"Sama Kakak saja, Dek. Biar Kakak yang antar." Suara Kak Juna, serak dan berat, menciptakan getaran amarah yang siap meledak di dalam dadaku.Aku langsung menepis tangannya, gerakan refleks yang dipicu oleh amarah yang membuncah. Bukan hanya menepis, aku juga mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga.Brukk!!Tubuh Kak Juna terhuyung, jatuh tersungkur ke aspal. Bunyi tubuhnya membentur jalanan terdengar begitu nyaring, menciptakan gema di telingaku. Namun, aku tak peduli. Aku tak mampu lagi menahan amarah yang membara. Ini adalah kesempatan emas untuk pergi darinya, untuk menjauhkan diri dari cengkeramannya."Jalan, Pak!""Baik, Nona." Sopir taksi itu mengangguk patuh, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan rumah, meninggalkan Kak Juna yang tergeletak di jalanan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungku yang masih berpacu kencang.Punggungku menyandar di kursi mobil,
Sampai di pinggir jalan, rupanya Mama Della juga ikut mengejar. Dia langsung menarik tanganku yang hampir mencapai sisi jalan, menghentikan niatku untuk pulang sendiri dengan menggunakan taksi."Kamu mau ke mana, Sayang?" Suaranya lembut, berbeda dengan amarah yang baru saja kurasakan."Hiks ...." Aku tiba-tiba menangis. Emosiku yang memuncak melebur menjadi air mata yang tak tertahankan. Tangisanku pecah, menumpahkan segala beban yang kurasakan.Mama Della langsung memelukku, menenangkan tubuhku yang gemetar. Namun tangisku kian menjadi, mengingat bagaimana nasibku yang terasa begitu buruk."Mama minta maaf, ya, kalau Mama ada salah sama kamu. Kalau memang kamu benar-benar kepengen menikah... Mama akan mendukungmu. Mama juga akan bicara dengan Papimu, supaya dia setuju," Mama Della berkata, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Kata-katanya bagai angin segar di tengah gersangnya hatiku. Aku tak menyangka ternyata dia memi
"Ya sudah… kalian makan dulu, yuk. Kalian pasti belum makan, kan?" Papi angkat bicara, lalu berdiri dari duduknya."Ayok Om, kebetulan aku juga laper nih." Kak Robert mengangguk seraya menyentuh perutnya, lalu dia menatap ke arahku. "Kamu mau makan bareng Kakak nggak, Vi? Ayok sekalian," ajaknya."Silvi biar makan denganku." Kak Juna lagi-lagi menyela, padahal aku baru membuka mulut ingin menjawab."Oh ya sudah." Kak Robert mengangguk mengerti.Papi pun merangkul bahu Kak Robert, lalu mengajaknya dan Om Joe menuju meja prasmanan."Kamu jangan mau sama Robert ya, Dek!" seru Kak Juna. Matanya menatapku tajam."Kenapa memangnya?""Pokoknya jangan!" jawabnya menggeleng tegas, tanpa memberikan alasan."Sayang!! Sini!!"Dari kejauhan, Mbak Friska berteriak memanggil. Dasar tidak sopan! Padahal apa susahnya dia ke sini, tanpa perlu berteriak-teriak begitu.Kak Juna menoleh, lalu mengangguk. Namun dia menatap ke arahku lagi. "Kakak tinggal dulu sebentar ya, Dek. Nanti Kakak balik lagi buat ki
"Bukannya Kakak sendiri yang minta aku untuk melupakan rasa cinta ini?" Aku perlahan menyentuh dadaku yang berdenyut ngilu. "Kalau kita sering melakukan kontak fisik, bagaimana bisa aku melupakannya?""Kontak fisik apa yang kamu maksud? Apa memelukmu? Jadi Kakak nggak boleh memelukmu lagi??" Kak Juna menatapku dengan raut sedih dan kecewa."Bukan hanya memeluk saja, tapi mencium keningku juga.""Tapi bukannya dari dulu Kakak sudah sering memeluk dan mencium keningmu?" Dahinya berkerut bingung, namun raut sedihnya masih kentara jelas. "Kakak rasa itu wajar, Dek.""Mau itu wajar atau tidak, intinya aku nggak mau, Kak." Aku menggeleng cepat. "Aku mohon Kakak turuti permintaanku. Lagian setelah tunangan, Kakak juga akan menikah, jadi Kakak fokus saja dengan Mbak Friska. Nggak usah pedulikan aku lagi." Diakhir kalimat, aku mengucapkannya dengan nada ketus. Rasa kesalku padanya nyatanya masih menggebu."Lho... kok kamu bicara begitu?" Kak Juna tampak terkejut, bahkan kedua matanya kini suda
Lagian, bukankah katanya pesta pertunangannya besok? Seharusnya Kak Juna sibuk mempersiapkan segalanya, jadi dia tidak akan punya waktu untuk sekadar "main" ke rumah Papa."Kamu nggak lagi berantem dengan Kakakmu 'kan, Sayang?"Pertanyaan Papa Dono membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh, melihat wajah penuh perhatiannya. Aku menggeleng cepat."Enggak kok, Pa." Suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkan diri sendiri sekaligus Papa Dono."Syukurlah kalau enggak." Tangannya yang hangat mengusap puncak kepalaku, sentuhan lembut yang terasa menenangkan. Segera aku memeluknya erat, mencari perlindungan dalam dekapannya yang penuh kasih sayang.Apakah sikapku tadi sudah menunjukkan bahwa aku dan Kak Juna bermasalah? Semoga saja tidak.***Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, aku pamit pada Papa dan Mama untuk keluar rumah. Aku memberikan alasan ingin lari pagi bersama Love—sahabatku. Itu semua aku lakukan untuk menghindari Kak Juna.Chatnya kemarin tak kubalas, namun ma
"Lho, Sayang ... kamu mau ke mana? Kok bawa-bawa koper?"Pertanyaan Papi terlontar saat dia melihatku keluar dari kamar dengan mendorong koper.Tadi pagi sebelum sarapan, aku sempat tak sengaja mendengar perbincangan antara Papi, Mami dan Kak Juna di dapur yang membahas masalah pertunangan dengan Mbak Friska. Aku terkejut, karena ternyata pertunangan mereka diadakan besok.Itu terdengar begitu mendadak, aku sendiri baru diberitahu semalam, itupun karena Kak Juna yang menolak cintaku."Sayang, kok kamu melamun? Ada apa?"Aku tersentak, Papi menyentuh pundakku. Aku menggeleng cepat."Enggak apa-apa kok, Pi. Aku cuma kangen sama Mama dan Papa, jadi mau tinggal di sana untuk sementara waktu. Boleh 'kan?"Papa Dono adalah Papa angkatku.Dulu, Papi Tian bercerita jika dia pernah ditipu oleh almarhum mama. Almarhum mama mengatakan bahwa aku sudah meninggal, padahal nyatanya aku dibuang ke panti asuhan.Entah apa masalah awalnya sehingga almarhum mama tega melakukan itu, Papi sendiri tidak me