Anya masih terdiam, memproses kata-kata maminya Rio. Ada sesuatu yang Larasati ketahui, sesuatu yang cukup besar hingga membuatnya terbunuh.Ponsel Anya tiba-tiba bergetar di dalam tasnya. Ia mengambilnya dan melihat sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Berhenti mencari tahu. Atau kamu akan bernasib sama."Darahnya berdesir. Anya menatap layar ponselnya dengan tegang."Kenapa?" tanya Reza pelan, melihat ekspresi Anya yang berubah.Anya menyerahkan ponselnya kepadanya. Reza membaca pesan itu, lalu rahangnya mengeras."Kita diawasi," gumamnya.Maminya Rio juga melihat pesan itu. Wajahnya semakin pucat. "Anya, lebih baik kamu mundur saja. Ini bukan urusan yang mudah."Tapi Anya menggeleng. Ada sesuatu yang lebih besar di balik kematian Larasati, dan kini seseorang mencoba menutupinya."Aku tidak bisa mundur sekarang," katanya tegas. "Larasati pantas mendapatkan keadilan."Reza menatapnya lekat-lekat. "Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati. Kita tidak tahu siapa yang mengirim pe
Anya menatap layar ponselnya, jantungnya berdegup kencang. Pesan dari nomor tak dikenal itu terasa seperti peringatan serius."Berhenti mencari tahu atau kamu akan bernasib sama seperti Larasati."Reza melihat ekspresi Anya yang tegang dan langsung merebut ponselnya. Matanya menyipit saat membaca pesan itu. "Sial! Ini berarti kita sudah diawasi."Rio menghela napas berat. "Gue gak suka ini. Kalau mereka bisa menghabisi Larasati, berarti mereka gak segan-segan buat menyingkirkan siapa pun yang mengancam rahasia mereka."Anya menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. "Tapi kita gak bisa mundur sekarang. Kita harus cari tahu siapa yang mengirim pesan ini dan sejauh mana keterlibatan Nathan."Reza mengangguk. "Kita harus berhati-hati. Gue bakal cek apakah kita bisa lacak nomor ini. Siapa tahu kita bisa tahu dari mana asal pesan ini dikirim."Rio menatap sekitar dengan gelisah. "Untuk sementara, kita harus lebih waspada. Jangan bergerak sendirian. Kalau mereka benar-benar berbahaya, k
Suara Larasati terdengar dari rekaman itu, suaranya bergetar, penuh ketakutan."Aku tahu semua tentang Nathan… tentang apa yang dia lakukan di balik semua ini. Aku nggak bisa diam aja. Aku harus kasih tahu seseorang. Kalau sesuatu terjadi padaku, tolong… cari kebenarannya.”Reza mengepalkan tangannya. "Sial, dia tahu sesuatu yang bisa membahayakan nyawanya."Rio meraih surat-surat yang ada di dalam kotak itu. "Ini dokumen keuangan… ada transfer besar ke rekening anonim. Dan lihat ini, ada catatan pengiriman seseorang ke luar negeri, tanpa identitas resmi."Anya menarik napas dalam. “Ini lebih besar dari yang kita kira.”Mereka bertiga saling bertukar pandang, sadar bahwa mereka baru saja menemukan bukti kuat tentang keterlibatan Nathan dalam sesuatu yang jauh lebih kelam dari dugaan mereka.Namun, sebelum mereka bisa mencerna semuanya, suara langkah kaki terdengar dari luar vila.Seseorang ada di sana.Dan mereka tidak datang dengan niat baik.**Suara langkah kaki mendekat semakin ce
