Beranda / Romansa / Gairah Cinta Kakakku / 6. Nasi goreng spesial

Share

6. Nasi goreng spesial

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 13:00:07

Sampai di pinggir jalan, rupanya Mama Della juga ikut mengejar. Dia langsung menarik tanganku yang hampir mencapai sisi jalan, menghentikan niatku untuk pulang sendiri dengan menggunakan taksi.

"Kamu mau ke mana, Sayang?" Suaranya lembut, berbeda dengan amarah yang baru saja kurasakan.

"Hiks ...." Aku tiba-tiba menangis. Emosiku yang memuncak melebur menjadi air mata yang tak tertahankan. Tangisanku pecah, menumpahkan segala beban yang kurasakan.

Mama Della langsung memelukku, menenangkan tubuhku yang gemetar. Namun tangisku kian menjadi, mengingat bagaimana nasibku yang terasa begitu buruk.

"Mama minta maaf, ya, kalau Mama ada salah sama kamu. Kalau memang kamu benar-benar kepengen menikah... Mama akan mendukungmu. Mama juga akan bicara dengan Papimu, supaya dia setuju," Mama Della berkata, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Kata-katanya bagai angin segar di tengah gersangnya hatiku. Aku tak menyangka ternyata dia memihak padaku.

Setidaknya meskipun Papi atau Mami tidak setuju, aku masih memiliki Mama Della yang mau mendukungku. Dan aku yakin, Papa Dono juga akan mengikuti Mama Della, memihak padaku. Secercah harapan muncul di tengah keputusasaan.

***

Embun pagi masih menempel di dedaunan saat aku bangun.

Hari ini terasa berbeda, lebih berdebar. Aku sengaja bangun lebih awal, menyiapkan nasi goreng spesial resepku sendiri—dengan penuh konsentrasi.

Aroma bawang putih dan kemiri yang harum memenuhi dapur kecil kami, seakan menjadi pengiring doa-doa kecilku.

Nasi goreng spesial ini lebih dari sekadar sarapan, tapi persembahan kecilku, tanda terima kasihku pada Papa dan Mama yang selalu mendukungku.

Aku masih mengingat momen semalam, dimana hangatnya pelukan Mama saat dia bercerita tentang keberhasilannya merayu Papa. Papa katanya akan ke rumah Papi, untuk membujuknya.

Aku berharap, kehadiran Papa—sosok yang disegani Papi, bisa meluluhkan hati Papi. Karena dengan luluhnya hati Papi, otomatis akan meluluhkan hati Mami juga. Mereka selalu bersama, sepasang suami istri yang tak terpisahkan, keputusan mereka selalu selaras, sekuat ikatan cinta yang telah mereka jalin selama ini.

"Papa... Papa serius 'kan mau bicara sama Papi? Mau mendukungku?" tanyaku hanya sekedar mengingatkan saja, takut Papa Dono lupa. Suaraku sedikit manja.

Nasi goreng spesial kini sudah tersaji di atas meja.

"Iya, Sayang." Papa Dono mengangguk, jawabannya membuat beban di dadaku sedikit berkurang. Aku tersenyum lega, sebuah senyum yang terasa begitu tulus, lalu langsung memeluk tubuhnya erat-erat.

"Terima kasih ya, Pa. Aku sayang banget sama Papa!!"

"Papa juga sayang sama kamu." Papa Dono mencium lembut puncak rambutku, sentuhan lembut yang menenangkan. "Setelah sarapan dan sebelum berangkat kerja, Papa akan mampir ke rumah Papimu dulu."

"Iya. Tapi aku perlu ikut nggak kira-kira?"

"Enggak perlu." Dia menggeleng, lalu menarikku untuk duduk di sampingnya. Tatapannya begitu lembut, penuh pengertian. "Biar Papa saja sendiri, Papa ingin mengobrol dari hati ke hati, supaya Papimu luluh."

Aku mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. "Oke deh!" Aku mengedipkan sebelah mataku, berusaha terlihat tegar, meski sebenarnya rasa cemas masih bergelayut di hati.

"Susu sama kopinya datang ...." Mama Della muncul dari dapur, membawa nampan berisi dua gelas—susu untukku dan kopi untuk Papa Dono, langkahnya terlihat tenang. Aroma kopi yang baru diseduh tercium samar, bercampur dengan aroma nasi goreng yang masih hangat. Dia meletakkan nampan di atas meja, tepat di antara kami.

"Terima kasih, Ma. Aku sayang Mama!" Aku langsung memeluk Mama Della, mencium pipinya dengan hangat.

"Sama-sama, Sayang." Mama membalas pelukanku, mencium pipiku juga. Dia duduk di sampingku, senyumnya merekah.

Ting Tong!

Suara bel pintu rumah terdengar. Sendok nasi goreng yang baru saja kuangkat terhenti di udara.

