“Aku mau wine,” kata seorang wanita pada sang bartender yang segera menjawab dengan patuh.
Cecilia Moreau lalu melemaskan duduknya di sebuah kursi, berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan-bayangan memuakkan itu tak mau enyah dan justru makin membakar dadanya. Bayangan ketika melihat pria yang dicintainya mencumbu rakus sahabatnya sendiri.
“Minuman Anda, Nona.”
Cecilia langsung meraih gelas di meja dan menenggak isinya hingga tandas sekaligus, sampai minuman dengan kadar alkohol tinggi itu meluber membasahi dress-nya.
Desahan yang terdengar rendah dari video itu kembali terbayang. Membuat kesabarannya kembali terbakar habis. Terlebih begitu melihat sendiri bagaimana kedua orang yang begitu dia percaya ada di dalam video berdurasi tiga puluh menit, saling melempar kata cinta, lalu saling melucuti pakaian, dan berakhir telanjang di ranjang melakukan sebuah pergulatan panas yang tak pernah sama sekali dipikir olehnya.
“Sialan!” maki Cecilia murka. Wanita cantik itu kembali meminta bartender untuk mengisi gelasnya yang telah kosong. Kesadarannya mulai mengawang.
Dia seharusnya tak berakhir di tempat terkutuk ini, di sebuah kelab malam, bergabung dengan banyak orang yang tampak sedang bersenang-senang. Berbeda dengan dirinya yang datang ke sini dengan emosi meledak-ledak.
Beberapa saat lalu, Cecilia pergi main ke rumah Bertha Stone, sahabat yang paling dia sayangi sekaligus percaya. Mereka telah bersahabat sejak SMA. Jadi, kurang lebih Bertha masuk sebagai jajaran orang yang paling dia percayai di dunia ini.
Tidak sebelum dia melihat sendiri video Bertha berciuman panas hingga berhungan seks dengan Evan Langston, pria yang menjadi tunangannya. Adegan itu dia lihat secara tak sengaja, di laptop sahabatnya yang telah berkhianat.
Rasanya dunia Cecilia hancur tak bersisa.
“Tambah,” kata Cecilia untuk yang kesekian kali. Kesadarannya telah hilang perlahan-lahan karena asupan alkohol yang terus-menerus. Namun, untuk saat ini, dia tak ingin berhenti. Tidak sampai bayangan sialan itu lenyap dari kepalanya dan rasa sakit tak lagi menyayat hatinya.
Luka dari pengkhianatan ternyata semenyakitkan ini.
Tiba-tiba seorang pria tampan duduk di sampingnya. “Vodka,” kata pria itu dengan suaranya yang serak dan dalam.
Cecilia mengernyit, kembali menenggak sisa wine di gelas. Namun, matanya tak bisa lepas dari wajah tampan itu. Ya, tampan. Bahkan sangat tampan. Pahatan itu tampak sempurna, mirip Dewa dalam mitologi Yunani. Dia mendadak membandingkan rupa Evan dengan wajah pria itu.
“Kau lebih tampan darinya.” Cecilia mulai meracau. “Bagaimana mungkin dia berkhianat dariku padahal wajahnya tidak lebih tampan darimu?” Sekarang dia beranjak turun dan mendekati pria yang nyaris menenggak vodka di gelasnya itu.
Sang pria tampan seketika terdiam, menunggu aksi apa yang akan dilakukan wanita muda itu.
“Aku cantik, kan?” tanya Cecilia dengan kedua mata yang sudah sulit terbuka. “Tubuhku juga bagus.” Dia membawa tangan kiri pria itu dan menyentuhkannya ke pinggangnya.
Namun, tangan itu bertahan di sana. Cecilia lalu tersentak kecil saat tangan pria itu mendorongnya. Membuatnya menubruk dada bidang sang pria yang masih memegang gelas vodka.
Cecilia tak beranjak di sana, mulai merasakan kenyamanan lain dari dada bidang pria asing itu. Tubuhnya berdesir panas. Matanya kembali menyipit, berusaha menatap penuh pada wajah sang pria. Tangannya lalu terulur, menyentuh dagu dengan bulu-bulu tipis itu. Terus turun dan tiba di leher, meraba dengan gerakan lembut yang membuat tubuh pria itu seketika meremang. Terlebih saat tangan Cecilia bermain-main nakal di jakunnya. Gairah pria itu seketika terpantik.
