Rio dan Anya tiba di apartemen dalam diam. Sejak meninggalkan rumah Tante Sisca, Rio tampak gelisah.Anya ingin bertanya lebih jauh tentang apa yang terjadi tadi, tapi atmosfer di antara mereka terlalu berat.Rio: “Kita bicara besok. Jangan pikirkan terlalu banyak.”Setelah mengantar Anya ke pintu apartemennya, Rio langsung pergi ke lantai atas.Anya masuk, mengunci pintu, lalu duduk di sofa."Apa yang baru saja terjadi?"Setumpuk pertanyaan memenuhi kepalanya. Kartu tarot itu, ekspresi Rio, tawa Tante Sisca… ada sesuatu yang janggal.Tapi tubuhnya lelah. Sangat lelah.Anya merebahkan diri di kasur dan langsung tertidur.---Dalam mimpi, Anya berada di rumah besar yang sama dengan rumah Tante Sisca tadi.Tapi sekarang, rumah itu gelap. Sunyi.Anya berjalan perlahan, mendengar suara langkahnya menggema.Lalu terdengar bisikan dari arah ruang makan."Kau tidak seharusnya melihat ini…"Anya menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa.Tapi di meja makan, ada setumpuk kartu tarot yang sama denga
Setelah percakapan tadi malam dengan Rio, Anya tidak bisa tidur. Pikirannya berputar-putar."Kenapa aku harus hati-hati dengan Tante Sisca?"Ia duduk di meja kerja, menatap kartu tarotnya yang berserakan. Di antara kartu-kartu itu, satu kartu mencolok di atas yang lain.The High Priestess.Kartu tentang intuisi, rahasia, dan kebenaran yang belum terungkap.Anya menggigit bibirnya."Larasati... siapa sebenarnya dia? Kenapa kematiannya seperti ditutup-tutupi?"Ponselnya bergetar.Pesan dari nomor tak dikenal:“Jangan ikut campur, nona tarot.”Darah Anya berdesir."Sial. Baru mulai kepo, udah ada yang ngancam?"Anya: “Siapa ini?”Tidak ada balasan.Anya menghela napas panjang.“Tenang, Anya. Ini bukan pertama kalinya ada yang aneh gara-gara tarot.”Ia mengalihkan perhatian ke laptopnya. Jari-jarinya mulai mengetik di Google:"Kasus kematian Larasati, keluarga Hendro Wijaya."Sebuah artikel berita lama muncul."Meninggal akibat kecelakaan domestik, korban terjatuh dari tangga di kediaman
Anya langsung merasakan napasnya tercekat. Suara di seberang terdengar berat, seakan sengaja dibuat agar sulit dikenali. ???: "Kamu mau tahu siapa yang membunuh Larasati?" Anya menatap Rio yang terlihat tegang. Anya: "Siapa ini?" ???: "Jangan bertanya balik. Dengarkan baik-baik. Larasati tidak jatuh sendiri. Seseorang mendorongnya."Jantung Anya berdegup kencang. Tangannya mulai gemetar. Anya: "Siapa yang mendorongnya?" Ada jeda sebelum suara itu kembali terdengar. ???: "Cari di apartemennya. Dia meninggalkan sesuatu. Jika kamu berani." Lalu, sambungan langsung terputus. Anya menatap layar ponselnya, lalu ke arah Rio. Rio: "Apa katanya?"Anya mengulang isi percakapan barusan. Rio terdiam, matanya sedikit menyipit. Rio: "Apartemen Larasati? Bukannya udah kosong?"Anya: "Aku juga nggak tahu. Tapi kalau benar dia meninggalkan sesuatu di sana, kita harus cari." Rio menghela napas panjang. Rio: "Ini gila, Anya. Kita bisa dalam bahaya."Anya: "Tapi aku nggak bisa pura-pura ngga
