Anya menatap layar ponselnya, jantungnya berdegup kencang. Pesan dari nomor tak dikenal itu terasa seperti peringatan serius."Berhenti mencari tahu atau kamu akan bernasib sama seperti Larasati."Reza melihat ekspresi Anya yang tegang dan langsung merebut ponselnya. Matanya menyipit saat membaca pesan itu. "Sial! Ini berarti kita sudah diawasi."Rio menghela napas berat. "Gue gak suka ini. Kalau mereka bisa menghabisi Larasati, berarti mereka gak segan-segan buat menyingkirkan siapa pun yang mengancam rahasia mereka."Anya menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. "Tapi kita gak bisa mundur sekarang. Kita harus cari tahu siapa yang mengirim pesan ini dan sejauh mana keterlibatan Nathan."Reza mengangguk. "Kita harus berhati-hati. Gue bakal cek apakah kita bisa lacak nomor ini. Siapa tahu kita bisa tahu dari mana asal pesan ini dikirim."Rio menatap sekitar dengan gelisah. "Untuk sementara, kita harus lebih waspada. Jangan bergerak sendirian. Kalau mereka benar-benar berbahaya, k
Suara Larasati terdengar dari rekaman itu, suaranya bergetar, penuh ketakutan."Aku tahu semua tentang Nathan… tentang apa yang dia lakukan di balik semua ini. Aku nggak bisa diam aja. Aku harus kasih tahu seseorang. Kalau sesuatu terjadi padaku, tolong… cari kebenarannya.”Reza mengepalkan tangannya. "Sial, dia tahu sesuatu yang bisa membahayakan nyawanya."Rio meraih surat-surat yang ada di dalam kotak itu. "Ini dokumen keuangan… ada transfer besar ke rekening anonim. Dan lihat ini, ada catatan pengiriman seseorang ke luar negeri, tanpa identitas resmi."Anya menarik napas dalam. “Ini lebih besar dari yang kita kira.”Mereka bertiga saling bertukar pandang, sadar bahwa mereka baru saja menemukan bukti kuat tentang keterlibatan Nathan dalam sesuatu yang jauh lebih kelam dari dugaan mereka.Namun, sebelum mereka bisa mencerna semuanya, suara langkah kaki terdengar dari luar vila.Seseorang ada di sana.Dan mereka tidak datang dengan niat baik.**Suara langkah kaki mendekat semakin ce
Reza terus memacu mobilnya di jalanan yang semakin ramai. Klakson kendaraan lain bersahutan ketika ia menyalip dengan kecepatan tinggi. Anya menggenggam erat sabuk pengaman, jantungnya berdetak liar.“Mereka masih mengejar!” Rio berseru dari kursi belakang, matanya tak lepas dari kaca belakang. Dua motor itu tetap membuntuti mereka, bahkan semakin mendekat.Reza menekan pedal gas lebih dalam, mencoba mencari jalan keluar. Tapi tiba-tiba—jalan di depan mereka berakhir di sebuah gang buntu.“Sial!” Reza membanting setir ke kiri, namun ruang untuk berbelok terlalu sempit.Anya menoleh panik. “Kita harus keluar dari sini sekarang!”Motor pengejar berhenti beberapa meter dari mereka. Dua pria berpakaian hitam turun, salah satu dari mereka mengacungkan pistol ke arah mobil.Rio meraih pegangan pintu. “Kita harus lari ke dalam gang sebelum mereka menembak!”Reza dan Anya saling pandang sejenak, lalu mengangguk. Tanpa membuang waktu, mereka bertiga membuka pintu dan berlari ke gang kecil di s
