Beranda / Romansa / Gairah Cinta Kakakku / 7. Aku selalu ada untukmu

Share

7. Aku selalu ada untukmu

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-19 13:00:03

"Sama Kakak saja, Dek. Biar Kakak yang antar." Suara Kak Juna, serak dan berat, menciptakan getaran amarah yang siap meledak di dalam dadaku.

Aku langsung menepis tangannya, gerakan refleks yang dipicu oleh amarah yang membuncah. Bukan hanya menepis, aku juga mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga.

Brukk!!

Tubuh Kak Juna terhuyung, jatuh tersungkur ke aspal. Bunyi tubuhnya membentur jalanan terdengar begitu nyaring, menciptakan gema di telingaku. Namun, aku tak peduli. Aku tak mampu lagi menahan amarah yang membara. Ini adalah kesempatan emas untuk pergi darinya, untuk menjauhkan diri dari cengkeramannya.

"Jalan, Pak!"

"Baik, Nona." Sopir taksi itu mengangguk patuh, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan rumah, meninggalkan Kak Juna yang tergeletak di jalanan.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungku yang masih berpacu kencang.

Punggungku menyandar di kursi mobil, namun rasa lega tak kunjung datang. Sebaliknya, rasa bersalah yang tajam, seperti belati yang menusuk-nusuk hatiku.

Bayangan Kak Juna terjatuh, tubuhnya yang tertekan di aspal, terus berputar-putar di kepalaku.

Aku sama sekali tak ada maksud ingin berbuat kasar padanya, tapi itu adalah satu-satunya cara yang kupikirkan untuk melepaskan diri dari jeratannya.

Setibanya di kampus, mataku menangkap sosok Love yang sedang asyik mengobrol dengan seorang pria tinggi tegap di depan sebuah mobil mewah. Dari potongan rambut dan postur tubuhnya, sepertinya aku kenal pria itu.

"Eh, Vi. Kamu baru dateng, ya?" sapa Love dengan ramah, suaranya ceria seperti biasanya. Segera, dia menghamburkan pelukan hangat padaku, pelukan yang selalu berhasil menenangkan. Aku membalas pelukannya, mencoba melupakan kejadian tak mengenakkan pagi tadi.

"Oh ya... kenalkan ini Abangku. Namanya Bang Robert, dia baru pulang dari Korea." Love memperkenalkan pria di depannya dengan penuh semangat.

Pandanganku dan Kak Robert bertemu. Tatapannya hangat, senyum ramahnya.

"Abang sudah kenal sama Silvi, Lov," ucap Kak Robert, senyumnya semakin melebar.

Pelukan kami perlahan terlepas. Love tampak penasaran. "Masa sih? Kenal di mana, Bang?"

"Kakaknya Silvi teman kecil Abang."

"Beneran, Vi?" Love menatapku dengan alis yang bertaut, menunjukkan rasa ingin tahunya yang besar. Aku mengangguk cepat.

"Bener, Lov."

"Kok aku baru tau sekarang sih?" Love mengerutkan dahinya, keheranan tergambar jelas di wajahnya.

"Mangkanya kalian tuh sering ngobrol tentang keluarga, jangan tentang cowok terus yang dibahas." Kak Robert menegur, suaranya terdengar lembut namun tegas. Dia lalu mengacak rambut Love dengan gemas, gerakan yang menunjukkan keakraban mereka.

Love membalas dengan memukul lengan Kak Robert, namun aku bisa melihat kasih sayang yang terpancar di balik gerakannya. Sebuah adegan yang hangat dan penuh cinta kasih saudara.

"Ih apaan sih, Bang! Mana ada aku sama Silvi bahas cowok!"

Melihat interaksi hangat antara Love dan Kak Robert, ingatan tentang Kak Juna kembali menyeruak.

Bayangan Kak Juna yang selalu mengacak rambutku, mencubit pipiku, mencium keningku dan bercanda dengan gaya yang sama seperti Kak Robert dan Love, menghantui pikiranku.

Kami berdua sering sekali melakukan hal semacam itu ketika bercanda, tapi sayangnya, semua momen itu, semua kehangatan itu, tidak akan ada lagi.

Rasanya sedih sekali, semuanya telah tinggal kenangan.

"Lho, Vi, kamu kenapa menangis?"

Sentuhan lembut tangan Love di pipiku membuatku tersentak. Aku sendiri tidak sadar kapan air mataku ini turun, tapi segera kuhapus dengan tergesa-gesa, mencoba menyembunyikan kesedihanku.

