“Kau harus menghadapi pilihan terdalam dalam dirimu. Siapa yang benar-benar kau percaya? Dan… siapa dirimu sebenarnya.”Seketika, salah satu cermin pecah, dan El muncul dari pecahan itu. Ia menatap Anya dengan mata penuh luka.“Aku selalu ada untukmu,” ujar El. “Dari awal, aku yang mendekatimu… bukan dia.”“Tapi aku juga bagian dari yang kau cintai,” potong All. “Kau tahu itu di hatimu.”Lorong itu mulai bergetar, dan lantainya retak. Cermin-cermin lain mulai menunjukkan masa depan yang berbeda—satu di mana Anya bersama El, damai namun penuh misteri. Satu lagi di mana ia bersama All, kuat namun penuh risiko.“Pilih sekarang!” gema suara dari langit-langit Ruang Bayangan.Anya menutup matanya. Ingatan demi ingatan melintas… semua rasa sakit, semua kehangatan, semua kebingungan. Tapi di tengah semua itu, ia tahu: bukan hanya tentang memilih siapa. Tapi tentang menerima semua sisi dalam dirinya—termasuk sisi bayangan.“Aku memilih untuk menyatukan kalian,” katanya tegas. “Aku tidak akan
Sebuah foto gelap, agak buram. Tampak seorang laki-laki berdiri di depan pintu apartemen lantai 12. Pintu apartemennya.Anya menahan napas.Bukan Reza.Bukan Rio.Dan bukan siapa pun yang ia kenal.Ia segera beranjak dari meja, meraih tas, lalu melangkah cepat keluar dari booth-nya. Tapi langkahnya terhenti saat seseorang berdiri di hadapannya—All.“All?” Anya hampir tak percaya.Namun All hanya menatapnya dengan mata tajam dan berkata pelan, “Kamu harus tahu… ini belum berakhir.”***Anya terpaku. Kalimat All seperti pisau yang perlahan menembus kulit kesadarannya."Kamu harus tahu… ini belum berakhir."“All… kamu maksud apa?” tanya Anya, suaranya bergetar antara marah dan takut.All menatap sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar mereka, lalu menarik tangan Anya ke sudut lorong dekat tangga darurat. Bayangan neon restoran tak menjangkau tempat itu, hanya sisa cahaya dari papan iklan yang bergetar samar di dinding.“Selama ini kamu pikir kamu sudah mengenal El… tapi El tidak pe
Malam itu, setelah kembali ke apartemen, Anya tidak bisa tidur. Tubuhnya terbaring di kasur, namun pikirannya terus melayang. Wajah Nathan, Larasati, El, All, dan... Reza—semuanya saling bersilangan dalam benaknya.Ia memejamkan mata, mencoba meditasi ringan. Tapi yang datang justru bukan ketenangan, melainkan mimpi yang aneh dan terasa sangat nyata.Dalam mimpinya, Anya berdiri di tengah hutan berkabut. Di hadapannya ada sebuah pintu berdiri sendiri, tak tertempel pada dinding mana pun. Pintu kayu tua, sama persis seperti yang ia lihat di rumah tua El.Suara Larasati terdengar samar, memanggil namanya dari balik pintu.“Anya… kamu harus lihat ini… sebelum semuanya terlambat.”Dengan tangan gemetar, Anya mendorong pintu itu. Ia masuk dan mendapati sebuah ruangan berbentuk bundar dengan cermin besar di dinding. Dalam cermin, ia melihat bukan dirinya… tapi Nathan muda, bersama seorang perempuan—ibunya Anya.Mereka berbicara serius. Lalu, ibunya menyerahkan sebuah kalung dengan batu hita
