Beranda / Romansa / Gairah Cinta Kakakku / 3. Menikah duluan

Share

3. Menikah duluan

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-03 21:24:07

Lagian, bukankah katanya pesta pertunangannya besok? Seharusnya Kak Juna sibuk mempersiapkan segalanya, jadi dia tidak akan punya waktu untuk sekadar "main" ke rumah Papa.

"Kamu nggak lagi berantem dengan Kakakmu 'kan, Sayang?"

Pertanyaan Papa Dono membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh, melihat wajah penuh perhatiannya. Aku menggeleng cepat.

"Enggak kok, Pa." Suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkan diri sendiri sekaligus Papa Dono.

"Syukurlah kalau enggak." Tangannya yang hangat mengusap puncak kepalaku, sentuhan lembut yang terasa menenangkan. Segera aku memeluknya erat, mencari perlindungan dalam dekapannya yang penuh kasih sayang.

Apakah sikapku tadi sudah menunjukkan bahwa aku dan Kak Juna bermasalah? Semoga saja tidak.

***

Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, aku pamit pada Papa dan Mama untuk keluar rumah. Aku memberikan alasan ingin lari pagi bersama Love—sahabatku. Itu semua aku lakukan untuk menghindari Kak Juna.

Chatnya kemarin tak kubalas, namun malamnya lagi dia mengirim pesan, memberitahu akan datang ke rumah Papa setelah sarapan.

Jadi, sebelum matahari benar-benar terbit, aku sudah pergi.

Papi juga menelepon semalam, tapi kubiarkan panggilan itu berdering tanpa jawaban. Rasanya malas. Lalu, sebuah pesan singkat memberitahukan pesta pertunangan Kak Juna diadakan di hotel, pukul 7 malam.

Tentu saja Papi juga memintaku untuk datang bahkan bersama papa dan mama. Tapi, aku sudah ada niat tak ingin bergabung menjadi bagian dari pesta itu. Karena pastinya itu akan membuatku semakin terluka.

"Kalau kamu hanya pergi menghindar seperti ini... kamu nggak akan bisa secepatnya melupakan kakakmu," kata Love, suaranya lembut namun tegas, saat kami berdua menikmati sarapan di restoran.

Aku telah menceritakan semuanya padanya—perasaanku pada Kak Juna, penolakan yang membekas. Love adalah sahabat terdekatku, satu-satunya yang tahu rahasia hatiku yang terdalam.

"Terus... aku harus bagaimana menurutmu?" tanyaku, suaraku terdengar putus asa, mencari solusi.

"Kakakmu 'kan hari ini mau bertunangan, otomatis sebentar lagi akan menikah. Bagaimana kalau setelah Kakakmu tunangan... kamu menikah saja duluan, Vi."

Mataku membulat, terkejut bukan main. "Menikah duluan?? Yang benar saja, Lov. Lagian aku mau menikah dengan siapa? Jangankan pacar... teman laki-laki saja aku nggak punya." Terdengar konyol, mustahil. Pernikahan adalah keputusan besar, sesuatu yang belum pernah terpikirkan.

"Minta Papimu untuk menjodohkanmu. Aku yakin Papimu jauh lebih berpengalaman dalam hal ini. Serahkan saja padanya."

Aku menggeleng ragu. "Tapi, apa nggak ada saran lain selain menikah, Lov? Aku ragu untuk melakukannya. Nggak yakin juga kalau Papi setuju. Pernikahan bukan untuk permainan."

"Yang minta kamu untuk mempermainkan pernikahan siapa, Vi? Nggak ada kok." Love menggeleng pelan, mencoba meyakinkanku. "Justru dengan kamu menikah, kamu akan mendapatkan lembaran baru di hidupmu. Kamu juga bisa belajar mencintai suamimu. Otomatis nantinya kamu bisa melupakan Kak Juna. Bukannya itu yang kamu inginkan?"

Kata-katanya masuk akal, namun tetap saja terasa aneh. Menikah? Hanya untuk melupakan seseorang? Aku termenung, memikirkan sarannya yang tak terduga itu.

