Jika ada pepatah: habis jatuh tertimpa tangga, maka begitulah nasib Arren yang sebenarnya.
Sudah beberapa tahun ini, ia kehilangan ibunda tercinta. Ayahnya yang dulunya gagah dan kaya raya, kini tak ubahnya sampah masyarakat karena perangai buruknya: seorang alkoholik dan penjudi akut yang seolah tanpa dosa.Di usianya yang masih belia—19 tahun—Arren harus membanting tulang untuk menafkahi dirinya dan ayah yang tidak bisa bekerja. Pria itu hanya tahu cara berhutang dan menghabiskannya dalam semalam. Nasib Arren benar-benar malang.“Akh ….”Rasa sakit kembali menjalar. Kali ini, Arren merasakannya di area paha dan sebelah kakinya, setelah sebelumnya, hanya denyut di kepala saja yang menyakitinya.“Di mana aku?”Arren menyipitkan mata, memindai setiap benda yang ada di sekitarnya. Gelap. Arren tidak dapat melihat apa-apa.“Errgh ….”Arren mengerang karena tiba-tiba, rasa perih muncul di area vitalnya. Apa yang terjadi? Mengapa dia ada di tempat asing seperti ini?TIba-tiba, pintu yang ada di sisi kiri ranjangnya, terbuka perlahan. Sesosok pria berbadan besar tampak berdiri dan memasuki tempat di mana Arren sedang linglung, seperti tak sadarkan diri.“Ah, cantikku sudah bangun, rupanya?”Suara bariton itu mengejutkannya. “Si–siapa kau?” Arren ketakutan dan menggeser tubuhnya sampai ke luar ranjang. Bahkan, ia hampir terjatuh karena tak dapat menerka di mana ujung ranjang itu berada.“Ssshh ….”Pria itu semakin mendekat, kali ini, dia akhirnya sampai di peraduan, tempat Arren terbaring pasrah, tak berdaya.“Le–lepaskan!” Arren berteriak, setelah pria itu tiba-tiba menyeret tubuhnya mendekat. Hanya dengan sebelah tangan, pria itu berhasil merengkuh Arren dan menangkapnya ke dalam buaian.“Mmhh … aroma ini. Aroma yang kusenangi,”Pria itu menelusur setiap inci tubuh Arren dengan paksaan. “Arrgh!” Arren menjerit karena terkejut. Namun, ia dapat merasakan sensasi asing yang menggoyahkan hati dan pikiran warasnya.“Bajingan gila!” teriaknya sambil menendang pria itu hingga jatuh tersungkur di hadapannya.“Wah, wah! Sudah main kasar rupanya!" Alih-alih menyerah, pria itu semakin agresif dan kali ini, ia melepaskan kemeja yang tadi masih bertengger di bahunya, meski seluruh kancingnya sudah terlepas semua.Arren menangis. Ia benar-benar tidak mengenal pria itu. Apa ini? Apakah … dia sedang diculik dan diperkosa?“Kau adalah budakku. Paham? Kau harus melayaniku! Aku menebusmu dengan sangat mahal dari ayahmu itu!”Perkataan pria itu lebih menyakitkan daripada gigitan yang kini sedang dilancarkan pada area dada.“A–ayah?” Arren menggumam, sambil berusaha melepaskan diri namun tak bisa. Kekuatan pria yang sedang menyerangnya itu benar-benar di luar kuasanya. Arren lemah, tak berdaya.“Ya. Ayahmu telah menjualmu padaku. Sekarang, kau adalah budakku! Paham?”Tanpa bicara lagi, pria itu kembali mereguk madu dalam diri Arren, seperti malam kemarin, yang tidak Arren ingat lagi.***Kemarin malam, Arren diculik dan disekap oleh Leonard Connor, seorang bos mafia kejam yang sedang beruntung karena menang judi.Dalam permainan itu, Leon berhasil mengalahkan seorang pria tua yang tidak memiliki apa-apa selain putri tercintanya, Arrendice Hart.Tidak ada yang mengira bahwa Leon akan menerima pembayaran kemenangan berupa seorang gadis perawan.“Di mana anak itu?” tanya Leon tak sabar. Kebetulan, gairahnya malam ini harus dipuaskan.Ayah Arren—seorang duda pemabuk dan penjudi—menunjukkan kediamannya. Leon segera menuju ke sana setelah memenangkan pertaruhan.