Oh my God >< Selama ini, apa yang Adam ketahui ... benar-benar hanya rekayasa dan tipu muslihat! Bagaimana perasaan kalian kalau jadi Adam? Marah, bingung, sedih, kecewa? Selain itu, siapa kiranya yang menjawab pertanyaan Adam? Apa mungkin itu Rosa? Atau ada orang lain?
“Henry! Buka pintu ini! Henry!!” Teriakan melengking bergema di dalam sebuah ruang tidur yang luas. “Kamu mengancamku dengan perceraian? Teruslah bermimpi!” teriak Helen sembari menggedor-gedor pintu kamarnya, wajahnya memerah karena amarah. Seisi ruangan Helen telah dipenuhi dengan benda rusak dan pecahan kaca yang berserakan di lantai. Hal tersebut terjadi lantaran dia menjadikan benda-benda malang itu pelampiasan emosi karena dikurung dan diancam oleh Henry. Namun, semakin lama, Helen merasa semakin frustrasi. Alih-alih mengunjungi dan menegurnya seperti beberapa waktu lalu, Henry tidak menggubrisnya. Pria itu membiarkan para pelayan membersihkan kamar Helen dan menggantikan barang-barang yang rusak dengan yang baru, sebuah cara untuk menunjukkan pada wanita tersebut bahwa apa pun yang dia lakukan tidak akan berpengaruh. Teringat akan tekad bulat Henry untuk mengabaikannya, Helen—yang walau sudah cukup lelah menghancurkan barang-barang di kamarnya tadi—kembali mengepalkan tangan
Di dalam ruangan pribadinya, terlihat sosok Henry yang terduduk di sebuah sofa. Sembari bersandar, kepala pria itu menengadah dan pandangannya menatap lurus foto besar sang istri di hadapan. “Diandra, aku sudah melangkah begitu jauh,” ujar pria tersebut dengan tatapan sendu. “Aku tidak menyangka akan tiba hari di mana aku bisa mengancam Helen dengan sebuah perceraian.” Dari bayangan gelap yang berada di bawah kantong mata pria paruh baya itu, semua orang yang melihat pasti tahu bahwa Henry sedang merasa sangat lelah. Kalau seseorang mendorongnya, kepala Keluarga Dean tersebut kemungkinan besar akan tumbang dan jatuh. “Selain itu, apakah kamu tahu bahwa Evelyn sungguh putri dari Rosa?” tanya Henry dengan sebuah senyuman tipis. “Tidak heran mereka berdua sungguh mirip.” Pandangan pria tersebut jatuh pada foto yang ada di tangannya. “Lihat bagaimana Adam tersenyum begitu bahagia,” bisiknya. “Sudah lama sejak aku melihat bocah itu tersenyum seperti itu.” Foto di tangan Henry tidak lain
“Diandra … tidak membunuh dirinya sendiri, melainkan dibunuh.”Pernyataan tersebut membuat seisi ruangan itu diselimuti aura dingin yang menusuk. Evelyn menoleh ke sebelahnya, dan dia pun menyadari bahwa ekspresi Adam telah berubah menjadi sangat gelap.“Apa … buktinya?” tanya Adam dengan suara rendah.“Adam Dean, ibumu adalah wanita yang seperti apa, kamu—sebagai putranya—jelas tahu,” balas suara dari ponsel tersebut, membuat Adam mengerutkan kening. “Diandra bukanlah orang egois yang akan dengan tega meninggalkan putra semata wayangnya sendirian di dunia ini,” tegas orang tersebut. “Terutama ketika dia tahu bahwa nyawamu dalam bahaya dengan kehadiran Keluarga Smith.”Ucapan orang tersebut membuat pandangan Adam menjadi sedikit tidak fokus. Benaknya terlempar ke pagi hari itu, hari di mana dia mengunjungi ruangan sang ibu di rumah sakit, hanya untuk mendapati tubuh Diandra telah bergelantung di tengah ruangan.Adam ingat bahwa pada saat itu, ada lebam dan luka panjang yang menghiasi
“Adam! Adam, tahan emosimu!” Teriakan Evelyn bergema di teras gedung utama. Dari suaranya, kentara bahwa dia sangat panik. Dengan dua tangan menggenggam erat lengan Adam, Evelyn berusaha menahan pria itu dari menerjang dan menerobos kediaman Henry. Akan tetapi, kekuatan wanita tersebut tentunya tidak sebanding dengan kekuatan Adam. Beruntung, pria tersebut lebih khawatir Evelyn akan berakhir terjatuh dalam usaha untuk menahan dirinya. Alhasil, Adam pun menghentikan langkahnya dan berbalik. Raut wajah Adam memancarkan amarah menggebu-gebu, netra birunya tidak sekadar memancarkan aura dingin seperti biasa. Kali ini, dia jelas ingin membunuh seseorang. “Wanita itu telah membunuh ibuku!” ucap Adam dengan suara tertahan. Jari pria tersebut terarah ke kediaman Henry, jelas sedang merujuk ke ruangan Helen. “Evelyn, aku tidak mungkin diam saja setelah mengetahui bahwa ibuku dibunuh dengan begitu keji hanya untuk ... untuk harta dan kuasa!” Pria itu mengepalkan tangannya. “Paling tidak, pri
“Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” Sembari menghadap ke luar jendela, menatap bulan yang bersinar terang malam tersebut, Noah bertanya sembari memasang ekspresi kesulitan. “Kenapa kamu berubah pikiran dan berujung melibatkan Evelyn dan Adam?” Dari ujung telepon yang lain, suara merdu pun terdengar membalas, “Tidakkah kamu mendengar ucapan putriku tadi?” Mendengar balasan Rosa, Noah mengerutkan kening. “Aku akui bahwa tindakan Evelyn berada di luar dugaanku,” ucap pria tua itu sembari menutup mata dan menyandarkan punggung ke sofa. “Menghubungi ketua Pentagram Merah untuk mencari tahu tentang dirimu, sebuah tindakan yang sangat berani mengingat pengalamannya dengan grup tersebut.” Namun, Noah kemudian mendengus. "Akan tetapi, tidak mungkin hanya karena itu, terlebih karena pada akhirnya kamu tidak mengakui apa pun di depan mereka tadi.” Selama sesaat, Rosa terdiam. Dia menghela napas dan berujung menjawab, “Cucumu menemui Tom Smith.” “Apa?” Noah terlihat terkejut. “Kapan?” Sembar
“Pernah menjadi bagian dari mereka, aku yakin kamu tahu bahwa sekali menginjakkan kaki di dunia bawah, maka selamanya kamu tidak akan pernah sepenuhnya lepas, bukan begitu?” Pertanyaan Adam membuat bukan hanya Evelyn, tapi Julian yang berada di kursi depan terkejut. “Apa maksud ucapanmu?” tanya wanita itu dengan mata membelalak, jantungnya berdetak sangat kencang. “Bagian dari mereka?” ulangnya dengan manik bergetar. Ketegangan sekejap menyelimuti seisi mobil itu, terutama ketika sopir dan Julian melihat bagaimana intensnya pandangan yang Evelyn lemparkan kepada Adam. Alhasil, Julian pun memberikan isyarat kepada sang sopir untuk menaikkan dinding partisi. Dia tidak ingin terlibat dengan perdebatan antara dua orang itu. Begitu dinding partisi sepenuhnya naik, barulah Adam membuka mata dan menoleh untuk menatap Evelyn. Tatapan mata pria itu terlihat santai, seakan tidak tergubris sedikit pun oleh pandangan yang Evelyn berikan padanya. “Evelyn, telah begitu lama mengenalku, apa kamu
“Nyonya Evelyn, Tuan Adam,” sapa Sienna kala Adam dan Evelyn telah tiba di rumahnya. Dia tersenyum sopan sembari mempersilakan keduanya untuk masuk. “Mohon maaf apabila kediamanku tidak begitu layak untuk menerima tamu.” Evelyn mengerjapkan matanya, sedikit terkejut dengan ucapan Sienna yang begitu merendah. “Rumahmu indah,” pujinya. Walau memang tidak bisa dibandingkan dengan kediaman mewah Adam atau bahkan rumah Keluarga Aditama dulu di Nusantara, tapi rumah sederhana Sienna sangatlah nyaman untuk ditempati. Namun, jujur saja, Evelyn merasa sedikit aneh dengan betapa sederhananya kediaman wanita tersebut. Mengingat dirinya adalah keturunan Smith, seharusnya Sienna bisa memiliki rumah yang jauh lebih megah dan mencolok dibandingkan ini. “Nyonya Sienna—” Evelyn memulai ucapannya, tapi segera terhenti ketika melihat tangan Sienna terangkat. “Panggil aku Sienna saja,” ujar wanita tersebut sembari tersenyum. Mendengar hal itu, Evelyn pun tersenyum dan menganggukkan kepala. Karena mem
“Ibumu … dibunuh?” Evelyn mengulangi kalimat yang dilontarkan Sienna dengan wajah tak percaya.Sienna yang baru saja menyelesaikan alasan kebenciannya pada sang ayah menganggukkan kepala. “Pernikahan antara Ayah dan ibuku bukan didasari cinta, Evelyn. Mereka dijodohkan oleh Kakek,” terang wanita tersebut sembari melirik ke luar, pada anaknya yang sedang bermain di kamar. “Itulah alasan Ayah tega menyingkirkannya agar bisa bersama wanita yang merupakan kekasihnya sebelum menikah dengan Ibu.”Evelyn memandang Sienna dengan sedikit bingung. “Sebagai putri dari kalangan atas, tidakkah keluarga ibumu menyelidiki tentang kematiannya?”Sebuah dengusan terdengar dari Sienna. Wanita itu menutup mata dan memasang senyuman mengejek.“Menyelidiki kematiannya?” ulang Sienna. Dia pun membuka mata dan ekspresinya sekejap berubah dingin. “Orang-orang itu mengakui diri mereka keluarga hanya ketika Ibu meninggal! Dan itu semua untuk mendapatkan bagian dari warisan!”‘Warisan?’ pikir Evelyn dengan bingu