"Bukannya Kakak sendiri yang minta aku untuk melupakan rasa cinta ini?" Aku perlahan menyentuh dadaku yang berdenyut ngilu. "Kalau kita sering melakukan kontak fisik, bagaimana bisa aku melupakannya?"
"Kontak fisik apa yang kamu maksud? Apa memelukmu? Jadi Kakak nggak boleh memelukmu lagi??" Kak Juna menatapku dengan raut sedih dan kecewa. "Bukan hanya memeluk saja, tapi mencium keningku juga." "Tapi bukannya dari dulu Kakak sudah sering memeluk dan mencium keningmu?" Dahinya berkerut bingung, namun raut sedihnya masih kentara jelas. "Kakak rasa itu wajar, Dek." "Mau itu wajar atau tidak, intinya aku nggak mau, Kak." Aku menggeleng cepat. "Aku mohon Kakak turuti permintaanku. Lagian setelah tunangan, Kakak juga akan menikah, jadi Kakak fokus saja dengan Mbak Friska. Nggak usah pedulikan aku lagi." Diakhir kalimat, aku mengucapkannya dengan nada ketus. Rasa kesalku padanya nyatanya masih menggebu. "Lho... kok kamu bicara begitu?" Kak Juna tampak terkejut, bahkan kedua matanya kini sudah membulat. "Kakak 'kan kemarin sudah bilang, kalau kamu akan selalu ada tempat di hati Kakak, Dek. Lagian, memeluk dan mencium keningmu itu adalah bentuk kasih sayang Kakak padamu." "Ya sudahlah, terserah Kakak kalau memang nggak mau turuti permintaanku." Aku malas berdebat dengannya, emosiku memuncak jika membahas masalah hati. Aku benar-benar sedang rapuh. "Sekarang kita pulang, aku capek, mau istirahat," tambahku lalu memalingkan wajah ke arah lain. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Kak Juna langsung menyalakan mesin mobilnya lalu berkendara. Namun selang beberapa menit, Kak Juna kembali bertanya, mungkin ingin mencairkan suasana. "Kamu nggak ada kuliah memangnya hari ini, Dek? Biar Kakak antar saja kalau begitu." "Enggak, aku nggak ada jam kuliah hari ini," jawabku cepat, ingin mengakhiri obrolan. Setelah sampai rumah Papa, aku bergegas turun dari mobil sambil membawa gaun. Kemudian, buru-buru aku masuk ke dalam rumah tanpa menawarinya mampir. Karena aku memang ingin Kak Juna segera pulang. *** Tepat pukul tujuh malam, aku, Papa dan Mama tiba di hotel bintang lima, dimana pesta pertunangan Kak Juna dan Mbak Friska digelar. Acara sakral ini hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat dari kedua belah pihak. Namun, suasananya cukup meriah, terasa kontras dengan debar jantungku yang tak menentu. Kak Juna, terlihat tampan sekali dalam balutan kemeja batik, berdampingan dengan Mbak Friska yang anggun dalam kebaya. Prosesi tukar cincin berlangsung khidmat, setiap gerakan mereka terasa menusuk hatiku. Air mata mengancam membanjiri pipiku, perihnya tak tertahankan. Dengan cepat, kuhapus jejaknya, berharap tak seorang pun menyadari perasaanku yang bergejolak. "Sangking terharunya kamu sampai menangis, Sayang. Papi tau kok, kalau kamu sangat menyayangi Kakakmu," bisik Papi, tangannya menyelimuti pundakku, usapan lembutnya seakan membisikkan ketenangan. Aku memeluknya erat, tangis yang kutahan akhirnya meledak. Air mata membasahi kemejanya, isak tangisku tak terbendung lagi. Janjiku untuk tetap tegar sirna ditelan rasa. "Pak Tian selamat, ya. Sebentar lagi Bapak mau punya mantu," ucap seseorang. Suaranya yang familiar seketika menghentikan tangisku. Suara itu seperti milik Om Joe—Daddynya Love. Setahuku Papi dan Om Joe memang rekan bisnis, tapi aku tak menduga bahwa Papi juga mengundangnya dalam momen