“Tolong jangan sakiti dia,” ucap sang Ayah sebelum melepas putrinya pergi.“Cara bicaramu seperti orang suci saja. Cih!” cemooh Leon tanpa ingin mendengar apapun lagi.Begitulah pada akhirnya, Arren malang yang baru saja pulang dari bekerja, harus dihadapkan dengan insiden mengerikan. Arren menjadi pemuas nafsu orang asing yang bahkan tidak dikenalnya.Leon, di sisi lain, bisa saja membeli seluruh gadis di kotanya, namun hal itu tidak menarik. Penyerahan paksa seperti inilah yang membangkitkan gairah buasnya, sehingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Leon merasa menang. Leon sangat dominan. Dialah dewa kematian."Kemarilah ..." panggil Leon lembut ke Arren yang berguling di kaki ranjang, setelah menyadari bahwa ia telah ditelanjangi tanpa perlawanan. Arren tidak menjawab, ia tidak bersuara. Tubuhnya menggigil gemetar dengan situasi yang di luar kehendaknya."Aku sudah cukup bermanis kata, sekarang, keluarlah, atau aku harus mengajarimu," ucap Leon masih bermulut manis pada tawanannya.Arren kebingungan, ia tidak tahu harus berbuat apa. Deru napas Leon menggeram seperti singa yang kelaparan. Kesunyian kamar menjadi lebih mencekam. Arren yang sedang telanjang, tidak memiliki pilihan, selain menyerahkan diri, atau ... ia harus ditarik paksa tanpa belas kasih lagi.'Oh, Ibu ....' gumamnya dalam hati. "KENA!"“KYA!”Sebuah pisau menancap pada kaki Arren, setelah Leon sudah cukup bersabar dengannya."Seharusnya kau menurut saja, jadi kau tidak terluka," ucap Leon yang kini telah beradu cinta dengan liarnya. Jemarinya menyelusup ke dalam inti gadis itu dengan kasar, sedangkan sebelah tangannya diikat dengan tali tampar."AKH!!" jeritan Arren malah semakin membangkitkan gairah buasnya. Darah mengucur hangat, begitu pula deru napasnya. Dalam gelap dan heningnya malam, hanya suara derit ranjang yang menggema di dalam ruangan.Arren yang sudah kehilangan banyak darah dan hampir pingsan, tidak peduli lagi dengan kesakitan lain yang mendera bagian vitalnya. Ia bahkan seperti mayat yang tak mengeluarkan suara. Arren sama sekali tidak merasakan perih atas luka-luka yang baru dideritanya.“Ahh … Kau … nikmat sekali ….”Setelah puas, menuntaskan birahinya, Leon membiarkan Arren begitu saja. Gadis itu terus menangis, mengerang, kemudian tertidur. Keesokan paginya, ia seolah tidak mengingat apa-apa. Hanya saja, rasa sakit itu tentu akan selalu terasa.Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
"Bagaimana semalam, Tuan? Anda menikmatinya?" tanya Venn, seorang tawanan lain yang ada di mansion Leon. Bedanya, tawanan itu kini menyebut dirinya sebagai selir kesayangan sang tuan. Berbeda dengan Arren yang masih belum mendapatkan pengakuan. "Lumayan. Dia sangat manis dan beraroma mawar," ucap Leon sambil menikmati pijatan Venn. Pria itu merasa lelah, setelah menghabiskan malam dan bertempur bersama di kamar wanita barunya.“Baik ….” Seolah memahami perasaan kekasihnya yang membuncah, Venn berpura-pura bahagia. Separuh hatinya luka, meski tak mengeluarkan darah. Venn tidak terima ketika Leon begitu memuja gadis baru di wilayah kekuasaannya."Apakah anda ingin ronde kedua? Tuan?" goda Venn sambil menanggalkan seluruh pakaiannya. Venn yang berusia matang, tentu saja memiliki keahlian lain ketimbang Arren yang masih perawan. Mereka berdua adalah wanita dengan level yang berbeda."Tidak. Pijat saja aku, lelah sekali semalam, bertempur dengan kucing hutan," tolak Leon sambil tersenyum