Dengan ragu, ia membukanya.Isinya adalah beberapa surat tua... dan satu jurnal kulit yang diikat dengan tali. Di sampulnya tertulis dengan tinta emas:"Milik: N.""Nathan " bisik Anya.Reza mendekat. "Ini... bisa jadi rahasia yang Larasati tahu."Anya membuka halaman pertama.Dan di sana tertulis:"Hanya yang terpilih bisa membuka kebenaran. Siapa pun yang membaca ini, bersiaplah menghadapi sisi tergelap dari cahaya."***Halaman-halaman awal jurnal Nathan dipenuhi dengan catatan yang nyaris seperti mantra. Tinta emasnya memudar, namun tiap baris memancarkan energi yang sulit dijelaskan. Anya merasakannya seperti arus listrik lembut yang mengalir di ujung jarinya.Reza duduk di sampingnya, menatap dengan tatapan tajam. “Kau yakin mau baca semuanya sekarang?”Anya mengangguk. “Larasati mati karena ini. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya ia temukan.”Ia membuka halaman ketiga belas. Di sana terdapat diagram kompleks, berisi lingkaran dan segitiga bertumpuk, dengan nama-nama kuno tertul
Anya menahan napas. Matanya terpaku pada pria bertudung yang perlahan melangkah masuk ke dalam ruang bawah tanah. Cahaya redup dari senter yang digenggam Reza menyorot wajahnya—nyaris identik dengan El, namun ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya lebih tajam, lebih dingin, namun ada luka mendalam di balik senyumnya.“All?” tanya Anya lagi, suaranya nyaris berbisik.Pria itu mengangguk pelan. “Aku... adalah bayangan yang mereka sembunyikan. Saudara yang dilupakan. Dan kau, Anya... kau terlalu dalam masuk ke pusaran yang mereka bangun bertahun-tahun.”Reza maju selangkah, melindungi Anya secara refleks. “Apa maksudmu? Kau tahu tentang kematian Larasati?”All menghela napas. “Aku tahu segalanya. Larasati... dia adik tiriku. Dia tahu kebenaran tentang siapa Nathan sebenarnya. Dia tahu bahwa kami berdua—aku dan El—bukan hanya anak asuh. Kami adalah bagian dari ritual... eksperimen spiritual yang dibangun oleh Nathan dan para leluhur yang terobsesi dengan ilmu gelap.”Anya terdiam. Dunia yan
Malam itu, Anya tertidur dengan kepala penuh pertanyaan, namun hatinya lebih tenang daripada malam-malam sebelumnya. Ada sesuatu dalam sorot mata All—campuran rasa bersalah, perlindungan, dan keyakinan—yang membuat Anya merasa dijaga.Dalam tidurnya, Anya kembali ke sebuah tempat yang pernah ia lihat dalam mimpi: hutan berkabut, danau hitam, serta sebuah batu besar bertuliskan simbol kuno. Kali ini, ia tidak sendiri. Sosok Larasati berdiri di seberang danau, mengenakan gaun putih yang diterpa angin."Aku tahu kamu akan ke sini lagi," suara Larasati menggema lembut. "Sudah waktunya kamu membuka kunci itu.""Kunci apa?" tanya Anya.Larasati mengangkat tangan dan menunjuk ke batu. Tiba-tiba, batu itu memendar cahaya keemasan, membentuk pola-pola aneh yang berkilau. Anya mendekat dan menyentuhnya. Begitu jarinya menyentuh permukaan, cahaya mengalir masuk ke tubuhnya—hangat, kuat, dan tak terbendung."Apa ini?" Anya terengah."Pengetahuan. Kebenaran. Dan kekuatan dari garismu."Dalam sekej
Kilatan cahaya samar muncul di antara asap dupa yang mulai menebal. Anya menahan napas saat simbol-simbol samar mulai muncul di permukaan meja altar—seperti ukiran cahaya yang menari-nari, membentuk pola yang belum pernah ia lihat sebelumnya.Reza mencondongkan tubuh. “Apa itu? Seperti kode…”All mengangguk pelan. “Itu bukan sembarang simbol. Itu adalah bahasa cahaya, kode dari leluhur spiritual yang hanya bisa dibaca oleh penjaga garis darah tertentu.”Anya mengusap pelan satu simbol yang paling terang, jari-jarinya seperti kesetrum energi hangat. Dalam sekejap, bayangan muncul di benaknya—gambar seorang perempuan berpakaian putih duduk di bawah pohon besar, dikelilingi burung dan cahaya.“Itu… nenekku?” Anya menatap All. “Aku pernah lihat foto ini waktu kecil.”All menjawab, “Dia salah satu penjaga pertama gerbang cahaya dari garis keturunanmu. Ia menyimpan kekuatan itu sampai waktunya datang untuk diturunkan padamu.”“Dan waktunya sekarang?” tanya Reza.Anya menarik napas dalam. “K