"Enggak apa-apa kok." Aku menggeleng cepat, mencoba tersenyum, namun senyumku terasa hampa.

"Kalian berdua masuklah ke dalam kampus, biar enak ceritanya," usul Kak Robert, suaranya lembut, menunjukkan kepeduliannya. Tatapannya, penuh simpati, menembusku. "Di sini banyak orang, nggak enak kalau didengar."

"Ya udah, ayok, Vi." Love langsung merangkul bahuku, menawarkan kenyamanan dan dukungan. Dia mengajakku berjalan menuju kampus, namun aku sempat melihatnya melambaikan tangan pada Kak Robert, sebelum pria itu masuk mobil.

Love mengajakku ke kantin, kami memilih kursi paling pojok, tempat yang paling sepi dan terpencil. Di sana, aku merasa sedikit lebih aman untuk mencurahkan isi hatiku.

"Kamu ada masalah apa? Pasti tentang Kak Juna, ya?" Love langsung menebak, suaranya penuh perhatian. Dia mengerti aku dengan begitu baik.

"Iya." Aku mengangguk lemah, air mata kembali mengancam untuk jatuh.

"Kenapa lagi memangnya?" Dia menatapku dengan penuh penasaran, ingin mengetahui semua yang terjadi. "Bukannya kata kamu, kamu sekarang sudah nggak tinggal bareng lagi sama Kakakmu? Kamu masih di rumah Om Dono, kan?" Love mengingat kembali percakapan kami kemarin-kemarin, mencoba untuk memahami situasiku.

"Iya." Aku mengangguk lesu. "Tapi aku bingung banget sama Kak Juna."

"Bingungnya?"

"Dia selalu menemuiku, Lov. Tadi pagi saja dia datang ke rumah Papa dengan alasan mau sarapan bareng. Alasan yang dibuat-buat. Terus tadi juga mau mengantarku ke kampus, untungnya sih aku gagalin rencananya. Aku benar-benar nggak nyaman." Aku menceritakan semuanya pada Love, menumpahkan segala kekesalanku.

"Kataku juga kamu menikah, Vi. Kalau sudah menikah... pasti Kakakmu nggak akan sering menemuimu. Ya setidaknya dia canggung 'kan sama suamimu?"

"Aku udah bicara ke orang tuaku soal ini. Papa sama Mama setuju, tapi Mami sama Papiku yang enggak." Aku menggeleng frustasi, menunjukkan betapa lelahnya aku menghadapi situasi ini. Meskipun dalam hati aku sangat berharap jika Papa dapat meluluhkan hati Papi.

"Mami sama Papimu nggak setuju karena apa?" Love menanyakan hal yang paling penting.

"Mereka bilang aku masih kecil. Belum cocok menikah."

"Ah banyak kok anak seusia kita sudah menikah." Love mencoba menghiburku, memberikan sedikit semangat.

"Aku juga ngomong begitu, tapi Papiku justru marah."

"Haahhh ... rumit juga, ya?" Love tampak menghela napas berat, menunjukkan betapa dia ikut merasakan beban berat yang kupikul. Dia mengerti betapa sulitnya situasiku.

"Iya, Lov. Tapi semoga saja Papaku bisa meluluhkan hati Papi. Dia bilang hari ini mau ke rumah Papi, bahas perjodohan untukku. Cuma harapan itu satu-satunya yang masih kupunya."

"Semoga saja, ya?" Love mengelus pundakku dengan lembut, sentuhan yang menenangkan. Senyum kecil terlintas di bibirnya, mencoba menyemangatiku. "Aku akan ikut doakan. Semuanya pasti akan baik-baik saja kok."

"Terima kasih, ya?" Aku tersenyum senang, merasa beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya.

"Sama-sama. Kamu jangan terlalu memikirkan semuanya sekaligus, ya. Fokus aja dulu satu per satu. Dan ingat... kamu nggak sendirian kok. Aku selalu ada untuk kamu." Love memberikan dukungannya, menunjukkan persahabatan yang tulus. Kata-kata dukungannya, seperti cahaya kecil yang menerangi kegelapanku.

*

*

*

Jam kuliah pun berakhir tepat jam 12 siang. Aku bergegas membereskan alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas, mencoba melupakan semua kekhawatiran yang masih membayangi pikiranku.