ini. Cepat-cepat kulepaskan pelukan Papi, kusisir rambutku dengan tangan gemetar, merasa malu dengan penampilan yang jauh dari kata sempurna ini. Di hari bahagia Kakak, aku justru terlihat seperti bayangan duka. Dan memang, aku tak bahagia. Hatiku remuk, tercabik-cabik oleh kenyataan yang tak mampu kuhindari. "Terima kasih, Pak Joe. Eh… ini Robert, ‘kan? Bagaimana kabarmu, Rob? Sudah lama sekali Om nggak ngelihat kamu, kamu sekarang sudah besar dan tambah ganteng." Robert? Nama itu membuat dahiku berkerut. Aku yang semula menunduk, kini mengangkat wajah, terkejut. Om Joe berdiri di depan kami bersama seorang laki-laki, seumuran Kak Juna, berdiri di sampingnya. Wajahnya… agak familiar. Apa dia teman Kak Juna? Tapi… ada yang berbeda dengannya. Dia terlihat lebih tampan, dan lebih dewasa, apa karena aku sudah lama tidak melihatnya? "Kabarku baik, Om. Om sendiri gimana? Eh... ini Silvi, ‘kan? Adeknya Juna?" Dia menatapku, menyunggingkan senyum yang tampak sangat ramah. "Kamu masih inget sama Kakak nggak? Kakak ini temannya Kakakmu dari kecil." Ternyata benar dugaanku. "Iya, Kak. Aku masih ingat kok," jawabku cepat, membalas senyumannya. "Tapi kenapa Kakak bisa datang dengan Om Joe?" "Lho, Robert ini ‘kan anaknya Om. Wajar kalau dia datang dengan Om, Cantik," jawab Om Joe tersenyum padaku. Mataku sontak membulat. Kak Robert… anak Om Joe? Berarti, dia kakaknya Love? Memang, ada kemiripan antara Love, Om Joe, dan Kak Robert. Hanya saja… aku tidak menyadarinya. "Sepertinya Love belum pernah bercerita kalau dia punya Kakak ganteng seperti Robert ya, Vi," Om Joe merangkul bahu Kak Robert. Pipi laki-laki itu langsung memerah. Kak Robert sepertinya malu dipuji Daddynya sendiri. "Iya, Om. Aku sendiri baru tau sekarang." Aku mengangguk, rasa penasaran masih membuncah. "Kakak sendiri selama ini ke mana? Kok baru kelihatan?" tanyaku pada Kak Robert. "Kakak dari lulus SMA langsung tinggal di Korea, kuliah di sana. Hari ini baru pulang ke Indonesia." "Oohh, pantes. Tapi itu udah lama banget dong, Kak?" "Iya, mungkin ada sekitar delapan tahun Kakak tinggal di Korea. Eh, si Melati... adik bungsumu juga katanya kuliah di Korea, ya?" "Iya, Kak." "Kamu kok nggak ikut kuliah di Korea juga?" "Si Silvi mana mau, Rob. Dia 'kan buntutnya Juna." Papi tiba-tiba menyela. Aku segera menyenggol perutnya dengan kesal, tapi dia justru langsung tertawa. "Eh, Rob ... Kamu ke sini??" Kak Juna tiba-tiba datang menghampiri kami, dia tersenyum lalu langsung memeluk tubuh Kak Robert. "Kapan sampai?" "Baru tadi. Aku ke sini 'kan kamu yang undang, gimana sih, Jun?" "Oh iya, ya?" Kak Juna bergelak tawa, lalu pelukan mereka terlepas. "Tapi kok kamu ke sini sama Daddymu? Kenapa nggak ajak pacarmu saja? Biar sekalian kenalan dengan Friska." "Pacarku ... ah, maksudku, aku sudah putus dengannya." Wajah Kak Robert langsung berubah sendu. Seperti menyimpan kesedihan yang mendalam. "Si Robert jomblo sekarang. Pacarnya nggak tau diri." Om Joe menimpali, raut wajahnya tampak kesal. "Nggak tau diri kenapa memangnya, Om?" tanya Kak Juna penasaran. "Dia hamil dari—" "Dad, udah! Nggak usah dibahas!" Kak Robert langsung menyela. Tapi aku cukup terkejut mendengar jawaban dari Om Joe tadi, mungkinkah pacar Kak Robert hamil duluan? Jika sampai putus begitu, tandanya dia hamil anak laki-laki lain. Rasanya tidak mungkin jika Kak Robert yang menghamili lalu dia tak mau bertanggung