“El...” suara Anya tercekat, tetapi sebelum ia sempat menambah kata, Reza sudah menghampiri.“El, cukup,” ucap Reza tegas, penuh perlindungan, lalu menatap Anya. “Kamu nggak perlu mendengarkan dia sekarang. Yuk.”El hanya memandangi mereka berdua, lalu pergi dengan langkah cepat, tak menoleh lagi.Reza menggenggam tangan Anya. “Aku udah pesan tiket. Kita pergi hari ini. Kamu butuh udara segar.”Anya menatap Reza lekat-lekat, lalu mengangguk. “Ke mana kita?”“Temui seseorang yang bisa bantu kamu memahami semuanya... Guru Adarma.”Perjalanan menuju daerah pegunungan itu memakan waktu beberapa jam. Udara dingin menyambut mereka ketika sampai di pelataran rumah kayu sederhana milik Guru Adarma—seorang pria tua berjubah abu-abu, dengan tatapan yang menembus jiwa.“Anya... akhirnya kamu datang,” ucapnya sebelum Anya sempat memperkenalkan diri. “Kamu membawa luka dan tanya. Tapi juga membawa cahaya.”Anya menggenggam tangan Reza lebih erat.“Guru, tolong bantu kami memahami semuanya,” pinta
Farel akhirnya mengungkapkan, bahwa bertahun-tahun lalu saat Reza masih kuliah, ia pernah terseret dalam sebuah kasus bisnis gelap yang melibatkan penipuan investasi. Meskipun Reza saat itu akhirnya keluar dari lingkaran tersebut dan membenahi hidupnya, rekam jejak itu masih ada dan beberapa orang dari masa lalu itu mulai kembali muncul di Jakarta.“Aku tidak mengatakan Reza orang jahat. Justru dia keluar dari lingkaran itu dengan susah payah. Tapi aku khawatir, mereka yang dulu pernah terlibat bisa mencoba mendekati kalian lagi, bahkan memanfaatkan momen pernikahan kalian untuk balas dendam,” jelas Farel dengan serius.Anya terdiam lama. Pandangannya jatuh pada Reza, yang kini menunduk, wajahnya diliputi rasa bersalah.“Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini ke aku?” bisik Anya.Reza menghela napas dalam.“Aku takut kamu nggak bisa terima masa lalu aku. Aku ingin kamu melihat aku yang sekarang… bukan yang dulu.”Suasana menjadi hening. Namun beberapa menit kemudian, Anya menggengga
Hari-hari Anya dan Reza semakin padat dengan persiapan pernikahan. Di tengah-tengah kesibukan itu, Reza sesekali mengajak Anya meluangkan waktu berdua untuk sekadar makan malam santai atau berjalan-jalan sore, agar mereka tak tenggelam dalam stres persiapan.Sementara itu, Rio, yang diam-diam memendam rasa kepada Anya sejak lama, mulai terlihat berbeda. Ia semakin sering menawarkan bantuan untuk segala hal, bahkan hal-hal kecil. Suatu sore saat mereka bertiga berkumpul untuk rapat vendor, Rio menatap Anya lebih lama dari biasanya. Rina, yang menyadari hal itu, menarik Rio ke samping setelah rapat.“Rio, kamu harus hati-hati dengan perasaanmu. Anya sudah akan menikah dengan Reza,” ujar Rina pelan tapi tegas.Rio menunduk, bibirnya menekan.“Aku tahu, Rin. Aku cuma… aku nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa. Aku suka dia, dari dulu.”Rina menepuk bahu Rio.“Kamu sahabat mereka berdua. Jangan rusak itu. Kalau kamu memang sayang Anya, kamu harus ikut bahagia lihat dia bahagia.”Rio meng