Malam itu, Anya, Reza, dan Rio berkumpul di apartemen Reza untuk membahas langkah selanjutnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh informasi yang baru saja mereka temukan."Kita harus menemukan orang itu secepatnya," kata Reza dengan nada serius. "Kalau dia benar-benar tahu sesuatu tentang Nathan, dia mungkin dalam bahaya seperti Larasati dulu."Anya mengangguk, pikirannya masih tertuju pada sosok misterius dari masa lalu Nathan. "Siapa sebenarnya orang ini, Reza? Bagaimana kamu tahu dia bisa membantu?"Reza menghela napas dalam. "Aku pernah mendengar tentang dia dari Larasati sebelum dia meninggal. Namanya Adrian. Dia dulu bekerja untuk Nathan, tapi tiba-tiba menghilang tanpa jejak."Rio menyipitkan matanya. "Menghilang? Maksudmu dia mungkin sudah...""Tidak," potong Reza cepat. "Dia tidak mati. Aku yakin dia hanya bersembunyi. Dan jika kita bisa menemukannya, mungkin dia bisa memberi kita jawaban."Anya menggigit bibirnya, merasa cemas. "Tapi bagaimana kita bisa menemukannya? Kalau dia b
Anya merasakan ketegangan, detak jantungnya berpacu. Reza dan Rio saling bertukar pandang, mencari jalan keluar. Nathan masih berdiri di halaman, sementara seseorang yang tak terlihat semakin mendekat dari dalam rumah.“Kita harus keluar dari sini,” bisik Rio.Tanpa berpikir panjang, Reza meraih tangan Anya dan menariknya ke sisi balkon. Ada pohon besar di dekatnya, dengan cabang yang cukup kuat untuk menahan berat mereka.“Kita lompat ke sana,” ujar Reza mantap.Anya menelan ludah. Itu terlihat berbahaya, tapi lebih baik daripada terjebak di sini bersama Nathan.Rio melompat lebih dulu, mencengkeram cabang pohon dan dengan gesit turun ke tanah. Reza membantu Anya memanjat pagar balkon sebelum dia sendiri melompat turun dengan sigap.Mereka bertiga mendarat di rerumputan, napas memburu. Nathan tampak terkejut dengan aksi nekat mereka, tapi sebelum dia bisa bereaksi, mereka sudah berlari menembus pekarangan dan keluar dari area vila.“Ke mobil!” seru Rio.Namun, saat mereka hampir menc
Malam turun dengan angin yang menusuk, membawa bisikan yang sulit dijelaskan secara logika. Anya duduk di atas sajadah, menenangkan hatinya dengan dzikir. Tapi entah mengapa, malam itu berbeda. Ada aura berat yang memenuhi udara, seperti pertanda akan sesuatu.Telepon genggamnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal: “Aku belum tenang. Lihat ke cermin.”Anya tertegun. Napasnya tercekat, tapi perlahan ia bangkit dan melangkah ke depan cermin besar di sudut kamarnya.Awalnya tak ada yang aneh. Tapi dalam kerlip kecil lampu meja, bayangan Larasati muncul di belakangnya. Tak marah. Tak sedih. Hanya tatapan mata penuh pesan. Mulutnya bergerak pelan, tapi tak ada suara.Anya menatapnya lewat cermin. “Apa yang kamu inginkan dariku, Laras?”Bayangan itu menunduk, lalu menunjuk ke arah laci meja kecil di kamar. Anya mendekat, membukanya, dan menemukan satu buku catatan lama—bukan miliknya. Ia memeriksa halaman pertama: “Catatan Larasati.”Tangan Anya bergetar. Di halaman berikutnya te
Malam itu, setelah konfrontasi penuh emosi dengan Reza, Anya duduk di ruang tamu apartemennya. Cahaya lampu redup menemani kegelisahan dalam pikirannya. Di atas meja, kartu tarot yang tadi pagi ia gunakan masih berserakan.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil satu kartu secara acak.The Moon.Kartu kebohongan, ilusi, dan rahasia yang belum terungkap.Seolah semesta sedang berbicara. Anya menatap kartu itu lama, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Sudah cukup. Ini waktunya membuka semuanya, satu per satu.”Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal."Kau ingin tahu siapa yang membunuh Larasati? Temui aku di taman belakang gedung teater tua. Malam ini. Sendiri."Anya menelan ludah. Jantungnya berdetak cepat. Ia menatap ke luar jendela. Malam itu sunyi, tapi penuh firasat. Bukan hanya karena undangan misterius itu—tapi karena ia tahu, setiap langkah semakin mendekatkannya ke sisi tergelap dari kebenaran.Ia menggenggam ponsel erat-erat, lalu b