"Ada tamu sepertinya. Sebentar... biar Mama yang temui," kata Mama Della, suaranya terdengar sedikit terkejut. Dia beranjak pergi, meninggalkan aku dan Papa Dono.

Siapa gerangan yang bertamu sepagi ini? Batinku menggerutu. Tidak sopan sekali, mengusik ketenangan sarapan pagi.

"Eh, Juna. Kamu ke sini, Nak?" Suara Mama Della terdengar sampai dapur, membuatku terkesiap.

"Uhuk! Uhuk!"

Aku tersedak, nasi goreng hampir menyembur keluar dari mulutku.

Juna? Kak Juna? Kenapa dia ada di sini? Kemarin dia sudah datang, dan sekarang lagi? Apa yang sebenarnya dia inginkan?

Papa Dono dengan sigap menyodorkan segelas air. "Hati-hati makannya. Ini minumlah dulu, Sayang." Aku menerimanya dengan tangan gemetar, meneguk air putih itu hingga habis.

"Ada, kebetulan kami juga sedang sarapan. Ayok masuk ... Kamu pasti belum sarapan juga, kan?" Suara Mama terdengar ramah, terlalu ramah menurutku.

Ih, Mama… Kenapa harus mengajaknya masuk? Aku hanya ingin satu hari saja tanpa bertemu dengannya. Kenapa semuanya terasa begitu sulit?

"Pagi Om Dono. Dek ...." Kak Juna masuk, menyapa Papa Dono dengan mencium punggung tangannya—gerakan yang terasa formal dan sedikit canggung. Dia lalu mendekat ke arahku untuk mencium keningku, tetapi aku lebih cepat menghindar, gerakan refleks yang menunjukkan ketidaksukaanku.

"Pagi juga, Jun. Kamu kok pagi-pagi sudah ke sini? Sudah sarapan belum?" Papa Dono bertanya sambil tersenyum hangat.

"Belum, Om. Aku ke sini memang sengaja karena ingin sarapan dengan kalian." Kak Juna menjawab sambil tersenyum, matanya berbinar-binar, lalu dia hendak duduk di kursi yang tadi ditempati Mama. Secepat kilat, aku menghalanginya.

"Ih, itu 'kan tempat duduknya Mama! Kakak nggak boleh duduk di sini!" Suaraku terdengar tegas, menunjukkan ketidaksukaanku yang teramat jelas.

"Nggak apa-apa, Sayang. Kursinya 'kan banyak." Mama Della datang, suaranya terdengar lembut, mencoba meredakan suasana. Dia langsung duduk di samping Papa Dono, posisi yang membuatku semakin kesal.

"Iissshh!!" Aku berdecih sebal, menunjukkan ketidaksukaanku yang tak tertahankan. Aku ingin duduk di samping Mama Della, bukan di samping tamu tak diundang ini. Tatapanku tajam tertuju pada Kak Juna, lalu aku melanjutkan sarapan dengan perasaan yang campur aduk.

"Ayok sekarang makanlah, Jun. Ini nasi goreng Silvi yang buat lho," tawar Papa Dono. Mama Della dengan sigap mengambilkan sepiring nasi goreng untuk Kak Juna.

"Waahhh ... serius??" Mata Kak Juna berbinar, dia menatapku dengan ekspresi yang menurutku berlebihan. "Sejak kapan kamu bisa masak, Dek? Kok kamu nggak ngasih tau Kakak?"

"Buat apa? Memangnya penting." Jawabku ketus.

"Ya jelas pentinglah. Kamu 'kan biasanya apa-apa ngomong sama Kakak. Bahkan pertama kali kamu datang bulan saja, Kakak orang yang pertama kali kamu kasih tau." Kak Juna berkata dengan nada menggoda, mengingatkan momen memalukan di masa lalu.

Wajahku langsung memerah, merasa malu dan sedikit kesal. Kenapa dia harus mengingatkan hal itu? Aku sendiri heran, kenapa dulu aku sebodoh itu menceritakan hal pribadi seperti itu padanya.

"Waahhh ... enak banget nasi gorengnya. Kakak kasih kamu bintang 100, Dek!!" Kak Juna mengunyah nasi goreng dengan ekspresi berlebihan, tapi kali ini pujiannya sedikit meluluhkan kekesalanku. Meskipun aku tahu dia selalu berlebihan, tetap saja ada rasa hangat di hatiku.

"Udah bisa buka restoran nasi goreng kayaknya Silvi ya, Jun," Papa Dono ikut berkomentar, suaranya terdengar menyenangkan.

"Bisa banget sih, Om, ini enak banget soalnya." Kak Juna mengangguk, lalu menatapku dengan tatapan yang sedikit intens. "Kalau kamu mau, nanti Kakak buatkan kamu restoran, Dek. Atau kamu mau kolaborasi dengan restoran pecel lele Kakak? Jadi nanti Kakak bisa tambahkan nasi gorengmu sebagai menu barunya."

