Arren berjalan setengah pincang untuk mencapai ke rumah kaca, sesuai petunjuk Poppy. Entah kenapa … semua hal di mansion ini aneh sekali.
Pertama, pemiliki rumah ini adalah penculik dan pemerkosa. Arren harus menjebloskannya ke penjara!
Kedua, selir yang cemburu? Arren dapat merasakan bahwa wanita yang bernama Vennina itu sepertinya merasa tersaingi oleh kehadirannya. “Aku akan berbicara padanya bahwa aku bukanlah saingannya!”
Mendengar kata ‘saingan’, membuat bulu kuduk Arren meremang. Hanya orang bodoh yang bisa mencintai pria bejat seperti Leon. Tidak. Arren bukan lah orang seperti itu.
“Selamat datang, Nona ….”
Seorang pelayan tampak menyambut Arren yang tampak memasuki rumah kaca.
Sebuah meja telah terhias indah, dengan kepungan bunga mawar di sekitar mereka. Aromanya yang harum menambah kesan elegan dalam ruangan itu. Arren segera menyukai perjamuan yang diadakan.
“Halo,” sapa Arren ramah.
Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun-an tampak bangkit dari kursinya. Wajahnya cantik, dengan rambut berwarna merah yang menyala seperti api. Gaun hijau zamrud yang membalut tubuhnya kontras dengan kulit putih bersihnya.
Arren bahkan terpesona dengan kecantikannya.
“Selamat datang, Nona Arren. Saya Vennina Skylar. Selir Tuan Leon,” Vennina memperkenalkan diri.
“Arrendice Hart,” Arren melakukan hal serupa.
Setelah berkenalan, Venn mempersilakan Arren untuk duduk di tempat yang telah disediakan. “Tuangkan tehnya,” ucap sang selir kepada pelayan pribadinya.
Pelayan itu datang seperti yang diminta dan menuangkan teh ke dalam cangkir para nyonya. Namun, ada satu hal yang janggal di sana. Ketika diperhatikan, tangan pelayan itu terlihat gemetar.
“Kau baik-baik saja?” tanya Arren dengan suara lembutnya. Ia sangat mengerti perasaan tertekan para pelayan yang terbiasa disepelekan. Arren dulunya adalah seorang pelayan bar.
“Y—ya, Nona ….” Pelayan itu menyahut dengan gemetar. Deru napasnya terlihat kontras dengan suasana di sekitar. Mengapa ia tampak takut?
“Nah, sekarang … mari kita mengobrol.” Venn memecah kecanggungan. Ia tak ingin rencananya menjadi berantakan.
“Silakan,” Arren tersenyum ramah.
Venn membalas dengan senyum serupa, meski sangat terlihat perbedaan ketulusannya.
Di mata Venn, Arren hanyalah gadis cilik berpenampilan kumuh dan sangat kampungan. Perkataan pelayan yang memuji kecantikannya sungguh berlebihan. Jika wanita itu dipoles akan nampak kecantikannya? Tidak mungkin.
Sekali dipungut dari jalanan, akan tetap menjadi tikus jalanan. Namun, tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Venn. Meski sama-sama berasal dari jalanan, level mereka berbeda. Venn, menurutnya sendiri, memancarkan aura elegan yang setara dengan bangsawan di negara itu.
“Jadi, apa pekerjaan Nona Arren?” tanya Venn untuk memulai obrolan. Arren tersenyum dan menjawab dengan jujur.
“Saya adalah pelayan bar. Kalau Anda?”
Venn hampir tersedak. Ia sudah mengira bahwa Arren memang rakyat kelas bawah yang menjijikkan. “Saya? Hm … yah, saya biasa mengurus perkumpulan para nyonya.”
Venn memang memiliki jabatan khusus di kalangan sosialita. Meski berasal dari rakyat jelata, Venn memalsukan identitasnya. Ia bahkan menggunakan tutor terbaik untuk mengajarkan tentang etika kebangsawanan dan menyuap gadis-gadis di dunia sosial yang bergosip tentang asal-usul dirinya.
Venn mengarang cerita tentang pertemuan romantisnya dengan Leon di luar negeri, ketika mereka menghadiri jamuan bangsawan teratas. Di sana, Venn dan Leon saling jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Tentu saja itu semua bohong. Venn adalah pelacur nomor satu di luar negeri yang menjadi bayaran atas keberhasilan Leon menaklukan kartel narkoba di sana. Bos dunia malam yang berkuasa merasa berhutang banyak pada Leon, sehingga menyerahkan selir kesayangannya.
“Menarik sekali. Apa saja yang Anda kerjakan?”
“Yah. Mengatur pertemuan, mengadakan pesta … dan melakukan perjodohan kaum bangsawan.”
Venn beromong besar. Sebenarnya, ia tidak melakukan semua itu. Venn hanya menjadi anggota kehormatan karena menjadi sponsor terbesar di setiap pertemuan. Tentu saja, semua itu berkat suntikan dana dari Leon, kekasihnya.
“Sepertinya, Anda sangat sibuk,” Arren mengapresiasi. Venn mengangguk.
“Nah. Mari sudahi obrolannya. Silakan dinikmati teh spesial dari saya,” ucap Venn dengan senyuman misterius yang sulit diartikan.
“Baik, Nyonya ….”
Arren menyetujui usul Venn dan mulai mengangkat cangkirnya. Detik kemudian, setelah cangkir itu menyentuh bibirnya, Arren tiba-tiba terjungkal dan … batuk darah!
“No–nona!”
Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,