Malam itu, setelah restoran tutup, Anya masih duduk di booth tarotnya sambil merapikan kartu-kartu yang tadi seharian dia pakai. Kepalanya masih dipenuhi dengan kata-kata Nathan."Hati-hati, Anya. Beberapa hal lebih baik nggak diungkap dengan tarot."Apa maksudnya? Kenapa rasanya seperti peringatan?Anya menghela napas panjang. Dia bukan tipe yang gampang parno, tapi instingnya bilang kalau pria itu bukan hanya pelanggan biasa.Saat dia sedang tenggelam dalam pikirannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal muncul di layar.Nomor Tak Dikenal:"Kita akan bertemu lagi. Jangan terlalu dalam menggali sesuatu yang belum saatnya diketahui."Jantung Anya langsung berdetak lebih cepat.Anya (dalam hati): "Gila! Ini pasti Nathan!"Dia mengetik cepat.Anya: "Lo siapa sebenarnya? Kenapa kirim pesan kayak gini?"Tidak ada balasan.Merasa nggak nyaman, Anya buru-buru membereskan barangnya dan keluar dari restoran. Saat berjalan menuju parkiran, dia merasa ada yang mengi
Reza menatap Anya dengan ekspresi serius, lalu bersandar di sofa apartemen Anya sambil melipat tangan di dada.Reza: "Jadi, kesibukan lo sekarang apa?"Anya meletakkan gelas kopi di meja dan tersenyum kecil.Anya: "Gue baru mulai kerja di restoran Rio. Jadi peramal tarot di booth kecil di sana."Reza mengangkat alis.Reza: "Peramal di restoran? Gimana tuh?"Anya mengangkat bahu.Anya: "Ya, seru. Booth gue rame, banyak yang penasaran. Bahkan ada yang datang tiap hari cuma buat ditarot lagi."Reza terkekeh.Reza: "Jadi lo udah punya fans?"Anya tertawa kecil, lalu menyesap kopinya.Anya: "Mungkin. Tapi yang lebih penting, ini pekerjaan yang gue suka."Reza mengangguk, lalu mendekat sedikit.Reza: "Gue juga punya kabar, nih."Anya menatapnya penasaran.Reza: "Sekarang gue udah dipercaya sama Papi. Gue yang pegang salah satu perusahaan keluarga, dan gue jadi CEO muda."Anya terbelalak.Anya: "Wow. Jadi akhirnya lo keluar dari kafe?"Reza tertawa.Reza: "Nggak. Kafe tetap ada, cuma sekaran
Anya menatap Nathan tanpa berkedip. Ada begitu banyak pertanyaan di kepalanya, tapi entah kenapa, mulutnya terasa terkunci.Nathan hanya duduk tenang, seolah menunggu Anya berbicara lebih dulu.Anya: "Lo hilang dua tahun. Tiba-tiba datang, minta bantuan. Gue harus percaya sama lo?"Nathan tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak lagi terasa akrab seperti dulu.Nathan: "Anya, gue nggak punya banyak waktu. Gue cuma bisa bilang, ada sesuatu yang harus lo tahu. Tapi kalau lo nggak mau terlibat, gue ngerti."Anya mengerutkan kening.Anya: "Kalau gue nolak, lo bakal pergi lagi?"Nathan diam sejenak, lalu mengangguk pelan.Nathan: "Iya."Anya menghela napas. Di satu sisi, dia ingin menjauh dari segala kerumitan ini. Tapi di sisi lain, rasa penasarannya terlalu besar.Dia menatap Nathan dengan serius.Anya: "Oke. Gue dengerin."Nathan menatapnya dalam-dalam, lalu bersandar ke kursinya.Nathan: "Lo masih ingat malam terakhir sebelum gue hilang?"Anya mengingatnya. Malam itu, Nathan mengirim pesan
Setelah makan malam yang penuh godaan, Anya pulang ke apartemennya dengan kepala penuh pertanyaan. Reza selalu berhasil membuatnya berdebar, tapi juga frustasi. Dia terlalu tenang, terlalu percaya diri.Saat hendak tidur, ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk.Reza: “Udah di apartemen? Jangan tidur terlalu malam.”Anya menatap layar sebentar sebelum membalas.Anya: “Iya. Lo sendiri?”Tak butuh waktu lama, pesan balasan datang.Reza: “Masih di jalan. Lo kepikiran gue, ya?”Anya mendengus, tapi senyum kecil muncul di bibirnya.Anya: “Lo yang gangguin gue terus.”Tidak ada balasan setelah itu. Anya akhirnya meletakkan ponselnya dan mencoba tidur.Namun, di tengah malam, dia terbangun dengan gelisah.Mimpi aneh datang lagi.Dalam mimpinya, dia melihat Reza berdiri di depan sebuah gedung besar. Wajahnya lebih serius dari biasanya, matanya menyimpan sesuatu yang kelam. Di sekelilingnya, ada beberapa pria berjas hitam berbicara dengan nada tegas. Salah satu dari mereka menyerahkan sebua