“Wanna play, hm?” tanya pria itu dengan suara seraknya yang lebih dalam.
Seharusnya Cecilia takut dengan nada penuh peringatan itu. Namun, dia justru berjinjit dan mencium singkat bibir sang pria tampan. “Aku tidak cukup buruk, kan? Pria itu saja yang terlalu berengsek karena lebih memilih wanita lain daripada diriku.”
Pria tampan itu memberi tatapan rumit yang tajam pada Cecilia. Sementara Cecilia yang sudah hilang kesadaran pun justru terus meracau, membongkar isi kepalanya sendiri. Menyatakan dengan jujur bahwa dia sedang patah hati.
Dalam suasana yang kian intim itu, sang pria akhirnya menyimpan gelas di meja, lalu berkata dengan nada menggoda. “Ingin berdansa denganku? Kau tampaknya sedang sangat patah hati,” tawarnya dengan suara berat yang membuat Cecilia menggigit bibir seksi.
“Sure,” jawab Cecilia cepat.
Di tengah kesadarannya, dia menyadari bahwa tubuhnya ditarik dengan sedikit buru-buru oleh pria tampan itu. Kemudian, mereka bergabung ke tengah lautan manusia yang tengah berjoget bebas menikmati musik.
Cecilia mulai berjoget saat musik DJ kian menenggelamkan khayalan. Melupakan patah hatinya sejenak, terlebih sekarang ada pria tampan yang tangah bersamanya.
Cecilia tak sadar saja bahwa sejak tadi pria itu tak henti mengamati tubuhnya. Wanita cantik berusia 21 itu memiliki tubuh yang indah. Tinggi semampai dengan bagian-bagian tertentu yang menonjol dengan pas. Kedua payudaranya menggunung dengan penuh, pinggulnya membesar dan memberi lekukan seksi, bibirnya juga tebal—dan malam ini tampak dipoles lipstik merah sehingga terkesan lebih menggoda.
“Hati-hati.” Suara pria tampan itu meledak di dekat telinganya. Menyapa dengan berani hingga ke dalam hatinya.
Cecilia terlalu asyik berjoget sampai tak memperhatikan kedua kakinya. Dia siap oleng andai saja tak ada satu tangan kekar pria itu yang menahan, memeluk erat pinggangnya. Membuat tubuh mereka saling merapat dengan posisi intim.
Di sisa kesadarannya, Cecilia bisa merasakan embusan napas panas pria tampan itu menerpa kulit jidatnya. Dia mendongak, berusaha kembali membuka mata. Pemandangan wajah di depannya tampak buram tetapi sedikit lebih jelas. Dia bisa melihat sepasang mata yang menatap tajam dan dalam ke arahnya, menenggelamkan. Hidung mancung, bibir tebal begitu menggoda.
Cecilia tak bisa menahan diri sehingga langsung berjinjit, menumpukan kedua tangan ke pundak pria itu, dan mencium bibir tebal yang menganggur. Namun, hanya ciuman singkat. Dia segera menarik diri begitu pria itu siap membalas.
Cecilia lalu memamerkan senyuman. Namun, kemudian tengkuknya didorong oleh satu tangan, dan bibirnya kembali menempel pada bibir tebal pria itu. Lebih rapat dan dalam.
“Mmmh ....” Cecilia bergumam rendah saat merasakan pria itu mulai melumat bibirnya dengan rakus.
Pria tampan itu memberi sebuah gigitan pada bibirnya, membuatnya membuka mulut. Kemudian, lidahnya menerobos masuk, mengajak lidah Cecilia berdansa. Serangan yang ganas itu membuat hasrat Cecilia bangkit dengan cepat.
“Ngggh ....” Cecilia mulai mendesah nikmat saat merasakan sebuah tangan meremas pinggulnya bergantian. Remasan-remasan lembut yang memantik api gairah.
Ciuman terlepas. Keduanya terengah, mengambil napas dengan rakus.