"Aku sih nggak maksa kamu mau turutin saran dariku atau enggak. Semuanya keputusan ada di tanganmu, Vi." Love menambahkan, suaranya lembut, memberi ruang bagiku untuk berpikir.

"Dek! Ternyata kamu ada di sini?"

Suara itu. Aku menoleh, mata membulat. Kak Juna, entah datangnya dari mana, tapi dia sudah berdiri di depan meja kami.

Tapi kok bisa dia tau aku di sini? Dari siapa coba?

"Kakak tadi ke rumah Om Dono, tapi kata Papamu kamu dari sehabis subuh pergi. Eh nggak taunya kamu ada di sini dengan Velove." Kak Juna menjelaskan, suaranya tenang, dia juga tersenyum padaku.

"Kami tadi habis lari pagi, Kak." Love menimpali, suaranya ramah, mencoba meredakan ketegangan. Dia melambaikan tangan memanggil pelayan untuk membayar. "Kalau begitu aku pergi duluan ya, Vi ... Kak Juna? Masih ada urusan. Bye, Vi!" Sentuhannya di pundakku terasa singkat, namun memberikan sedikit ketenangan.

"Iya, Lov. Hati-hati."

Aku melihat Love pergi, meninggalkan aku dan Kak Juna berdua. Segera kuraih dompet, siap membayar, namun Kak Juna lebih cepat. Dia menahan tanganku.

"Berapa totalnya, Mas? Biar aku saja yang bayar," katanya, suaranya lembut namun tegas seraya mengambil dompet.

"160 ribu, Mas," jawab pelayan.

"Ini." Kak Juna langsung memberikan uang tunai sejumlah 200 ribu. "Kembaliannya ambil saja."

Aku langsung melangkah pergi meninggalkan restoran, namun aku yang hendak menyetop taksi kalah cepat oleh Kak Juna yang sudah menyusul dan mencekal lenganku. Sentuhannya membuatku tersentak.

"Kenapa kamu langsung pergi begitu saja, Dek? Nggak tungguin Kakak?" Suaranya sedikit mendesak, namun tetap terdengar lembut.

"Aku mau pulang!" Aku menepis tangannya, menjaga jarak. "Lepaskan!"

"Bareng sama Kakak saja." Dia mendekat lagi, menahan pergelangan tanganku. "Kakak juga bawakan kamu gaun, untuk kamu pakai nanti malam. Kakak berharap kamu datang ke pesta pertunangan Kakak, ya? Kakak mau hubungan kita baik-baik saja, Dek. Terlepas setelah apa yang terjadi di antara kita."

"Mana gaunnya?" Aku bertanya langsung, tanpa basa-basi. Tangan terulur, menunggu gaun yang dibicarakannya. Aku tak ingin membahas perasaan lagi, rasa sakit itu sudah cukup.

"Ada di mobil. Tapi kita pulang bareng saja, sekalian, ya? Ada yang ingin Kakak obrolkan denganmu."

"Aku...." Aku ingin menolak, namun Kak Juna sudah menarikku cepat masuk ke dalam mobil.

Pintu mobil tertutup rapat. Lalu dia tiba-tiba memelukku. Erat dan hangat, tapi terasa hambar.

"Kakak minta maaf ya, Dek, karena Kakak nggak bisa membalas cintamu. Apa yang Kakak lakukan untuk yang terbaik, untuk hubungan kita."

Air mata langsung mengalir. Dadaku sesak. Namun, aku cepat-cepat menghapusnya, mendorong Kak Juna untuk melepaskan pelukannya.

Aku tak boleh cengeng. Aku tak boleh egois. Mulai sekarang, aku akan melupakannya.

Perempuan yang dicintainya selama ini bukanlah aku. Aku harus menerima itu. Aku harus menghargai keputusannya, sepedih apapun itu. Aku harus kuat.

"Nggak apa-apa kok, Kak." Senyumku dipaksakan, terasa kaku dan hampa. "Sudah, nggak perlu bahas masalah itu lagi. Dan tenang saja... nanti malam aku pasti datang dengan Papa dan Mama ke pesta pertunangan Kakak." Kata-kata itu keluar, sebuah janji yang kutetapkan.