Anya menggigit bibirnya. Dia tahu, setelah ini tidak akan ada jalan kembali. Tapi dia butuh jawaban.Anya: "Gue mau tahu."Reza menatapnya lama, lalu menghela napas.Reza: "Gue bukan orang baik, Anya. Banyak hal yang nggak bisa gue ceritain ke lo. Tapi kalau lo tetap maksa, gue kasih sedikit clue."Anya mengangguk pelan.Reza: "Lo tahu gue anak orang kaya. Tapi gue gak pernah cerita gimana cara keluarga gue dapetin semua itu."Anya menelan ludah.Anya: "Maksud lo?"Reza melirik sekeliling, lalu merendahkan suaranya.Reza: "Dunia bisnis itu kotor, Anya. Lebih banyak permainan di belakang layar daripada yang lo bayangin."Anya mulai merasa ada yang aneh.Anya: "Lo bilang kayak gitu karena lo pernah terlibat?"Reza tersenyum miring.Reza: "Gue gak sepolos yang lo kira. Gue pernah ngalamin hal yang mungkin bakal bikin lo mikir ulang buat dekat sama gue."Anya mengerutkan kening.Anya: "Lo ngomong seakan-akan lo penjahat."Reza tertawa pelan, tapi tidak ada humor di matanya.Reza: "Bisa di
Anya tiba di restoran Rio dengan langkah mantap, meski hatinya masih penuh tanda tanya. Malam ini restoran tampak lebih sepi dibanding biasanya. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di sudut-sudut, menikmati makan malam mereka.Rio sudah menunggu di salah satu meja dekat jendela. Begitu melihat Anya, dia melambaikan tangan."Gue pesan teh hangat buat lo," kata Rio begitu Anya duduk. "Kelihatan lo butuh sesuatu yang nenangin."Anya menatapnya curiga. "Mau ngomong apa?"Rio menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Lo pernah denger nama Larasati, kan?"Anya langsung siaga. "Sering. Tapi nggak pernah ketemu orangnya. Siapa dia sebenarnya?"Rio menggulirkan jemarinya di atas meja, tampak ragu sebelum akhirnya bicara. "Larasati itu... dulu pacarnya Reza."Jantung Anya serasa berhenti berdetak sesaat. "Apa?"Rio mengangguk. "Dan lebih dari itu, dia juga anaknya mamiku."Otak Anya berusaha memproses informasi ini. "Jadi... dia adik tiri lo?""Iya." Rio menghela napas lagi. "T
Ponsel Anya bergetar di atas meja kafe, menampilkan nama Reza di layar. Anya melirik sekilas ke arah El sebelum mengangkat teleponnya."Halo?" suara Anya terdengar santai, tetapi ada sedikit ketegangan."Kamu di mana?" suara Reza terdengar dalam dan tajam."Di kafe.""Sama siapa?"Anya menghela napas. "Aku lagi ngobrol sama El."Hening. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban, lalu terdengar tarikan napas panjang dari Reza. "Kenapa kamu ketemu dia?"El mengangkat alis, sepertinya bisa menebak situasinya. Anya menjauhkan ponsel sedikit dari telinga, merasa suasana mulai berubah."Dia cuma cerita sesuatu. Bukan urusan besar.""Bukan urusan besar?" suara Reza sedikit meninggi. "Anya, dia pria yang pernah masuk penjara karena kasus kekerasan."Anya menggigit bibir. "Aku tahu, aku juga bukan anak kecil. Aku bisa jaga diri.""Dengar, aku nggak suka kamu sendirian sama dia."Anya memutar matanya. "Oh? Sejak kapan kamu punya hak buat atur siapa yang bisa aku temui?""Sejak aku peduli sama kamu."
