Bodoh. Aku memang bodoh.
Cecilia Moreau tak henti mengumpati dirinya sendiri seiring kedua kakinya yang melangkah tegas di sepanjang koridor. Bayangan-bayangan panas tadi malam tak henti mengusik kepalanya.
Kali ini, bukan bayangan video adegan panas Bertha dan Evan, melainkan momen one night stand-nya semalam. Dengan seorang pria yang entah siapa namanya. Hanya saja, Cecilia cukup ingat wajah itu meski agak samar. Terutama bagian ketika tubuh mereka saling menempel dan memuaskan. Bayangan yang itu justru teringat kuat. Membangkitkan sensasi panas di sekujur tubuh.
Cukup! Sialan! Cecilia mendengkus marah, entah pada siapa. Dia mengepalkan kedua tangan, nyaris meremas selembar kertas di tangan. Kertas yang membuatnya memaksakan diri untuk berkunjung ke ruangan itu. Dia mulai mencoba mengendalikan diri. Pagi buta tadi dia berhasil melarikan diri dari hotel—di mana menjadi tempat dirinya one night stand dengan pria asing. Pun beruntung dia pergi dalam keadaan pria itu masih terlelap. Jika saja pria itu sudah bangun, maka dia akan bingung bagaimana untuk bersikap.
Pintu diketuk dua kali olehnya. Kemudian, terdengar instruksi suara pria dari dalam sana. Cecilia pun masuk.
Sepasang mata Cecilia kini menatap nyalang pada sosok pria di balik meja, tengah duduk tegak di kursi. Pria berparas tampan yang dulu begitu dikagumi dan dicintainya dengan sepenuh hati. Pria yang berstatus sebagai tunangannya, tetapi berakhir mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
“Hai, Sayang,” sapa Evan dengan nada manis seperti biasa. Dia tampak tak memiliki kecurigaan sedikit pun.
“Berhentilah basa-basi dengan mulut busukmu, Evan.” Cecilia langsung menyerang dengan tajam. Ketukan heels tingginya kembali terdengar begitu dia melangkah cepat ke meja Evan. Kemudian, tangan kanannya setengah memukulkan selembar kertas itu pada permukaan meja. “Aku mau resign!”
Evan tampak mengerutkan kening dalam sembari mulai memfokuskan pandangan sepenuhnya pada wanita itu. “Kenapa mulutmu jadi bisa mengeluarkan kata-kata kasar, Sayang?” Dia bangkit berdiri, mengulurkan tangan untuk menyentuh lembut pipi Cecilia. “Ada apa, hmm?” tanyanya lembut.
Namun, Cecilia menepis kasar tangan pria itu. “Aku mau resign!” ulangnya dengan emosi membara.
Evan mengernyit dalam, sedikit melirik selembar kertas di atas meja. “Ada apa?” Sekarang nada bicaranya lebih serius.
“Ada apa?” beo Cecilia, sebelum tertawa sinis dan bersedekap. “Jelas aku minta resign karena tidak ingin lagi menghirup udara di ruangan yang sama dengan pria bajingan sepertimu!” lanjutnya sarkas.
Evan mengerutkan kening bingung. “Sayang, ada apa? Kau kenapa sampai marah-marah begini?” tanyanya dengan nada membujuk. Dia heran dan tak mengerti melihat perubahan signifikan Cecilia. Biasanya kalau wanita itu datang ke kantornya, maka pasti akan langsung bergelayut manja, lalu mereka bertukar ciuman singkat.
Cecilia tertawa rendah dengan nada menusuk. “Berhenti bermain topeng di depanku, Evan,” peringatnya muak. Matanya menatap nyalang pada wajah kebingungan pria itu. “Aku sudah tahu semuanya!”
“Topeng?” Evan mengernyitkan kening. “Aku tidak paham, Sayang. Coba jelaskan baik-baik.” Dia menggenggam lembut kedua tangan Cecilia, membawanya ke dekat bibir, dan memberi ciuman singkat.
Lagi-lagi Cecilia menarik tangan, menolak sentuhan darinya. Tampak Seketika mata Evan bergerak-gerak, berusaha menganalisis keadaan—yang seakan mneunjukkan adanya tanda bahaya.
“Kau berselingkuh dengan Bertha, kan?” tembak Cecilia dengan kobaran amarah yang nyaris tak bisa ditahan lagi.
“Apa yang kau katakan?” tanya Evan, masih pura-pura tidak paham. Namun, Cecilia bisa melihat sekilas keterkejutan yang muncul di mata pria itu.
“Kau seorang pria cerdas, Evan. Jangan berpura-pura lagi. Aku sudah melihat video panasmu dan Bertha!” Suara Cecilia bergetar, matanya tetap memandang penuh pada wajah yang mulai menunjukkan reaksi lain itu.