“Kau lumayan juga,” sanjung pria itu dengan jempol mengusap lembut bibir Cecilia. Jidat mereka nyaris menyatu karena dia sengaja tak menarik diri.
Dengan berani, Cecilia justru melumpat jempol itu. Mengulum dengan gerakan menggoda. Sepasang matanya menatap sayu. Namun, pria itu bisa menangkap dengan jelas, bahwa ketika dia membuka mata, ada kabut gairah yang memenuhi pandangannya.
“Kita seharusnya berhenti,” kata pria itu main-main. Siap melepaskan tubuh Cecilia dari pelukan. Namun, geraman rendahnya tak bisa menutupi bahwa dia mulai terpengaruh pada permainan wanita itu. Terlebih saat melihat wanita itu terengah-engah dengan bibir ranumnya yang bengkak dan basah setelah ciuman panas mereka.
Cecilia segera kembali merapatkan diri, menempelkan kedua payudaranya yang tersembunyi di balik mermaid dress berkain tipis berwarna merah marun. Memberi sedikit gerakan menggoda tepat di dada pria itu. “Tidak. Jangan,” larangnya setengah meracau.
“Kenapa? Kita tidak saling mengenal, kan?” balas sang pria tampan.
“Cecilia. Cecilia Moreau, itu namaku.” Cecilia memperkenalkan diri.
Pria tampan itu tersenyum misterius. Merasa sedikit kagum dengan keberanian wanita muda ini. “Okay, Cecilia. Then ...?” Dia bertanya sambil memberi remasan menggoda di pinggul wanita itu. Tangannya terus beranjak naik dan menelusuri pinggang ramping Cecilia.
Cecilia tampak terbakar dengan sentuhan itu. Pikirannya makin liar. Bayangan pergulatan Evan dan Bertha kembali muncul, membuat emosinya menggelegak.
“Temani aku malam ini dan buatlah aku lupa pada dunia,” pinta Cecilia dengan keyakinan yang tegas. Dia lalu berjinjit dan kembali menyatukan bibir mereka.
Namun, ciumannya tak terlalu menggugah pria itu sehingga bibirnya tetap diam tak bergerak. Cecilia tak menyerah, kali ini tangannya ikut membantu. Tangannya meraba dada pria itu, memberi remasan yang sia-sia karena tubuh itu begitu liat. Kedua tangannya lalu melingkar di leher sang pria, membelit erat.
Pria tampan itu melepaskan ciuman mereka. “Santai, Nona.” Senyumnya melebar misterius. Dia senang begitu melihat wanita di pelukannya ini frustrasi karena tak dipuaskan.
Namun, rupanya pria tampan itu tak membuang waktu lagi. Segera dia membawa Cecilia ke lorong kelab malam yang sepi, lalu dia menarik tengkuk dan menyatukan bibirnya dengan wanita itu. Kali ini, ciuman lebih terburu-buru. Saling melahap dengan rakus. Tubuh mereka saling merapat sehingga dia bisa merasakan empuknya kedua payudara sintal wanita itu di dada bidangnya.
Tangan pria tampan itu dengan intens meraba tubuh indah Cecilia. Memberi remasan sedikit kencang pada kedua payudara wanita itu, lalu turun meremas pinggul bergantian. Menyalurkan sensasi panas yang seketika makin membakar tubuh Cecilia.
“Ah ...,” desah Cecilia di sela ciuman intens mereka. Suaranya yang serak dan penuh hasrat membuat pria itu menggeram rendah.
Pria tampan itu kembali melahap bibir Cecilia dengan rakus. Mendorongnya ke dinding. Sedikit terburu-buru dan ganas. Membuat Cecilia nyaris tak bisa mengimbangi. Tampak wanita itu akhirnya memilih pasrah, menyerahkan diri sepenuhnya pada pria itu untuk diberikan kenikmatan demi kenikmatan.
Tangan pria tampan itu kini mukai meraba paha Cecilia, menelusup masuk ke balik gaun. Kulitnya yang dingin terasa kontras di tubuh Cecilia yang sudah memanas. Wanita itu menggigit bibir saat ciuman sang pria beralih ke lehernya, memberi gigitan demi gigitan menggoda yang makin meliarkan fantasinya.
“Aku ... ah ... akan meledak di sini,” racau Cecilia.
