Share

5. Tidak adil

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-06-04 22:35:01

"Ya sudah… kalian makan dulu, yuk. Kalian pasti belum makan, kan?" Papi angkat bicara, lalu berdiri dari duduknya.

"Ayok Om, kebetulan aku juga laper nih." Kak Robert mengangguk seraya menyentuh perutnya, lalu dia menatap ke arahku. "Kamu mau makan bareng Kakak nggak, Vi? Ayok sekalian," ajaknya.

"Silvi biar makan denganku." Kak Juna lagi-lagi menyela, padahal aku baru membuka mulut ingin menjawab.

"Oh ya sudah." Kak Robert mengangguk mengerti.

Papi pun merangkul bahu Kak Robert, lalu mengajaknya dan Om Joe menuju meja prasmanan.

"Kamu jangan mau sama Robert ya, Dek!" seru Kak Juna. Matanya menatapku tajam.

"Kenapa memangnya?"

"Pokoknya jangan!" jawabnya menggeleng tegas, tanpa memberikan alasan.

"Sayang!! Sini!!"

Dari kejauhan, Mbak Friska berteriak memanggil. Dasar tidak sopan! Padahal apa susahnya dia ke sini, tanpa perlu berteriak-teriak begitu.

Kak Juna menoleh, lalu mengangguk. Namun dia menatap ke arahku lagi. "Kakak tinggal dulu sebentar ya, Dek. Nanti Kakak balik lagi buat kita makan bareng. Kamu di sini saja, nggak usah samperin Robert, biarkan dia sama Papi."

Aku tak menanggapi, langsung melengos pergi ke arah toilet. Berbicara dengan Kak Juna membuat perutku mules, aku juga sedang tak berselera makan. Apalagi dengannya.

*

*

*

Setelah pesta selesai, dan para tamu berlalu, aku mengumpulkan Papi, Mami, Mama, dan Papa di meja makan. Lampu meja menerangi wajah-wajah mereka, mengungkapkan kerutan-kerutan halus yang menyimpan cerita hidup mereka. Aku ingin jujur, mengungkapkan semuanya secara terbuka kepada mereka semua, tanpa bertele-tele. Mereka adalah orangtuaku, dan aku menghormati mereka semua, meski jalan hidup kami mungkin berbeda.

Di atas meja terhidang lima gelas jus mangga—sebuah upaya kecilku untuk menciptakan suasana yang sedikit lebih nyaman.

Namun, udara di antara kami terasa berat, dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan. Kak Juna sendiri sebelumnya telah pamit untuk mengantar Mbak Friska pulang ke rumahnya, jadi dia tidak ikut serta di sini.

"Mau bicara tentang apa sih, Nak? Kok kayaknya serius?" tanya Mami, suaranya lembut, namun diwarnai rasa ingin tahu yang kuat. Matanya, yang biasanya berbinar, kini tampak sedikit khawatir. "Tapi kita tunggu Juna saja kalau begitu."

Aku menggeleng cepat. Aku tidak perlu menunggunya, biarkan saja dia pergi bersama pujaan hatinya. Lagian, apa yang aku bahas ini untuk kebaikannya juga.

"Enggak usah, Mi."

"Jadi apa, Sayang? Ayo katakan, Mama penasaran," Mama Della menyahut, tersenyum padaku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gejolak di dalam dada. "Aku… mau menikah."

Hening sesaat, sampai akhirnya...

"Eh, menikah??" Papi bereaksi pertama kali, suaranya dipenuhi keterkejutan, matanya membulat.

Aku sudah menduga sebelumnya, bahwa dia adalah orang pertama yang akan kaget mendengar hal ini.

"Sama siapa, Sayang?" Papa Dono bertanya, suaranya lebih tenang, namun tetap menunjukkan rasa ingin tahunya yang besar.

"Kamu masih kecil, jangan deh, Sayang," Mama Della menimpali, wajahnya tampak khawatir.

"Mamamu benar, kamu baru masuk kuliah. Masa sudah mau menikah?" Mami menambahkan, menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Jangan bercanda, Silvi. Hari ini Papi capek sekali, jadi bicaralah yang penting-penting saja," Papi menatapku sedikit tajam. Tatapannya dipenuhi ketidakpercayaan, campuran rasa lelah yang teramat sangat.

"Aku serius. Aku nggak bercanda, Pi. Aku mau menikah," kataku, suara sedikit gemetar namun teguh. Tatapanku bertemu dengan tatapan Papi, mencari sedikit pun celah pengertian di balik keterkejutannya.