Evan lalu tertawa, masih berusaha menyangkal. “Kau salah paham, Sayang. Itu video, kan? Jangan percaya sesuatu yang tidak kau lihat dengan mata kepalamu sendiri,” bujuknya sambil mulai menyentuh pundak Cecilia. Namun, lagi dan lagi wanita itu menepis sentuhannya dengan kasar.
“Kau pikir aku buta, hah?” teriak Cecilia. Napasnya memburu dan cepat, matanya sudah memerah dan terasa panas. “Aku mendengar sendiri kalian saling mengucap kata cinta. Aku melihat sendiri kalian berciuman hebat dan bermain di ranjang! Itu tandanya apa? Apa kalian sedang menjadi bintang film? Jadi, aku harus percaya bahwa video itu hanya kebohongan?” lanjutnya dengan nada tetap tinggi.
Ruangan seketika hening. Bola mata Evan bergerak-gerak cepat, mengamati baik-baik wajah wanita di depannya yang sudah merah padam sepenuhnya. Pria itu terlihat menunjukkan kepanikan di wajahnya.
“Kau diam artinya iya, kan?” teriak Cecilia lagi. Suaranya menggelegar di ruangan. “Sejak kapan, Evan? Sejak kapan kalian menusukku dari belakang? Berapa malam yang kalian habiskan bersama, hah? Berapa kali kau menikmati tubuhnya, hah?”
Kata-kata tajam wanita itu justru ditanggapi dengan santai oleh Evan. “Kau marah karena aku bercinta dengan sahabatmu?” tanyanya dengan santai. Tidak ada lagi topeng pura-pura polos yang dipakainya dengan lihai. Telanjur basah, kan? Jadi, sebaiknya dia meladeni kemarahan wanita itu.
Cecilia hampir saja melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah tampan yang menyebalkan itu. Namun, dia menahan diri dengan mengepalkan kedua tangan dan masih bersedekap dada. Hanya wajahnya saja yang mulai merah padam.
“Kenapa marah, Sayang? Harusnya kau tanya pada dirimu sendiri.” Evan merundukkan tubuh tinggi tegapnya ke arah Cecilia. Matanya menatap tajam pada wajah wanita itu yang dipenuhi amarah. “Kita memang menjalin ikatan yang penuh cinta, tetapi cinta saja tidak cukup, Sayang. Aku pria normal. Aku butuh seks. Sementara kau tidak pernah mau memberikan itu padaku.”
Setiap kata-kata itu mewujud bak sebilah pedang tajam yang menyayat, menusuk, dan mengoyak hati Cecilia yang sudah hancur sejak kemarin. Tampak jelas kemarahan di wajah wanita itu tak lagi bisa terkendali.
“Kau tidak bisa memberikan itu, kan? Kau selalu berpegang teguh pada aturan kolotmu. No sex. Ayolah, kita sudah hidup di era modern. Kau adalah tunanganku, tapi kita tidak having sex itu untuk apa?” Evan menatap tajam dengan senyuman miring menghiasi wajah tampannya.
Cecilia hampir kehabisan kata-kata saking terbakar oleh emosi. Dadanya bergemuruh hebat dengan sensasi panas yang mulai menyebar ke sekujur tubuh. “Kenapa harus Bertha?” tanyanya dengan nada gemetar. Matanya panas bukan main. Namun, dia mati-matian menahan diri karena tidak ingin menjatuhkan air matanya setetes pun untuk pria seberengsek Evan. “Kenapa harus sahabatku?” tanyanya lagi menahan gejolak di dalam dada.
“Of course because she is beautiful, sexy, and a good partner in bed,” jawab Evan diakhiri senyuman puas. “Lagi pula, Bertha yang melemparkan dirinya sendiri padaku.”
“You jerk!” umpat Cecilia dengan napas memburu.
Tangan kanan Evan terulur dan menyentuh dagu Cecilia, sedikit mengangkat untuk membuat wanita itu mendongak, lalu menelusuri garis dagunya dengan gerakan lambat. “Kau cantik. Aku mengagumi itu. Apalagi bibirmu. It’s a pity I can’t enjoy your naked body.” Nadanya terdengar kecewa. “Itu mengecewakan, Baby. Jadi, aku cari pelampiasan lain saja, kan?” Senyum liciknya terbit.
Cecilia menepis kasar tangan pria itu dan mendorong tubuh Evan. Namun, Evan hanya tertawa remeh. Posisinya tetap kokoh sehingga dorongan Cecilia tadi bukan apa-apa.
Kedua pundak wanita itu naik turun dengan cepat, embusan napasnya terdengar kasar. “Kau sungguh berengsek, Evan!” hardiknya berang.