Rumah Rio berdiri megah di sebuah kawasan elite. Anya melirik Rio sekilas saat mobilnya memasuki halaman rumah.Anya: "Kamu yakin mau langsung tanya, Rio?"Rio: "Udah nggak ada waktu buat main aman, Anya. Kalau kita terus menunda, kita nggak bakal tahu apa-apa."Anya menarik napas panjang. "Oke. Aku di belakangmu."Mereka melangkah masuk. Seorang asisten rumah tangga membukakan pintu, dan tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu ruang tamu.Tante Sisca.Wajahnya tetap anggun, tapi ada sedikit ketegangan di matanya saat melihat mereka.Sisca: "Rio? Ada apa? Kenapa datang sama Anya?"Rio menatap ibunya dengan ekspresi serius. "Aku mau tanya sesuatu, Mam. Dan aku mau Mami jawab jujur."Sisca tersenyum kecil. "Tanya apa? Seperti interogasi saja."Rio menaruh foto yang mereka temukan di meja. "Ini, Mam."Sisca melirik foto itu sekilas, lalu ekspresinya berubah. Matanya membesar, dan wajahnya sedikit pucat.Anya melihat reaksi itu dan yakin mereka ada di jalur ya
Anya menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar."Jangan teruskan. Jika tidak, kalian akan menyesal."Pesan itu tanpa nama. Tidak ada foto profil. Hanya sebuah ancaman singkat yang membuat bulu kuduknya meremang.Rio melirik ke arah ponsel Anya. "Apa itu?"Anya ragu sejenak sebelum memperlihatkan layar ponselnya pada Rio dan Sisca.Sisca langsung pucat. "Astaga..."Rio: "Siapa ini? Mami tahu siapa yang mengirimnya?"Sisca menelan ludah. Matanya bergerak gelisah.Sisca: "Ini dia... Dia tahu kalian mulai mencari tahu."Anya merasa napasnya berat. "Tante, siapa sebenarnya orang ini?"Sisca menggeleng. "Aku sudah bilang... Ayah Larasati bukan orang biasa. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang, tapi yang jelas, kalian dalam bahaya."Rio: "Mami selalu bilang ‘bahaya’, tapi Mami nggak pernah kasih tahu bahaya macam apa! Kita berhak tahu!"Sisca menghela napas panjang. Lalu, dengan suara yang hampir berbisik, dia berkata:"Karena dia bukan manusia biasa."Hening.Anya merasakan ud
Malam itu, setelah restoran tutup, Anya masih duduk di booth tarotnya sambil merapikan kartu-kartu yang tadi seharian dia pakai. Kepalanya masih dipenuhi dengan kata-kata Nathan."Hati-hati, Anya. Beberapa hal lebih baik nggak diungkap dengan tarot."Apa maksudnya? Kenapa rasanya seperti peringatan?Anya menghela napas panjang. Dia bukan tipe yang gampang parno, tapi instingnya bilang kalau pria itu bukan hanya pelanggan biasa.Saat dia sedang tenggelam dalam pikirannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal muncul di layar.Nomor Tak Dikenal:"Kita akan bertemu lagi. Jangan terlalu dalam menggali sesuatu yang belum saatnya diketahui."Jantung Anya langsung berdetak lebih cepat.Anya (dalam hati): "Gila! Ini pasti Nathan!"Dia mengetik cepat.Anya: "Lo siapa sebenarnya? Kenapa kirim pesan kayak gini?"Tidak ada balasan.Merasa nggak nyaman, Anya buru-buru membereskan barangnya dan keluar dari restoran. Saat berjalan menuju parkiran, dia merasa ada yang mengi
Reza menatap Anya dengan ekspresi serius, lalu bersandar di sofa apartemen Anya sambil melipat tangan di dada.Reza: "Jadi, kesibukan lo sekarang apa?"Anya meletakkan gelas kopi di meja dan tersenyum kecil.Anya: "Gue baru mulai kerja di restoran Rio. Jadi peramal tarot di booth kecil di sana."Reza mengangkat alis.Reza: "Peramal di restoran? Gimana tuh?"Anya mengangkat bahu.Anya: "Ya, seru. Booth gue rame, banyak yang penasaran. Bahkan ada yang datang tiap hari cuma buat ditarot lagi."Reza terkekeh.Reza: "Jadi lo udah punya fans?"Anya tertawa kecil, lalu menyesap kopinya.Anya: "Mungkin. Tapi yang lebih penting, ini pekerjaan yang gue suka."Reza mengangguk, lalu mendekat sedikit.Reza: "Gue juga punya kabar, nih."Anya menatapnya penasaran.Reza: "Sekarang gue udah dipercaya sama Papi. Gue yang pegang salah satu perusahaan keluarga, dan gue jadi CEO muda."Anya terbelalak.Anya: "Wow. Jadi akhirnya lo keluar dari kafe?"Reza tertawa.Reza: "Nggak. Kafe tetap ada, cuma sekaran
