Beranda / Romansa / Gairah Cinta Kakakku / 4. Silvi masih kecil

Share

4. Silvi masih kecil

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-04 22:34:29

"Bukannya Kakak sendiri yang minta aku untuk melupakan rasa cinta ini?" Aku perlahan menyentuh dadaku yang berdenyut ngilu. "Kalau kita sering melakukan kontak fisik, bagaimana bisa aku melupakannya?"

"Kontak fisik apa yang kamu maksud? Apa memelukmu? Jadi Kakak nggak boleh memelukmu lagi??" Kak Juna menatapku dengan raut sedih dan kecewa.

"Bukan hanya memeluk saja, tapi mencium keningku juga."

"Tapi bukannya dari dulu Kakak sudah sering memeluk dan mencium keningmu?" Dahinya berkerut bingung, namun raut sedihnya masih kentara jelas. "Kakak rasa itu wajar, Dek."

"Mau itu wajar atau tidak, intinya aku nggak mau, Kak." Aku menggeleng cepat. "Aku mohon Kakak turuti permintaanku. Lagian setelah tunangan, Kakak juga akan menikah, jadi Kakak fokus saja dengan Mbak Friska. Nggak usah pedulikan aku lagi." Diakhir kalimat, aku mengucapkannya dengan nada ketus. Rasa kesalku padanya nyatanya masih menggebu.

"Lho... kok kamu bicara begitu?" Kak Juna tampak terkejut, bahkan kedua matanya kini sudah membulat. "Kakak 'kan kemarin sudah bilang, kalau kamu akan selalu ada tempat di hati Kakak, Dek. Lagian, memeluk dan mencium keningmu itu adalah bentuk kasih sayang Kakak padamu."

"Ya sudahlah, terserah Kakak kalau memang nggak mau turuti permintaanku." Aku malas berdebat dengannya, emosiku memuncak jika membahas masalah hati. Aku benar-benar sedang rapuh. "Sekarang kita pulang, aku capek, mau istirahat," tambahku lalu memalingkan wajah ke arah lain.

Suasana tiba-tiba menjadi hening. Kak Juna langsung menyalakan mesin mobilnya lalu berkendara. Namun selang beberapa menit, Kak Juna kembali bertanya, mungkin ingin mencairkan suasana.

"Kamu nggak ada kuliah memangnya hari ini, Dek? Biar Kakak antar saja kalau begitu."

"Enggak, aku nggak ada jam kuliah hari ini," jawabku cepat, ingin mengakhiri obrolan.

Setelah sampai rumah Papa, aku bergegas turun dari mobil sambil membawa gaun. Kemudian, buru-buru aku masuk ke dalam rumah tanpa menawarinya mampir. Karena aku memang ingin Kak Juna segera pulang.

***

Tepat pukul tujuh malam, aku, Papa dan Mama tiba di hotel bintang lima, dimana pesta pertunangan Kak Juna dan Mbak Friska digelar.

Acara sakral ini hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat dari kedua belah pihak. Namun, suasananya cukup meriah, terasa kontras dengan debar jantungku yang tak menentu.

Kak Juna, terlihat tampan sekali dalam balutan kemeja batik, berdampingan dengan Mbak Friska yang anggun dalam kebaya.

Prosesi tukar cincin berlangsung khidmat, setiap gerakan mereka terasa menusuk hatiku. Air mata mengancam membanjiri pipiku, perihnya tak tertahankan. Dengan cepat, kuhapus jejaknya, berharap tak seorang pun menyadari perasaanku yang bergejolak.

"Sangking terharunya kamu sampai menangis, Sayang. Papi tau kok, kalau kamu sangat menyayangi Kakakmu," bisik Papi, tangannya menyelimuti pundakku, usapan lembutnya seakan membisikkan ketenangan.

Aku memeluknya erat, tangis yang kutahan akhirnya meledak. Air mata membasahi kemejanya, isak tangisku tak terbendung lagi. Janjiku untuk tetap tegar sirna ditelan rasa.

"Pak Tian selamat, ya. Sebentar lagi Bapak mau punya mantu," ucap seseorang.

Suaranya yang familiar seketika menghentikan tangisku. Suara itu seperti milik Om Joe—Daddynya Love. Setahuku Papi dan Om Joe memang rekan bisnis, tapi aku tak menduga bahwa Papi juga mengundangnya dalam momen ini.