Anya berdiri terpaku di depan jendela apartemennya. Langit malam Jakarta membentang kelabu, seperti menyembunyikan rahasia yang tak terucapkan. Pikirannya penuh oleh isi flashdisk dan pesan ancaman yang baru saja masuk. Tapi kali ini, ia tidak ingin lari.Ia menarik napas panjang dan menatap pantulan wajahnya di kaca. “Larasati sudah cukup berani… sekarang giliranku.”Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Reza.“Halo?” suara Reza terdengar khawatir.“Kita harus bicara. Sekarang. Aku tahu siapa yang terlibat… dan aku tahu kenapa Larasati dibunuh.”Reza tak menjawab seketika, lalu berkata dengan pelan, “Aku datang.”Tak butuh waktu lama, Reza tiba di apartemen. Anya memutar video itu lagi untuknya. Reza duduk dengan tubuh menegang, sorot matanya berubah serius.“Ini bisa menghancurkan banyak orang, Anya.”“Aku tahu,” jawabnya mantap. “Tapi ini juga bisa jadi keadilan untuk Larasati. Dan… mungkin untuk orang-orang yang pernah dibungkam Nathan selama ini.”Reza menatapnya, kagum dan khaw
Reza menatap Anya dalam-dalam. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku memang ketemu Rio. Tapi bukan untuk hal yang buruk. Aku cuma ingin memastikan kamu aman, Anya. Aku serahkan semua bukti soal Nathan ke dia biar urusan itu selesai."Mata Anya berkaca-kaca. Ia merasa terharu sekaligus menyesal."Aku sayang sama kamu, Anya. Dan aku nggak akan berhenti lindungi kamu, seberat apa pun," lanjut Reza.Anya tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa tersenyum dan memeluk Reza erat. Di kejauhan, sosok Rio memperhatikan mereka dengan ekspresi rumit. Hatinya tersayat, karena ia sadar — ia kalah dalam cinta ini.***Keesokan paginya, suasana di vila mulai terasa lebih tenang. Anya bangun dengan perasaan damai setelah semalam berbagi cerita panjang dengan Reza. Hubungan mereka terasa semakin kuat setelah melewati banyak ujian.Reza mengajak Anya mengunjungi Pura Tirta Empul, tempat suci yang pernah mereka dengar dari Guru Adarma. Di sana, mereka berniat membersihkan pikiran dan hati,
Langit Bali sore itu berwarna jingga keemasan. Angin laut berembus lembut, membawa aroma asin yang menenangkan. Anya dan Reza tiba di sebuah vila tenang di tepi pantai Seminyak. Senyum Anya terlihat lebih lepas dibanding minggu-minggu sebelumnya.“Ini indah sekali, Reza…” Anya berkata sambil berdiri di balkon, memandangi matahari yang mulai terbenam.Reza mendekat, menaruh tangannya di pundak Anya. “Kamu butuh ketenangan setelah semua yang terjadi. Anggap saja ini awal yang baru.”Malamnya, mereka makan malam di sebuah restoran tepi pantai yang remang-remang dan romantis. Di meja, Reza tampak beberapa kali gelisah, seolah menunggu momen yang tepat. Anya yang peka mulai menyadarinya.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Anya lembut.Reza tersenyum kecil, kemudian menghela napas panjang. Ia merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil, dan membukanya. Cincin berlian sederhana namun elegan berkilau di dalamnya.“Anya… setelah semua yang sudah kita lalui, aku nggak mau ke
