rotan dekat jendela, mengeluarkan sebuah map kulit tua yang terlihat usang.“Apa yang saya pegang ini,” ucapnya sambil meletakkan map di atas meja, “adalah salinan dokumen yang selama ini dicari Nathan dan orang-orangnya. Larasati sempat menyerahkannya padaku sebelum kecelakaan itu.”Anya membungkuk, jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membuka map tersebut. Di dalamnya ada salinan kontrak, rekening transfer ilegal, serta catatan rahasia tentang penyelundupan data yang melibatkan beberapa perusahaan besar.Reza memicingkan mata, membaca cepat isi dokumen. “Ini… bisa menghancurkan Nathan. Bukti ini cukup kuat untuk menyeret dia ke pengadilan.”Guru Adarma mengangguk pelan. “Benar. Tapi ada syaratnya, Anya.”Anya menegakkan badan, menatap Guru Adarma dengan tatapan penuh tanya.“Kau harus memastikan dokumen i
Sementara itu, di balik pepohonan, El berdiri diam. Dadanya berdegup kencang. Melihat Anya begitu tenang bersama Reza membuat hatinya berkonflik. Tugasnya jelas—mengambil kembali dokumen yang disimpan Anya dan memastikan Anya tidak akan membocorkan rahasia jaringan mereka. Tapi bayangan untuk menyakiti Anya membuatnya bimbang.“Fokus, El,” gumamnya sendiri, mencoba mengusir keraguan.Malam harinya, di penginapan sederhana yang mereka tempati, Anya memutuskan untuk melakukan meditasi lebih dalam. Ia menyalakan lilin dan duduk bersila, mencoba membaca energi siapa yang sebenarnya mengintai mereka.Dalam penglihatannya yang hening, bayangan sosok El muncul. Wajahnya samar, tapi tatapannya jelas. El tampak gelisah, seolah ingin bicara tapi tertahan sesuatu.Anya tersentak membuka mata. Jantungnya berdegup cepat. “El…” bisiknya. “Dia di sini.”Reza yang duduk tak jauh darinya langsung menghampiri. “El? Kau yakin?”Anya mengangguk. “Dia mengikuti kita. Aku harus bicara dengannya. Aku perlu
Keesokan paginya, Anya dan Reza tiba di sebuah desa kecil di lereng gunung, tempat di mana Guru Adarma tinggal. Udara sejuk dan pemandangan hamparan sawah menghiasi perjalanan mereka.Reza memarkirkan mobil di depan rumah kayu sederhana namun terawat. Seorang pria paruh baya berwajah teduh, berjanggut putih, dan mengenakan pakaian serba putih menyambut mereka di teras. Matanya tajam namun penuh ketenangan."Selamat datang, Anya… Reza," sapa Guru Adarma.Anya menunduk hormat. "Terima kasih sudah mau menerima kami, Guru."Guru Adarma mengangguk dan mempersilakan mereka masuk ke dalam. Di ruangan dalam, suasana hening dan damai. Aroma dupa lembut menyelimuti ruangan. Anya mengeluarkan map berisi dokumen yang didapatkannya, lalu meletakkannya di hadapan sang guru."Guru, saya perlu bimbingan Anda. Semua ini terlalu besar untuk saya pahami sendiri. Ini semua tentang ayah saya, tentang El, dan… tentang masa lalu yang terus menghantui saya," suara Anya lirih namun tegas.Guru Adarma membuka
Dengan penuh keberanian, Anya melangkah masuk. Ruangan dalam rumah remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu minyak di sudut. Di tengah ruangan ada seorang pria tua duduk di kursi goyang, wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun sorot matanya tajam mengamati Anya.“Aku yang kirim surat itu,” katanya perlahan. “Namaku Wiratma. Aku sahabat ayahmu dulu… dan aku tahu kenapa Larasati harus mati.”Anya menahan napas, jantungnya berdebar. “Tolong ceritakan semuanya…”Wiratma menunduk sejenak, lalu menatap Anya dengan mata sendu. “Ayahmu, Nathan… dia terlibat dalam jaringan pencucian uang dan perdagangan benda-benda antik ilegal sejak 30 tahun lalu. Larasati dulu mengetahui semuanya secara tak sengaja karena dia menemukan dokumen rahasia. Ia berusaha membongkar semuanya, tapi sayangnya… dia keburu dihabisi.”Anya tertegun. “Jadi… ayahku benar-benar…?”Wiratma mengangguk perlahan. “Sayangnya iya. Larasati terlalu dekat dengan kebenaran. Dan ada lebih banyak orang yang terlibat. Termasuk El
Dari balik pintu terdengar suara tenang, familiar.“Ini aku, Rio. Boleh masuk?”Reza menghela napas lega dan membuka pintu. Rio masuk dengan ekspresi serius. “Aku dengar kalian lagi dalam masalah. Aku bisa bantu?”Anya mendekat, ragu-ragu. “Dari mana kamu tahu?”Rio menunjukkan ponselnya. “Aku juga dapat pesan ancaman yang sama. Kayaknya mereka nggak cuma awasi kalian, tapi aku juga.”Reza mengernyit curiga. “Kamu yakin nggak ada keterlibatanmu, Rio?”Rio menatap Reza dengan sorot jujur. “Reza, aku suka Anya, iya. Tapi aku nggak sejahat itu. Aku nggak akan membahayakan dia.”Anya terdiam. Situasi ini makin rumit. Namun di tengah ketegangan itu, ia merasa satu hal pasti — ia tidak sendirian. Reza dan Rio, meskipun dalam posisi yang sulit, sama-sama ingin melindunginya.“Kalau begitu, ayo kita bertiga ke kantor polisi. Kita selesaikan ini sama-sama,” ujar Anya mantap.Reza dan Rio mengangguk. Mereka bertiga melangkah keluar apartemen, membawa bukti rekaman dan tekad kuat. Meski bayang-b