Lagian, bukankah katanya pesta pertunangannya besok? Seharusnya Kak Juna sibuk mempersiapkan segalanya, jadi dia tidak akan punya waktu untuk sekadar "main" ke rumah Papa.
"Kamu nggak lagi berantem dengan Kakakmu 'kan, Sayang?" Pertanyaan Papa Dono membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh, melihat wajah penuh perhatiannya. Aku menggeleng cepat. "Enggak kok, Pa." Suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkan diri sendiri sekaligus Papa Dono. "Syukurlah kalau enggak." Tangannya yang hangat mengusap puncak kepalaku, sentuhan lembut yang terasa menenangkan. Segera aku memeluknya erat, mencari perlindungan dalam dekapannya yang penuh kasih sayang. Apakah sikapku tadi sudah menunjukkan bahwa aku dan Kak Juna bermasalah? Semoga saja tidak. *** Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, aku pamit pada Papa dan Mama untuk keluar rumah. Aku memberikan alasan ingin lari pagi bersama Love—sahabatku. Itu semua aku lakukan untuk menghindari Kak Juna. Chatnya kemarin tak kubalas, namun malamnya lagi dia mengirim pesan, memberitahu akan datang ke rumah Papa setelah sarapan. Jadi, sebelum matahari benar-benar terbit, aku sudah pergi. Papi juga menelepon semalam, tapi kubiarkan panggilan itu berdering tanpa jawaban. Rasanya malas. Lalu, sebuah pesan singkat memberitahukan pesta pertunangan Kak Juna diadakan di hotel, pukul 7 malam. Tentu saja Papi juga memintaku untuk datang bahkan bersama papa dan mama. Tapi, aku sudah ada niat tak ingin bergabung menjadi bagian dari pesta itu. Karena pastinya itu akan membuatku semakin terluka. "Kalau kamu hanya pergi menghindar seperti ini... kamu nggak akan bisa secepatnya melupakan kakakmu," kata Love, suaranya lembut namun tegas, saat kami berdua menikmati sarapan di restoran. Aku telah menceritakan semuanya padanya—perasaanku pada Kak Juna, penolakan yang membekas. Love adalah sahabat terdekatku, satu-satunya yang tahu rahasia hatiku yang terdalam. "Terus... aku harus bagaimana menurutmu?" tanyaku, suaraku terdengar putus asa, mencari solusi. "Kakakmu 'kan hari ini mau bertunangan, otomatis sebentar lagi akan menikah. Bagaimana kalau setelah Kakakmu tunangan... kamu menikah saja duluan, Vi." Mataku membulat, terkejut bukan main. "Menikah duluan?? Yang benar saja, Lov. Lagian aku mau menikah dengan siapa? Jangankan pacar... teman laki-laki saja aku nggak punya." Terdengar konyol, mustahil. Pernikahan adalah keputusan besar, sesuatu yang belum pernah terpikirkan. "Minta Papimu untuk menjodohkanmu. Aku yakin Papimu jauh lebih berpengalaman dalam hal ini. Serahkan saja padanya." Aku menggeleng ragu. "Tapi, apa nggak ada saran lain selain menikah, Lov? Aku ragu untuk melakukannya. Nggak yakin juga kalau Papi setuju. Pernikahan bukan untuk permainan." "Yang minta kamu untuk mempermainkan pernikahan siapa, Vi? Nggak ada kok." Love menggeleng pelan, mencoba meyakinkanku. "Justru dengan kamu menikah, kamu akan mendapatkan lembaran baru di hidupmu. Kamu juga bisa belajar mencintai suamimu. Otomatis nantinya kamu bisa melupakan Kak Juna. Bukannya itu yang kamu inginkan?" Kata-katanya masuk akal, namun tetap saja terasa aneh. Menikah? Hanya untuk melupakan seseorang? Aku termenung, memikirkan sarannya yang tak terduga itu. "Aku sih nggak maksa kamu mau turutin saran dariku atau