Aku berusaha tetap tenang, jangan sampai membuatnya curiga.
"Benar kok, Kak. Alasannya karena memang aku ingin merasakan rasanya menjadi seorang istri. Lagipula, katanya berumah tangga adalah ibadah yang panjang, kan?" Aku memberikan tambahan jawaban, suaraku sedikit gemetar.Aku ingin meyakinkan Kak Robert, menghilangkan keraguannya. Jangan sampai karena salah bicara, dia membatalkan perjodohan ini. Aku sungguh-sungguh menginginkan pernikahan ini."Benar, menikah memang ibadah yang panjang. Tapi banyak ujiannya juga." Kak Robert menanggapi jawabanku, suaranya terdengar berat."Kalau soal ujian sih bukan cuma untuk yang sudah menikah saja, Kak. Semua manusia pasti diuji." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkannya."Iya, kamu benar." Kak Robert mengangguk, namun kulihat sudut matanya berair. Sepertinya dia menyimpan kesedihan yang mendalam. Ada sesuatu yang disembunyikan dibalik kAwas saja kalau sampai Robert tidak langsung mengantar Silvi pulang, aku akan menghajarnya habis-habisan. Tidak peduli mau dia teman dekatku atau bukan.[Setelah makan bakso, kalian langsung pulang, jangan mampir ke mana-mana lagi!! Dan kalau sampai Silvi lecet sedikit saja ... aku akan menghajarmu, Rob!!] Rasa cemburu dan amarah mendorongku untuk menuliskan pesan ancaman itu kepada Robert. Aku mengetik pesan itu dengan tangan gemetar, jari-jariku menekan tombol ponsel dengan keras.Aku berharap, dengan pesan ancaman itu, Robert dan Silvi akan menyelesaikan kencan mereka lebih awal dan langsung pulang. Lagipula, tujuan mereka kencan hanyalah makan bakso, kan? Aku harap memang begitu.Jadi, jika sudah selesai makan, seharusnya mereka langsung pulang. Aku tidak ingin Silvi pulang larut malam. Aku khawatir.***"Papi apa-apaan, kenapa mendukung Robert mengajak Silvi untuk berkencan??"Aku langsung melontarkan pe
"Kamu nggak punya perasaan sama Silvi 'kan, Jun?" Pertanyaan Opa menusukku seperti anak panah yang tepat sasaran. Sorot mataku yang sejak tadi mengamati Silvi dan Robert kini tertuju pada Opa, terpaku. Dadaku terasa sesak, perasaan campur aduk bergulung-gulung di dalam sana. "Perasaan apa maksud Opa?" "Cinta. Tapi bukan antara kakak ke adik, melainkan cinta pada lawan jenis." Opa menatapku curiga, tatapannya tajam dan menusuk. Aku langsung menggeleng cepat. Bisa-bisanya Opa berpikir seperti itu. Pikiran itu membuatku merasa tidak nyaman. Aku akui, aku memang sayang dan mencintainya, sayang yang begitu dalam, yang melebihi kasih sayang kakak-adik biasa. Tapi aku selalu meyakini diriku, bahwa rasa ini hanyalah kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya. Setidaknya, hingga saat ini aku masih berusaha meyakini itu. Aku takut jika aku salah. "Enggaklah, Opa. Aku mencintai Silvi seba
"Apalagi Silvi! Dia masih kecil, Mi!" Aku membentak, suaraku meninggi.Pikiran tentang Silvi menikah dengan orang lain tiba-tiba muncul dan membuatku panik. Aku belum siap kehilangannya, bagiku dia masih terlalu muda. Rasa cemburu dan posesif membuncah dalam dadaku."Tapi umur Silvi lebih tua setahun dari Melati, Jun," kata Mami, suaranya terdengar lembut namun tetap teguh."Tetap saja dia masih kecil! Adik-adikku masih terlalu kecil untuk punya pacar, apalagi menikah, Mi!""Tapi—" Mami mencoba menjelaskan, namun…"Udah, Mi! Aku mau berangkat ke rumah Opa sekarang. Takutnya Opa sudah nunggu," Aku memotong pembicaraan Mami, suaraku terdengar sedikit kasar. Aku butuh menghindar, menghindari percakapan yang semakin membuatku cemas. Aku mencium punggung tangan Mami dengan cepat, lalu berlari keluar rumah."Ya sudah, hati-hati di jalan. Jangan ngebut bawa mobilnya, ya!" teriak Mami dari belakang."Iya!!" jawabk