Aku sebenarnya ingin menolak, tapi bingung juga mencari alasannya. Dan saran Love tiba-tiba terngiang di telingaku. Tak ada pilihan lain. Setelah pesta, aku akan meminta Papi menjodohkanku. Semoga saja, aku bisa menemukan pria sebaik Kak Juna.

"Terima kasih ya, Dek. Kakak sayang sama kamu." Kak Juna tersenyum, lalu mendekat dan mencium keningku. Aku langsung tersentak, wajahku langsung memerah. Jantungku juga ikut berdebar kencang.

"Aku juga sayang Kakak. Tapi ...." Aku menarik diri, menciptakan jarak di antara kami. "Mulai sekarang, jangan lagi ada kontak fisik di antara kita ya, Kak. Bisa 'kan?" Suaraku tegas, menyatakan batasan yang harus dijaga. Aku menatap matanya, Kak Juna tampak terkejut.

"Kenapa?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Cinta Kakakku   8. Menarik perhatianku

    Secara tiba-tiba, Papi melangkah cepat ke arahku, lalu memelukku erat. Pelukannya begitu tiba-tiba, sehingga membuatku terkejut.Bukan cuma aku, bahkan Love juga tersentak kaget melihat apa yang terjadi.Namun, tak dapat ku pungkiri bahwa pelukan Papi begitu hangat, menciptakan rasa nyaman yang tak terduga. Di tengah ketegangan yang kurasakan, aku juga merasa rindu padanya, rindu akan kasih sayang seorang ayah."Eh Om Tian... selamat siang, Om. Om mau jemput Silvi, ya?" Love bertanya dengan ramah, suaranya mencoba mencairkan suasana tegang. Dia tersenyum ke arah Papi meskipun kulihat sedikit canggung."Iya nih." Suara Papi Tian terdengar berat, seperti suara seseorang yang menahan beban berat. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat dalam dekapannya, detak jantung yang seakan ikut berdebar bersama jantungku."Ya sudah. Kita nggak jadi deh nontonnya, Vi. Lain kali saja. Aku pulang duluan kalah begitu, ya? Bye!!" Love cepat-cepat melepaskan genggaman

  • Gairah Cinta Kakakku   7. Aku selalu ada untukmu

    "Sama Kakak saja, Dek. Biar Kakak yang antar." Suara Kak Juna, serak dan berat, menciptakan getaran amarah yang siap meledak di dalam dadaku.Aku langsung menepis tangannya, gerakan refleks yang dipicu oleh amarah yang membuncah. Bukan hanya menepis, aku juga mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga.Brukk!!Tubuh Kak Juna terhuyung, jatuh tersungkur ke aspal. Bunyi tubuhnya membentur jalanan terdengar begitu nyaring, menciptakan gema di telingaku. Namun, aku tak peduli. Aku tak mampu lagi menahan amarah yang membara. Ini adalah kesempatan emas untuk pergi darinya, untuk menjauhkan diri dari cengkeramannya."Jalan, Pak!""Baik, Nona." Sopir taksi itu mengangguk patuh, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan rumah, meninggalkan Kak Juna yang tergeletak di jalanan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungku yang masih berpacu kencang.Punggungku menyandar di kursi mobil,

  • Gairah Cinta Kakakku   6. Nasi goreng spesial

    Sampai di pinggir jalan, rupanya Mama Della juga ikut mengejar. Dia langsung menarik tanganku yang hampir mencapai sisi jalan, menghentikan niatku untuk pulang sendiri dengan menggunakan taksi."Kamu mau ke mana, Sayang?" Suaranya lembut, berbeda dengan amarah yang baru saja kurasakan."Hiks ...." Aku tiba-tiba menangis. Emosiku yang memuncak melebur menjadi air mata yang tak tertahankan. Tangisanku pecah, menumpahkan segala beban yang kurasakan.Mama Della langsung memelukku, menenangkan tubuhku yang gemetar. Namun tangisku kian menjadi, mengingat bagaimana nasibku yang terasa begitu buruk."Mama minta maaf, ya, kalau Mama ada salah sama kamu. Kalau memang kamu benar-benar kepengen menikah... Mama akan mendukungmu. Mama juga akan bicara dengan Papimu, supaya dia setuju," Mama Della berkata, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Kata-katanya bagai angin segar di tengah gersangnya hatiku. Aku tak menyangka ternyata dia memi