Anya menatap Nathan tanpa berkedip. Ada begitu banyak pertanyaan di kepalanya, tapi entah kenapa, mulutnya terasa terkunci.Nathan hanya duduk tenang, seolah menunggu Anya berbicara lebih dulu.Anya: "Lo hilang dua tahun. Tiba-tiba datang, minta bantuan. Gue harus percaya sama lo?"Nathan tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak lagi terasa akrab seperti dulu.Nathan: "Anya, gue nggak punya banyak waktu. Gue cuma bisa bilang, ada sesuatu yang harus lo tahu. Tapi kalau lo nggak mau terlibat, gue ngerti."Anya mengerutkan kening.Anya: "Kalau gue nolak, lo bakal pergi lagi?"Nathan diam sejenak, lalu mengangguk pelan.Nathan: "Iya."Anya menghela napas. Di satu sisi, dia ingin menjauh dari segala kerumitan ini. Tapi di sisi lain, rasa penasarannya terlalu besar.Dia menatap Nathan dengan serius.Anya: "Oke. Gue dengerin."Nathan menatapnya dalam-dalam, lalu bersandar ke kursinya.Nathan: "Lo masih ingat malam terakhir sebelum gue hilang?"Anya mengingatnya. Malam itu, Nathan mengirim pesan
Anya menunjukkan pesan itu ke Reza.Mereka saling bertukar pandang — firasat mereka mengatakan, malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh jawaban.***Matahari mulai condong ke barat saat Reza dan Anya kembali ke apartemen untuk bersiap. Suasana hening sepanjang perjalanan; keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing tentang pesan misterius yang baru saja mereka terima.Pukul 18.45, mereka sudah tiba di Kafe Seroja — kafe kecil bergaya vintage dengan interior kayu dan lampu temaram. Kafe itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung yang asyik dengan kopi dan laptop mereka.Reza memilih meja di sudut ruangan yang menghadap pintu masuk. Anya duduk di seberangnya, matanya sesekali melirik ke sekitar. Tepat pukul 19.00, pintu kafe berderit terbuka.Masuklah seorang pria paruh baya, berjaket hitam dan celana kain gelap. Rambutnya sudah memutih di pelipis, namun sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. Ia melangkah mantap ke arah meja mereka dan duduk tanpa diundang.“
"Ini bukan orang biasa," gumam Reza. "Namanya Harun. Dulu dia pengacara gelap yang pernah terkait dengan kasus korupsi besar-besaran, tapi lolos karena kurang bukti."Rangga mengangguk. "Benar. Aku juga temukan bahwa Andre dan Harun bekerja sama untuk menguasai salah satu perusahaan properti warisan milik keluarga Nathan. Mereka ingin mengalihkan aset besar ke rekening luar negeri menggunakan dokumen palsu."Anya mengernyit. "Tapi bukankah aset-aset itu masih dalam proses hukum setelah Nathan tertangkap?""Justru itu. Mereka memanfaatkan kekosongan dan celah hukum. Kalau mereka berhasil, bisa jadi semua properti itu lenyap tanpa jejak," jelas Rangga.Reza mengepalkan tangan, rahangnya mengeras."Kita nggak bisa diam saja. Aku punya beberapa kolega di kejaksaan yang bisa bantu percepat proses blokir aset. Tapi kita butuh bukti konkret keterlibatan Andre dan Harun."Rangga tersenyum tipis dan menarik satu amplop cokelat dari tasnya."Aku sudah siapkan ini. Ada rekaman percakapan dan sal
