Setelah beberapa menit berlalu, Juna pun akhirnya keluar dari kamar mandi.Uap hangat mengepul tipis, membawa serta aroma sampo dan sabun mandi yang langsung menyegarkan seisi ruangan.Bukan sekadar membersihkan gigi dan bersih-bersih, tapi Juna sengaja mandi lagi. Dia membayangkan sentuhan kulitnya dengan Silvi nanti, dan ingin memastikan tubuhnya terasa segar dan wangi.Sebuah antisipasi itu seketika menggelitik perutnya, membuat jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya."Lho... Dek?" Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar. Wajah cerianya langsung meredup, digantikan kekecewaan yang kentara. Silvi sudah terlelap di atas kasur, meringkuk memeluk guling seperti anak kucing yang kelelahan setelah seharian bermain. "Katanya udah siap tadi bilang, kok malah ditinggal tidur sih, Dek?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri."CK!" Juna berdecak pelan, berusaha menyembunyikan rasa kesalnya. Namun, saat matanya menatap wajah polos Silvi yang tam
"Hidup susah gimana sih, Kak? Segini tuh nggak susah. Kita masih punya uang, punya tempat tinggal ya walau ngontrak. Mobil juga masih punya." Silvi menjawab dengan nada ceria, mencoba menghibur Juna.Dia tak ingin suaminya merasa bersalah, karena dia tahu Juna sudah melakukan yang terbaik untuknya."Iya, kamu benar," Juna mengangguk, senyumnya merekah mendengar jawaban Silvi yang penuh pengertian. Dia juga tak menyangka jika Silvi memiliki pemikiran yang dewasa ini. "Oh ya, berhubungan kontrakan kita masih kosong, bagaimana kalau kita nanti malam belanja buat ngisi perabotannya? Sekalian kita makan di luar juga.""Boleh," jawab Silvi, matanya berbinar. "Aku mau makan di bakso langgananku ya, Kak? Gimana?""Oke. Kakak juga udah lama nggak makan bakso nih, Dek," sahut Juna sambil mengelus perutnya.Setelah mandi dan bersiap-siap, mereka langsung berangkat ke toko furniture. Silvi dengan teliti memilih perabotan rumah tangga, namun dengan satu prinsip: yang penting-penting saja dan harga
Setelah ketiganya masuk bersama ke dalam mobil dan meninggalkan rumah mewah itu, Om Steven mengutarakan rencana barunya, yang intinya adalah:"Dengan begini, kita nggak perlu susah payah cari mereka, jadi biar mereka sendiri yang pulang dan datang ke rumah Papa.""Tapi apa nggak apa-apa? Papa takut nantinya jadi kenyataan, Stev," ucap Opa Angga, merasa ragu sekaligus takut."Insya Allah enggak, Pa. Papa jangan khawatir," kata Om Steven dengan yakin. Keduanya pun mengangguk, tanda telah sepakat.***Juna memasuki ruangan dengan langkah berat bersama Silvi, menyeret dua koper besar di belakangnya. Wajahnya tampak ragu, matanya menyapu sekeliling rumah kontrakan yang sederhana, yang kosong melompong.Dindingnya bercat putih pucat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, lantainya keramik usang dengan motif yang sudah tak jelas, dan hanya ada satu jendela kecil yang menghadap ke depan. Rumah kontrakan ini, akan menjadi tempat tinggal mereka yang baru."Dek ... kamu yakin mau tinggal di r
"Maaf, Pak. Bu Nissa nggak ada di ruangannya." Seorang pria berkemeja rapi, dengan nama berkilauan di dadanya, mendekat dengan langkah cepat namun tetap sopan.Dia adalah manager di restoran itu, orang kepercayaan Mami Nissa yang selalu sigap dalam melayani kebutuhan pelanggannya."Nissa belum ke sini?" tanya Opa Angga, nada suaranya menunjukkan kekecewaan yang mendalam."Betul, Pak." Pria itu mengangguk."Coba kamu telepon dia, tanyakan dia ada di mana sekarang." Opa Angga memerintah, berharap manager itu bisa menjadi jembatan untuk menghubunginya dengan sang putri."Maaf, Pak. Saya nggak enak, takut mengganggu Bu Nissa," jawab Manager itu menolak dengan halus. Dia tahu betul betapa sibuknya Mami Nissa, dan tidak ingin mengganggu waktu berharganya kecuali dalam keadaan mendesak."CK!" Opa Angga berdecak kesal. Jika saja Mami Nissa semudah itu dihubungi, dia tidak akan meminta pria itu untuk melakukannya. Rasa frustrasinya semakin memuncak, merasa seperti terhalang oleh tembok yang ta
Juna langsung tersenyum lebar, sebuah senyum penuh kepalsuan yang dia paksakan."Tentu saja semuanya baik, Bu. Silvi bahagia sekarang.""Syukurlah ...." Bu Wiwik menghela napas panjang, merasa lega, bahunya sedikit mengendur. "Ibu ikut senang mendengarnya. Ya sudah, sana gih mandi, terus sarapan bareng Silvi.""Iya, Bu." Juna mengangguk, segera bangkit dari kursi, merasa sedikit terbebani namun juga lega karena berhasil mengelabui Bu Wiwik. Dia lalu melangkah menuju kamar mandi dan masuk ke dalamnya, menutup pintu di belakangnya.**Selesai sarapan, mereka bergegas pergi bersama untuk menemui Baim.Om Ihsan juga sudah mengabari lewat Bu Wiwik, menyampaikan kabar baik bahwa mobil Juna telah selesai diservise.Juna berencana, setelah urusannya dengan Baim selesai, dia akan langsung menuju bengkel untuk mengambil mobilnya, sekaligus mengembalikan mobil Om Ihsan. Sebuah perasaan lega menyelinap di benaknya, setidaknya satu m
Juna menerima amplop tersebut dengan tangan gemetar, lalu membukanya perlahan, jantungnya berdebar tak karuan. Sontak, matanya membulat sempurna, pupilnya melebar, lantaran melihat isinya adalah beberapa lembar uang seratus ribuan yang tersusun rapi, jumlahnya sangat banyak. Sebuah kebingungan melanda benaknya. Namun, di antara tumpukan uang itu, ada selembar surat yang terlipat rapi. Dengan rasa penasaran yang memuncak, Juna langsung membuka lipatan surat tersebut. Ternyata itu adalah tulisan tangan, bukan ketikan mesin. Silvi juga ikut melihat dari dekat. [Pakai uang ini untuk biaya hidup kalian. Gunakan sebaik-baiknya.] Mata Silvi membulat, mulutnya sedikit terbuka karena terkejut. "Apa maksudnya uang ini untuk kita? Tapi siapa yang kasih, nggak mungkin Papi 'kan, Kak?" tanya Silvi, menatap Juna dengan tatapan bingung sekaligus penasaran, dahinya berkerut dalam. Juna mengamati tulisan tangan itu dengan seksama, berusaha mengingat-ingat. "Dari tulisan tangannya sih Kakak h