(POV Juna) Aku menatap langit-langit kamar, gelapnya seakan mencerminkan kekosongan di hatiku. Bayangan Silvi, senyumnya yang manis, matanya yang berbinar, semua itu berkelebat secepat kilat, meninggalkan jejak rindu yang menyesakkan. Sudah empat hari gadis itu tinggal di rumah orang tua angkatnya, tapi bagiku terasa seperti satu abad. Sehari saja tak bertemu, rasanya dadaku sesak, napasku tersengal. Aku kehilangan fokus, aktivitasku terasa hampa, tak bermakna tanpa kehadirannya. Bahkan secangkir kopi pagi pun terasa hambar. Sejak kepergiannya, rumah ini berubah menjadi kuburan sunyi. Tak ada lagi gelak tawa riangnya yang dulu selalu menggema, mengusir sepi. Malam penolakan itu masih menghantuiku. Sejak saat itu, aku merasakan perubahan dalam dirinya, jarak yang tak kasat mata tapi terasa begitu nyata. Aku sudah meminta maaf, berkali-kali, tapi hasilnya nihil. Alasan rindu orang tua angkatnya terasa seperti tameng, alibi ya
Aku berusaha tetap tenang, jangan sampai membuatnya curiga."Benar kok, Kak. Alasannya karena memang aku ingin merasakan rasanya menjadi seorang istri. Lagipula, katanya berumah tangga adalah ibadah yang panjang, kan?" Aku memberikan tambahan jawaban, suaraku sedikit gemetar.Aku ingin meyakinkan Kak Robert, menghilangkan keraguannya. Jangan sampai karena salah bicara, dia membatalkan perjodohan ini. Aku sungguh-sungguh menginginkan pernikahan ini."Benar, menikah memang ibadah yang panjang. Tapi banyak ujiannya juga." Kak Robert menanggapi jawabanku, suaranya terdengar berat."Kalau soal ujian sih bukan cuma untuk yang sudah menikah saja, Kak. Semua manusia pasti diuji." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkannya."Iya, kamu benar." Kak Robert mengangguk, namun kulihat sudut matanya berair. Sepertinya dia menyimpan kesedihan yang mendalam. Ada sesuatu yang disembunyikan dibalik k
Aku terdiam sejenak sebelum membalas chat itu, sembari berpikir enaknya makan apa nanti malam. [Bagaimana kalau kita makan bakso langganan aku dan Love, Kak? Tapi tempatnya semacam kios bukan restoran. Kalau Kakak keberatan ya kita bisa cari restoran yang menjual bakso saja.] [Nggak apa, kita ke bakso langgananmu dan Love saja. Nanti Kakak jemput sekitar 7, ya?] Kak Robert membalas. [Oke, Kak. Tapi Kakak jemput aku di rumah Papaku, ya, jangan di rumah Papi. Karena aku ada di rumah Papa.] [Siap.] Setelah membaca chat terakhir dari Kak Robert, aku langsung menyimpan nomornya dan bergegas mencari pakaian. Bayangan kencan pertamaku, bayangan kencan yang menentukan arah hidupku, berputar-putar di kepala. Kubuka lemari pakaian, sebuah lautan kain yang sebagian besar adalah pemberian Kak Juna. Aku harus memilih baju yang tepat, baju yang cantik, yang mampu menampilkan diriku yang terbaik, namun tanpa jejak kenangan Kak Juna. Ini bukan sekadar kencan, ini adalah langkah awal menu