“Katakan! Apa yang terjadi semalam?” Venn, selir Leon, mendesak mata-mata yang ada di rumah utama untuk menceritakan segalanya. Sudah beberapa hari ini, Leon tidak tampak mengunjunginya di Paviliun Barat. Pria itu sibuk dengan tikus jalanan yang baru saja dipungutnya, Arren.
“Nona muda itu sakit, Nyonya. Jadi … tuan merawatnya,” ucap pelayan itu dengan gemetar. Ia takut salah bicara.
Rahang Venn mengeras. Bangunan ini begitu sepi tanpa malam panas dengan sang pujaan hati. “Untuk apa kau memberiku rumah seperti ini jika tanpa kita tinggali, Tuan?” Venn menggumam.
Hatinya begitu sakit mendengar bahwa Leon seolah melupakan segala hal tentangnya. Awalnya, Leon adalah miliknya seorang. Sekarang? Venn harus rela berbagi kekasih dengan gadis asing yang bahkan tak dikenalnya.
“Besok! Besok undang dia untuk pesta teh. Kau harus menyampaikannya pada si pelayan pribadi. Mengerti?”
“Pe–pesta teh?” Pelayan itu terkesiap. Keringat dingin segera mengucur dari dahinya.
“Ya! Kau mengerti, kan, maksudku?”
“Ba–baik, Nyonya!” Pelayan itu mengangguk sambil memohon untuk undur diri. Ia sangat mengetahui jika ada undangan pesta teh … itu berarti … salah seorang dari mereka akan mati.
***
Keesokan paginya, rencana Venn benar-benar akan dilaksanakan.
Mata-mata itu telah menyampaikan amanat sang selir kepada pelayan pribadi tamu tuannya. Dengan gugup, pelayan itu mengiyakan. Para pelayan tidak memiliki hak untuk memutuskan sesuatu. Mereka hanya harus tunduk dan patuh terhadap segala perintah sang tuan.
"Selamat pagi, Nona. Mari, saya akan membantu Anda mandi," ucap Poppy–seorang pelayan pribadi yang ditugaskan khusus untuk merawat Arren. Salah satu hal yang baik yang ada pada mansion ini adalah … makanan dan pelayannya.
Mungkin, pada masa kecilnya, Arren memiliki pelayan, tetapi ia tidak begitu mengingatnya. Arren terlalu muda saat itu, sehingga yang ia ingat hanyalah kejadian-kejadian dari hidup dewasanya yang penuh perjuangan setelah kematian ibunya.“Baiklah ….”Setelah mendapatkan persetujuan Arren, Poppy langsung memapahnya dengan lembut ke kamar mandi. Poppy mulai memandikannya dengan teliti, dan membantunya untuk berhias.
"Poppy, ya? Namamu?”“Benar, Nona.”
“Ehm … mengapa aku harus berhias?”
“E–eh. Itu … Anda diundang untuk jamuan teh oleh Nyonya Vennina, Nona,” ucap Poppy dengan pelan.
“Siapa?” tanya Arren kikuk, ia merasa tidak mengenal Nyonya Vennina dan tidak ada hubungan dengannya.“Nyonya Vennina, selir Tuan Leon. Wanita paling berkuasa di mansion ini setelah Tuan Leon,” jawab Poppy agak canggung, takut Arren menjadi ketakutan.
“Aku tidak tahu bahwa Leon memiliki wanita lain di sini,” ucap Arren sedikit heran, karena pria itu selalu saja mencarinya. Mungkin, bagi Leon, Arren adalah mainan baru yang menarik perhatiannya.“Tenanglah, Nona. Ini hanya seperti uji kelayakan untuk wanita yang dipilih oleh tuan," jelas Poppy mencoba menenangkannya.Kecemasan mulai melanda pikiran Arren. Ia tidak pernah menduga bahwa Vennina, selir Leon, akan memanggilnya untuk evaluasi semacam itu. Seketika, dia merasa khawatir dengan apa yang akan dia hadapi. "Hmm... Apakah ini wajib, Poppy?" tanya Arren dengan rasa ragu."Maafkan saya, Nona, tapi itu adalah permintaan langsung dari Nyonya Vennina. Saya khawatir ada konsekuensi yang tidak menyenangkan jika Anda menolak.”
