"Sama Kakak saja, Dek. Biar Kakak yang antar." Suara Kak Juna, serak dan berat, menciptakan getaran amarah yang siap meledak di dalam dadaku.
Aku langsung menepis tangannya, gerakan refleks yang dipicu oleh amarah yang membuncah. Bukan hanya menepis, aku juga mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga. Brukk!! Tubuh Kak Juna terhuyung, jatuh tersungkur ke aspal. Bunyi tubuhnya membentur jalanan terdengar begitu nyaring, menciptakan gema di telingaku. Namun, aku tak peduli. Aku tak mampu lagi menahan amarah yang membara. Ini adalah kesempatan emas untuk pergi darinya, untuk menjauhkan diri dari cengkeramannya. "Jalan, Pak!" "Baik, Nona." Sopir taksi itu mengangguk patuh, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan rumah, meninggalkan Kak Juna yang tergeletak di jalanan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungku yang masih berpacu kencang. Punggungku menyandar di kursi mobil, namun rasa lega tak kunjung datang. Sebaliknya, rasa bersalah yang tajam, seperti belati yang menusuk-nusuk hatiku. Bayangan Kak Juna terjatuh, tubuhnya yang tertekan di aspal, terus berputar-putar di kepalaku. Aku sama sekali tak ada maksud ingin berbuat kasar padanya, tapi itu adalah satu-satunya cara yang kupikirkan untuk melepaskan diri dari jeratannya. Setibanya di kampus, mataku menangkap sosok Love yang sedang asyik mengobrol dengan seorang pria tinggi tegap di depan sebuah mobil mewah. Dari potongan rambut dan postur tubuhnya, sepertinya aku kenal pria itu. "Eh, Vi. Kamu baru dateng, ya?" sapa Love dengan ramah, suaranya ceria seperti biasanya. Segera, dia menghamburkan pelukan hangat padaku, pelukan yang selalu berhasil menenangkan. Aku membalas pelukannya, mencoba melupakan kejadian tak mengenakkan pagi tadi. "Oh ya... kenalkan ini Abangku. Namanya Bang Robert, dia baru pulang dari Korea." Love memperkenalkan pria di depannya dengan penuh semangat. Pandanganku dan Kak Robert bertemu. Tatapannya hangat, senyum ramahnya. "Abang sudah kenal sama Silvi, Lov," ucap Kak Robert, senyumnya semakin melebar. Pelukan kami perlahan terlepas. Love tampak penasaran. "Masa sih? Kenal di mana, Bang?" "Kakaknya Silvi teman kecil Abang." "Beneran, Vi?" Love menatapku dengan alis yang bertaut, menunjukkan rasa ingin tahunya yang besar. Aku mengangguk cepat. "Bener, Lov." "Kok aku baru tau sekarang sih?" Love mengerutkan dahinya, keheranan tergambar jelas di wajahnya. "Mangkanya kalian tuh sering ngobrol tentang keluarga, jangan tentang cowok terus yang dibahas." Kak Robert menegur, suaranya terdengar lembut namun tegas. Dia lalu mengacak rambut Love dengan gemas, gerakan yang menunjukkan keakraban mereka. Love membalas dengan memukul lengan Kak Robert, namun aku bisa melihat kasih sayang yang terpancar di balik gerakannya. Sebuah adegan yang hangat dan penuh cinta kasih saudara. "Ih apaan sih, Bang! Mana ada aku sama Silvi bahas cowok!" Melihat interaksi hangat antara Love dan Kak Robert, ingatan tentang Kak Juna kembali menyeruak. Bayangan Kak Juna yang selalu mengacak rambutku, mencubit pipiku, mencium keningku dan bercanda dengan gaya yang sama seperti Kak Robert dan Love, menghantui pikiranku. Kami berdua sering sekali melakukan hal semacam itu ketika bercanda, tapi sayangnya, semua momen itu, semua kehangatan itu, tidak akan ada lagi. Rasanya sedih sekali, semuanya telah tinggal kenangan. "Lho, Vi, kamu kenapa menangis?" Sentuhan lembut tangan Love di pipiku membuatku tersentak. Aku sendiri tidak sadar kapan air mataku