Reza terus memacu mobilnya di jalanan yang semakin ramai. Klakson kendaraan lain bersahutan ketika ia menyalip dengan kecepatan tinggi. Anya menggenggam erat sabuk pengaman, jantungnya berdetak liar.“Mereka masih mengejar!” Rio berseru dari kursi belakang, matanya tak lepas dari kaca belakang. Dua motor itu tetap membuntuti mereka, bahkan semakin mendekat.Reza menekan pedal gas lebih dalam, mencoba mencari jalan keluar. Tapi tiba-tiba—jalan di depan mereka berakhir di sebuah gang buntu.“Sial!” Reza membanting setir ke kiri, namun ruang untuk berbelok terlalu sempit.Anya menoleh panik. “Kita harus keluar dari sini sekarang!”Motor pengejar berhenti beberapa meter dari mereka. Dua pria berpakaian hitam turun, salah satu dari mereka mengacungkan pistol ke arah mobil.Rio meraih pegangan pintu. “Kita harus lari ke dalam gang sebelum mereka menembak!”Reza dan Anya saling pandang sejenak, lalu mengangguk. Tanpa membuang waktu, mereka bertiga membuka pintu dan berlari ke gang kecil di s
Malam itu, Anya, Reza, dan Rio berkumpul di apartemen Reza untuk membahas langkah selanjutnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh informasi yang baru saja mereka temukan."Kita harus menemukan orang itu secepatnya," kata Reza dengan nada serius. "Kalau dia benar-benar tahu sesuatu tentang Nathan, dia mungkin dalam bahaya seperti Larasati dulu."Anya mengangguk, pikirannya masih tertuju pada sosok misterius dari masa lalu Nathan. "Siapa sebenarnya orang ini, Reza? Bagaimana kamu tahu dia bisa membantu?"Reza menghela napas dalam. "Aku pernah mendengar tentang dia dari Larasati sebelum dia meninggal. Namanya Adrian. Dia dulu bekerja untuk Nathan, tapi tiba-tiba menghilang tanpa jejak."Rio menyipitkan matanya. "Menghilang? Maksudmu dia mungkin sudah...""Tidak," potong Reza cepat. "Dia tidak mati. Aku yakin dia hanya bersembunyi. Dan jika kita bisa menemukannya, mungkin dia bisa memberi kita jawaban."Anya menggigit bibirnya, merasa cemas. "Tapi bagaimana kita bisa menemukannya? Kalau dia b
Anya merasakan ketegangan, detak jantungnya berpacu. Reza dan Rio saling bertukar pandang, mencari jalan keluar. Nathan masih berdiri di halaman, sementara seseorang yang tak terlihat semakin mendekat dari dalam rumah.“Kita harus keluar dari sini,” bisik Rio.Tanpa berpikir panjang, Reza meraih tangan Anya dan menariknya ke sisi balkon. Ada pohon besar di dekatnya, dengan cabang yang cukup kuat untuk menahan berat mereka.“Kita lompat ke sana,” ujar Reza mantap.Anya menelan ludah. Itu terlihat berbahaya, tapi lebih baik daripada terjebak di sini bersama Nathan.Rio melompat lebih dulu, mencengkeram cabang pohon dan dengan gesit turun ke tanah. Reza membantu Anya memanjat pagar balkon sebelum dia sendiri melompat turun dengan sigap.Mereka bertiga mendarat di rerumputan, napas memburu. Nathan tampak terkejut dengan aksi nekat mereka, tapi sebelum dia bisa bereaksi, mereka sudah berlari menembus pekarangan dan keluar dari area vila.“Ke mobil!” seru Rio.Namun, saat mereka hampir menc
Malam turun dengan angin yang menusuk, membawa bisikan yang sulit dijelaskan secara logika. Anya duduk di atas sajadah, menenangkan hatinya dengan dzikir. Tapi entah mengapa, malam itu berbeda. Ada aura berat yang memenuhi udara, seperti pertanda akan sesuatu.Telepon genggamnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal: “Aku belum tenang. Lihat ke cermin.”Anya tertegun. Napasnya tercekat, tapi perlahan ia bangkit dan melangkah ke depan cermin besar di sudut kamarnya.Awalnya tak ada yang aneh. Tapi dalam kerlip kecil lampu meja, bayangan Larasati muncul di belakangnya. Tak marah. Tak sedih. Hanya tatapan mata penuh pesan. Mulutnya bergerak pelan, tapi tak ada suara.Anya menatapnya lewat cermin. “Apa yang kamu inginkan dariku, Laras?”Bayangan itu menunduk, lalu menunjuk ke arah laci meja kecil di kamar. Anya mendekat, membukanya, dan menemukan satu buku catatan lama—bukan miliknya. Ia memeriksa halaman pertama: “Catatan Larasati.”Tangan Anya bergetar. Di halaman berikutnya te