enggak. Semuanya keputusan ada di tanganmu, Vi." Love menambahkan, suaranya lembut, memberi ruang bagiku untuk berpikir. "Dek! Ternyata kamu ada di sini?" Suara itu. Aku menoleh, mata membulat. Kak Juna, entah datangnya dari mana, tapi dia sudah berdiri di depan meja kami. Tapi kok bisa dia tau aku di sini? Dari siapa coba? "Kakak tadi ke rumah Om Dono, tapi kata Papamu kamu dari sehabis subuh pergi. Eh nggak taunya kamu ada di sini dengan Velove." Kak Juna menjelaskan, suaranya tenang, dia juga tersenyum padaku. "Kami tadi habis lari pagi, Kak." Love menimpali, suaranya ramah, mencoba meredakan ketegangan. Dia melambaikan tangan memanggil pelayan untuk membayar. "Kalau begitu aku pergi duluan ya, Vi ... Kak Juna? Masih ada urusan. Bye, Vi!" Sentuhannya di pundakku terasa singkat, namun memberikan sedikit ketenangan. "Iya, Lov. Hati-hati." Aku melihat Love pergi, meninggalkan aku dan Kak Juna berdua. Segera kuraih dompet, siap membayar, namun Kak Juna lebih cepat. Dia menahan tanganku. "Berapa totalnya, Mas? Biar aku saja yang bayar," katanya, suaranya lembut namun tegas seraya mengambil dompet. "160 ribu, Mas," jawab pelayan. "Ini." Kak Juna langsung memberikan uang tunai sejumlah 200 ribu. "Kembaliannya ambil saja." Aku langsung melangkah pergi meninggalkan restoran, namun aku yang hendak menyetop taksi kalah cepat oleh Kak Juna yang sudah menyusul dan mencekal lenganku. Sentuhannya membuatku tersentak. "Kenapa kamu langsung pergi begitu saja, Dek? Nggak tungguin Kakak?" Suaranya sedikit mendesak, namun tetap terdengar lembut. "Aku mau pulang!" Aku menepis tangannya, menjaga jarak. "Lepaskan!" "Bareng sama Kakak saja." Dia mendekat lagi, menahan pergelangan tanganku. "Kakak juga bawakan kamu gaun, untuk kamu pakai nanti malam. Kakak berharap kamu datang ke pesta pertunangan Kakak, ya? Kakak mau hubungan kita baik-baik saja, Dek. Terlepas setelah apa yang terjadi di antara kita." "Mana gaunnya?" Aku bertanya langsung, tanpa basa-basi. Tangan terulur, menunggu gaun yang dibicarakannya. Aku tak ingin membahas perasaan lagi, rasa sakit itu sudah cukup. "Ada di mobil. Tapi kita pulang bareng saja, sekalian, ya? Ada yang ingin Kakak obrolkan denganmu." "Aku...." Aku ingin menolak, namun Kak Juna sudah menarikku cepat masuk ke dalam mobil. Pintu mobil tertutup rapat. Lalu dia tiba-tiba memelukku. Erat dan hangat, tapi terasa hambar. "Kakak minta maaf ya, Dek, karena Kakak nggak bisa membalas cintamu. Apa yang Kakak lakukan untuk yang terbaik, untuk hubungan kita." Air mata langsung mengalir. Dadaku sesak. Namun, aku cepat-cepat menghapusnya, mendorong Kak Juna untuk melepaskan pelukannya. Aku tak boleh cengeng. Aku tak boleh egois. Mulai sekarang, aku akan melupakannya. Perempuan yang dicintainya selama ini bukanlah aku. Aku harus menerima itu. Aku harus menghargai keputusannya, sepedih apapun itu. Aku harus kuat. "Nggak apa-apa kok, Kak." Senyumku dipaksakan, terasa kaku dan hampa. "Sudah, nggak perlu bahas masalah itu lagi. Dan tenang saja... nanti malam aku pasti datang dengan Papa dan Mama ke pesta pertunangan Kakak." Kata-kata itu keluar, sebuah janji yang kutetapkan. Aku sebenarnya ingin menolak, tapi bingung juga mencari alasannya. Dan saran Love tiba-tiba terngiang di telingaku. Tak ada pilihan lain. Setelah pesta, aku akan