ini turun, tapi segera kuhapus dengan tergesa-gesa, mencoba menyembunyikan kesedihanku. "Enggak apa-apa kok." Aku menggeleng cepat, mencoba tersenyum, namun senyumku terasa hampa. "Kalian berdua masuklah ke dalam kampus, biar enak ceritanya," usul Kak Robert, suaranya lembut, menunjukkan kepeduliannya. Tatapannya, penuh simpati, menembusku. "Di sini banyak orang, nggak enak kalau didengar." "Ya udah, ayok, Vi." Love langsung merangkul bahuku, menawarkan kenyamanan dan dukungan. Dia mengajakku berjalan menuju kampus, namun aku sempat melihatnya melambaikan tangan pada Kak Robert, sebelum pria itu masuk mobil. Love mengajakku ke kantin, kami memilih kursi paling pojok, tempat yang paling sepi dan terpencil. Di sana, aku merasa sedikit lebih aman untuk mencurahkan isi hatiku. "Kamu ada masalah apa? Pasti tentang Kak Juna, ya?" Love langsung menebak, suaranya penuh perhatian. Dia mengerti aku dengan begitu baik. "Iya." Aku mengangguk lemah, air mata kembali mengancam untuk jatuh. "Kenapa lagi memangnya?" Dia menatapku dengan penuh penasaran, ingin mengetahui semua yang terjadi. "Bukannya kata kamu, kamu sekarang sudah nggak tinggal bareng lagi sama Kakakmu? Kamu masih di rumah Om Dono, kan?" Love mengingat kembali percakapan kami kemarin-kemarin, mencoba untuk memahami situasiku. "Iya." Aku mengangguk lesu. "Tapi aku bingung banget sama Kak Juna." "Bingungnya?" "Dia selalu menemuiku, Lov. Tadi pagi saja dia datang ke rumah Papa dengan alasan mau sarapan bareng. Alasan yang dibuat-buat. Terus tadi juga mau mengantarku ke kampus, untungnya sih aku gagalin rencananya. Aku benar-benar nggak nyaman." Aku menceritakan semuanya pada Love, menumpahkan segala kekesalanku. "Kataku juga kamu menikah, Vi. Kalau sudah menikah... pasti Kakakmu nggak akan sering menemuimu. Ya setidaknya dia canggung 'kan sama suamimu?" "Aku udah bicara ke orang tuaku soal ini. Papa sama Mama setuju, tapi Mami sama Papiku yang enggak." Aku menggeleng frustasi, menunjukkan betapa lelahnya aku menghadapi situasi ini. Meskipun dalam hati aku sangat berharap jika Papa dapat meluluhkan hati Papi. "Mami sama Papimu nggak setuju karena apa?" Love menanyakan hal yang paling penting. "Mereka bilang aku masih kecil. Belum cocok menikah." "Ah banyak kok anak seusia kita sudah menikah." Love mencoba menghiburku, memberikan sedikit semangat. "Aku juga ngomong begitu, tapi Papiku justru marah." "Haahhh ... rumit juga, ya?" Love tampak menghela napas berat, menunjukkan betapa dia ikut merasakan beban berat yang kupikul. Dia mengerti betapa sulitnya situasiku. "Iya, Lov. Tapi semoga saja Papaku bisa meluluhkan hati Papi. Dia bilang hari ini mau ke rumah Papi, bahas perjodohan untukku. Cuma harapan itu satu-satunya yang masih kupunya." "Semoga saja, ya?" Love mengelus pundakku dengan lembut, sentuhan yang menenangkan. Senyum kecil terlintas di bibirnya, mencoba menyemangatiku. "Aku akan ikut doakan. Semuanya pasti akan baik-baik saja kok." "Terima kasih, ya?" Aku tersenyum senang, merasa beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya. "Sama-sama. Kamu jangan terlalu memikirkan semuanya sekaligus, ya. Fokus aja dulu satu per satu. Dan ingat... kamu nggak sendirian kok. Aku selalu ada untuk kamu." Love memberikan dukungannya, menunjukkan persahabatan yang tulus. Kata-kata dukungannya, seperti cahaya kecil yang menerangi kegelapanku. * * * Jam kuliah pun berakhir tepat jam 12 siang. Aku bergegas membereskan alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas, mencoba