"Baiklah. Aku akan pergi," ucap Arren pada akhirnya. Dengan hati yang berdebar, Arren meninggalkan kamarnya dan berjalan menuju pertemuan dengan Vennina. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi Arren bertekad untuk tetap tegar dan tidak membiarkan siapapun merendahkan martabatnya. *** "Katakan dengan jujur, bagaimana penampilan wanita itu?" tanya Venn pada si mata-mata. "Cantik, Nyonya. Dan, dia adalah seorang gadis muda. Kulitnya sangat putih dan bersinar. Jika didandani sedikit, ia pasti terlihat sangat menawan," cerita si mata-mata dengan menggebu-gebu tanpa mengetahui bahwa pertanyaan itu hanyalah pancingan. CTAS! Sebuah cambuk dilayangkan pada punggung si mata-mata yang terlihat sangat menyukai wanita baru milik sang tuan. "Kau bodoh atau buta? Beraninya memuji wanita kotor dari jalanan seperti itu!" CTAS! Ayunan lainnya merobek pakaian sang pelayan yang kini terhuyung pingsan. "A--ampun, Nyonya!!" pinta sang pelayan dengan bergetar. "Sa-saya salah bicara," ucapnya sambil terisak. Venn tampak menggenggam erat cambuknya dengan amarah. 'Arren! Gadis seperti apa kau itu!' batin Venn geram. “Sudah kau siapkan segala sesuatu yang kuminta?” tanya Venn pada salah seorang pelayannya. “Su–sudah, Nyonya,” jawabnya patuh. “Bagus. Mari kita pergi ke rumah kaca, sekarang!”Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Arren berjalan setengah pincang untuk mencapai ke rumah kaca, sesuai petunjuk Poppy. Entah kenapa … semua hal di mansion ini aneh sekali. Pertama, pemiliki rumah ini adalah penculik dan pemerkosa. Arren harus menjebloskannya ke penjara! Kedua, selir yang cemburu? Arren dapat merasakan bahwa wanita yang bernama Vennina itu sepertinya merasa tersaingi oleh kehadirannya. “Aku akan berbicara padanya bahwa aku bukanlah saingannya!” Mendengar kata ‘saingan’, membuat bulu kuduk Arren meremang. Hanya orang bodoh yang bisa mencintai pria bejat seperti Leon. Tidak. Arren bukan lah orang seperti itu. “Selamat datang, Nona ….” Seorang pelayan tampak menyambut Arren yang tampak memasuki rumah kaca. Sebuah meja telah terhias indah, dengan kepungan bunga mawar di sekitar mereka. Aromanya yang harum menambah kesan elegan dalam ruangan itu. Arren segera menyukai perjamuan yang diadakan. “Halo,” sapa Arren ramah. Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun-an tampak bangkit dari kursinya. Wajahn
Seorang pelayan yang terkejut melihat salah satu majikannya memuntahkan darah. Segera, Venn memanggil seseorang untuk membantu Arren yang terkapar tak berdaya. "Panggil dokter!" teriaknya berpura-pura panik. Hanya satu pelayan yang tahu bahwa itu adalah tipu muslihat dari Venn, sedangkan pelayan yang lain bahkan tidak berani untuk berpikir ke arah sana. Tak lama kemudian, Dokter pribadi Leon berlari ke dalam rumah kaca. "Ada apa ini?" tanya dokter dengan cepat, sambil memeriksa tanda vital pasien. "Dia tiba-tiba muntah darah dan pingsan," ucap Venn, yang sebelumnya telah menyuntikkan zat halusinogen agar Arren tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya dengan jelas. Dokter itu tampak panik karena menemukan tanda-tanda keracunan pada tubuh Arren. "Pindahkan dia ke kamar!" perintah sang dokter kepada para pengawal yang tadi ikut mengiringinya. Para pengawal dengan cepat membawa nona yang tak sadarkan diri itu kembali ke kamarnya di lantai tiga. Dokter segera memberikan pertolongan per