meminta Papi menjodohkanku. Semoga saja, aku bisa menemukan pria sebaik Kak Juna. "Terima kasih ya, Dek. Kakak sayang sama kamu." Kak Juna tersenyum, lalu mendekat dan mencium keningku. Aku langsung tersentak, wajahku langsung memerah. Jantungku juga ikut berdebar kencang. "Aku juga sayang Kakak. Tapi ...." Aku menarik diri, menciptakan jarak di antara kami. "Mulai sekarang, jangan lagi ada kontak fisik di antara kita ya, Kak. Bisa 'kan?" Suaraku tegas, menyatakan batasan yang harus dijaga. Aku menatap matanya, Kak Juna tampak terkejut. "Kenapa?"Hari berganti..."Daddy ke mana, Mom? Kerja? Katanya Daddy bilang sama aku mau ngambil cuti sampai aku keluar rumah sakit," tanya Friska, mulutnya penuh dengan bubur yang disuapkan oleh Mommy Indri. Matanya menelisik ke sekeliling ruangan, mencari-cari keberadaan Daddy Irfan yang sejak dia bangun tidur tidak terlihat batang hidungnya. "Jangan bilang dia pergi untuk membeli air do'a, kan aku sudah bilang nggak usah," gumamnya dengan nada khawatir."Iya, Daddy memang ngambil cuti. Dia keluar cuma mau ketemu rekan bisnisnya kok, tadi sempat ngomong sama Mommy juga," jawab Mommy Indri berbohong, berusaha meyakinkan putrinya. Dia tidak ingin Friska kembali marah dan memperburuk kondisinya."Syukurlah ...." Friska menghela napas lega, lalu menyentuh perutnya yang terasa kenyang. "Sayang juga uangnya kalau buat beli air do'a," tambahnya."Iya, oh ya ... Mommy keluar sebentar buat belikan kamu buah, ya? Kamu kepengen buah apa kira-kira?" Mommy Indri menawarkan, berusaha mengalihkan perhatian
"Dukun?!"Mata Friska membulat sempurna, pupilnya melebar, tampak terkejut mendengar kata yang baru saja meluncur dari bibir Daddynya. Dia mencoba menegakkan tubuhnya, namun rasa lemas masih menggerogoti, membuatnya kembali bersandar pada tumpukan bantal di belakangnya."Iya, Dukun. Mommymu bilang dia mau minta air do'anya Dukun beranak, Friska," sahut Daddy Irfan, seraya menatap tajam ke arah istrinya."Untuk apa air do'anya Dukun beranak? Aku 'kan nggak melahirkan," tanya Friska, mengerutkan keningnya bingung. Logika sederhana dalam otaknya menolak untuk memahami situasi yang absurd ini."Ih kalian ini bicara apa, air ini bukan air do'a dari Dukun beranak kok," elak Mommy Indri, mencoba membela diri."Mommy jangan bohong, kan pas tadi Mommy pergi izinnya mau minta air do'a Dukun beranak sama Daddy," Daddy Irfan mengingatkan, nadanya tegas, memaksa sang istri untuk mengakui kebenarannya."Iya, Mommy memang izin buat minta air do'a Dukun beranak, tapi pas Mommy datang ke rumahnya oran
Di sebuah kamar rumah sakit yang sunyi... Friska membuka mata perlahan, pupilnya menyesuaikan diri dengan cahaya lembut ruangan. Dinding berwarna krem, lukisan abstrak yang menggantung, dan aroma antiseptik yang menusuk hidung. Ini bukan bangsal biasa, melainkan kamar rawat VVIP yang mewah. Namun, kemewahan ini justru membuatnya merasa asing. Dan dia berpikir sekarang sudah berpindah alam. Benar apa yang Mommy Indri khawatirkan. Friska memang berniat mengakhiri hidupnya. Baginya, hidup tanpa Juna terasa hampa, tak ada lagi alasan untuk bernapas. "Baru tau aku kalau di akhirat itu suasananya mirip seperti ruangan rumah sakit. Kupikir seperti taman bunga," ucapnya dengan suara lemah. Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Bicara apa kamu, Friska?!" seru Daddy Irfan yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi. Wajahnya tampak lelah, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Friska terperanjat, tubuhnya yang masih lemah mencoba bangkit dari tempat tidur namun
