11.00 – Pementasan EmosiSetiap kelompok diberi waktu 10 menit untuk menampilkan emosi mereka secara teatrikal di atas panggung kecil yang disiapkan panitia. Tidak ada naskah. Hanya emosi yang jujur.Kelompok Anya membawakan adegan seorang perempuan yang terus duduk di meja makan untuk dua orang, berbicara dengan kursi kosong di depannya. Di akhir adegan, ia berdiri, mengambil foto di dompetnya, dan menangis dalam diam.Tepuk tangan penonton tidak riuh, tapi penuh penghargaan dan air mata.13.30 – Sesi Diskusi: Apa yang Tak Pernah TerucapUsai makan siang, sesi dilanjutkan dengan diskusi terbuka. Semua peserta diajak duduk melingkar, saling berbagi pengalaman. Anya mengangkat tangan dan berbicara:“Aku rindu, tapi aku juga takut rindu itu membunuhku pelan-pelan. Hari ini, aku sadar… rindu itu sah. Tapi aku tetap hidup, dan itu juga sah.”16.00 – Meditasi PelepasanHari ditutup dengan sesi meditasi dipandu oleh Mas Bagas, seorang trainer energi dan inner healing. Diiringi suara lonceng
Hari Kedelapan Belas: Udara pagi di Banten lembut dan menyegarkan. Di antara pepohonan dan suara burung, Anya duduk di atas tikar rotan, memeluk secangkir teh herbal hangat. Hari ini, tema kegiatan adalah Mindfulness dalam Proses Berkabung — satu hari penuh untuk melatih kesadaran hadir di saat ini, tanpa menolak rasa sedih, rindu, atau sunyi.06.30 – Meditasi Diam: Menyapa SunyiKegiatan dibuka dengan meditasi diam selama 45 menit. Setiap peserta diberi ruang tersendiri di taman kecil. Tidak ada musik, tidak ada bimbingan suara. Hanya napas, diri sendiri, dan sunyi.Anya duduk bersila, mengamati napasnya sendiri. Saat pikiran melayang ke malam-malam bersama Rio, ia tidak menolaknya. Ia hanya menyadari, “Oh, ini kenangan.” Saat rasa sakit menyentuh dada, ia mengakuinya, “Ini rindu.”09.00 – Workshop: Mindfulness dan Gelombang DukaDipandu oleh psikolog klinis spesialis mindfulness, peserta diajak memahami:Bahwa duka tidak linier, tapi seperti gelombang: naik, turun, tenang, lalu dat
Hari Keenam Belas.Pagi itu, udara di kawasan terapi Banten begitu sejuk, embun masih menggantung di rerumputan. Anya bangun lebih pagi dari biasanya. Ia duduk di beranda asrama tempatnya menginap, membawa jurnal harian dan secangkir teh hangat. Di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama ini: ketenangan yang tidak bergantung pada orang lain.07.30 – Sesi Refleksi Mandiri: “Siapa Aku, Setelah Semua Ini?”Hari keenam belas difokuskan untuk mengenal diri sendiri bukan sebagai pasangan dari seseorang, bukan sebagai janda, bukan sebagai korban kehilangan, melainkan sebagai individu yang utuh.Peserta dibimbing menuliskan:Lima nilai utama yang ingin mereka pegang setelah mengalami kehilangan.Tiga versi baru dari diri mereka yang ingin dibangun.Satu kekuatan yang baru disadari selama menjalani program terapi ini.Catatan Anya:Nilai: kejujuran, welas asih, keteguhan hati, kebebasan batin, dan keikhlasan.Versi diri: Anya yang tenang, Anya yang membumi, Anya
Hari Keempatbelas: Pagi yang sejuk di penginapan terapi duka itu menyambut Anya dengan keheningan yang menenangkan. Burung-burung kecil mulai berkicau, dan aroma kayu manis dari dapur membuat suasana terasa hangat. Hari ke-14 dalam perjalanan penyembuhan ini mengambil tema:"Merangkai Ulang Mimpi dan Tujuan Hidup Setelah Kehilangan."06.00 – Morning Journaling: Mimpi yang Pernah KupendamDipandu oleh: Kak Dito, fasilitator penulisan ekspresifPeserta diminta menjawab tiga pertanyaan di jurnal:Apa mimpi masa kecilku yang belum terwujud?Apa impian yang sempat kulupakan saat menjalani hidup dengan pasangan?Jika tidak ada rasa takut, apa yang ingin kulakukan tahun depan?Anya menulis:“Dulu aku ingin punya ruang meditasi sendiri, tempat orang bisa datang, duduk, tenang. Bukan hanya tarot, tapi tempat belajar mencintai diri sendiri. Tapi waktu bersama Rio, aku menunda itu. Sekarang... mungkin sudah waktunya kugali kembali.”09.00 – Workshop: Vision Board Pemulihan dan Harapan BaruDipa
Matahari pagi memancar lembut di kawasan pelatihan. Angin sejuk berembus dari arah pegunungan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai mengering. Anya berdiri di pinggir danau kecil dekat aula utama. Refleksi wajahnya tampak di permukaan air, samar namun damai.Hari kedua belas mengangkat tema besar:“Menemukan Kembali Makna Hidup Setelah Kehilangan.”06.00 – Morning Reflection: Menyapa Kehilangan dengan KesadaranFasilitator: Bu Asih, praktisi mindfulness dan penulis buku “Kehilangan Tak Pernah Sia-Sia”Aktivitas:Jalan perlahan tanpa bicara selama 15 menit mengelilingi danauSetiap langkah disertai afirmasi lembut:“Langkah ini bukan menjauh darimu, tapi melangkah bersama kenanganmu.”Duduk hening, menulis surat kepada orang yang telah tiadaAnya menulis surat pendek untuk Rio:“Sayang, aku masih di sini. Aku tahu kamu sudah tenang. Aku belum selesai menangis, tapi aku sedang belajar menerima. Jangan khawatir. Aku tidak akan menyerah. Terima kasih sudah pernah mencintaiku.