Anya tertawa pelan sambil menunjukkan pesan itu pada Reza.“Kayaknya sahabatku sudah nggak sabar ikut heboh.”Hari itu mereka kembali ke Jakarta dengan hati penuh rencana. Setibanya di apartemen, mereka langsung menemui orang tua Anya dan Reza. Kedua keluarga menyambut dengan suka cita dan mendukung rencana mereka sepenuhnya.Minggu-minggu berikutnya diisi dengan berbagai kesibukan. Reza menemani Anya memilih undangan, fitting kebaya akad, dan mencari tempat resepsi yang sesuai. Rio, meskipun menahan rasa di hati, ikut membantu menjadi koordinator tamu.Suatu sore di kafe langganan dekat apartemen, Rina, Anya, dan Rio berkumpul untuk membicarakan konsep dekorasi. Rina bersemangat menunjukkan moodboard yang sudah ia siapkan, sementara Rio diam-diam memperhatikan Anya dengan tatapan lembut.“Anya, kamu benar-benar bahagia sekarang, ya?” tanya Rio, suaranya tenang.Anya mengangguk penuh keyakinan.“Iya, Rio. Aku yakin Reza orang yang tepat untuk aku.”Rio mengulum senyum. Ia menunduk sej
Pagi itu, udara Bali begitu sejuk, seolah menyambut lembaran baru dalam hidup Anya dan Reza. Deburan ombak terdengar lembut dari kejauhan, menenangkan hati yang selama ini penuh ketegangan.Anya menatap ke arah balkon vila tempat mereka menginap. Reza sedang berbicara santai dengan Rio, keduanya tampak jauh lebih tenang dan damai setelah semua yang terjadi.Tak ada lagi bayang-bayang masa lalu. Tak ada lagi kejaran musuh ataupun ancaman kekuatan gelap.Anya tersenyum sendiri. Siapa sangka, perjalanan panjang penuh luka dan air mata ini akhirnya berujung pada ketenangan dan cinta sejati?Saat Reza menyadari tatapan Anya, ia segera menghampirinya dan menggenggam tangannya.“Kamu kelihatan tenang pagi ini.”Anya mengangguk pelan.“Setelah semua yang terjadi… aku rasa ini saatnya kita mulai merangkai masa depan yang baru.”Reza tersenyum, lalu menarik Anya perlahan menuju meja sarapan di taman kecil vila mereka. Meja itu sudah dihiasi bunga kamboja putih dan minuman segar khas Bali.“Pagi
Suasana pura kembali menegang. Langit di atas kepala mereka tampak mulai gelap, padahal matahari belum sepenuhnya terbenam. Awan hitam berkumpul, menciptakan tekanan udara yang menyesakkan.Anya dan Reza berlari kembali ke lingkaran pelindung, tempat Guru Adarma berdiri tegap meskipun napasnya sudah mulai berat. Lelaki tua itu menoleh ke arah mereka, tatapannya tajam namun penuh ketenangan.“Bram dan anak buahnya akan melancarkan serangan kedua,” kata Guru Adarma, suaranya dalam dan mantap. “Kali ini mereka tidak hanya mengincar liontinmu, Anya. Mereka ingin membuka gerbang dimensi yang akan membangkitkan kekuatan kegelapan yang selama ini tersegel.”Anya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya masih erat dalam genggaman Reza."Apa yang harus kami lakukan, Guru?"Guru Adarma tersenyum samar.“Percayakan segalanya pada keyakinan dan cinta kalian. Itu kunci terakhir yang bisa menetralisasi kekuatan mereka.”Sementara itu, dari sisi lain pura, Bram, Rangga, dan Rio telah
Langit malam di Bali mulai gelap pekat. Aroma dupa dari Pura Guru Adarma semakin menyebar, membungkus suasana dengan keheningan dan kesakralan. Anya duduk bersila di dalam lingkaran pelindung bersama Reza dan Rio. Di hadapan mereka, Guru Adarma menutup mata, tangan beliau membentuk mudra kuno, mulutnya terus melantunkan mantra dengan suara stabil.Cahaya lilin di sekeliling mereka tampak bergetar. Liontin di leher Anya bersinar samar, rona keemasan menyelimuti tubuhnya perlahan. Energi perlindungan mulai terbentuk sempurna.Namun, di luar pagar pura, Bram, Rangga, dan Andre sudah memulai gerakannya. Andre mengeluarkan kain hitam bertuliskan aksara kuno yang telah dirapal mantra hitam."Begitu ini ditempelkan di gerbang, pagar pelindung pura mereka akan melemah," gumam Andre dengan suara serak.Rangga mengangguk. "Cepat, sebelum energi perlindungan mereka sempurna."Dengan cekatan, Andre menempelkan kain itu di pintu gerbang pura. Angin malam mendadak berhembus kencang, langit yang se