Malam di vila. Meski suasana tampak tenang, ketegangan masih terasa di antara Anya dan Reza setelah pesan misterius dari orang berinisial “A” siang tadi.Reza memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat, lalu memeriksa kamera CCTV tambahan yang baru dipasang oleh tim pengamanan yang ia sewa."Semua aman. Jangan khawatir. Aku sudah perketat penjagaan," ucap Reza lembut sambil mengelus rambut Anya.Anya mencoba tersenyum, meski pikirannya masih berputar."Aku percaya sama kamu, Reza. Tapi aku juga ingin tahu siapa A sebenarnya dan apa tujuannya."Reza menatap mata Anya dalam-dalam."Kita akan cari tahu. Besok kita pulang ke Jakarta. Aku sudah atur pertemuan dengan penyelidik swasta yang biasa aku pakai untuk urusan kantor. Kita akan selesaikan ini sampai tuntas."Keesokan harinya, setelah kembali ke Jakarta, Reza membawa Anya bertemu penyelidik swasta bernama Rangga. Pria berperawakan tegas itu langsung memeriksa nomor pengirim pesan misterius.Beberapa jam kemudian, Rangga datang
Reza menatap Anya dalam-dalam. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku memang ketemu Rio. Tapi bukan untuk hal yang buruk. Aku cuma ingin memastikan kamu aman, Anya. Aku serahkan semua bukti soal Nathan ke dia biar urusan itu selesai."Mata Anya berkaca-kaca. Ia merasa terharu sekaligus menyesal."Aku sayang sama kamu, Anya. Dan aku nggak akan berhenti lindungi kamu, seberat apa pun," lanjut Reza.Anya tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa tersenyum dan memeluk Reza erat. Di kejauhan, sosok Rio memperhatikan mereka dengan ekspresi rumit. Hatinya tersayat, karena ia sadar — ia kalah dalam cinta ini.***Keesokan paginya, suasana di vila mulai terasa lebih tenang. Anya bangun dengan perasaan damai setelah semalam berbagi cerita panjang dengan Reza. Hubungan mereka terasa semakin kuat setelah melewati banyak ujian.Reza mengajak Anya mengunjungi Pura Tirta Empul, tempat suci yang pernah mereka dengar dari Guru Adarma. Di sana, mereka berniat membersihkan pikiran dan hati,
Langit Bali sore itu berwarna jingga keemasan. Angin laut berembus lembut, membawa aroma asin yang menenangkan. Anya dan Reza tiba di sebuah vila tenang di tepi pantai Seminyak. Senyum Anya terlihat lebih lepas dibanding minggu-minggu sebelumnya.“Ini indah sekali, Reza…” Anya berkata sambil berdiri di balkon, memandangi matahari yang mulai terbenam.Reza mendekat, menaruh tangannya di pundak Anya. “Kamu butuh ketenangan setelah semua yang terjadi. Anggap saja ini awal yang baru.”Malamnya, mereka makan malam di sebuah restoran tepi pantai yang remang-remang dan romantis. Di meja, Reza tampak beberapa kali gelisah, seolah menunggu momen yang tepat. Anya yang peka mulai menyadarinya.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Anya lembut.Reza tersenyum kecil, kemudian menghela napas panjang. Ia merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil, dan membukanya. Cincin berlian sederhana namun elegan berkilau di dalamnya.“Anya… setelah semua yang sudah kita lalui, aku nggak mau ke
Sore itu, langit mendung menggantung di atas kota. Suasana tegang melingkupi ruang kerja Pak Bagas saat mereka merencanakan pertemuan dengan El.“Lokasinya di gudang kosong dekat pelabuhan Sunda Kelapa,” kata Pak Bagas, meletakkan ponselnya di meja setelah percakapan dengan El berakhir.Reza mengernyit. “Tempat itu terlalu sepi. Kalau ini jebakan, Pak Bagas bisa dalam bahaya.”Anya menatap peta yang dibentangkan Rio. "Kalau kita posisikan tim di tiga titik pengawasan ini, kita bisa pantau area tanpa El menyadari," usulnya sambil menunjuk lokasi strategis.Rio mengangguk setuju. “Aku akan pimpin tim pengintai. Reza, kamu jagain Anya.”Reza melirik Anya dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku nggak akan jauh darimu.”Beberapa jam kemudian, saat senja mulai jatuh, mereka bergerak ke lokasi. Pak Bagas masuk lebih dulu ke dalam gudang tua yang nyaris runtuh, sementara Reza, Rio, dan Anya bersembunyi di jarak aman, memantau dari teropong kecil.El sudah menunggu di dalam, wajahnya puc
