"Bagaimana semalam, Tuan? Anda menikmatinya?" tanya Venn, seorang tawanan lain yang ada di mansion Leon. Bedanya, tawanan itu kini menyebut dirinya sebagai selir kesayangan sang tuan. Berbeda dengan Arren yang masih belum mendapatkan pengakuan.
"Lumayan. Dia sangat manis dan beraroma mawar," ucap Leon sambil menikmati pijatan Venn. Pria itu merasa lelah, setelah menghabiskan malam dan bertempur bersama di kamar wanita barunya.“Baik ….”Seolah memahami perasaan kekasihnya yang membuncah, Venn berpura-pura bahagia. Separuh hatinya luka, meski tak mengeluarkan darah. Venn tidak terima ketika Leon begitu memuja gadis baru di wilayah kekuasaannya.
"Apakah anda ingin ronde kedua? Tuan?" goda Venn sambil menanggalkan seluruh pakaiannya. Venn yang berusia matang, tentu saja memiliki keahlian lain ketimbang Arren yang masih perawan. Mereka berdua adalah wanita dengan level yang berbeda."Tidak. Pijat saja aku, lelah sekali semalam, bertempur dengan kucing hutan," tolak Leon sambil tersenyum simpul, tidak seperti biasanya.Venn terperanjat. Ia tidak biasa menerima penolakan, apalagi, kemarin sore, Venn baru saja melakukan perawatan area vital sebagai hadiah di hari ulang tahun Leon. Siapa yang menyangka, Leon memiliki rencana lain di luar pengetahuannya.Venn batal melancarkan aksi menggairahkan yang sudah disusunnya sedemikian rupa.
"Ba—baiklah," ucap Venn sambil memakai lagi gaunnya yang tadi tertanggal. Ia kembali memijat bagian tubuh Leon dengan terampil agar kekasihnya itu lepas dari rasa lelah. Pijatannya kali ini lebih keras, seiring amarah yang membuncah di dalam dadanya.'Arren, aku belum menemuimu, tapi aku sudah sangat membencimu. Tunggulah! Kau tidak akan lepas dari cengkeramanku!'
***Malam berikutnya datang. Arren yang baru saja mendapat perawatan, terbaring lemah di tempat tidurnya."Bagaimana dia? Apakah dia mati?" tanya Leon pada dokter pribadinya."Tidak, Tuan. Dia baik-baik saja, hanya …." sang dokter memutus ucapannya."Katakan. Ada apa?" tanya Leon penasaran, sambil mengamati wajah Arren yang tertidur seperti bayi."Saya menemukan beberapa luka lebam yang sudah lama. Sepertinya, gadis itu sering dipukuli," lanjut sang dokter, meneruskan ucapannya.
Leon terkejut. Padahal ia juga telah melukai Arren. Namun, ada rasa di hati kecilnya yang terusik ketika mendengar kata yang dilontarkan oleh sang dokter.“Apakah Arren selama ini dianiaya ayahnya? Ataukah, ia sering dipukuli oleh bosnya?” Leon menggumam, meski tidak memiliki jawaban.
Pria itu mengacak rambutnya sambil menatap Arren dalam-dalam. Ada rasa simpati yang tiba-tiba menusuk ke dalam hati. Namun, Leon hanya menganggap itu sebagai rasa kasihan atas nasib gadis yang dibuang oleh ayahnya sendiri.
"Tingkatkan perawatannya, Dokter. Berapapun harga obatnya, aku tak peduli. Aku ingin wanita ini sembuh,” tegas Leon sambil menatap lurus ke arah sang dokter."Baik, Tuan. Akan saya usahakan. Esok hari, saya akan membeli salep mujarab dari tabib terkenal untuk menghilangkan luka memarnya," sahut sang dokter."Ya."
"Bila perlu dilakukan prosedur operasi, akan saya informasikan kepada anda," lanjut dokter itu kemudian.
"Baiklah, lakukan seperti itu," ucap Leon terlihat penuh perhatian. Ia tidak menyangka, tawanan yang dibawanya sungguh merepotkan.Apakah, baru saja, Leon sedang bersimpati padanya? Ataukah, itu hanya bentuk rasa dominasi yang obsesif? Entahlah. Leon pun tidak memahaminya.
Leon sudah lama hidup tanpa emosi dan yang ada di dalam hatinya hanyalah kekejaman. Prinsip hidupnya sangat sederhana: membantai atau dibantai. Sejak ibunya meninggal, Leon hidup tanpa memiliki belas kasihan.Leon kecil dididik dengan penuh intrik dan kekejaman, sehingga, ketika dewasa, ia berubah menjadi monster yang bahkan tega menghabisi nyawa ayahnya sendiri. Namun, itu semua bukan tanpa alasan. Keluarga Leon begitu rumit dan penuh dendam.
“Hm … mengapa dia tak kunjung sadar?”
Setelah membiarkan Arren beristirahat seharian, Leon kembali lagi ke kamar. Penampakannya benar-benar berubah. Arren yang tadinya kumuh, kusam dan tak terawat, kini menjelma serupa malaikat.
Dokter dan pelayan memberi perawatan maksimal. Wajah Arren yang semula tertutup debu jalanan kini putih bersih bak pualam. Leon baru menyadari bahwa … tawanan yang dibawanya begitu mulus tanpa cela.
“Tidak sia-sia aku menebusnya dengan harga mahal.”
Meski begitu, Leon merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang asing, menyelusup tubuhnya. Apa ini? Mengapa aura dominasinya berubah menjadi … simpati?
“Eum ….”
Suara Arren memecah kebingungannya. Leon berdehem, berpura-pura tak memperhatikannya.
Gadis itu membuka mata. Kali ini, silaunya cahaya menyakiti iris birunya. Lagi-lagi, Arren menyipitkan pandangan dan memindai sekitar. Ruangan yang sama. Tapi … siapa pria tampan yang ada di hadapannya?
“K–kau?!”
Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,