Malam itu, setelah konfrontasi penuh emosi dengan Reza, Anya duduk di ruang tamu apartemennya. Cahaya lampu redup menemani kegelisahan dalam pikirannya. Di atas meja, kartu tarot yang tadi pagi ia gunakan masih berserakan.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil satu kartu secara acak.The Moon.Kartu kebohongan, ilusi, dan rahasia yang belum terungkap.Seolah semesta sedang berbicara. Anya menatap kartu itu lama, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Sudah cukup. Ini waktunya membuka semuanya, satu per satu.”Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal."Kau ingin tahu siapa yang membunuh Larasati? Temui aku di taman belakang gedung teater tua. Malam ini. Sendiri."Anya menelan ludah. Jantungnya berdetak cepat. Ia menatap ke luar jendela. Malam itu sunyi, tapi penuh firasat. Bukan hanya karena undangan misterius itu—tapi karena ia tahu, setiap langkah semakin mendekatkannya ke sisi tergelap dari kebenaran.Ia menggenggam ponsel erat-erat, lalu b
Langit malam di Bali mulai gelap pekat. Aroma dupa dari Pura Guru Adarma semakin menyebar, membungkus suasana dengan keheningan dan kesakralan. Anya duduk bersila di dalam lingkaran pelindung bersama Reza dan Rio. Di hadapan mereka, Guru Adarma menutup mata, tangan beliau membentuk mudra kuno, mulutnya terus melantunkan mantra dengan suara stabil.Cahaya lilin di sekeliling mereka tampak bergetar. Liontin di leher Anya bersinar samar, rona keemasan menyelimuti tubuhnya perlahan. Energi perlindungan mulai terbentuk sempurna.Namun, di luar pagar pura, Bram, Rangga, dan Andre sudah memulai gerakannya. Andre mengeluarkan kain hitam bertuliskan aksara kuno yang telah dirapal mantra hitam."Begitu ini ditempelkan di gerbang, pagar pelindung pura mereka akan melemah," gumam Andre dengan suara serak.Rangga mengangguk. "Cepat, sebelum energi perlindungan mereka sempurna."Dengan cekatan, Andre menempelkan kain itu di pintu gerbang pura. Angin malam mendadak berhembus kencang, langit yang se
Pagi itu, udara di Jakarta terasa lebih sejuk dari biasanya. Anya terbangun dengan perasaan sedikit lebih tenang setelah pesan suara dari Guru Adarma semalam. Ia segera menelepon Reza dan Rio, mengajak mereka bertemu di kafe langganan dekat apartemen.Saat mereka bertiga duduk bersama, Anya mengeluarkan ponselnya dan memutar ulang pesan suara itu. Suara Guru Adarma kembali menggema, membuat mereka semua saling pandang penuh arti.Rio mengernyit.“Kalau Guru Adarma sampai menghubungi, berarti ini bukan ancaman biasa. Beliau orang yang sensitif secara spiritual, kita harus anggap serius.”Reza mengangguk, wajahnya tenang namun penuh perhatian.“Anya, aku rasa kita perlu ke Bali lagi. Kita harus bertemu Guru Adarma. Mungkin beliau punya petunjuk yang bisa membantu kita menghadapi ancaman ini.”Anya menatap Reza, ada keraguan di matanya, tapi juga harapan.“Baik. Kita berangkat akhir pekan ini.”Sementara itu, Dimas tetap di Jakarta untuk menjaga pengamanan digital dan fisik mereka. Ia me