"Hari ini kita pergi nonton yuk, Vi. Ada film romantis baru di bioskop. Tapi sebelum itu kita makan siang dulu." Love mendekat, suaranya ceria, mencoba membangkitkan semangatku.

"Ayok." Aku mengangguk, menerima tawarannya.

Aku yakin niat Love mengajakku nonton adalah untuk menghiburku, untuk mengalihkan perhatianku dari semua masalah yang sedang kuhadapi. Aku memang perlu hiburan, aku butuh pelarian sejenak dari beban pikiranku.

Kami berdua melangkah bersama keluar gedung kampus, beriringan, menikmati suasana siang yang cerah. Namun, langkah kaki kami terhenti di halaman kampus saat sosok Papi Tian terlihat berdiri di depan mobilnya yang mewah sambil bersedekap.

"Papi ...," lirihku.

Wajahnya tampak datar sekali, ekspresinya tak terbaca. Tubuhku seketika menegang, bulu kudukku berdiri tegak. Suasana tiba-tiba menjadi mencekam.

Kenapa Papi ada di sini? Pertanyaan itu seketika muncul.

Aku mendadak merasa takut, takut akan sesuatu yang tak kuketahui, sampai-sampai aku mundur beberapa langkah dari Love, mencari sedikit jarak aman.

Bakal kena omel kayaknya 🤣🤣

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Cinta Kakakku   44. Tanggung jawab

    Juna, yang masih terhuyung-huyung, perlahan berlutut di kaki Daddy Irfan. "Maafin aku, Om. Wajar Om marah, aku terima itu. Semuanya memang salahku. Aku akan bertanggung jawab di sini, aku akan membiayai semua pengobatan Friska sampai dia sembuh." Suaranya penuh penyesalan, menunjukkan kesungguhan permohonan maafnya. Dia siap menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.Daddy Irfan langsung menendang Juna dengan kasar, menjauhkan dirinya dari kakinya. Gerakannya cepat dan kuat. "Membiayai katamu? Kamu pikir orang tua Friska nggak mampu? Aku mampu, Jun! Aku mampu!" teriaknya dengan mata melotot, napasnya tersengal-sengal, menunjukkan kemarahan yang belum mereda."Tapi, Om, itu bentuk tanggung jawabku karena sudah—" Juna mencoba menjelaskan, namun terpotong."Sudah, Jun, nggak usah!" Opa Angga segera menghentikan Juna, menarik cepat cucunya itu yang berniat kembali berlutut. "Kalau memang Daddy-nya Friska menolak tanggung jawabmu, kamu nggak usah

  • Gairah Cinta Kakakku   43. Kamu hanya mempermainkannya

    "Putri Anda mengalami serangan jantung, Pak."Kata-kata dokter itu menghantam mereka seperti petir di siang bolong, menciptakan keheningan sesaat yang mencekam. Udara terasa begitu berat, seakan menekan dada."Apa?! Serangan jantung?!" Mata Daddy Irfan membulat sempurna, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya. Juna dan Opa Angga juga terpaku, terkejut luar biasa. "Tapi... bagaimana bisa, Dok?" Suara Daddy Irfan lirih, suaranya bergetar, mengungkapkan ketidakpercayaan dan keputusasaan yang mendalam."Dari hasil pemeriksaan yang saya lihat... Nona Friska ini dulunya pernah memiliki penyakit jantung ya 'kan Pak? Apakah benar?" Dokter itu bertanya, suaranya tenang namun tetap terdengar serius, menciptakan suasana yang makin menegangkan."Penyakit jantung?!" Juna dan Opa Angga berucap bersama, suara mereka nyaris bersamaan, mengungkapkan keterkejutan yang sama. Mereka saling berpandangan, mata mereka mencerminkan kebingungan dan ketakutan.Berita ini me

  • Gairah Cinta Kakakku   42. Hanya ingin dia

    "Silvi.""Si-Silvi??" Suara Friska terbata-bata, raut wajahnya tampak terkejut sekaligus bingung. Matanya membulat lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Silvi... adikmu, Yang?""Iya." Juna mengangguk, matanya menatap Friska dengan tatapan bersalah. Dia tahu bahwa pengakuannya ini akan menghancurkan hati Friska."Bagaimana bisa kamu mencintai adikmu sendiri, ketimbang aku? Kamu ini waras nggak, sih, Yang? Ini kamu sedang bercanda, kan?""Sudah kubilang, kalau aku sejak tadi bicara serius. Kamu juga tentu tau kalau aku dan Silvi adalah saudara tiri, jadi nggak masalah kalau kami saling mencintai.""Enggak! Itu aneh sih, Yang." Friska menggeleng cepat, air matanya mengalir deras. Dia tampak tak habis pikir dengan ucapan Juna. Baginya, ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal, sesuatu yang melampaui batas kewajaran."Aneh apanya? Cinta itu 'kan tumbuh tanpa kita tau akan bertaut ke siapa, kenapa juga harus aneh?