Sore itu, langit mendung menggantung di atas kota. Suasana tegang melingkupi ruang kerja Pak Bagas saat mereka merencanakan pertemuan dengan El.“Lokasinya di gudang kosong dekat pelabuhan Sunda Kelapa,” kata Pak Bagas, meletakkan ponselnya di meja setelah percakapan dengan El berakhir.Reza mengernyit. “Tempat itu terlalu sepi. Kalau ini jebakan, Pak Bagas bisa dalam bahaya.”Anya menatap peta yang dibentangkan Rio. "Kalau kita posisikan tim di tiga titik pengawasan ini, kita bisa pantau area tanpa El menyadari," usulnya sambil menunjuk lokasi strategis.Rio mengangguk setuju. “Aku akan pimpin tim pengintai. Reza, kamu jagain Anya.”Reza melirik Anya dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku nggak akan jauh darimu.”Beberapa jam kemudian, saat senja mulai jatuh, mereka bergerak ke lokasi. Pak Bagas masuk lebih dulu ke dalam gudang tua yang nyaris runtuh, sementara Reza, Rio, dan Anya bersembunyi di jarak aman, memantau dari teropong kecil.El sudah menunggu di dalam, wajahnya puc
Di sudut parkiran, El duduk di dalam mobil hitam dengan kaca gelap. Wajahnya pucat dan tegang. Ia memandangi foto Anya yang tergeletak di kursi penumpang, lalu menatap ponselnya yang tak berhenti bergetar. Nama Nathan muncul di layar.Dengan ragu, El menjawab panggilan itu."Aku tahu kau bertemu mereka, El," suara Nathan terdengar dingin di seberang. "Jangan lupa siapa yang membesarkanmu, siapa yang membayarmu selama ini. Kau tahu apa yang harus kau lakukan."El terdiam beberapa detik, lalu menjawab pelan, "Aku tak akan membiarkan mereka menghancurkan kita. Tapi… aku tidak akan sakiti Anya."Panggilan terputus. El menghela napas panjang dan menutup matanya, jelas gelisah. Kenangan masa kecilnya bersama Larasati, kembarannya All, dan keterlibatannya dalam jaringan Nathan kembali terlintas di benaknya.Sementara itu, di apartemen Anya, Reza dengan sigap memeriksa setiap sudut ruangan, memastikan tak ada alat penyadap atau kamera tersembunyi. Anya memandangi pria itu dengan hati yang han
Keesokan paginya, matahari Bali menyinari lembut balkon kamar penginapan Anya dan Reza. Suasana masih hening, hanya suara ombak yang terdengar samar dari kejauhan. Anya duduk di kursi rotan, matanya menatap kosong laut biru, pikirannya terus memutar kata-kata Guru Adarma.Reza keluar dari kamar membawa dua cangkir kopi hangat. Ia menyerahkan satu ke Anya, lalu duduk di sampingnya. “Masih kepikiran soal El dan Rio?”Anya mengangguk pelan. “Aku merasa semuanya belum selesai, Za. Perasaan aku nggak tenang.”Reza menarik napas dalam. “Kita selesaikan satu per satu, pelan-pelan. Kita sudah jauh sampai sini, Anya. Kita harus tetap kuat.”Tiba-tiba ponsel Anya bergetar. Pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. “Kalau kau ingin tahu siapa sebenarnya El dan keterkaitannya dengan Nathan, temui aku di kafe dekat apartemenmu, sepulang dari Bali.”Anya menunjukkan pesan itu pada Reza. Ia mengernyit curiga. “Kita harus hati-hati. Jangan-jangan jebakan.”Anya menggigit bibir. “Tapi kalau benar ad
Anya dan Reza saling bertukar pandang, kegelisahan mulai meresap. "Jadi, ini sudah waktunya," kata Anya, suaranya tenang meskipun ketakutan merayapi hatinya."Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain maju," jawab Reza, sambil menatap El yang sejak tadi diam. "El, apa yang kamu tahu tentang Rio? Dia lebih terlibat dalam permainan ini daripada yang kita kira."El yang sedari tadi terdiam, kini melangkah mendekat, matanya penuh keseriusan. "Rio… dia selalu ada di sekitar Nathan. Tapi aku rasa dia lebih dari sekadar sekutu. Aku pernah mendengar Nathan berbicara tentang Rio sebagai seseorang yang bisa ‘menyelesaikan pekerjaan kotor’. Itu berarti, kita menghadapi lebih dari sekadar ancaman biasa."Anya mengangguk, mengerti. "Jadi, kita harus memutar otak. Aku tidak akan menyerahkan apapun pada mereka."Reza menggenggam tangan Anya dengan erat. "Kita akan bertindak lebih cepat. Jika kita terus menunda, mereka akan lebih dulu bergerak."Malam itu, setelah pertemuan yang panjang, mereka me