"Siapa calonnya? Memangnya kamu sendiri punya pacar? Bukannya selama ini kamu dilarang pacaran sama Kakakmu?" Pertanyaan Papi langsung membabi buta, seperti peluru yang ditembakkan tanpa ampun, tampak tidak sabar menunggu jawabanku. Kecemasan menggigitku.

"Aku mau Papi yang mencarikan," jawabku ragu-ragu.

"Mencarikan??" Dahi Papi tampak berkerut bingung, garis-garis kerutannya semakin dalam. "Apa maksudmu?"

"Apa kamu ingin menikah dengan cara dijodohkan, Sayang?" Papa Dono, dengan kepekaannya yang luar biasa, seolah membaca isi hatiku. Pertanyaannya lebih lembut, namun tetap menusuk tepat sasaran.

"Iya, Pa," aku mengangguk cepat, mencoba menahan air mata yang mengancam untuk jatuh. Rasa lega sedikit membasahi dadaku. Seseorang ada yang mengerti.

"Tapi kamu kenapa tiba-tiba kepengen menikah, Nak? Ada apa?" Mami bertanya lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Dia bahkan sudah berdiri dan melangkah mendekatiku, tangannya terulur seakan ingin membelai rambutku. "Apa kamu ada masalah?"

"Nggak ada, Mi," aku menggeleng cepat, mencoba meyakinkan mereka. "Aku kepengen menikah ya karena kepengen aja. Aku ingin ngerasain rasanya jadi istri itu seperti apa."

"Jangan gila kamu, Vi! Pernikahan itu bukan main-main!" Papi menyahut tegas, suaranya sedikit nyaring, rahangnya mengeras. Sorot matanya tajam, menunjukkan ketidaksetujuannya yang keras. "Enggak! Enggak boleh, kamu masih kecil!" Nada suaranya meningkat, menciptakan ketegangan yang mencekam.

Tubuhku seketika menegang. Aku merasakan bulu kudukku berdiri. Aku paling takut jika melihat Papi marah, meskipun dia sendiri orangnya jarang marah.

"Aku sudah besar, Pi. Banyak kok anak seusiaku yang sudah menikah," aku membela diri, suaraku mulai terdengar lebih lantang, mencoba melawan rasa takut yang menguasai.

"Tapi kamu baru masuk kuliah," sahut Papi cepat, matanya melotot, menunjukkan amarahnya yang tak terbendung.

"Papimu benar, Nak. Kamu juga baru semester satu. Masih awal untuk kamu berhenti kuliah," Mami menambahkan.

"Aku hanya mau menikah, Mi, bukan berhenti kuliah. Aku tetap kuliah sampai sarjana," kataku, mencoba menjelaskan dengan tenang, mencoba meyakinkan mereka bahwa aku tidak gegabah.

"Mana bisa!!" Papi kembali menyahut. Suaranya menggelegar menusuk telinga. "Kamu pikir bisa semudah itu? Bagaimana kalau nantinya setelah menikah kamu langsung hamil? Kamu pasti akan mengambil cuti, dan kuliahmu jadi tertunda."

"Kan ada KB, Pi. Aku bisa melakukan itu. Dan kalau pun aku nanti hamil lalu cuti kuliah... aku akan tetap melanjutkan kuliah, pokoknya sampai aku lulus dan jadi sarjana, Pi."

"Enggak! Papi nggak akan mengizinkanmu menikah!" Papi menggeleng cepat, menolak keras permintaanku. Keputusannya terlihat bulat, tanpa ruang untuk negosiasi.

"Kalau begitu, aku mending berhenti kuliah saja deh!" Aku langsung berdiri, emosiku memuncak. Aku merasa tak didengar, tak dihargai. "Papi memang nggak sayang sama aku!" Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku.

"Nak ... kamu nggak boleh seperti itu," Mami merangkul bahuku, suaranya lembut, mencoba menenangkan situasi yang mulai panas. Namun emosiku sudah memuncak. "Papi nggak mengizinkan bukan berarti Papi nggak sayang, justru Papi melakukan itu karena dia sayang sama kamu." Ucapan Mami terasa seperti angin lalu.

"Enggak, Mi!" Aku menarik tangan Mami dari bahuku, mundur selangkah untuk menjauh. Dadaku bergemuruh, naik turun mengatur napas yang tersengal-sengal. "Yang Papi sayangi hanya Kak Juna, bukan aku. Begitupun dengan Mami!" Aku mencari celah, membawa Kak Juna untuk memperkuat argumenku, meski aku tahu ini mungkin bukan alasan yang tepat.