Proses pencarian tersangka menjadi topik panas di mansion itu. Semua orang tampak cemas dan ragu … siapa sebenarnya yang telah memprovokasi tuan mereka sampai sedemikian rupa? “Cari mati,” gumam seorang pelayan yang melintas di depan ruang kerja sang tuan. Setelah mengantarkan dua cangkir teh kepada majikannya, pelayan itu kembali ke dapur, ke tempat yang seharusnya. Ia lalu meneruskan gosip dan desas-desus tentang pencarian menyeluruh oleh tim keamanan pada pelaku peracunan kekasih baru sang tuan. *** "Apakah mungkin Nona Venn yang melakukannya?" tanya Ford, ajudan Leon yang baru saja bergabung setelah menuntaskan misi pengintaian di markas Napoli, rival bisnis Leon yang beberapa waktu ini telah mengusik ketentraman kelabnya. "Venn? Hmm..." Leon terlihat memikirkan kemungkinan tersebut. Bagi para pria, persaingan dalam wilayah kekuasaan mungkin sudah hal yang biasa, tetapi apakah hal yang sama berlaku juga bagi para wanita? "Aku akan mencari tahu," ujar Leon dengan serius. Ford t
Pengawal yang bertugas menjaga keselamatan Arren memintanya untuk turun dari pohon. Sungguh, situasi ini dapat menjadi poin hukuman dan juga pengurangan gaji jika saja majikan mereka mengalami cedera."Tenanglah, aku jago memanjat," sahut Arren dengan keyakinan. Ia menggerakkan kakinya secara perlahan-lahan, naik ke atas satu persatu hingga mencapai ujung dahan. Di ujung sana, terdapat sarang burung pipit yang kehilangan salah satu anaknya. "Nah, baik-baik ya, burung kecil," ucap Arren dengan lembut, kemudian meletakkan kembali burung yang terjatuh tadi ke dalam sarangnya.Arren hendak beranjak pergi untuk menuruni batang pohon yang kokoh namun licin itu, namun, nahas, kakinya terpeleset. "Aaaaaaakkkhh....."Arren terpeleset, dan hampir terjatuh. Bisa-bisa, kakinya terkilir. Untung saja, seseorang menangkap tubuhnya tepat waktu. Arren benar-benar bersyukur. Rupanya, pengawal yang ditugaskan oleh Leon ada gunanya juga. "Siapa yang sedang menyelamatkan siapa?" tukas Leon dengan rasa
"Sebelum itu, jelaskan dulu, mengapa tadi Anda tiba-tiba menyeret saya ke dalam gudang?" tanya Arren sambil menunduk, untuk menyembunyikan ekspresi takut dan malu yang dirasakannya. Leon menarik alisnya, menganggap bodoh pertanyaan dari gadis yang telah menawan hatinya. "Kau bodoh atau tidak paham?" tanya Leon balik. “Apa maksud Anda?” "Aku sudah memperingatkan para pengawal agar menjagamu supaya tetap aman. Dan, apa yang tadi kusaksikan? Kau hampir patah tulang!" bentak Leon sambil mencengkram kedua lengan Arren yang tampak rapuh. “Aww ….” Seketika, Leon melepaskan cengkeramannya karena ia tahu bahwa Arren meringis kesakitan. Wajah gadis itu tampak pucat dan ketakutan. "Maaf, maksudku. Kau jangan membahayakan diri sendiri! Mengerti?" tegas Leon supaya Arren lebih berhati-hati di masa depan. "Baik, Tuan," sahut Arren patuh. Entah mengapa, perangai Leon tampak berbeda. Ia tidak lagi bersikap seenaknya. Apa ini? Apakah hati Arren mulai luluh kepadanya? Arren segera menepuk keras w