(21+)"Dek ... apa Kakak boleh menyentuhmu?" Juna berbisik lembut, suaranya bergetar menahan gejolak yang membuncah dalam dirinya. Matanya menatap dalam ke mata Silvi, mencari jawaban yang sejujurnya.Silvi terdiam, jantungnya berdegup kencang.Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini, dan hatinya diliputi perasaan campur aduk antara malu, ragu, takut, dan hasrat yang menggelora. Ini adalah kali pertama baginya, sebuah gerbang menuju dunia baru yang belum pernah dia jamah."Aku ... aku nggak tau, Kak," bisiknya lirih. Pipinya merona merah, panas menjalar ke seluruh tubuhnya.Juna mengelus lembut pipi Silvi, merasakan kehalusan kulitnya di bawah jemarinya. "Nggak apa-apa, Dek. Kakak nggak akan memaksa. Kalau kamu belum siap... Kakak akan menunggu. Sampai kapan pun kamu siap."'Gagal lagi deh, mau buat cicit untuk Opa,' batinnya sedih.Ada guratan kekecewaan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan di wajahnya, meski Juna telah berusaha untuk tersenyum.Melihat itu, Silvi menjadi tidak enak
"Lho, Dek ... kamu kenapa?"Juna, yang tiba untuk menjemput Silvi, terkejut mendapati raut wajah istrinya yang begitu sendu. Ada guratan kesedihan yang dalam di sana, membuat hatinya mencelos khawatir.Tanpa sepatah kata pun, Silvi langsung membuka pintu mobil dan masuk, membiarkan Juna bertanya-tanya dalam benaknya.Juna segera menyusul, masuk ke dalam mobil. "Cerita sama Kakak, kamu ada apa? Apa ada yang menjahati kamu di kampus? Katakan, akan Kakak kasih dia pelajaran!" Ucapnya dengan nada sungguh-sungguh.Dia sudah menggulung kedua lengan bajunya, memperlihatkan otot-ototnya yang kekar. Dia benar-benar akan memberikan pelajaran setimpal jika ada yang berani menyakiti Silvi, batinnya bergejolak."Jalan dulu, nanti aku cerita setelah sampai rumah, Kak," jawab Silvi lirih. Dia lalu menyandarkan bahunya di penyangga kursi dengan lemah, seolah seluruh energinya terkuras habis.Juna mengangguk, meski rasa penasarannya semakin membuncah. Dia menancapkan gas mobilnya, meninggalkan area un
"Mami kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?"Suara Papi Tian tiba-tiba memecah keheningan pagi itu, membuat Mami Nissa yang sedang berdiri di balkon tersentak kaget. Jantungnya berdegup kencang.Dengan gerakan cepat, dia menyembunyikan layar ponselnya yang menampilkan percakapan dengan salah satu anak buahnya. Dia tak ingin Papi Tian sampai tahu tentang rencananya. Bisa dipastikan, suaminya itu akan naik pitam.Walaupun terpisah jarak, Mami Nissa selalu ingin memastikan Juna dalam keadaan baik dan tidak kekurangan apa pun. Karena itulah, dia sampai rela menyewa orang untuk membuat skenario seolah-olah Juna memenangkan kuis, hanya demi bisa mengirimkan uang 50 juta ke tangannya.Papi Tian melangkah mendekat, raut wajahnya menyimpan tanya. Mami Nissa berusaha setenang mungkin, menyunggingkan senyum yang dipaksakan."Eh, enggak kok, Pi. Ini Mami lagi lihatin foto-foto lama... Si Juna sama Silvi waktu kecil. Ya ampun, gemesin banget mereka berdua," kilahnya, berusaha meyakinkan. Dengan sigap