Pria tampan itu menurukan tali yang menahan dress Cecilia, membuatnya terlepas turun hingga membuka sedikit payudara. Mempertontonkan penuh pundak kiri wanita itu yang tampak putih mulus mengundang gairah. Membuatnya tak sabar untuk segera meninggalkan banyak jejak merah di sana.
Cecilia menggigit bibir dan menahan desahan begitu merasakan pria itu memberi sebuah gigitan di payudara kirinya. Gairah langsung membakar habis akal sehatnya. Membuat sesuatu di bawah sana mulai berdenyut panas. Tubuhnya nyaris luruh seandainya tak berpegangan pada tangan kekar pria itu.
Ya. Tangan itu kekar dan berotot. Membuat Cecilia seketika membayangkan bagaimana tangan itu kian liar mengeksplor tubuhnya dengan menggairahkan.
“Too fast.” Pria itu menggigit pelan payudara kanan Cecilia, dengan tangan yang terus aktif meraba di bawah sana. Senyumnya melebar begitu jarinya merasakan sesuatu yang basah.“I will make you explode many times tonight.”
Cecilia mendesah erotis begitu mendapat usapan sensual di inti tubuhnya.
Pagi menyapa. Cecilia tengah fokus menatap ke layar MacBook, menyelesaikan satu demi satu pekerjaan, saat seseorang tiba-tiba masuk ke ruangannya. Cukup dari aroma yang familier, wanita itu memutuskan tidak mendongak untuk memeriksa siapa yang datang.“Sayang, kemarin kau ke mana? Kenapa kau tiba-tiba memutuskan sambungan teleponku?” Evan muncul dan langsung melayangkan dua kalimat tanya dengan nada sedikit kencang. Dia lalu berhenti di depan meja kerja Cecilia, berdiri sembari memandang penuh pada wanita yang tengah duduk itu.Hari ini Cecilia tampak cantik dengan setelan hitam-hitamnya yang menguarkan kesan misterius tetapi kharismatik. Dia memakai celana kain sepaha, dipadukan dengan dalaman berupa kaus putih polos pendek, dan jas hitam kebesaran yang menutupi tubuh proporsionalnya. Kemudian, dia juga memakai jam tangan berdesain simpel warna hitam, melingkar lembut di tangan kecilnya yang putih. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai indah, menelusuri lekuk pundaknya yang kecil tetap
Entah apa yang membuat dirinya benar-benar sudah tidak waras. Cecilia perlahan tenggelam dalam lautan hasrat yang mulai menggelegak, mulai pasrah dengan sentuhan-sentuhan panas dari tangan nakal Charles yang tidak bisa diam.Kedua telinganya bahkan terus mendengar bagaimana suara berat pria tampan itu tidak henti membisikkan kata-kata atau hanya embusan napas berat—yang sialnya justru memantik hasrat. Membuat tubuhnya kian memanas dengan gelenyar aneh yang mendesak. Seolah-olah mencari sesuatu untuk melampiaskan.Cecilia nyaris pasrah seutuhnya begitu tiba-tiba saja merasakan tangan Charles meraba ke bokongnya. Gerakan menggoda itu dalam sekejap membekukan tubuhnya.“Damn, bokongmu sangat indah,” bisik Charles dengan suara rendahnya. Dia lalu lanjut membenamkan bibir di sekitar leher Cecilia, memberi sentuhan-sentuhan panas yang kurang memuaskan. Sial sekali. Dia ingin menggigit leher itu dengan panas, meninggalkan banyak jejak yang pasti indah untuk dilihat. Sayangnya, dia tidak bisa