Sesampainya di parkiran apartemen, Reza turun lebih dulu dan melepas helmnya. Anya mengikuti, melepaskan helm dan menyerahkannya pada Reza."Terima kasih sudah mengantarku," kata Anya, mencoba meredakan ketegangan.Reza menerima helm itu tanpa menjawab. Matanya masih tajam menatap Anya. "Kamu nggak akan ketemu El lagi, kan?"Anya mendesah. "Aku nggak bisa janji, Reza. Dia teman lama.""Teman lama yang punya kasus hukum. Kamu sendiri yang bilang kamu nggak suka red flag, kan?"Anya terdiam. Reza punya poin di situ.Tapi tetap saja, cara Reza mengontrolnya seperti ini membuatnya tidak nyaman. "Aku tahu kamu khawatir, tapi kamu nggak bisa maksa aku buat menjauhi seseorang."Reza mengusap wajahnya, tampak frustrasi. "Aku nggak maksa. Aku cuma..." Ia berhenti sejenak, seolah menahan diri. "Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa."Anya menatapnya lama. "Jadi ini karena kamu peduli?"Reza mendekat, hanya beberapa inci dari wajah Anya. Suaranya lebih rendah saat ia berkata, "Apa menurutmu aku
Sore itu, langit mendung menggantung di atas kota. Suasana tegang melingkupi ruang kerja Pak Bagas saat mereka merencanakan pertemuan dengan El.“Lokasinya di gudang kosong dekat pelabuhan Sunda Kelapa,” kata Pak Bagas, meletakkan ponselnya di meja setelah percakapan dengan El berakhir.Reza mengernyit. “Tempat itu terlalu sepi. Kalau ini jebakan, Pak Bagas bisa dalam bahaya.”Anya menatap peta yang dibentangkan Rio. "Kalau kita posisikan tim di tiga titik pengawasan ini, kita bisa pantau area tanpa El menyadari," usulnya sambil menunjuk lokasi strategis.Rio mengangguk setuju. “Aku akan pimpin tim pengintai. Reza, kamu jagain Anya.”Reza melirik Anya dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku nggak akan jauh darimu.”Beberapa jam kemudian, saat senja mulai jatuh, mereka bergerak ke lokasi. Pak Bagas masuk lebih dulu ke dalam gudang tua yang nyaris runtuh, sementara Reza, Rio, dan Anya bersembunyi di jarak aman, memantau dari teropong kecil.El sudah menunggu di dalam, wajahnya puc
Di sudut parkiran, El duduk di dalam mobil hitam dengan kaca gelap. Wajahnya pucat dan tegang. Ia memandangi foto Anya yang tergeletak di kursi penumpang, lalu menatap ponselnya yang tak berhenti bergetar. Nama Nathan muncul di layar.Dengan ragu, El menjawab panggilan itu."Aku tahu kau bertemu mereka, El," suara Nathan terdengar dingin di seberang. "Jangan lupa siapa yang membesarkanmu, siapa yang membayarmu selama ini. Kau tahu apa yang harus kau lakukan."El terdiam beberapa detik, lalu menjawab pelan, "Aku tak akan membiarkan mereka menghancurkan kita. Tapi… aku tidak akan sakiti Anya."Panggilan terputus. El menghela napas panjang dan menutup matanya, jelas gelisah. Kenangan masa kecilnya bersama Larasati, kembarannya All, dan keterlibatannya dalam jaringan Nathan kembali terlintas di benaknya.Sementara itu, di apartemen Anya, Reza dengan sigap memeriksa setiap sudut ruangan, memastikan tak ada alat penyadap atau kamera tersembunyi. Anya memandangi pria itu dengan hati yang han