melupakan semua kekhawatiran yang masih membayangi pikiranku. "Hari ini kita pergi nonton yuk, Vi. Ada film romantis baru di bioskop. Tapi sebelum itu kita makan siang dulu." Love mendekat, suaranya ceria, mencoba membangkitkan semangatku. "Ayok." Aku mengangguk, menerima tawarannya. Aku yakin niat Love mengajakku nonton adalah untuk menghiburku, untuk mengalihkan perhatianku dari semua masalah yang sedang kuhadapi. Aku memang perlu hiburan, aku butuh pelarian sejenak dari beban pikiranku. Kami berdua melangkah bersama keluar gedung kampus, beriringan, menikmati suasana siang yang cerah. Namun, langkah kaki kami terhenti di halaman kampus saat sosok Papi Tian terlihat berdiri di depan mobilnya yang mewah sambil bersedekap. "Papi ...," lirihku. Wajahnya tampak datar sekali, ekspresinya tak terbaca. Tubuhku seketika menegang, bulu kudukku berdiri tegak. Suasana tiba-tiba menjadi mencekam. Kenapa Papi ada di sini? Pertanyaan itu seketika muncul. Aku mendadak merasa takut, takut akan sesuatu yang tak kuketahui, sampai-sampai aku mundur beberapa langkah dari Love, mencari sedikit jarak aman. Bakal kena omel kayaknya 🤣🤣Secara tiba-tiba, Papi melangkah cepat ke arahku, lalu memelukku erat. Pelukannya begitu tiba-tiba, sehingga membuatku terkejut.Bukan cuma aku, bahkan Love juga tersentak kaget melihat apa yang terjadi.Namun, tak dapat ku pungkiri bahwa pelukan Papi begitu hangat, menciptakan rasa nyaman yang tak terduga. Di tengah ketegangan yang kurasakan, aku juga merasa rindu padanya, rindu akan kasih sayang seorang ayah."Eh Om Tian... selamat siang, Om. Om mau jemput Silvi, ya?" Love bertanya dengan ramah, suaranya mencoba mencairkan suasana tegang. Dia tersenyum ke arah Papi meskipun kulihat sedikit canggung."Iya nih." Suara Papi Tian terdengar berat, seperti suara seseorang yang menahan beban berat. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat dalam dekapannya, detak jantung yang seakan ikut berdebar bersama jantungku."Ya sudah. Kita nggak jadi deh nontonnya, Vi. Lain kali saja. Aku pulang duluan kalah begitu, ya? Bye!!" Love cepat-cepat melepaskan genggaman
"Sama Kakak saja, Dek. Biar Kakak yang antar." Suara Kak Juna, serak dan berat, menciptakan getaran amarah yang siap meledak di dalam dadaku.Aku langsung menepis tangannya, gerakan refleks yang dipicu oleh amarah yang membuncah. Bukan hanya menepis, aku juga mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga.Brukk!!Tubuh Kak Juna terhuyung, jatuh tersungkur ke aspal. Bunyi tubuhnya membentur jalanan terdengar begitu nyaring, menciptakan gema di telingaku. Namun, aku tak peduli. Aku tak mampu lagi menahan amarah yang membara. Ini adalah kesempatan emas untuk pergi darinya, untuk menjauhkan diri dari cengkeramannya."Jalan, Pak!""Baik, Nona." Sopir taksi itu mengangguk patuh, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan rumah, meninggalkan Kak Juna yang tergeletak di jalanan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungku yang masih berpacu kencang.Punggungku menyandar di kursi mobil,