Guru Adarma melangkah masuk dengan tenang. Tatapannya dalam, seolah bisa membaca pikiran Anya, Reza, dan El hanya dengan melihat sorot mata mereka. Ia duduk di kursi rotan dekat jendela, mengeluarkan sebuah map kulit tua yang terlihat usang.“Apa yang saya pegang ini,” ucapnya sambil meletakkan map di atas meja, “adalah salinan dokumen yang selama ini dicari Nathan dan orang-orangnya. Larasati sempat menyerahkannya padaku sebelum kecelakaan itu.”Anya membungkuk, jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membuka map tersebut. Di dalamnya ada salinan kontrak, rekening transfer ilegal, serta catatan rahasia tentang penyelundupan data yang melibatkan beberapa perusahaan besar.Reza memicingkan mata, membaca cepat isi dokumen. “Ini… bisa menghancurkan Nathan. Bukti ini cukup kuat untuk menyeret dia ke pengadilan.”Guru Adarma mengangguk pelan. “Benar. Tapi ada syaratnya, Anya.”Anya menegakkan badan, menatap Guru Adarma dengan tatapan penuh tanya.“Kau harus memastikan dokumen i
Sementara itu, di balik pepohonan, El berdiri diam. Dadanya berdegup kencang. Melihat Anya begitu tenang bersama Reza membuat hatinya berkonflik. Tugasnya jelas—mengambil kembali dokumen yang disimpan Anya dan memastikan Anya tidak akan membocorkan rahasia jaringan mereka. Tapi bayangan untuk menyakiti Anya membuatnya bimbang.“Fokus, El,” gumamnya sendiri, mencoba mengusir keraguan.Malam harinya, di penginapan sederhana yang mereka tempati, Anya memutuskan untuk melakukan meditasi lebih dalam. Ia menyalakan lilin dan duduk bersila, mencoba membaca energi siapa yang sebenarnya mengintai mereka.Dalam penglihatannya yang hening, bayangan sosok El muncul. Wajahnya samar, tapi tatapannya jelas. El tampak gelisah, seolah ingin bicara tapi tertahan sesuatu.Anya tersentak membuka mata. Jantungnya berdegup cepat. “El…” bisiknya. “Dia di sini.”Reza yang duduk tak jauh darinya langsung menghampiri. “El? Kau yakin?”Anya mengangguk. “Dia mengikuti kita. Aku harus bicara dengannya. Aku perlu
Keesokan paginya, Anya dan Reza tiba di sebuah desa kecil di lereng gunung, tempat di mana Guru Adarma tinggal. Udara sejuk dan pemandangan hamparan sawah menghiasi perjalanan mereka.Reza memarkirkan mobil di depan rumah kayu sederhana namun terawat. Seorang pria paruh baya berwajah teduh, berjanggut putih, dan mengenakan pakaian serba putih menyambut mereka di teras. Matanya tajam namun penuh ketenangan."Selamat datang, Anya… Reza," sapa Guru Adarma.Anya menunduk hormat. "Terima kasih sudah mau menerima kami, Guru."Guru Adarma mengangguk dan mempersilakan mereka masuk ke dalam. Di ruangan dalam, suasana hening dan damai. Aroma dupa lembut menyelimuti ruangan. Anya mengeluarkan map berisi dokumen yang didapatkannya, lalu meletakkannya di hadapan sang guru."Guru, saya perlu bimbingan Anda. Semua ini terlalu besar untuk saya pahami sendiri. Ini semua tentang ayah saya, tentang El, dan… tentang masa lalu yang terus menghantui saya," suara Anya lirih namun tegas.Guru Adarma membuka