Keesokan paginya, matahari Bali menyinari lembut balkon kamar penginapan Anya dan Reza. Suasana masih hening, hanya suara ombak yang terdengar samar dari kejauhan. Anya duduk di kursi rotan, matanya menatap kosong laut biru, pikirannya terus memutar kata-kata Guru Adarma.Reza keluar dari kamar membawa dua cangkir kopi hangat. Ia menyerahkan satu ke Anya, lalu duduk di sampingnya. “Masih kepikiran soal El dan Rio?”Anya mengangguk pelan. “Aku merasa semuanya belum selesai, Za. Perasaan aku nggak tenang.”Reza menarik napas dalam. “Kita selesaikan satu per satu, pelan-pelan. Kita sudah jauh sampai sini, Anya. Kita harus tetap kuat.”Tiba-tiba ponsel Anya bergetar. Pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. “Kalau kau ingin tahu siapa sebenarnya El dan keterkaitannya dengan Nathan, temui aku di kafe dekat apartemenmu, sepulang dari Bali.”Anya menunjukkan pesan itu pada Reza. Ia mengernyit curiga. “Kita harus hati-hati. Jangan-jangan jebakan.”Anya menggigit bibir. “Tapi kalau benar ad
Anya dan Reza saling bertukar pandang, kegelisahan mulai meresap. "Jadi, ini sudah waktunya," kata Anya, suaranya tenang meskipun ketakutan merayapi hatinya."Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain maju," jawab Reza, sambil menatap El yang sejak tadi diam. "El, apa yang kamu tahu tentang Rio? Dia lebih terlibat dalam permainan ini daripada yang kita kira."El yang sedari tadi terdiam, kini melangkah mendekat, matanya penuh keseriusan. "Rio… dia selalu ada di sekitar Nathan. Tapi aku rasa dia lebih dari sekadar sekutu. Aku pernah mendengar Nathan berbicara tentang Rio sebagai seseorang yang bisa ‘menyelesaikan pekerjaan kotor’. Itu berarti, kita menghadapi lebih dari sekadar ancaman biasa."Anya mengangguk, mengerti. "Jadi, kita harus memutar otak. Aku tidak akan menyerahkan apapun pada mereka."Reza menggenggam tangan Anya dengan erat. "Kita akan bertindak lebih cepat. Jika kita terus menunda, mereka akan lebih dulu bergerak."Malam itu, setelah pertemuan yang panjang, mereka me
Guru Adarma melangkah masuk dengan tenang. Tatapannya dalam, seolah bisa membaca pikiran Anya, Reza, dan El hanya dengan melihat sorot mata mereka. Ia duduk di kursi rotan dekat jendela, mengeluarkan sebuah map kulit tua yang terlihat usang.“Apa yang saya pegang ini,” ucapnya sambil meletakkan map di atas meja, “adalah salinan dokumen yang selama ini dicari Nathan dan orang-orangnya. Larasati sempat menyerahkannya padaku sebelum kecelakaan itu.”Anya membungkuk, jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membuka map tersebut. Di dalamnya ada salinan kontrak, rekening transfer ilegal, serta catatan rahasia tentang penyelundupan data yang melibatkan beberapa perusahaan besar.Reza memicingkan mata, membaca cepat isi dokumen. “Ini… bisa menghancurkan Nathan. Bukti ini cukup kuat untuk menyeret dia ke pengadilan.”Guru Adarma mengangguk pelan. “Benar. Tapi ada syaratnya, Anya.”Anya menegakkan badan, menatap Guru Adarma dengan tatapan penuh tanya.“Kau harus memastikan dokumen i
Sementara itu, di balik pepohonan, El berdiri diam. Dadanya berdegup kencang. Melihat Anya begitu tenang bersama Reza membuat hatinya berkonflik. Tugasnya jelas—mengambil kembali dokumen yang disimpan Anya dan memastikan Anya tidak akan membocorkan rahasia jaringan mereka. Tapi bayangan untuk menyakiti Anya membuatnya bimbang.“Fokus, El,” gumamnya sendiri, mencoba mengusir keraguan.Malam harinya, di penginapan sederhana yang mereka tempati, Anya memutuskan untuk melakukan meditasi lebih dalam. Ia menyalakan lilin dan duduk bersila, mencoba membaca energi siapa yang sebenarnya mengintai mereka.Dalam penglihatannya yang hening, bayangan sosok El muncul. Wajahnya samar, tapi tatapannya jelas. El tampak gelisah, seolah ingin bicara tapi tertahan sesuatu.Anya tersentak membuka mata. Jantungnya berdegup cepat. “El…” bisiknya. “Dia di sini.”Reza yang duduk tak jauh darinya langsung menghampiri. “El? Kau yakin?”Anya mengangguk. “Dia mengikuti kita. Aku harus bicara dengannya. Aku perlu