Di sudut parkiran, El duduk di dalam mobil hitam dengan kaca gelap. Wajahnya pucat dan tegang. Ia memandangi foto Anya yang tergeletak di kursi penumpang, lalu menatap ponselnya yang tak berhenti bergetar. Nama Nathan muncul di layar.Dengan ragu, El menjawab panggilan itu."Aku tahu kau bertemu mereka, El," suara Nathan terdengar dingin di seberang. "Jangan lupa siapa yang membesarkanmu, siapa yang membayarmu selama ini. Kau tahu apa yang harus kau lakukan."El terdiam beberapa detik, lalu menjawab pelan, "Aku tak akan membiarkan mereka menghancurkan kita. Tapi… aku tidak akan sakiti Anya."Panggilan terputus. El menghela napas panjang dan menutup matanya, jelas gelisah. Kenangan masa kecilnya bersama Larasati, kembarannya All, dan keterlibatannya dalam jaringan Nathan kembali terlintas di benaknya.Sementara itu, di apartemen Anya, Reza dengan sigap memeriksa setiap sudut ruangan, memastikan tak ada alat penyadap atau kamera tersembunyi. Anya memandangi pria itu dengan hati yang han
Keesokan paginya, matahari Bali menyinari lembut balkon kamar penginapan Anya dan Reza. Suasana masih hening, hanya suara ombak yang terdengar samar dari kejauhan. Anya duduk di kursi rotan, matanya menatap kosong laut biru, pikirannya terus memutar kata-kata Guru Adarma.Reza keluar dari kamar membawa dua cangkir kopi hangat. Ia menyerahkan satu ke Anya, lalu duduk di sampingnya. “Masih kepikiran soal El dan Rio?”Anya mengangguk pelan. “Aku merasa semuanya belum selesai, Za. Perasaan aku nggak tenang.”Reza menarik napas dalam. “Kita selesaikan satu per satu, pelan-pelan. Kita sudah jauh sampai sini, Anya. Kita harus tetap kuat.”Tiba-tiba ponsel Anya bergetar. Pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. “Kalau kau ingin tahu siapa sebenarnya El dan keterkaitannya dengan Nathan, temui aku di kafe dekat apartemenmu, sepulang dari Bali.”Anya menunjukkan pesan itu pada Reza. Ia mengernyit curiga. “Kita harus hati-hati. Jangan-jangan jebakan.”Anya menggigit bibir. “Tapi kalau benar ad
Anya dan Reza saling bertukar pandang, kegelisahan mulai meresap. "Jadi, ini sudah waktunya," kata Anya, suaranya tenang meskipun ketakutan merayapi hatinya."Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain maju," jawab Reza, sambil menatap El yang sejak tadi diam. "El, apa yang kamu tahu tentang Rio? Dia lebih terlibat dalam permainan ini daripada yang kita kira."El yang sedari tadi terdiam, kini melangkah mendekat, matanya penuh keseriusan. "Rio… dia selalu ada di sekitar Nathan. Tapi aku rasa dia lebih dari sekadar sekutu. Aku pernah mendengar Nathan berbicara tentang Rio sebagai seseorang yang bisa ‘menyelesaikan pekerjaan kotor’. Itu berarti, kita menghadapi lebih dari sekadar ancaman biasa."Anya mengangguk, mengerti. "Jadi, kita harus memutar otak. Aku tidak akan menyerahkan apapun pada mereka."Reza menggenggam tangan Anya dengan erat. "Kita akan bertindak lebih cepat. Jika kita terus menunda, mereka akan lebih dulu bergerak."Malam itu, setelah pertemuan yang panjang, mereka me