"Enggak!" Jawabku singkat, tegas, dan tanpa ragu. Tawarannya terdengar menarik, tapi aku sama sekali tidak tertarik. Itu akan membuatku semakin terikat padanya, membuka neraka kecilku sendiri.

"Kenapa enggak? Bakatmu ini nggak boleh diabaikan begitu saja, Dek. Kan sayang, Dek." Kak Juna mencoba merayu, nada suaranya terdengar lembut, namun justru membuatku semakin emosi.

"Bakat apaan sih, Kak? Orang nasi gorengku rasanya seperti nasi goreng pada umumnya. Nggak usah lebay deh jadi orang!" Suaraku meninggi, kekesalanku sudah mencapai puncaknya. Berbicara lebih lama dengannya membuatku muak. Aku berdiri, menunjukkan niatku untuk mengakhiri percakapan ini. "Aku mau berangkat kuliah sekarang saja deh ya, Pa ... Ma. Mau naik taksi saja." Aku mencium punggung tangan Papa dan Mama, gerakan cepat yang menunjukkan keinginan untuk segera pergi.

"Kok naik taksi? Sama Papa saja, Sayang. Kamu habiskan dulu sarapanmu." Papa Dono menyarankan, suaranya terdengar khawatir.

"Susunya juga belum kamu minum." Mama Della menambahkan, menunjukkan perhatiannya.

Aku meraih gelas susu, meneguknya hingga habis meskipun susunya masih cukup panas. Rasa panas susu tidak sebanding dengan panasnya emosiku saat melihat wajah Kak Juna. Aku ingin segera pergi darinya.

"Assalamualaikum," ucapku, lalu melangkah cepat menuju pintu, ingin segera pergi dari rumah.

"Taksi!!" Aku berteriak memanggil taksi yang baru saja lewat di depan rumah. Tak lama, taksi itu berhenti. Namun, saat aku hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba sebuah tangan mencekal lenganku.

"Sama Kakak saja, Dek. Biar Kakak yang antar."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Cinta Kakakku   7. Aku selalu ada untukmu

    "Sama Kakak saja, Dek. Biar Kakak yang antar." Suara Kak Juna, serak dan berat, menciptakan getaran amarah yang siap meledak di dalam dadaku.Aku langsung menepis tangannya, gerakan refleks yang dipicu oleh amarah yang membuncah. Bukan hanya menepis, aku juga mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga.Brukk!!Tubuh Kak Juna terhuyung, jatuh tersungkur ke aspal. Bunyi tubuhnya membentur jalanan terdengar begitu nyaring, menciptakan gema di telingaku. Namun, aku tak peduli. Aku tak mampu lagi menahan amarah yang membara. Ini adalah kesempatan emas untuk pergi darinya, untuk menjauhkan diri dari cengkeramannya."Jalan, Pak!""Baik, Nona." Sopir taksi itu mengangguk patuh, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan rumah, meninggalkan Kak Juna yang tergeletak di jalanan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungku yang masih berpacu kencang.Punggungku menyandar di kursi mobil,

  • Gairah Cinta Kakakku   6. Nasi goreng spesial

    Sampai di pinggir jalan, rupanya Mama Della juga ikut mengejar. Dia langsung menarik tanganku yang hampir mencapai sisi jalan, menghentikan niatku untuk pulang sendiri dengan menggunakan taksi."Kamu mau ke mana, Sayang?" Suaranya lembut, berbeda dengan amarah yang baru saja kurasakan."Hiks ...." Aku tiba-tiba menangis. Emosiku yang memuncak melebur menjadi air mata yang tak tertahankan. Tangisanku pecah, menumpahkan segala beban yang kurasakan.Mama Della langsung memelukku, menenangkan tubuhku yang gemetar. Namun tangisku kian menjadi, mengingat bagaimana nasibku yang terasa begitu buruk."Mama minta maaf, ya, kalau Mama ada salah sama kamu. Kalau memang kamu benar-benar kepengen menikah... Mama akan mendukungmu. Mama juga akan bicara dengan Papimu, supaya dia setuju," Mama Della berkata, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Kata-katanya bagai angin segar di tengah gersangnya hatiku. Aku tak menyangka ternyata dia memi