Pagi harinya, udara Jakarta yang biasanya bising terasa semakin mencekam bagi Anya dan Reza. Meski berita besar sudah tersebar luas, mereka sadar — bahaya justru mulai mendekat.Di ruang tamu apartemen, Anya, Reza, Arman, Maya, dan Pak Surya duduk melingkar, mendiskusikan langkah selanjutnya. Ponsel Anya terus berbunyi — pesan dukungan, permintaan wawancara, dan… pesan ancaman anonim.Pak Surya menekankan, “Mulai hari ini, kita harus tingkatkan keamanan. Jangan bepergian sendirian. Kalau perlu, kita pakai jasa pengamanan pribadi untuk sementara waktu.”Reza menggenggam tangan Anya erat. “Aku gak akan lepas kamu. Kita lewati semua ini sama-sama.”Maya menimpali dengan tegas, “Aku sudah hubungi temanku yang di LSM. Mereka bisa bantu awasi dan beri perlindungan kalau situasi makin panas.”Sementara itu, di tempat lain, Bram dan Andre bertemu di sebuah vila tersembunyi milik salah satu kolega mereka. Wajah Andre gelap penuh amarah.“Kalau data ini terus tersebar, kita selesai. Kita butuh
Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi itu rumah Arman terasa lebih tenang. Anya duduk di meja makan, menatap secangkir teh hangat yang mengepul perlahan. Reza dan Arman duduk di ruang tamu, membicarakan langkah selanjutnya, sementara Maya sesekali melirik ke arah pintu jendela, masih dibayangi kecemasan.Reza bangkit dari kursi dan menghampiri Anya. Tangannya lembut menyentuh bahu perempuan yang dicintainya itu.“Kita sudah sangat dekat, Anya. Data dari Maya bisa jadi kunci utama untuk membuka semuanya,” ucapnya dengan nada yakin.Anya mengangguk pelan. “Aku tahu… Tapi aku masih penasaran satu hal, Reza. Kenapa Bram dan Andre begitu berani? Seolah-olah mereka tak takut dengan siapa pun.”Arman yang mendengar itu ikut bergabung. Ia menatap serius, lalu berkata,“Karena mereka punya orang dalam di lembaga hukum. Polisi, jaksa, bahkan beberapa petinggi bisnis yang melindungi mereka. Kalau kita mau menang, kita harus cari cara agar data ini sampai ke tangan yang bersih.”Maya tiba-ti
Anya menunjukkan pesan itu ke Reza.Mereka saling bertukar pandang — firasat mereka mengatakan, malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh jawaban.***Matahari mulai condong ke barat saat Reza dan Anya kembali ke apartemen untuk bersiap. Suasana hening sepanjang perjalanan; keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing tentang pesan misterius yang baru saja mereka terima.Pukul 18.45, mereka sudah tiba di Kafe Seroja — kafe kecil bergaya vintage dengan interior kayu dan lampu temaram. Kafe itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung yang asyik dengan kopi dan laptop mereka.Reza memilih meja di sudut ruangan yang menghadap pintu masuk. Anya duduk di seberangnya, matanya sesekali melirik ke sekitar. Tepat pukul 19.00, pintu kafe berderit terbuka.Masuklah seorang pria paruh baya, berjaket hitam dan celana kain gelap. Rambutnya sudah memutih di pelipis, namun sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. Ia melangkah mantap ke arah meja mereka dan duduk tanpa diundang.“
"Ini bukan orang biasa," gumam Reza. "Namanya Harun. Dulu dia pengacara gelap yang pernah terkait dengan kasus korupsi besar-besaran, tapi lolos karena kurang bukti."Rangga mengangguk. "Benar. Aku juga temukan bahwa Andre dan Harun bekerja sama untuk menguasai salah satu perusahaan properti warisan milik keluarga Nathan. Mereka ingin mengalihkan aset besar ke rekening luar negeri menggunakan dokumen palsu."Anya mengernyit. "Tapi bukankah aset-aset itu masih dalam proses hukum setelah Nathan tertangkap?""Justru itu. Mereka memanfaatkan kekosongan dan celah hukum. Kalau mereka berhasil, bisa jadi semua properti itu lenyap tanpa jejak," jelas Rangga.Reza mengepalkan tangan, rahangnya mengeras."Kita nggak bisa diam saja. Aku punya beberapa kolega di kejaksaan yang bisa bantu percepat proses blokir aset. Tapi kita butuh bukti konkret keterlibatan Andre dan Harun."Rangga tersenyum tipis dan menarik satu amplop cokelat dari tasnya."Aku sudah siapkan ini. Ada rekaman percakapan dan sal