  • Gairah Cinta Kakakku   41. Kita harus putus

    Setelah dipersilakan masuk, Friska dengan sigap duduk di sofa ruang tamu.Detak jantungnya berdebar-debar, merasa tak sabar ingin cepat bertemu Juna.Dia lalu menatap sekeliling ruangan, mencoba menenangkan diri. Tak lama, Juna muncul, diikuti Opa Angga. Bayangan Silvi sejenak melintas di benak Juna, niatnya untuk menelepon gadis itu tertunda karena kehadiran Friska. Namun, masalah dengan Friska juga tak bisa diabaikan; nasibnya terkait erat dengannya."Yang!!" Mata Friska langsung berbinar, seakan dunia hanya berisi Juna saat ini. Dia dengan cepat berdiri dan memeluk Juna erat-erat. "Aku kangen banget sama kamu, Yang! Kamu ke mana saja? Kenapa nggak ada kabar?" Suaranya bergetar karena rindu yang terpendam.Opa Angga mengamati keduanya dengan seksama, tatapannya menelisik pada ekspresi Juna. Dia melihat sebuah kejenuhan, bahkan kesan risih yang terpancar dari wajah cucunya. Pelukan itu lekas dilepas Juna, gerakannya kaku dan terkesan formal."Kalia

  • Gairah Cinta Kakakku   40. Terima kasih

    Opa Angga terdiam, tatapannya yang sayu dan dalam seakan menembus jauh ke lubuk hati Juna. Sejujurnya, Ini bukan ranahnya, dia tahu itu. Keputusan Papi Tian dan Mami Nissa sudah bulat, sebuah keputusan yang telah dipikirkan berulang kali, sebuah keputusan yang didasari oleh pertimbangan yang matang dan mungkin, yang menyakitkan. Opa Angga mengerti, dia selalu mendukung keputusan anak-anaknya, karena dia yakin mereka tak akan mengambil keputusan yang gegabah. Namun, melihat Juna yang duduk di hadapannya, wajahnya pucat pasi, mata sembab karena menahan tangis, hati Opa Angga terenyuh. Cucu kesayangannya itu tampak begitu frustasi, begitu putus asa. Walau bagaimanapun, Juna tetaplah cucunya, cucu yang selalu dia sayangi. Cinta dan kasih sayang itu tak mudah untuk dihilangkan, meski dia harus bersikap tegas. "Memangnya cintamu pada Silvi dalam banget ya, Jun, sampai dari dulu kamu nggak bisa melupakannya?" Suaranya lembut, namun sarat dengan pertanyaan yang menusuk. Dia ingin mema

  • Gairah Cinta Kakakku   39. Tolong restui aku

    "Tapi, aku dan Kakak 'kan sudah menikah, Pi. Aku makin nggak bisa melupakannya. Dia sudah menjadi suamiku."Setidaknya, karena semuanya terlanjur terjadi, Silvi mencoba untuk menerima keadaannya, dengan menerima Juna yang kini telah menjadi suaminya."Pernikahan kalian nggak sah, ngapain dipikirin.""Tapi Kakak 'kan ada buktinya, Pi, dan di sana jelas kalau pernikahan siri itu sudah dilakukan.""Menurut Papi tetap nggak sah. Karena selain tanpa persetujuan keluarga... Dia juga melakukan itu tanpa persetujuanmu.""Apakah ini berarti pernikahanku dengan Kakak harus diulang?""Nggak perlu." Papi Tian menggeleng cepat."Kenapa?""Kamu dan Kakakmu akan selamanya menjadi saudara, jadi nggak akan pernah ada pernikahan di antara kalian." Papi Tian menjelaskan, suaranya tegas dan tanpa kompromi."Tapi semuanya 'kan sudah terlanjur terjadi, Pi. Lagian aku juga sudah gagal menikah dengan Kak Robert, jadi aku—" Silvi mencoba menjelaskan lagi, mencoba mencari celah agar Papinya mau mengerti pos

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status