Keesokan paginya, Anya dan Reza tiba di sebuah desa kecil di lereng gunung, tempat di mana Guru Adarma tinggal. Udara sejuk dan pemandangan hamparan sawah menghiasi perjalanan mereka.Reza memarkirkan mobil di depan rumah kayu sederhana namun terawat. Seorang pria paruh baya berwajah teduh, berjanggut putih, dan mengenakan pakaian serba putih menyambut mereka di teras. Matanya tajam namun penuh ketenangan."Selamat datang, Anya… Reza," sapa Guru Adarma.Anya menunduk hormat. "Terima kasih sudah mau menerima kami, Guru."Guru Adarma mengangguk dan mempersilakan mereka masuk ke dalam. Di ruangan dalam, suasana hening dan damai. Aroma dupa lembut menyelimuti ruangan. Anya mengeluarkan map berisi dokumen yang didapatkannya, lalu meletakkannya di hadapan sang guru."Guru, saya perlu bimbingan Anda. Semua ini terlalu besar untuk saya pahami sendiri. Ini semua tentang ayah saya, tentang El, dan… tentang masa lalu yang terus menghantui saya," suara Anya lirih namun tegas.Guru Adarma membuka
Dengan penuh keberanian, Anya melangkah masuk. Ruangan dalam rumah remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu minyak di sudut. Di tengah ruangan ada seorang pria tua duduk di kursi goyang, wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun sorot matanya tajam mengamati Anya.“Aku yang kirim surat itu,” katanya perlahan. “Namaku Wiratma. Aku sahabat ayahmu dulu… dan aku tahu kenapa Larasati harus mati.”Anya menahan napas, jantungnya berdebar. “Tolong ceritakan semuanya…”Wiratma menunduk sejenak, lalu menatap Anya dengan mata sendu. “Ayahmu, Nathan… dia terlibat dalam jaringan pencucian uang dan perdagangan benda-benda antik ilegal sejak 30 tahun lalu. Larasati dulu mengetahui semuanya secara tak sengaja karena dia menemukan dokumen rahasia. Ia berusaha membongkar semuanya, tapi sayangnya… dia keburu dihabisi.”Anya tertegun. “Jadi… ayahku benar-benar…?”Wiratma mengangguk perlahan. “Sayangnya iya. Larasati terlalu dekat dengan kebenaran. Dan ada lebih banyak orang yang terlibat. Termasuk El
Dari balik pintu terdengar suara tenang, familiar.“Ini aku, Rio. Boleh masuk?”Reza menghela napas lega dan membuka pintu. Rio masuk dengan ekspresi serius. “Aku dengar kalian lagi dalam masalah. Aku bisa bantu?”Anya mendekat, ragu-ragu. “Dari mana kamu tahu?”Rio menunjukkan ponselnya. “Aku juga dapat pesan ancaman yang sama. Kayaknya mereka nggak cuma awasi kalian, tapi aku juga.”Reza mengernyit curiga. “Kamu yakin nggak ada keterlibatanmu, Rio?”Rio menatap Reza dengan sorot jujur. “Reza, aku suka Anya, iya. Tapi aku nggak sejahat itu. Aku nggak akan membahayakan dia.”Anya terdiam. Situasi ini makin rumit. Namun di tengah ketegangan itu, ia merasa satu hal pasti — ia tidak sendirian. Reza dan Rio, meskipun dalam posisi yang sulit, sama-sama ingin melindunginya.“Kalau begitu, ayo kita bertiga ke kantor polisi. Kita selesaikan ini sama-sama,” ujar Anya mantap.Reza dan Rio mengangguk. Mereka bertiga melangkah keluar apartemen, membawa bukti rekaman dan tekad kuat. Meski bayang-b