Tapi, kedekatan Papi dan Kak Juna memang tidak perlu diragukan lagi. Mereka layaknya prangko yang selalu menempel pada kertas. Keduanya sering menghabiskan waktu bersama, bahkan buang hajat pun mereka sering bersama-sama.

Terdengar aneh memang, malah jika orang yang tidak tahu, pasti mengira mereka berdua ada kelainan. Tapi keduanya adalah pria normal, hanya saja kebiasaan Kak Juna yang sedari kecil ingin buang hajat bersama Papi ikut terbawa sampai dewasa.

"Buktinya... kalian nggak melarang Kak Juna punya pacar, sampai dia sekarang tunangan. Padahal, Mbak Friska juga masih kuliah, sama sepertiku. Ya meskipun dia memang sudah senior... tapi tetap saja dia masih kuliah!!" Aku melontarkan argumenku, suara bergetar menahan amarah. Ketidakadilan terasa menusuk hati.

Papi memang awalnya tidak melarangku pacaran, tapi dia pada akhirnya mendukung Kak Juna yang secara terang-terangan melarangku pacaran.

"Ini nggak adil buatku! Papi dan Mami nggak sayang sama aku! Aku benci kalian!" Aku berteriak, meluapkan emosi yang selama ini terpendam. Kata-kata kasar terlontar tanpa bisa kucegah. Setelah itu aku berlari pergi meninggalkan mereka semua, keluar dari hotel, meninggalkan suasana yang menyesakkan.

"Silvi!! Tunggu, Sayang!!" Papa Dono berteriak memanggil, suaranya terdengar panik. Dia juga mengejarku. Namun karena tubuh Papa Dono yang gemuk, langkahnya tak secepat aku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Cinta Kakakku   44. Tanggung jawab

    Juna, yang masih terhuyung-huyung, perlahan berlutut di kaki Daddy Irfan. "Maafin aku, Om. Wajar Om marah, aku terima itu. Semuanya memang salahku. Aku akan bertanggung jawab di sini, aku akan membiayai semua pengobatan Friska sampai dia sembuh." Suaranya penuh penyesalan, menunjukkan kesungguhan permohonan maafnya. Dia siap menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.Daddy Irfan langsung menendang Juna dengan kasar, menjauhkan dirinya dari kakinya. Gerakannya cepat dan kuat. "Membiayai katamu? Kamu pikir orang tua Friska nggak mampu? Aku mampu, Jun! Aku mampu!" teriaknya dengan mata melotot, napasnya tersengal-sengal, menunjukkan kemarahan yang belum mereda."Tapi, Om, itu bentuk tanggung jawabku karena sudah—" Juna mencoba menjelaskan, namun terpotong."Sudah, Jun, nggak usah!" Opa Angga segera menghentikan Juna, menarik cepat cucunya itu yang berniat kembali berlutut. "Kalau memang Daddy-nya Friska menolak tanggung jawabmu, kamu nggak usah

  • Gairah Cinta Kakakku   43. Kamu hanya mempermainkannya

    "Putri Anda mengalami serangan jantung, Pak."Kata-kata dokter itu menghantam mereka seperti petir di siang bolong, menciptakan keheningan sesaat yang mencekam. Udara terasa begitu berat, seakan menekan dada."Apa?! Serangan jantung?!" Mata Daddy Irfan membulat sempurna, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya. Juna dan Opa Angga juga terpaku, terkejut luar biasa. "Tapi... bagaimana bisa, Dok?" Suara Daddy Irfan lirih, suaranya bergetar, mengungkapkan ketidakpercayaan dan keputusasaan yang mendalam."Dari hasil pemeriksaan yang saya lihat... Nona Friska ini dulunya pernah memiliki penyakit jantung ya 'kan Pak? Apakah benar?" Dokter itu bertanya, suaranya tenang namun tetap terdengar serius, menciptakan suasana yang makin menegangkan."Penyakit jantung?!" Juna dan Opa Angga berucap bersama, suara mereka nyaris bersamaan, mengungkapkan keterkejutan yang sama. Mereka saling berpandangan, mata mereka mencerminkan kebingungan dan ketakutan.Berita ini me

  • Gairah Cinta Kakakku   42. Hanya ingin dia

    "Silvi.""Si-Silvi??" Suara Friska terbata-bata, raut wajahnya tampak terkejut sekaligus bingung. Matanya membulat lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Silvi... adikmu, Yang?""Iya." Juna mengangguk, matanya menatap Friska dengan tatapan bersalah. Dia tahu bahwa pengakuannya ini akan menghancurkan hati Friska."Bagaimana bisa kamu mencintai adikmu sendiri, ketimbang aku? Kamu ini waras nggak, sih, Yang? Ini kamu sedang bercanda, kan?""Sudah kubilang, kalau aku sejak tadi bicara serius. Kamu juga tentu tau kalau aku dan Silvi adalah saudara tiri, jadi nggak masalah kalau kami saling mencintai.""Enggak! Itu aneh sih, Yang." Friska menggeleng cepat, air matanya mengalir deras. Dia tampak tak habis pikir dengan ucapan Juna. Baginya, ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal, sesuatu yang melampaui batas kewajaran."Aneh apanya? Cinta itu 'kan tumbuh tanpa kita tau akan bertaut ke siapa, kenapa juga harus aneh?