Cepat-cepat kulepaskan pelukan Papi, kusisir rambutku dengan tangan gemetar, merasa malu dengan penampilan yang jauh dari kata sempurna ini.

Di hari bahagia Kakak, aku justru terlihat seperti bayangan duka. Dan memang, aku tak bahagia. Hatiku remuk, tercabik-cabik oleh kenyataan yang tak mampu kuhindari.

"Terima kasih, Pak Joe. Eh… ini Robert, ‘kan? Bagaimana kabarmu, Rob? Sudah lama sekali Om nggak ngelihat kamu, kamu sekarang sudah besar dan tambah ganteng."

Robert?

Nama itu membuat dahiku berkerut. Aku yang semula menunduk, kini mengangkat wajah, terkejut. Om Joe berdiri di depan kami bersama seorang laki-laki, seumuran Kak Juna, berdiri di sampingnya.

Wajahnya… agak familiar.

Apa dia teman Kak Juna? Tapi… ada yang berbeda dengannya. Dia terlihat lebih tampan, dan lebih dewasa, apa karena aku sudah lama tidak melihatnya?

"Kabarku baik, Om. Om sendiri gimana? Eh... ini Silvi, ‘kan? Adeknya Juna?" Dia menatapku, menyunggingkan senyum yang tampak sangat ramah. "Kamu masih inget sama Kakak nggak? Kakak ini temannya Kakakmu dari kecil."

Ternyata benar dugaanku.

"Iya, Kak. Aku masih ingat kok," jawabku cepat, membalas senyumannya. "Tapi kenapa Kakak bisa datang dengan Om Joe?"

"Lho, Robert ini ‘kan anaknya Om. Wajar kalau dia datang dengan Om, Cantik," jawab Om Joe tersenyum padaku.

Mataku sontak membulat.

Kak Robert… anak Om Joe? Berarti, dia kakaknya Love? Memang, ada kemiripan antara Love, Om Joe, dan Kak Robert. Hanya saja… aku tidak menyadarinya.

"Sepertinya Love belum pernah bercerita kalau dia punya Kakak ganteng seperti Robert ya, Vi," Om Joe merangkul bahu Kak Robert. Pipi laki-laki itu langsung memerah. Kak Robert sepertinya malu dipuji Daddynya sendiri.

"Iya, Om. Aku sendiri baru tau sekarang." Aku mengangguk, rasa penasaran masih membuncah. "Kakak sendiri selama ini ke mana? Kok baru kelihatan?" tanyaku pada Kak Robert.

"Kakak dari lulus SMA langsung tinggal di Korea, kuliah di sana. Hari ini baru pulang ke Indonesia."

"Oohh, pantes. Tapi itu udah lama banget dong, Kak?"

"Iya, mungkin ada sekitar delapan tahun Kakak tinggal di Korea. Eh, si Melati... adik bungsumu juga katanya kuliah di Korea, ya?"

"Iya, Kak."

"Kamu kok nggak ikut kuliah di Korea juga?"

"Si Silvi mana mau, Rob. Dia 'kan buntutnya Juna." Papi tiba-tiba menyela. Aku segera menyenggol perutnya dengan kesal, tapi dia justru langsung tertawa.

"Eh, Rob ... Kamu ke sini??" Kak Juna tiba-tiba datang menghampiri kami, dia tersenyum lalu langsung memeluk tubuh Kak Robert. "Kapan sampai?"

"Baru tadi. Aku ke sini 'kan kamu yang undang, gimana sih, Jun?"

"Oh iya, ya?" Kak Juna bergelak tawa, lalu pelukan mereka terlepas. "Tapi kok kamu ke sini sama Daddymu? Kenapa nggak ajak pacarmu saja? Biar sekalian kenalan dengan Friska."

"Pacarku ... ah, maksudku, aku sudah putus dengannya." Wajah Kak Robert langsung berubah sendu. Seperti menyimpan kesedihan yang mendalam.

"Si Robert jomblo sekarang. Pacarnya nggak tau diri." Om Joe menimpali, raut wajahnya tampak kesal.

"Nggak tau diri kenapa memangnya, Om?" tanya Kak Juna penasaran.

"Dia hamil dari—"

"Dad, udah! Nggak usah dibahas!" Kak Robert langsung menyela. Tapi aku cukup terkejut mendengar jawaban dari Om Joe tadi, mungkinkah pacar Kak Robert hamil duluan?