Pagi itu, udara di Jakarta terasa lebih sejuk dari biasanya. Anya terbangun dengan perasaan sedikit lebih tenang setelah pesan suara dari Guru Adarma semalam. Ia segera menelepon Reza dan Rio, mengajak mereka bertemu di kafe langganan dekat apartemen.Saat mereka bertiga duduk bersama, Anya mengeluarkan ponselnya dan memutar ulang pesan suara itu. Suara Guru Adarma kembali menggema, membuat mereka semua saling pandang penuh arti.Rio mengernyit.“Kalau Guru Adarma sampai menghubungi, berarti ini bukan ancaman biasa. Beliau orang yang sensitif secara spiritual, kita harus anggap serius.”Reza mengangguk, wajahnya tenang namun penuh perhatian.“Anya, aku rasa kita perlu ke Bali lagi. Kita harus bertemu Guru Adarma. Mungkin beliau punya petunjuk yang bisa membantu kita menghadapi ancaman ini.”Anya menatap Reza, ada keraguan di matanya, tapi juga harapan.“Baik. Kita berangkat akhir pekan ini.”Sementara itu, Dimas tetap di Jakarta untuk menjaga pengamanan digital dan fisik mereka. Ia me
Pagi harinya, udara Jakarta yang biasanya bising terasa semakin mencekam bagi Anya dan Reza. Meski berita besar sudah tersebar luas, mereka sadar — bahaya justru mulai mendekat.Di ruang tamu apartemen, Anya, Reza, Arman, Maya, dan Pak Surya duduk melingkar, mendiskusikan langkah selanjutnya. Ponsel Anya terus berbunyi — pesan dukungan, permintaan wawancara, dan… pesan ancaman anonim.Pak Surya menekankan, “Mulai hari ini, kita harus tingkatkan keamanan. Jangan bepergian sendirian. Kalau perlu, kita pakai jasa pengamanan pribadi untuk sementara waktu.”Reza menggenggam tangan Anya erat. “Aku gak akan lepas kamu. Kita lewati semua ini sama-sama.”Maya menimpali dengan tegas, “Aku sudah hubungi temanku yang di LSM. Mereka bisa bantu awasi dan beri perlindungan kalau situasi makin panas.”Sementara itu, di tempat lain, Bram dan Andre bertemu di sebuah vila tersembunyi milik salah satu kolega mereka. Wajah Andre gelap penuh amarah.“Kalau data ini terus tersebar, kita selesai. Kita butuh
Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi itu rumah Arman terasa lebih tenang. Anya duduk di meja makan, menatap secangkir teh hangat yang mengepul perlahan. Reza dan Arman duduk di ruang tamu, membicarakan langkah selanjutnya, sementara Maya sesekali melirik ke arah pintu jendela, masih dibayangi kecemasan.Reza bangkit dari kursi dan menghampiri Anya. Tangannya lembut menyentuh bahu perempuan yang dicintainya itu.“Kita sudah sangat dekat, Anya. Data dari Maya bisa jadi kunci utama untuk membuka semuanya,” ucapnya dengan nada yakin.Anya mengangguk pelan. “Aku tahu… Tapi aku masih penasaran satu hal, Reza. Kenapa Bram dan Andre begitu berani? Seolah-olah mereka tak takut dengan siapa pun.”Arman yang mendengar itu ikut bergabung. Ia menatap serius, lalu berkata,“Karena mereka punya orang dalam di lembaga hukum. Polisi, jaksa, bahkan beberapa petinggi bisnis yang melindungi mereka. Kalau kita mau menang, kita harus cari cara agar data ini sampai ke tangan yang bersih.”Maya tiba-ti