Mata biru, rahang keras, bibir tebal dan kulit putih yang kecokelatan membuat penampilan pria di hadapan Arren begitu mempesona. Wajahnya sangat tampan. Tatapannya pun memancarkan gairah yang sukar dijelaskan. “Sudah puas mengamati wajahku?” Satu hal. Suara itu. Suara yang sangat dibenci oleh Arren. Suara yang selalu menyakiti hati dan alat vitalnya selama beberapa waktu. “BAJINGAN!” Arren menggeram kemudian hampir menyundulkan kepala untuk mengusirnya, sayangnya … pria itu sangat lihai dalam menyiksanya lagi dan lagi. “Tenanglah, nanti infusmu copot!” Leon menahan dahi Arren yang hendak dihentakkan kepadanya. Hangat. Telapak tangan pria itu begitu kontras dengan kondisi Arren yang dingin dan pucat. “Lepaskan!” Arren menggelengkan kepala, berusaha menjauhkan diri dari sentuhan pria tadi. Untuk sesaat, Arren baru menyadari bahwa ada banyak selang yang terhubung pada tubuhnya. Kamarnya pun tidak lagi suram. Semuanya tampak terawat dengan baik. Wajahnya … ketika Arren melihat ke
“Katakan! Apa yang terjadi semalam?” Venn, selir Leon, mendesak mata-mata yang ada di rumah utama untuk menceritakan segalanya. Sudah beberapa hari ini, Leon tidak tampak mengunjunginya di Paviliun Barat. Pria itu sibuk dengan tikus jalanan yang baru saja dipungutnya, Arren. “Nona muda itu sakit, Nyonya. Jadi … tuan merawatnya,” ucap pelayan itu dengan gemetar. Ia takut salah bicara. Rahang Venn mengeras. Bangunan ini begitu sepi tanpa malam panas dengan sang pujaan hati. “Untuk apa kau memberiku rumah seperti ini jika tanpa kita tinggali, Tuan?” Venn menggumam. Hatinya begitu sakit mendengar bahwa Leon seolah melupakan segala hal tentangnya. Awalnya, Leon adalah miliknya seorang. Sekarang? Venn harus rela berbagi kekasih dengan gadis asing yang bahkan tak dikenalnya. “Besok! Besok undang dia untuk pesta teh. Kau harus menyampaikannya pada si pelayan pribadi. Mengerti?” “Pe–pesta teh?” Pelayan itu terkesiap. Keringat dingin segera mengucur dari dahinya. “Ya! Kau mengerti, kan,
Arren berjalan setengah pincang untuk mencapai ke rumah kaca, sesuai petunjuk Poppy. Entah kenapa … semua hal di mansion ini aneh sekali. Pertama, pemiliki rumah ini adalah penculik dan pemerkosa. Arren harus menjebloskannya ke penjara! Kedua, selir yang cemburu? Arren dapat merasakan bahwa wanita yang bernama Vennina itu sepertinya merasa tersaingi oleh kehadirannya. “Aku akan berbicara padanya bahwa aku bukanlah saingannya!” Mendengar kata ‘saingan’, membuat bulu kuduk Arren meremang. Hanya orang bodoh yang bisa mencintai pria bejat seperti Leon. Tidak. Arren bukan lah orang seperti itu. “Selamat datang, Nona ….” Seorang pelayan tampak menyambut Arren yang tampak memasuki rumah kaca. Sebuah meja telah terhias indah, dengan kepungan bunga mawar di sekitar mereka. Aromanya yang harum menambah kesan elegan dalam ruangan itu. Arren segera menyukai perjamuan yang diadakan. “Halo,” sapa Arren ramah. Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun-an tampak bangkit dari kursinya. Wajahn
Seorang pelayan yang terkejut melihat salah satu majikannya memuntahkan darah. Segera, Venn memanggil seseorang untuk membantu Arren yang terkapar tak berdaya. "Panggil dokter!" teriaknya berpura-pura panik. Hanya satu pelayan yang tahu bahwa itu adalah tipu muslihat dari Venn, sedangkan pelayan yang lain bahkan tidak berani untuk berpikir ke arah sana. Tak lama kemudian, Dokter pribadi Leon berlari ke dalam rumah kaca. "Ada apa ini?" tanya dokter dengan cepat, sambil memeriksa tanda vital pasien. "Dia tiba-tiba muntah darah dan pingsan," ucap Venn, yang sebelumnya telah menyuntikkan zat halusinogen agar Arren tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya dengan jelas. Dokter itu tampak panik karena menemukan tanda-tanda keracunan pada tubuh Arren. "Pindahkan dia ke kamar!" perintah sang dokter kepada para pengawal yang tadi ikut mengiringinya. Para pengawal dengan cepat membawa nona yang tak sadarkan diri itu kembali ke kamarnya di lantai tiga. Dokter segera memberikan pertolongan per