Jika sampai putus begitu, tandanya dia hamil anak laki-laki lain. Rasanya tidak mungkin jika Kak Robert yang menghamili lalu dia tak mau bertanggung jawab. Meskipun aku tidak mengenal dekat Kak Robert, tapi aku yakin dia laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.

"Maaf, Daddy hampir saja keceplosan." Om Joe langsung menampar bibirnya sendiri, tampak menyesal. Lalu dia menatap ke arahku sambil tersenyum. "Kamu sendiri, sudah punya pacar belum, Vi?"

"Aku—"

"Silvi masih kecil, Om. Belum boleh pacaran." Kak Juna menyela ucapanku.

"Oh belum boleh, ya? Kirain boleh ... tadinya mau Om jodohkan sama Robert." Om Joe mengerakkan alis matanya naik turun, seolah memberikan isyarat.

"Ih jangan, Om!! Nggak boleeehhh!!" larang Kak Juna tegas. Sikapnya sama persis saat ada laki-laki yang ingin mendekatiku. Padahal aku yakin, tadi Om Joe hanya bercanda.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Cinta Kakakku   44. Tanggung jawab

    Juna, yang masih terhuyung-huyung, perlahan berlutut di kaki Daddy Irfan. "Maafin aku, Om. Wajar Om marah, aku terima itu. Semuanya memang salahku. Aku akan bertanggung jawab di sini, aku akan membiayai semua pengobatan Friska sampai dia sembuh." Suaranya penuh penyesalan, menunjukkan kesungguhan permohonan maafnya. Dia siap menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.Daddy Irfan langsung menendang Juna dengan kasar, menjauhkan dirinya dari kakinya. Gerakannya cepat dan kuat. "Membiayai katamu? Kamu pikir orang tua Friska nggak mampu? Aku mampu, Jun! Aku mampu!" teriaknya dengan mata melotot, napasnya tersengal-sengal, menunjukkan kemarahan yang belum mereda."Tapi, Om, itu bentuk tanggung jawabku karena sudah—" Juna mencoba menjelaskan, namun terpotong."Sudah, Jun, nggak usah!" Opa Angga segera menghentikan Juna, menarik cepat cucunya itu yang berniat kembali berlutut. "Kalau memang Daddy-nya Friska menolak tanggung jawabmu, kamu nggak usah

  • Gairah Cinta Kakakku   43. Kamu hanya mempermainkannya

    "Putri Anda mengalami serangan jantung, Pak."Kata-kata dokter itu menghantam mereka seperti petir di siang bolong, menciptakan keheningan sesaat yang mencekam. Udara terasa begitu berat, seakan menekan dada."Apa?! Serangan jantung?!" Mata Daddy Irfan membulat sempurna, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya. Juna dan Opa Angga juga terpaku, terkejut luar biasa. "Tapi... bagaimana bisa, Dok?" Suara Daddy Irfan lirih, suaranya bergetar, mengungkapkan ketidakpercayaan dan keputusasaan yang mendalam."Dari hasil pemeriksaan yang saya lihat... Nona Friska ini dulunya pernah memiliki penyakit jantung ya 'kan Pak? Apakah benar?" Dokter itu bertanya, suaranya tenang namun tetap terdengar serius, menciptakan suasana yang makin menegangkan."Penyakit jantung?!" Juna dan Opa Angga berucap bersama, suara mereka nyaris bersamaan, mengungkapkan keterkejutan yang sama. Mereka saling berpandangan, mata mereka mencerminkan kebingungan dan ketakutan.Berita ini me

  • Gairah Cinta Kakakku   42. Hanya ingin dia

    "Silvi.""Si-Silvi??" Suara Friska terbata-bata, raut wajahnya tampak terkejut sekaligus bingung. Matanya membulat lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Silvi... adikmu, Yang?""Iya." Juna mengangguk, matanya menatap Friska dengan tatapan bersalah. Dia tahu bahwa pengakuannya ini akan menghancurkan hati Friska."Bagaimana bisa kamu mencintai adikmu sendiri, ketimbang aku? Kamu ini waras nggak, sih, Yang? Ini kamu sedang bercanda, kan?""Sudah kubilang, kalau aku sejak tadi bicara serius. Kamu juga tentu tau kalau aku dan Silvi adalah saudara tiri, jadi nggak masalah kalau kami saling mencintai.""Enggak! Itu aneh sih, Yang." Friska menggeleng cepat, air matanya mengalir deras. Dia tampak tak habis pikir dengan ucapan Juna. Baginya, ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal, sesuatu yang melampaui batas kewajaran."Aneh apanya? Cinta itu 'kan tumbuh tanpa kita tau akan bertaut ke siapa, kenapa juga harus aneh?