  • Gairah Cinta Kakakku   5. Tidak adil

    "Ya sudah… kalian makan dulu, yuk. Kalian pasti belum makan, kan?" Papi angkat bicara, lalu berdiri dari duduknya."Ayok Om, kebetulan aku juga laper nih." Kak Robert mengangguk seraya menyentuh perutnya, lalu dia menatap ke arahku. "Kamu mau makan bareng Kakak nggak, Vi? Ayok sekalian," ajaknya."Silvi biar makan denganku." Kak Juna lagi-lagi menyela, padahal aku baru membuka mulut ingin menjawab."Oh ya sudah." Kak Robert mengangguk mengerti.Papi pun merangkul bahu Kak Robert, lalu mengajaknya dan Om Joe menuju meja prasmanan."Kamu jangan mau sama Robert ya, Dek!" seru Kak Juna. Matanya menatapku tajam."Kenapa memangnya?""Pokoknya jangan!" jawabnya menggeleng tegas, tanpa memberikan alasan."Sayang!! Sini!!"Dari kejauhan, Mbak Friska berteriak memanggil. Dasar tidak sopan! Padahal apa susahnya dia ke sini, tanpa perlu berteriak-teriak begitu.Kak Juna menoleh, lalu mengangguk. Namun dia menatap ke arahku lagi. "Kakak tinggal dulu sebentar ya, Dek. Nanti Kakak balik lagi buat ki

  • Gairah Cinta Kakakku   4. Silvi masih kecil

    "Bukannya Kakak sendiri yang minta aku untuk melupakan rasa cinta ini?" Aku perlahan menyentuh dadaku yang berdenyut ngilu. "Kalau kita sering melakukan kontak fisik, bagaimana bisa aku melupakannya?""Kontak fisik apa yang kamu maksud? Apa memelukmu? Jadi Kakak nggak boleh memelukmu lagi??" Kak Juna menatapku dengan raut sedih dan kecewa."Bukan hanya memeluk saja, tapi mencium keningku juga.""Tapi bukannya dari dulu Kakak sudah sering memeluk dan mencium keningmu?" Dahinya berkerut bingung, namun raut sedihnya masih kentara jelas. "Kakak rasa itu wajar, Dek.""Mau itu wajar atau tidak, intinya aku nggak mau, Kak." Aku menggeleng cepat. "Aku mohon Kakak turuti permintaanku. Lagian setelah tunangan, Kakak juga akan menikah, jadi Kakak fokus saja dengan Mbak Friska. Nggak usah pedulikan aku lagi." Diakhir kalimat, aku mengucapkannya dengan nada ketus. Rasa kesalku padanya nyatanya masih menggebu."Lho... kok kamu bicara begitu?" Kak Juna tampak terkejut, bahkan kedua matanya kini suda

  • Gairah Cinta Kakakku   3. Menikah duluan

    Lagian, bukankah katanya pesta pertunangannya besok? Seharusnya Kak Juna sibuk mempersiapkan segalanya, jadi dia tidak akan punya waktu untuk sekadar "main" ke rumah Papa."Kamu nggak lagi berantem dengan Kakakmu 'kan, Sayang?"Pertanyaan Papa Dono membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh, melihat wajah penuh perhatiannya. Aku menggeleng cepat."Enggak kok, Pa." Suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkan diri sendiri sekaligus Papa Dono."Syukurlah kalau enggak." Tangannya yang hangat mengusap puncak kepalaku, sentuhan lembut yang terasa menenangkan. Segera aku memeluknya erat, mencari perlindungan dalam dekapannya yang penuh kasih sayang.Apakah sikapku tadi sudah menunjukkan bahwa aku dan Kak Juna bermasalah? Semoga saja tidak.***Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, aku pamit pada Papa dan Mama untuk keluar rumah. Aku memberikan alasan ingin lari pagi bersama Love—sahabatku. Itu semua aku lakukan untuk menghindari Kak Juna.Chatnya kemarin tak kubalas, namun ma

  • Gairah Cinta Kakakku   2. Menjauh

    "Lho, Sayang ... kamu mau ke mana? Kok bawa-bawa koper?"Pertanyaan Papi terlontar saat dia melihatku keluar dari kamar dengan mendorong koper.Tadi pagi sebelum sarapan, aku sempat tak sengaja mendengar perbincangan antara Papi, Mami dan Kak Juna di dapur yang membahas masalah pertunangan dengan Mbak Friska. Aku terkejut, karena ternyata pertunangan mereka diadakan besok.Itu terdengar begitu mendadak, aku sendiri baru diberitahu semalam, itupun karena Kak Juna yang menolak cintaku."Sayang, kok kamu melamun? Ada apa?"Aku tersentak, Papi menyentuh pundakku. Aku menggeleng cepat."Enggak apa-apa kok, Pi. Aku cuma kangen sama Mama dan Papa, jadi mau tinggal di sana untuk sementara waktu. Boleh 'kan?"Papa Dono adalah Papa angkatku.Dulu, Papi Tian bercerita jika dia pernah ditipu oleh almarhum mama. Almarhum mama mengatakan bahwa aku sudah meninggal, padahal nyatanya aku dibuang ke panti asuhan.Entah apa masalah awalnya sehingga almarhum mama tega melakukan itu, Papi sendiri tidak me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status