11.00 – Ritual Pelepasan SimbolikDipimpin oleh: Tim Psikospiritual & Terapi SimbolikKegiatan:Peserta diminta menulis nama orang yang telah pergi di selembar daun keringDaun tersebut lalu dihanyutkan ke sungai kecil di belakang lokasiSelama proses, peserta menyebutkan dalam hati kalimat afirmasi:“Aku mencintaimu, aku merindukanmu, tapi aku melepaskanmu kembali kepada cahaya.”Anya menuliskan nama “Rio” di atas daun jati. Saat meletakkannya di permukaan air, matanya basah. Tapi bukan air mata keputusasaan, melainkan air mata keikhlasan yang mulai tumbuh.13.00 – Makan Siang & Sesi Berbagi SunyiTidak ada dialog keras. Para peserta duduk di meja panjang dengan lilin kecil. Mereka makan dalam diam. Setiap gerakan dilakukan dengan kesadaran penuh—dari menyendok nasi, merasakan hangatnya kuah, hingga meneguk air.Anya sempat menoleh ke seorang ibu tua yang duduk di seberangnya. Ibu itu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Anya membalas dengan mengangguk pelan. Mereka tak perlu bicara—k
Hari Kesembilan.Pagi itu, udara di kawasan pegunungan Banten terasa lebih tenang dari biasanya. Embun masih menggantung di dedaunan, dan suara burung saling bersahutan. Anya bangun lebih awal, duduk di beranda kamarnya sambil memeluk lutut, membiarkan udara pagi menyapa wajahnya yang tampak lebih lembut—meski jejak luka batin masih belum benar-benar pudar.Hari kesembilan dalam program 100 hari terapi ini mengangkat tema besar: "Rekonstruksi Makna Kehidupan Setelah Kehilangan." Para peserta, termasuk Anya, perlahan mulai diarahkan untuk tidak hanya memproses kesedihan, tetapi mulai menata ulang fondasi hidup mereka yang baru—tanpa kehadiran sosok yang dicintai.06.30 – Meditasi Tematik: "Tujuan yang Retak"Fasilitator: Bhante Kavisara – praktisi meditasi dan guru filsafat timurDurasi: 45 menitLokasi: Gazebo bambu yang menghadap lembahDalam sesi ini, peserta diajak bermeditasi dengan teknik Metta Bhavana—kasih sayang. Setelah tenang, mereka diajak membayangkan bagaimana rencana mas
12.00 – Makan Siang & Istirahat TenangMenu:Sayur lodeh santan tipisIkan nila panggang sambal dabuPepaya potongInfused water daun mint dan jeruk nipis14.00 – Workshop: “Menyentuh Diri dengan Kasih”Fasilitator: Laily Maeswara, Terapis Self-Compassion dan Touch TherapyIsi Workshop:Latihan self-compassion touch (menyentuh dada, wajah, atau pipi sendiri sambil berkata lembut)Menulis ulang narasi tubuh: dari “kenapa tubuhku lemah?” menjadi “terima kasih sudah bertahan”Membuat self-care kit berisi rempah, aromaterapi, dan afirmasi personalAfirmasi yang dibuat Anya dan disimpan dalam kantong aroma lavender:“Tubuhku adalah rumah yang telah menyelamatkanku. Aku mencintaimu meski kamu sering lelah.”16.00 – Sesi Renungan & Minum Jamu BersamaSetiap peserta duduk di lingkaran bambu. Disajikan jamu manis pahit: campuran temulawak, kayu manis, dan madu. Disimbolkan bahwa jamu seperti hidup—ada getir, ada hangat, dan ada manisnya di akhir.Renungan Anya:“Hari ini aku tahu, tubuhku buka
Hari Keenam – Menyembuhkan Luka Lewat Inner Child.Langit pagi di Banten tampak teduh, dengan aroma embun dan tanah basah yang memberi ketenangan. Hari keenam dari rangkaian 100 hari pemulihan jiwa bertemakan:“Menyentuh Luka Masa Kecil: Inner Child Healing”Hari ini fokus utama adalah menyadari bahwa banyak respons kesedihan atau kehilangan yang muncul berasal dari luka masa kecil yang belum tersentuh, terutama pada figur keterikatan dan rasa ditinggalkan.06.00 – Meditasi Inner child & Pernapasan LembutFasilitator: Ibu Nurlaela Rahmawati, Master Inner Child & BreathworkLokasi: Pendopo utama dengan lampu temaram dan suara air gemericikRangkaian:Duduk dalam keheningan dengan posisi nyamanDipandu untuk membayangkan diri sebagai anak kecil usia 5-7 tahunMengajak anak kecil itu duduk bersama, memeluknya, dan mengatakan: “Maaf ya kamu sering sendirian. Sekarang aku di sini. Kamu tidak sendiri lagi.”Efek:Anya menangis dalam diam, melihat versi kecil dirinya yang sering memendam ta