“Aku hanya sedikit berselingkuh. Lagi pula, itu juga untuk melindungi dirimu sendiri yang tidak ingin having sex denganku sebelum menikah, kan? Jadi, daripada aku memaksamu dan melakukan cara-cara licik untuk membuatmu tidur denganku, aku lebih baik mencari wanita lain sebagai pelampiasan,” kata Evan dengan santai.
“Berengsek! Bajingan! Manusia rendahan kau, Evan!” Cecilia terus berteriak sambil memukuli dada Evan. Namun, dengan cepat Evan meringkus kedua tangannya. Hanya dengan satu tangan.
Tatapan mereka kemudian beradu. Evan bisa melihat dengan jelas kobaran amarah di kedua mata Cecilia yang biasa menatapnya penuh cinta. Oh, itu sedikit menyakitkan.
“Mulutmu berisik, Sayang,” bisik pria itu tepat di dekat telinga Cecilia. Kemudian, tangan kirinya menggenggam tengkuk Cecilia dan mendorong paksa wanita itu untuk mendekatkan bibir.
Mereka berciuman secara paksa. Cecilia berusaha berontak dan membuat Evan kesusahan melumat bibirnya. Hingga akhirnya, dia menggigit bibir pria itu, membuat ciuman terlepas dan Evan yang terkejut pun melepaskan cengkeraman pada tangannya. Lantas, dia segera mundur dengan napas putus-putus.
“Sakit, Sayang,” kata Evan sambil mengusap sedikit darah di sudut bibirnya. Harga dirinya sedikit terusik dengan semua penolakan Cecilia kali ini.
Pria itu lalu mengambil selembar kertas pengajuan resign di meja dan membacanya sekilas. “Resign?” katanya dengan nada mencemooh. Dia lalu berkata dengan amarah yang akhirnya tak ditahan-tahan lagi. “Kau berani berontak sekarang, hm? Kau lupa, ya, aku yang memberimu posisi sepenting ini?” Dia meremas kuat kertas itu sampai kusut dan menjadi bola kecil.
“Aku Evan Langston, CEO Langston Group. Seharusnya kau mempertahankan statusmu sebagai tunanganku karena kau tanpaku itu cuma seonggok sampah!” Suara Evan mirip desisan penuh ancaman. Tajam penuh peringatan.
Plak!
Pagi menyapa. Cecilia tengah fokus menatap ke layar MacBook, menyelesaikan satu demi satu pekerjaan, saat seseorang tiba-tiba masuk ke ruangannya. Cukup dari aroma yang familier, wanita itu memutuskan tidak mendongak untuk memeriksa siapa yang datang.“Sayang, kemarin kau ke mana? Kenapa kau tiba-tiba memutuskan sambungan teleponku?” Evan muncul dan langsung melayangkan dua kalimat tanya dengan nada sedikit kencang. Dia lalu berhenti di depan meja kerja Cecilia, berdiri sembari memandang penuh pada wanita yang tengah duduk itu.Hari ini Cecilia tampak cantik dengan setelan hitam-hitamnya yang menguarkan kesan misterius tetapi kharismatik. Dia memakai celana kain sepaha, dipadukan dengan dalaman berupa kaus putih polos pendek, dan jas hitam kebesaran yang menutupi tubuh proporsionalnya. Kemudian, dia juga memakai jam tangan berdesain simpel warna hitam, melingkar lembut di tangan kecilnya yang putih. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai indah, menelusuri lekuk pundaknya yang kecil tetap
Entah apa yang membuat dirinya benar-benar sudah tidak waras. Cecilia perlahan tenggelam dalam lautan hasrat yang mulai menggelegak, mulai pasrah dengan sentuhan-sentuhan panas dari tangan nakal Charles yang tidak bisa diam.Kedua telinganya bahkan terus mendengar bagaimana suara berat pria tampan itu tidak henti membisikkan kata-kata atau hanya embusan napas berat—yang sialnya justru memantik hasrat. Membuat tubuhnya kian memanas dengan gelenyar aneh yang mendesak. Seolah-olah mencari sesuatu untuk melampiaskan.Cecilia nyaris pasrah seutuhnya begitu tiba-tiba saja merasakan tangan Charles meraba ke bokongnya. Gerakan menggoda itu dalam sekejap membekukan tubuhnya.“Damn, bokongmu sangat indah,” bisik Charles dengan suara rendahnya. Dia lalu lanjut membenamkan bibir di sekitar leher Cecilia, memberi sentuhan-sentuhan panas yang kurang memuaskan. Sial sekali. Dia ingin menggigit leher itu dengan panas, meninggalkan banyak jejak yang pasti indah untuk dilihat. Sayangnya, dia tidak bisa