  • Gairah Cinta Kakakku   5. Tidak adil

    "Ya sudah… kalian makan dulu, yuk. Kalian pasti belum makan, kan?" Papi angkat bicara, lalu berdiri dari duduknya."Ayok Om, kebetulan aku juga laper nih." Kak Robert mengangguk seraya menyentuh perutnya, lalu dia menatap ke arahku. "Kamu mau makan bareng Kakak nggak, Vi? Ayok sekalian," ajaknya."Silvi biar makan denganku." Kak Juna lagi-lagi menyela, padahal aku baru membuka mulut ingin menjawab."Oh ya sudah." Kak Robert mengangguk mengerti.Papi pun merangkul bahu Kak Robert, lalu mengajaknya dan Om Joe menuju meja prasmanan."Kamu jangan mau sama Robert ya, Dek!" seru Kak Juna. Matanya menatapku tajam."Kenapa memangnya?""Pokoknya jangan!" jawabnya menggeleng tegas, tanpa memberikan alasan."Sayang!! Sini!!"Dari kejauhan, Mbak Friska berteriak memanggil. Dasar tidak sopan! Padahal apa susahnya dia ke sini, tanpa perlu berteriak-teriak begitu.Kak Juna menoleh, lalu mengangguk. Namun dia menatap ke arahku lagi. "Kakak tinggal dulu sebentar ya, Dek. Nanti Kakak balik lagi buat ki

  • Gairah Cinta Kakakku   4. Silvi masih kecil

    "Bukannya Kakak sendiri yang minta aku untuk melupakan rasa cinta ini?" Aku perlahan menyentuh dadaku yang berdenyut ngilu. "Kalau kita sering melakukan kontak fisik, bagaimana bisa aku melupakannya?""Kontak fisik apa yang kamu maksud? Apa memelukmu? Jadi Kakak nggak boleh memelukmu lagi??" Kak Juna menatapku dengan raut sedih dan kecewa."Bukan hanya memeluk saja, tapi mencium keningku juga.""Tapi bukannya dari dulu Kakak sudah sering memeluk dan mencium keningmu?" Dahinya berkerut bingung, namun raut sedihnya masih kentara jelas. "Kakak rasa itu wajar, Dek.""Mau itu wajar atau tidak, intinya aku nggak mau, Kak." Aku menggeleng cepat. "Aku mohon Kakak turuti permintaanku. Lagian setelah tunangan, Kakak juga akan menikah, jadi Kakak fokus saja dengan Mbak Friska. Nggak usah pedulikan aku lagi." Diakhir kalimat, aku mengucapkannya dengan nada ketus. Rasa kesalku padanya nyatanya masih menggebu."Lho... kok kamu bicara begitu?" Kak Juna tampak terkejut, bahkan kedua matanya kini suda

  • Gairah Cinta Kakakku   3. Menikah duluan

    Lagian, bukankah katanya pesta pertunangannya besok? Seharusnya Kak Juna sibuk mempersiapkan segalanya, jadi dia tidak akan punya waktu untuk sekadar "main" ke rumah Papa."Kamu nggak lagi berantem dengan Kakakmu 'kan, Sayang?"Pertanyaan Papa Dono membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh, melihat wajah penuh perhatiannya. Aku menggeleng cepat."Enggak kok, Pa." Suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkan diri sendiri sekaligus Papa Dono."Syukurlah kalau enggak." Tangannya yang hangat mengusap puncak kepalaku, sentuhan lembut yang terasa menenangkan. Segera aku memeluknya erat, mencari perlindungan dalam dekapannya yang penuh kasih sayang.Apakah sikapku tadi sudah menunjukkan bahwa aku dan Kak Juna bermasalah? Semoga saja tidak.***Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, aku pamit pada Papa dan Mama untuk keluar rumah. Aku memberikan alasan ingin lari pagi bersama Love—sahabatku. Itu semua aku lakukan untuk menghindari Kak Juna.Chatnya kemarin tak kubalas, namun ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status