Malam di vila. Meski suasana tampak tenang, ketegangan masih terasa di antara Anya dan Reza setelah pesan misterius dari orang berinisial “A” siang tadi.Reza memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat, lalu memeriksa kamera CCTV tambahan yang baru dipasang oleh tim pengamanan yang ia sewa."Semua aman. Jangan khawatir. Aku sudah perketat penjagaan," ucap Reza lembut sambil mengelus rambut Anya.Anya mencoba tersenyum, meski pikirannya masih berputar."Aku percaya sama kamu, Reza. Tapi aku juga ingin tahu siapa A sebenarnya dan apa tujuannya."Reza menatap mata Anya dalam-dalam."Kita akan cari tahu. Besok kita pulang ke Jakarta. Aku sudah atur pertemuan dengan penyelidik swasta yang biasa aku pakai untuk urusan kantor. Kita akan selesaikan ini sampai tuntas."Keesokan harinya, setelah kembali ke Jakarta, Reza membawa Anya bertemu penyelidik swasta bernama Rangga. Pria berperawakan tegas itu langsung memeriksa nomor pengirim pesan misterius.Beberapa jam kemudian, Rangga datang
Reza menatap Anya dalam-dalam. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku memang ketemu Rio. Tapi bukan untuk hal yang buruk. Aku cuma ingin memastikan kamu aman, Anya. Aku serahkan semua bukti soal Nathan ke dia biar urusan itu selesai."Mata Anya berkaca-kaca. Ia merasa terharu sekaligus menyesal."Aku sayang sama kamu, Anya. Dan aku nggak akan berhenti lindungi kamu, seberat apa pun," lanjut Reza.Anya tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa tersenyum dan memeluk Reza erat. Di kejauhan, sosok Rio memperhatikan mereka dengan ekspresi rumit. Hatinya tersayat, karena ia sadar — ia kalah dalam cinta ini.***Keesokan paginya, suasana di vila mulai terasa lebih tenang. Anya bangun dengan perasaan damai setelah semalam berbagi cerita panjang dengan Reza. Hubungan mereka terasa semakin kuat setelah melewati banyak ujian.Reza mengajak Anya mengunjungi Pura Tirta Empul, tempat suci yang pernah mereka dengar dari Guru Adarma. Di sana, mereka berniat membersihkan pikiran dan hati,
Langit Bali sore itu berwarna jingga keemasan. Angin laut berembus lembut, membawa aroma asin yang menenangkan. Anya dan Reza tiba di sebuah vila tenang di tepi pantai Seminyak. Senyum Anya terlihat lebih lepas dibanding minggu-minggu sebelumnya.“Ini indah sekali, Reza…” Anya berkata sambil berdiri di balkon, memandangi matahari yang mulai terbenam.Reza mendekat, menaruh tangannya di pundak Anya. “Kamu butuh ketenangan setelah semua yang terjadi. Anggap saja ini awal yang baru.”Malamnya, mereka makan malam di sebuah restoran tepi pantai yang remang-remang dan romantis. Di meja, Reza tampak beberapa kali gelisah, seolah menunggu momen yang tepat. Anya yang peka mulai menyadarinya.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Anya lembut.Reza tersenyum kecil, kemudian menghela napas panjang. Ia merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil, dan membukanya. Cincin berlian sederhana namun elegan berkilau di dalamnya.“Anya… setelah semua yang sudah kita lalui, aku nggak mau ke