  • Gairah Cinta Kakakku   41. Kita harus putus

    Setelah dipersilakan masuk, Friska dengan sigap duduk di sofa ruang tamu.Detak jantungnya berdebar-debar, merasa tak sabar ingin cepat bertemu Juna.Dia lalu menatap sekeliling ruangan, mencoba menenangkan diri. Tak lama, Juna muncul, diikuti Opa Angga. Bayangan Silvi sejenak melintas di benak Juna, niatnya untuk menelepon gadis itu tertunda karena kehadiran Friska. Namun, masalah dengan Friska juga tak bisa diabaikan; nasibnya terkait erat dengannya."Yang!!" Mata Friska langsung berbinar, seakan dunia hanya berisi Juna saat ini. Dia dengan cepat berdiri dan memeluk Juna erat-erat. "Aku kangen banget sama kamu, Yang! Kamu ke mana saja? Kenapa nggak ada kabar?" Suaranya bergetar karena rindu yang terpendam.Opa Angga mengamati keduanya dengan seksama, tatapannya menelisik pada ekspresi Juna. Dia melihat sebuah kejenuhan, bahkan kesan risih yang terpancar dari wajah cucunya. Pelukan itu lekas dilepas Juna, gerakannya kaku dan terkesan formal."Kalia

  • Gairah Cinta Kakakku   40. Terima kasih

    Opa Angga terdiam, tatapannya yang sayu dan dalam seakan menembus jauh ke lubuk hati Juna. Sejujurnya, Ini bukan ranahnya, dia tahu itu. Keputusan Papi Tian dan Mami Nissa sudah bulat, sebuah keputusan yang telah dipikirkan berulang kali, sebuah keputusan yang didasari oleh pertimbangan yang matang dan mungkin, yang menyakitkan. Opa Angga mengerti, dia selalu mendukung keputusan anak-anaknya, karena dia yakin mereka tak akan mengambil keputusan yang gegabah. Namun, melihat Juna yang duduk di hadapannya, wajahnya pucat pasi, mata sembab karena menahan tangis, hati Opa Angga terenyuh. Cucu kesayangannya itu tampak begitu frustasi, begitu putus asa. Walau bagaimanapun, Juna tetaplah cucunya, cucu yang selalu dia sayangi. Cinta dan kasih sayang itu tak mudah untuk dihilangkan, meski dia harus bersikap tegas. "Memangnya cintamu pada Silvi dalam banget ya, Jun, sampai dari dulu kamu nggak bisa melupakannya?" Suaranya lembut, namun sarat dengan pertanyaan yang menusuk. Dia ingin mema

  • Gairah Cinta Kakakku   39. Tolong restui aku

    "Tapi, aku dan Kakak 'kan sudah menikah, Pi. Aku makin nggak bisa melupakannya. Dia sudah menjadi suamiku."Setidaknya, karena semuanya terlanjur terjadi, Silvi mencoba untuk menerima keadaannya, dengan menerima Juna yang kini telah menjadi suaminya."Pernikahan kalian nggak sah, ngapain dipikirin.""Tapi Kakak 'kan ada buktinya, Pi, dan di sana jelas kalau pernikahan siri itu sudah dilakukan.""Menurut Papi tetap nggak sah. Karena selain tanpa persetujuan keluarga... Dia juga melakukan itu tanpa persetujuanmu.""Apakah ini berarti pernikahanku dengan Kakak harus diulang?""Nggak perlu." Papi Tian menggeleng cepat."Kenapa?""Kamu dan Kakakmu akan selamanya menjadi saudara, jadi nggak akan pernah ada pernikahan di antara kalian." Papi Tian menjelaskan, suaranya tegas dan tanpa kompromi."Tapi semuanya 'kan sudah terlanjur terjadi, Pi. Lagian aku juga sudah gagal menikah dengan Kak Robert, jadi aku—" Silvi mencoba menjelaskan lagi, mencoba mencari celah agar Papinya mau mengerti pos

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status