  • Gairah Cinta Kakakku   41. Kita harus putus

    Setelah dipersilakan masuk, Friska dengan sigap duduk di sofa ruang tamu.Detak jantungnya berdebar-debar, merasa tak sabar ingin cepat bertemu Juna.Dia lalu menatap sekeliling ruangan, mencoba menenangkan diri. Tak lama, Juna muncul, diikuti Opa Angga. Bayangan Silvi sejenak melintas di benak Juna, niatnya untuk menelepon gadis itu tertunda karena kehadiran Friska. Namun, masalah dengan Friska juga tak bisa diabaikan; nasibnya terkait erat dengannya."Yang!!" Mata Friska langsung berbinar, seakan dunia hanya berisi Juna saat ini. Dia dengan cepat berdiri dan memeluk Juna erat-erat. "Aku kangen banget sama kamu, Yang! Kamu ke mana saja? Kenapa nggak ada kabar?" Suaranya bergetar karena rindu yang terpendam.Opa Angga mengamati keduanya dengan seksama, tatapannya menelisik pada ekspresi Juna. Dia melihat sebuah kejenuhan, bahkan kesan risih yang terpancar dari wajah cucunya. Pelukan itu lekas dilepas Juna, gerakannya kaku dan terkesan formal."Kalia

  • Gairah Cinta Kakakku   40. Terima kasih

    Opa Angga terdiam, tatapannya yang sayu dan dalam seakan menembus jauh ke lubuk hati Juna. Sejujurnya, Ini bukan ranahnya, dia tahu itu. Keputusan Papi Tian dan Mami Nissa sudah bulat, sebuah keputusan yang telah dipikirkan berulang kali, sebuah keputusan yang didasari oleh pertimbangan yang matang dan mungkin, yang menyakitkan. Opa Angga mengerti, dia selalu mendukung keputusan anak-anaknya, karena dia yakin mereka tak akan mengambil keputusan yang gegabah. Namun, melihat Juna yang duduk di hadapannya, wajahnya pucat pasi, mata sembab karena menahan tangis, hati Opa Angga terenyuh. Cucu kesayangannya itu tampak begitu frustasi, begitu putus asa. Walau bagaimanapun, Juna tetaplah cucunya, cucu yang selalu dia sayangi. Cinta dan kasih sayang itu tak mudah untuk dihilangkan, meski dia harus bersikap tegas. "Memangnya cintamu pada Silvi dalam banget ya, Jun, sampai dari dulu kamu nggak bisa melupakannya?" Suaranya lembut, namun sarat dengan pertanyaan yang menusuk. Dia ingin mema

  • Gairah Cinta Kakakku   39. Tolong restui aku

    "Tapi, aku dan Kakak 'kan sudah menikah, Pi. Aku makin nggak bisa melupakannya. Dia sudah menjadi suamiku."Setidaknya, karena semuanya terlanjur terjadi, Silvi mencoba untuk menerima keadaannya, dengan menerima Juna yang kini telah menjadi suaminya."Pernikahan kalian nggak sah, ngapain dipikirin.""Tapi Kakak 'kan ada buktinya, Pi, dan di sana jelas kalau pernikahan siri itu sudah dilakukan.""Menurut Papi tetap nggak sah. Karena selain tanpa persetujuan keluarga... Dia juga melakukan itu tanpa persetujuanmu.""Apakah ini berarti pernikahanku dengan Kakak harus diulang?""Nggak perlu." Papi Tian menggeleng cepat."Kenapa?""Kamu dan Kakakmu akan selamanya menjadi saudara, jadi nggak akan pernah ada pernikahan di antara kalian." Papi Tian menjelaskan, suaranya tegas dan tanpa kompromi."Tapi semuanya 'kan sudah terlanjur terjadi, Pi. Lagian aku juga sudah gagal menikah dengan Kak Robert, jadi aku—" Silvi mencoba menjelaskan lagi, mencoba mencari celah agar Papinya mau mengerti pos

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status