Cecilia memandangi lima paper bag yang satu jam lalu diantarkan ke apartemennya oleh beberapa pekerja butik, bersama sebuah gaun yang dikemas khusus. Salah satu dari mereka juga mengantarkan pesan dari orang yang mengirim semua barang ini, bahwa Cecilia harus memakai semua benda tanpa kurang satu pun. Kalau ada yang tertinggal, akan ada konsekuensinya.Oh, jelas itu ulah Charles. Charles yang mengirim semua ini padanya, untuk dikenakannya dalam agenda makan malamnya dengan Cecilia. Ya, ini memang sudah gila. Cecilia terpaksa menerima ajakan makan malam bersama Charles, karena jika tidak, dia khawatir malapetaka akan datang.Cecilia tidak mau ambil risiko. Rahasia besarnya ada di tangan Charles. Sialan memang. Dia membenci ini semua. Namun, apa yang harus dia lakukan? Kejadian malam itu membuatnya seakan-akan telah memiliki ikatan dengan paman dari mantan tunangannya. Ikatan yang tak pernah sama sekali terbayangkan.Sekarang, Cecilia mendadak pening. Dia memijit pelipis sembari mengatu
Evan sedang duduk di kursi kerjanya dan fokus memandangi layar MacBook, memeriksa segala laporan pekerjaan. Namun, tiba-tiba saja keheningan ruangannya dipecah oleh teriakan seorang wanita.“Sayang!” Bertha berteriak sembari berjalan cepat untuk menghampiri Evan. Tampilan wanita itu tampak kacau, tidak secantik dan serapi biasanya.Evan membulatkan mata, seketika berdiri, dan buru-buru menutup rapat pintu bahkan menguncinya. “Ssst! Pelankan suaramu, Sayang. Bagaimana kalau ada orang lain yang mendengar?” tegurnya dengan nada panik. Dia segera kembali melangkah untuk menghampiri wanita itu.Namun, Bertha tengah emosi. Dia tidak mau mendengar kalimat apa pun dari Evan, kecuali bujukan manis. Di tangannya sudah ada tas cokelat tua yang dibelikan Evan, yang sudah rusak karena digunting habis-habisan oleh Cecilia.“Lihat, tunanganmu menghancurkan tasku!” adu Bertha sembari setengah melempar tas itu ke meja kerja Evan.Kedua mata Evan membulat melihat tas mahal yang baru kemarin dia pesan l
“Kalian tahu, tas ini limited edition dan diimpor langsung dari Prancis. Kekasihku benar-benar orang yang sangat mengerti dan menyayangiku. Well, aku ini memang wanita sangat beruntung, kan?”Cecilia mempertahankan wajah datarnya begitu lewat di depan kerumunan beberapa karyawan wanita, dengan Bertha sebagai pusatnya. Wanita ular itu baru saja berbicara dengan nada lebih kencang. Seolah-olah memang sengaja agar didengarnya.Untuk meladeni itu, Cecilia berhenti melangkah dan pura-pura menikmati kopi di gelasnya yang masih mengepulkan uap. Matanya memandang penuh pada Bertha. Wanita itu justru tampak kesenangan.“Pesona wanita cantik memang mampu menaklukkan hati pria mana pun,” imbuh Bertha diakhiri senyuman lebar yang terkesan sinis.Cecilia menyeruput kopinya dengan gerakan menikmati. Benar-benar mendapat tontonan seru di pagi hari. Walau sebenarnya percakapan itu sangat memuakan di telinganya.“Asal kalian tahu. Kekasihku itu rela membuang kekasih lamanya untuk mengejarku habis-hab
Cecilia nyaris tidak bisa mendengar semua ucapan panik Lena yang kini terus berada di sampingnya sembari memegangi tangannya dengan erat. Seolah-olah wanita paruh baya itu begitu takut akan kehilangan.“Mommy, aku sudah tidak apa-apa,” kata Cecilia menenangkan. Lagi pula, kondisinya memang sudah lebih baik sekarang, setelah mendapat penanganan cepat dari para pelayan yang diperintahkan oleh Lena. Lena bahkan memaksanya untuk diperiksa dokter keluarga.Sekarang, Cecilia sudah duduk di ranjang di salah satu kamar tamu yang biasa dia tempati jika berkunjung ke mansion keluarga Langston. Pakaiannya sudah berganti dengan baju baru yang hangat. Evan, Bertha, Lena, dan beberapa pelayan masih ada di sekelilingnya.“Tapi, Mommy khawatir, Sayang. Kau yakin mau pulang? Tidak menginap di sini saja?” Lena menatap penuh harap dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Tangannya meraba lembut Cecilia yang duduk di ranjang itu.Cecilia menggenggam tengan Lena yang menyentuh pipinya. Kedua matanya menata