Proses pencarian tersangka menjadi topik panas di mansion itu. Semua orang tampak cemas dan ragu … siapa sebenarnya yang telah memprovokasi tuan mereka sampai sedemikian rupa? “Cari mati,” gumam seorang pelayan yang melintas di depan ruang kerja sang tuan. Setelah mengantarkan dua cangkir teh kepada majikannya, pelayan itu kembali ke dapur, ke tempat yang seharusnya. Ia lalu meneruskan gosip dan desas-desus tentang pencarian menyeluruh oleh tim keamanan pada pelaku peracunan kekasih baru sang tuan. *** "Apakah mungkin Nona Venn yang melakukannya?" tanya Ford, ajudan Leon yang baru saja bergabung setelah menuntaskan misi pengintaian di markas Napoli, rival bisnis Leon yang beberapa waktu ini telah mengusik ketentraman kelabnya. "Venn? Hmm..." Leon terlihat memikirkan kemungkinan tersebut. Bagi para pria, persaingan dalam wilayah kekuasaan mungkin sudah hal yang biasa, tetapi apakah hal yang sama berlaku juga bagi para wanita? "Aku akan mencari tahu," ujar Leon dengan serius. Ford t
Pengawal yang bertugas menjaga keselamatan Arren memintanya untuk turun dari pohon. Sungguh, situasi ini dapat menjadi poin hukuman dan juga pengurangan gaji jika saja majikan mereka mengalami cedera."Tenanglah, aku jago memanjat," sahut Arren dengan keyakinan. Ia menggerakkan kakinya secara perlahan-lahan, naik ke atas satu persatu hingga mencapai ujung dahan. Di ujung sana, terdapat sarang burung pipit yang kehilangan salah satu anaknya. "Nah, baik-baik ya, burung kecil," ucap Arren dengan lembut, kemudian meletakkan kembali burung yang terjatuh tadi ke dalam sarangnya.Arren hendak beranjak pergi untuk menuruni batang pohon yang kokoh namun licin itu, namun, nahas, kakinya terpeleset. "Aaaaaaakkkhh....."Arren terpeleset, dan hampir terjatuh. Bisa-bisa, kakinya terkilir. Untung saja, seseorang menangkap tubuhnya tepat waktu. Arren benar-benar bersyukur. Rupanya, pengawal yang ditugaskan oleh Leon ada gunanya juga. "Siapa yang sedang menyelamatkan siapa?" tukas Leon dengan rasa
"Sebelum itu, jelaskan dulu, mengapa tadi Anda tiba-tiba menyeret saya ke dalam gudang?" tanya Arren sambil menunduk, untuk menyembunyikan ekspresi takut dan malu yang dirasakannya. Leon menarik alisnya, menganggap bodoh pertanyaan dari gadis yang telah menawan hatinya. "Kau bodoh atau tidak paham?" tanya Leon balik. “Apa maksud Anda?” "Aku sudah memperingatkan para pengawal agar menjagamu supaya tetap aman. Dan, apa yang tadi kusaksikan? Kau hampir patah tulang!" bentak Leon sambil mencengkram kedua lengan Arren yang tampak rapuh. “Aww ….” Seketika, Leon melepaskan cengkeramannya karena ia tahu bahwa Arren meringis kesakitan. Wajah gadis itu tampak pucat dan ketakutan. "Maaf, maksudku. Kau jangan membahayakan diri sendiri! Mengerti?" tegas Leon supaya Arren lebih berhati-hati di masa depan. "Baik, Tuan," sahut Arren patuh. Entah mengapa, perangai Leon tampak berbeda. Ia tidak lagi bersikap seenaknya. Apa ini? Apakah hati Arren mulai luluh kepadanya? Arren segera menepuk keras w