jawab. Meskipun aku tidak mengenal dekat Kak Robert, tapi aku yakin dia laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. "Maaf, Daddy hampir saja keceplosan." Om Joe langsung menampar bibirnya sendiri, tampak menyesal. Lalu dia menatap ke arahku sambil tersenyum. "Kamu sendiri, sudah punya pacar belum, Vi?" "Aku—" "Silvi masih kecil, Om. Belum boleh pacaran." Kak Juna menyela ucapanku. "Oh belum boleh, ya? Kirain boleh ... tadinya mau Om jodohkan sama Robert." Om Joe mengerakkan alis matanya naik turun, seolah memberikan isyarat. "Ih jangan, Om!! Nggak boleeehhh!!" larang Kak Juna tegas. Sikapnya sama persis saat ada laki-laki yang ingin mendekatiku. Padahal aku yakin, tadi Om Joe hanya bercanda."Dukun?!"Mata Friska membulat sempurna, pupilnya melebar, tampak terkejut mendengar kata yang baru saja meluncur dari bibir Daddynya. Dia mencoba menegakkan tubuhnya, namun rasa lemas masih menggerogoti, membuatnya kembali bersandar pada tumpukan bantal di belakangnya."Iya, Dukun. Mommymu bilang dia mau minta air do'anya Dukun beranak, Friska," sahut Daddy Irfan, seraya menatap tajam ke arah istrinya."Untuk apa air do'anya Dukun beranak? Aku 'kan nggak melahirkan," tanya Friska, mengerutkan keningnya bingung. Logika sederhana dalam otaknya menolak untuk memahami situasi yang absurd ini."Ih kalian ini bicara apa, air ini bukan air do'a dari Dukun beranak kok," elak Mommy Indri, mencoba membela diri."Mommy jangan bohong, kan pas tadi Mommy pergi izinnya mau minta air do'a Dukun beranak sama Daddy," Daddy Irfan mengingatkan, nadanya tegas, memaksa sang istri untuk mengakui kebenarannya."Iya, Mommy memang izin buat minta air do'a Dukun beranak, tapi pas Mommy datang ke rumahnya oran
Di sebuah kamar rumah sakit yang sunyi... Friska membuka mata perlahan, pupilnya menyesuaikan diri dengan cahaya lembut ruangan. Dinding berwarna krem, lukisan abstrak yang menggantung, dan aroma antiseptik yang menusuk hidung. Ini bukan bangsal biasa, melainkan kamar rawat VVIP yang mewah. Namun, kemewahan ini justru membuatnya merasa asing. Dan dia berpikir sekarang sudah berpindah alam. Benar apa yang Mommy Indri khawatirkan. Friska memang berniat mengakhiri hidupnya. Baginya, hidup tanpa Juna terasa hampa, tak ada lagi alasan untuk bernapas. "Baru tau aku kalau di akhirat itu suasananya mirip seperti ruangan rumah sakit. Kupikir seperti taman bunga," ucapnya dengan suara lemah. Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Bicara apa kamu, Friska?!" seru Daddy Irfan yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi. Wajahnya tampak lelah, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Friska terperanjat, tubuhnya yang masih lemah mencoba bangkit dari tempat tidur namun
(21+)"Dek ... apa Kakak boleh menyentuhmu?" Juna berbisik lembut, suaranya bergetar menahan gejolak yang membuncah dalam dirinya. Matanya menatap dalam ke mata Silvi, mencari jawaban yang sejujurnya.Silvi terdiam, jantungnya berdegup kencang.Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini, dan hatinya diliputi perasaan campur aduk antara malu, ragu, takut, dan hasrat yang menggelora. Ini adalah kali pertama baginya, sebuah gerbang menuju dunia baru yang belum pernah dia jamah."Aku ... aku nggak tau, Kak," bisiknya lirih. Pipinya merona merah, panas menjalar ke seluruh tubuhnya.Juna mengelus lembut pipi Silvi, merasakan kehalusan kulitnya di bawah jemarinya. "Nggak apa-apa, Dek. Kakak nggak akan memaksa. Kalau kamu belum siap... Kakak akan menunggu. Sampai kapan pun kamu siap."'Gagal lagi deh, mau buat cicit untuk Opa,' batinnya sedih.Ada guratan kekecewaan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan di wajahnya, meski Juna telah berusaha untuk tersenyum.Melihat itu, Silvi menjadi tidak enak