Cecilia memandangi lima paper bag yang satu jam lalu diantarkan ke apartemennya oleh beberapa pekerja butik, bersama sebuah gaun yang dikemas khusus. Salah satu dari mereka juga mengantarkan pesan dari orang yang mengirim semua barang ini, bahwa Cecilia harus memakai semua benda tanpa kurang satu pun. Kalau ada yang tertinggal, akan ada konsekuensinya.Oh, jelas itu ulah Charles. Charles yang mengirim semua ini padanya, untuk dikenakannya dalam agenda makan malamnya dengan Cecilia. Ya, ini memang sudah gila. Cecilia terpaksa menerima ajakan makan malam bersama Charles, karena jika tidak, dia khawatir malapetaka akan datang.Cecilia tidak mau ambil risiko. Rahasia besarnya ada di tangan Charles. Sialan memang. Dia membenci ini semua. Namun, apa yang harus dia lakukan? Kejadian malam itu membuatnya seakan-akan telah memiliki ikatan dengan paman dari mantan tunangannya. Ikatan yang tak pernah sama sekali terbayangkan.Sekarang, Cecilia mendadak pening. Dia memijit pelipis sembari mengatu
Evan sedang duduk di kursi kerjanya dan fokus memandangi layar MacBook, memeriksa segala laporan pekerjaan. Namun, tiba-tiba saja keheningan ruangannya dipecah oleh teriakan seorang wanita.“Sayang!” Bertha berteriak sembari berjalan cepat untuk menghampiri Evan. Tampilan wanita itu tampak kacau, tidak secantik dan serapi biasanya.Evan membulatkan mata, seketika berdiri, dan buru-buru menutup rapat pintu bahkan menguncinya. “Ssst! Pelankan suaramu, Sayang. Bagaimana kalau ada orang lain yang mendengar?” tegurnya dengan nada panik. Dia segera kembali melangkah untuk menghampiri wanita itu.Namun, Bertha tengah emosi. Dia tidak mau mendengar kalimat apa pun dari Evan, kecuali bujukan manis. Di tangannya sudah ada tas cokelat tua yang dibelikan Evan, yang sudah rusak karena digunting habis-habisan oleh Cecilia.“Lihat, tunanganmu menghancurkan tasku!” adu Bertha sembari setengah melempar tas itu ke meja kerja Evan.Kedua mata Evan membulat melihat tas mahal yang baru kemarin dia pesan l
“Kalian tahu, tas ini limited edition dan diimpor langsung dari Prancis. Kekasihku benar-benar orang yang sangat mengerti dan menyayangiku. Well, aku ini memang wanita sangat beruntung, kan?”Cecilia mempertahankan wajah datarnya begitu lewat di depan kerumunan beberapa karyawan wanita, dengan Bertha sebagai pusatnya. Wanita ular itu baru saja berbicara dengan nada lebih kencang. Seolah-olah memang sengaja agar didengarnya.Untuk meladeni itu, Cecilia berhenti melangkah dan pura-pura menikmati kopi di gelasnya yang masih mengepulkan uap. Matanya memandang penuh pada Bertha. Wanita itu justru tampak kesenangan.“Pesona wanita cantik memang mampu menaklukkan hati pria mana pun,” imbuh Bertha diakhiri senyuman lebar yang terkesan sinis.Cecilia menyeruput kopinya dengan gerakan menikmati. Benar-benar mendapat tontonan seru di pagi hari. Walau sebenarnya percakapan itu sangat memuakan di telinganya.“Asal kalian tahu. Kekasihku itu rela membuang kekasih lamanya untuk mengejarku habis-hab
Cecilia nyaris tidak bisa mendengar semua ucapan panik Lena yang kini terus berada di sampingnya sembari memegangi tangannya dengan erat. Seolah-olah wanita paruh baya itu begitu takut akan kehilangan.“Mommy, aku sudah tidak apa-apa,” kata Cecilia menenangkan. Lagi pula, kondisinya memang sudah lebih baik sekarang, setelah mendapat penanganan cepat dari para pelayan yang diperintahkan oleh Lena. Lena bahkan memaksanya untuk diperiksa dokter keluarga.Sekarang, Cecilia sudah duduk di ranjang di salah satu kamar tamu yang biasa dia tempati jika berkunjung ke mansion keluarga Langston. Pakaiannya sudah berganti dengan baju baru yang hangat. Evan, Bertha, Lena, dan beberapa pelayan masih ada di sekelilingnya.“Tapi, Mommy khawatir, Sayang. Kau yakin mau pulang? Tidak menginap di sini saja?” Lena menatap penuh harap dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Tangannya meraba lembut Cecilia yang duduk di ranjang itu.Cecilia menggenggam tengan Lena yang menyentuh pipinya. Kedua matanya menata