Sampai di pinggir jalan, rupanya Mama Della juga ikut mengejar. Dia langsung menarik tanganku yang hampir mencapai sisi jalan, menghentikan niatku untuk pulang sendiri dengan menggunakan taksi."Kamu mau ke mana, Sayang?" Suaranya lembut, berbeda dengan amarah yang baru saja kurasakan."Hiks ...." Aku tiba-tiba menangis. Emosiku yang memuncak melebur menjadi air mata yang tak tertahankan. Tangisanku pecah, menumpahkan segala beban yang kurasakan.Mama Della langsung memelukku, menenangkan tubuhku yang gemetar. Namun tangisku kian menjadi, mengingat bagaimana nasibku yang terasa begitu buruk."Mama minta maaf, ya, kalau Mama ada salah sama kamu. Kalau memang kamu benar-benar kepengen menikah... Mama akan mendukungmu. Mama juga akan bicara dengan Papimu, supaya dia setuju," Mama Della berkata, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Kata-katanya bagai angin segar di tengah gersangnya hatiku. Aku tak menyangka ternyata dia memi
"Ya sudah… kalian makan dulu, yuk. Kalian pasti belum makan, kan?" Papi angkat bicara, lalu berdiri dari duduknya."Ayok Om, kebetulan aku juga laper nih." Kak Robert mengangguk seraya menyentuh perutnya, lalu dia menatap ke arahku. "Kamu mau makan bareng Kakak nggak, Vi? Ayok sekalian," ajaknya."Silvi biar makan denganku." Kak Juna lagi-lagi menyela, padahal aku baru membuka mulut ingin menjawab."Oh ya sudah." Kak Robert mengangguk mengerti.Papi pun merangkul bahu Kak Robert, lalu mengajaknya dan Om Joe menuju meja prasmanan."Kamu jangan mau sama Robert ya, Dek!" seru Kak Juna. Matanya menatapku tajam."Kenapa memangnya?""Pokoknya jangan!" jawabnya menggeleng tegas, tanpa memberikan alasan."Sayang!! Sini!!"Dari kejauhan, Mbak Friska berteriak memanggil. Dasar tidak sopan! Padahal apa susahnya dia ke sini, tanpa perlu berteriak-teriak begitu.Kak Juna menoleh, lalu mengangguk. Namun dia menatap ke arahku lagi. "Kakak tinggal dulu sebentar ya, Dek. Nanti Kakak balik lagi buat ki
"Bukannya Kakak sendiri yang minta aku untuk melupakan rasa cinta ini?" Aku perlahan menyentuh dadaku yang berdenyut ngilu. "Kalau kita sering melakukan kontak fisik, bagaimana bisa aku melupakannya?""Kontak fisik apa yang kamu maksud? Apa memelukmu? Jadi Kakak nggak boleh memelukmu lagi??" Kak Juna menatapku dengan raut sedih dan kecewa."Bukan hanya memeluk saja, tapi mencium keningku juga.""Tapi bukannya dari dulu Kakak sudah sering memeluk dan mencium keningmu?" Dahinya berkerut bingung, namun raut sedihnya masih kentara jelas. "Kakak rasa itu wajar, Dek.""Mau itu wajar atau tidak, intinya aku nggak mau, Kak." Aku menggeleng cepat. "Aku mohon Kakak turuti permintaanku. Lagian setelah tunangan, Kakak juga akan menikah, jadi Kakak fokus saja dengan Mbak Friska. Nggak usah pedulikan aku lagi." Diakhir kalimat, aku mengucapkannya dengan nada ketus. Rasa kesalku padanya nyatanya masih menggebu."Lho... kok kamu bicara begitu?" Kak Juna tampak terkejut, bahkan kedua matanya kini suda
Lagian, bukankah katanya pesta pertunangannya besok? Seharusnya Kak Juna sibuk mempersiapkan segalanya, jadi dia tidak akan punya waktu untuk sekadar "main" ke rumah Papa."Kamu nggak lagi berantem dengan Kakakmu 'kan, Sayang?"Pertanyaan Papa Dono membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh, melihat wajah penuh perhatiannya. Aku menggeleng cepat."Enggak kok, Pa." Suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkan diri sendiri sekaligus Papa Dono."Syukurlah kalau enggak." Tangannya yang hangat mengusap puncak kepalaku, sentuhan lembut yang terasa menenangkan. Segera aku memeluknya erat, mencari perlindungan dalam dekapannya yang penuh kasih sayang.Apakah sikapku tadi sudah menunjukkan bahwa aku dan Kak Juna bermasalah? Semoga saja tidak.***Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, aku pamit pada Papa dan Mama untuk keluar rumah. Aku memberikan alasan ingin lari pagi bersama Love—sahabatku. Itu semua aku lakukan untuk menghindari Kak Juna.Chatnya kemarin tak kubalas, namun ma