"Tugas terakhirmu adalah menjadi kambing hitam. Aku akan menciptakan sebuah cerita untuk melindungiku dan menyalahkanmu atas peracunan itu," ucap Venn dengan nada ancaman.Hillis bersimpuh dan memohon pada Venn agar tidak menjebaknya seperti itu. "Kasihanilah saya, Nyonya. Mana berani saya berbohong seperti itu?" Air mata Hillis mengalir deras dengan tubuh yang gemetar. "Kau akan menjadi orang yang bertanggung jawab, dan keselamatan keluargamu akan kujamin. Harus seperti itu!" tegas Venn tanpa ingin memberikan kesempatan untuk bernegosiasi. “Oh Tuhan!” pekiknya putus asa.Hillis memucat, ia dapat merasakan keputusasaan yang memenuhi hatinya. Namun, dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Keluarganya dan nyawanya berada di tangan Venn. Dia hanya bisa menuruti perintahnya."Ingat, Hilis," Venn menambahkan dengan nada tajam. "Jika rencana ini berhasil, keluargamu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Jika gagal, kalian akan menerima akibatnya."Hillis mengangguk dengan sedih semb
"Kapan dia akan sadar?" tanya Leon penuh kekhawatiran. "Dia akan cepat sadar, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Ini racun yang sama seperti yang pernah didapatkan oleh Nona Arren. kita sudah punya penawarnya," ucap dokter dengan nada yang meyakinkan."Hhhh.. Baiklah, terima kasih atas bantuanmu," kata Leon sambil berlalu. Ia sudah melaksanakan kewajibannya sebagai tuan rumah terhadap tanggungannya, saat ini, Leon harus kembali bekerja.Venn tidak mengetahui bahwa, cara Leon memperlakukannya sangat berbeda dengan Arren, ketika sama-sama sedang sekarat. Hanya sang dokter dan para pelayan yang mengetahui hal itu. Jika saja, Venn saat ini telah sadar, ia pasti sudah mengamuk dan menggila untuk menarik perhatian sang kekasih yang kehilangan bara cinta terhadapnya.*"Leon, apa yang terjadi? Kenapa mansion begitu gaduh?" tanya Ford yang baru saja turun dari mobil. Ia membawa beberapa botol minuman beralkohol terbaru untuk diuji oleh Leon.Bisnis Leon yang berhubungan dengan dunia malam, men
Arren memegang erat tangan gadis itu dan menuntunnya untuk duduk di gazebo terdekat. Ia menyuruh pelayan untuk membuatkan teh hangat supaya dapat menenangkannya. "Minumlah," ucap Arren lembut sambil menyodorkan secangkir teh hangat. Gadis itu tampak gemetar, dan menerima cangkir itu dengan penuh ketakutan. Sedetik kemudian, cangkir itu luput dari genggamannya. Prang! Cangkir terpecah, Arren terkejut, pengawal kembali bersiaga di dekat sang majikan. Namun, dengan ayunan tangan, Arren berhasil mengusir mereka kembali."Aku tidak apa-apa," ucapnya tegas. Arren memerintahkan para pengawalnya untuk menjauh, agar dapat memberi ruang yang tidak mengintimidasi bagi gadis tersebut. Lea tidak ingin situasinya menjadi semakin rumit.Arren kembali memfokuskan pandangannya pada sang gadis misterius, yang tak kunjung membuka identitasnya. "Apakah kau ingin terus bersikap seperti ini? Bagaimana aku bisa menolongmu, jika kau tak kunjung berbicara?" Arren mulai bersikap tegas pada gadis itu denga