"Lho, Dek ... kamu kenapa?"Juna, yang tiba untuk menjemput Silvi, terkejut mendapati raut wajah istrinya yang begitu sendu. Ada guratan kesedihan yang dalam di sana, membuat hatinya mencelos khawatir.Tanpa sepatah kata pun, Silvi langsung membuka pintu mobil dan masuk, membiarkan Juna bertanya-tanya dalam benaknya.Juna segera menyusul, masuk ke dalam mobil. "Cerita sama Kakak, kamu ada apa? Apa ada yang menjahati kamu di kampus? Katakan, akan Kakak kasih dia pelajaran!" Ucapnya dengan nada sungguh-sungguh.Dia sudah menggulung kedua lengan bajunya, memperlihatkan otot-ototnya yang kekar. Dia benar-benar akan memberikan pelajaran setimpal jika ada yang berani menyakiti Silvi, batinnya bergejolak."Jalan dulu, nanti aku cerita setelah sampai rumah, Kak," jawab Silvi lirih. Dia lalu menyandarkan bahunya di penyangga kursi dengan lemah, seolah seluruh energinya terkuras habis.Juna mengangguk, meski rasa penasarannya semakin membuncah. Dia menancapkan gas mobilnya, meninggalkan area un
"Mami kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?"Suara Papi Tian tiba-tiba memecah keheningan pagi itu, membuat Mami Nissa yang sedang berdiri di balkon tersentak kaget. Jantungnya berdegup kencang.Dengan gerakan cepat, dia menyembunyikan layar ponselnya yang menampilkan percakapan dengan salah satu anak buahnya. Dia tak ingin Papi Tian sampai tahu tentang rencananya. Bisa dipastikan, suaminya itu akan naik pitam.Walaupun terpisah jarak, Mami Nissa selalu ingin memastikan Juna dalam keadaan baik dan tidak kekurangan apa pun. Karena itulah, dia sampai rela menyewa orang untuk membuat skenario seolah-olah Juna memenangkan kuis, hanya demi bisa mengirimkan uang 50 juta ke tangannya.Papi Tian melangkah mendekat, raut wajahnya menyimpan tanya. Mami Nissa berusaha setenang mungkin, menyunggingkan senyum yang dipaksakan."Eh, enggak kok, Pi. Ini Mami lagi lihatin foto-foto lama... Si Juna sama Silvi waktu kecil. Ya ampun, gemesin banget mereka berdua," kilahnya, berusaha meyakinkan. Dengan sigap
"Anggap saja kita akan bermain kuis, Mas," jawab Om Ipil, senyumnya terlalu lebar, nyaris seperti seringai. "Dan kebetulan kuis ini bertujuan untuk bagi-bagi rezeki saja, karena memperingati hari ulang tahun saya.""Benar, Mas, apa kata teman saya. Kami memang sering bagi-bagi rezeki ke orang lain, dan sekarang Mas lah yang sedang beruntung karena berhasil terpilih," tambah Om Upil, nadanya terlalu bersemangat, seperti seorang sales yang berusaha menjual produknya. Dia menepuk-nepuk pundak Juna, terlalu keras, seolah ingin memastikan dia tidak kabur.Juna terdiam sejenak, mencoba mencerna penjelasan kedua pria aneh itu. Otaknya berputar, mencari logika dalam situasi yang absurd ini. Jika memang benar alasannya karena ingin bagi-bagi rezeki, kenapa harus dengan cara seperti ini? Tapi, di sisi lain, dia sangat membutuhkan uang. Menolak rezeki sama dengan menolak pertolongan Allah."Baiklah, aku bersedia," jawab Juna, setelah bergelut dengan pikirannya. Dia mengambil keputusan dengan ber