Manik Rena memandang sosok Lasmi yang tengah memeriksa keadaan Yara. Wanita itu dengan hati-hati menusukkan jarum ke beberapa titik kepala sang ratu sebagai salah satu bentuk pengobatan. Tanpa mengalihkan pandangannya, Rena bertanya, “Dari betapa siapnya kalian, bisa kutebak bahwa hal ini sering terjadi.” Ucapan Rena membuat Lasmi sempat tertegun, tapi wanita itu terdiam dan melanjutkan tugasnya. Sementara itu, Bhadrika yang berada di ruangan Yara selagi para bawahan terpercayanya berjaga di luar pintu berkata, “Ini yang kelima.” Jawaban Bhadrika membuat Rena mengalihkan pandangannya kepada sang jenderal. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan sedikit panik dan bingung. Sebelum Bhadrika maupun Lasmi bisa menjawab, Rena menambahkan, “Itu … adalah efek racun, bukan?” Sebagai pembunuh bayaran, Rena telah melihat berbagai macam cara satu manusia membunuh manusia lain. Dari gejala yang Yara tunjukkan, Rena yakin bahwa wanita itu telah diracun. Karena Rena bisa menebak, Bhadrik
Pernyataan Yara membuat Bhadrika dan Lasmi membelalakkan mata mereka.“Turka?” Bhadrika tak elak mengulangi ucapan Rena lantaran terlalu kaget. “Apa Tuan Putri yakin?”“Kalau tidak yakin, aku tidak akan mengatakan apa pun,” balas Rena sembari menatap Bhadrika dengan kening berkerut, sedikit tersinggung karena pria itu mempertanyakan keyakinannya.Mendengar hal ini, Bhadrika pun menundukkan kepala, merasa bersalah. “Maaf, Tuan Putri.”Terfokus pada kenyataan di depan mata, Lasmi pun langsung berkata, “Kalau seperti ini, bukankah sebaiknya kita menghubungi Pangeran Elric?” Dia menatap sang suami. “Dia pasti bisa membantu kita menyelidiki secara langsung.”Begitu mendengar Lasmi menyebut nama Elric, Rena langsung menoleh cepat ke arah wanita itu. “Elric?” ulangnya. Sudut bibir Rena berkedut. “Kalian tidak sedang membicarakan tentang … kakakku, bukan?”Setelah mengucapkan pertanyaan itu, Rena baru sadar betapa bodoh dirinya sekarang. Jelas saja yang dimaksud oleh Lasmi dan Bhadrika adalah
*Tiga minggu kemudian*Dalam sekejap mata, hari kembalinya Pangeran Maheswara dari studinya luar negerinya pun tiba.Sesuai dengan dugaan Rena, tidak lama setelah berita itu tersebar, Adipati Agung meminta untuk bertemu dengan Yara. Alhasil, Yara pun menerima saran Rena dan berujung mengadakan perjamuan besar untuk menyambut kedatangan sang pangeran.Di mata orang banyak, tindakan Yara sangatlah masuk akal mengingat bahwa sang adipati agung adalah pilar pelindung kerajaan. Ada pula yang berkata bahwa dalam kesempatan ini, Yara akan mengumumkan niatnya untuk menjodohkan sang pangeran dengan salah satu putri kerajaan—Anindita atau Saraswati.“Letakkan kudapan ini di sana.”“Tidak! Apa yang kamu lakukan!? Gunakan sapu tangan dengan kain sutra!”“Benar, di barisan pertama dua puluh kursi.”Mana terlihat sangat sibuk mengatur penataan ruang pesta. Dirinya yang dahulu sering direndahkan oleh kelompok Tari dan Yuni sekarang menjadi satu dari dua pelayan senior yang bertahan—yang satunya lagi
“T-Tuan Putri, t-tidak seharusnya kita berada di tempat ini!” desis Mana yang sedikit berlari untuk mengejar langkah kaki Rena yang lebar. “Taman istana adalah tempat yang paling sering dikunjungi para petinggi kerajaan setiap kali datang kemari! Kalau dirimu bertemu dengan salah satu dari mereka ….”Mana tidak melanjutkan ucapannya, tidak mampu membayangkan masalah apa yang bisa mengikuti skenario tersebut.Di sisi lain, Rena terus berjalan dalam diam. Dia ingat ucapan neneknya tadi pagi.“Para pejabat pastinya akan mengambil kesempatan ini untuk kembali menekanku agar menjadikan Adhisti penerus,” ujar Yara dengan wajah lelah. “Akan tetapi, sampai kenyataan terbongkar, aku tidak ingin semudah itu memberikan takhta kepada siapa pun!”Rena, yang masih membantu wanita tua tersebut mempersiapkan diri pagi itu untuk menghindari kecurigaan, berakhir berkata, “Kenapa tidak membawaku dari awal?”Kalau masih akan menjalankan rencananya, Rena yakin sang nenek cepat atau lambat harus memperkena
“Kudengar Dayang Lasmi sudah mengundurkan diri?” tanya Anindita tanpa basa-basi kepada Rena. “Kenapa?” “Kakak, itu urusan pribadi orang lain ….” Saraswati terlihat memperingatkan dengan lembut. “Lasmi adalah dayang istana, dan dayang istana adalah bawahan anggota keluarga kerajaan. Hak kita untuk tahu urusan pribadinya!” tepis Anindita dengan alis tertaut. “Kalau kamu tidak mau tahu, jangan dengar. Susah banget sih?!” balasnya ketus membuat Saraswati tertunduk diam, menyerah menghentikan sang kakak. Sementara itu, Maheswara hanya terdiam. Dia tidak mengutarakan sepatah kata pun lantaran dirinya sibuk memikirkan satu hal. Maheswara terus memperhatikan Rena. Dalam hatinya, dia memiliki kecurigaan bahwa gadis itu bukan seorang pelayan, dan itu semua karena kain sutra berkelas yang Rena kenakan. Namun, sedari tadi, Rena mampu menjawab semua pertanyaan Anindita terkait masalah istana dengan lugas dan jelas, jadi Maheswara sedikit bingung mengenai apakah kecurigaannya sia-sia? Saat Ma
‘Dominic?!’ Tubuh Rena membeku. Dia tidak mampu memercayai penglihatannya sendiri. Wajah yang beberapa waktu belakangan terus menghantui malamnya itu mendadak muncul tepat di depan mata! Seketika, seluruh ingatan dari mimpi-mimpi yang sempat hinggap sesaat dalam tidur menerpa Rena, membuat wajah gadis itu merona merah! “Adikara,” panggil Maheswara membuat Rena mengernyitkan dahinya. ‘Adikara?’ ulang gadis itu lagi dengan wajah bingung. Rena memerhatikan Maheswara tersenyum lebar kepada Dominic yang membungkuk hormat kepadanya, mengikuti adat Nusantara dengan begitu alami, seakan itu adalah adat yang Dominic ketahui selama ini. Berbeda dengan Dominic yang biasa akan langsung melemparkan senyum dan melontarkan kalimat menyebalkan untuk memancing amarah Rena, pria tersebut terfokus pada Maheswara. “Siapa ini, Pangeran?” tanya Anindita dengan pandangan genit ketika menatap Dominic. Matanya mengerjap beberapa kali, sangat kentara berusaha menarik perhatian pria tersebut. “Dia terliha
“Pelayan tidak becus!? Apa kamu mencari mati?!” Makian itu meluncur keluar dari bibir Anindita selagi dia menunjuk-nunjuk ke arah hidung Rena. Mata Anindita terlihat memerah dan wajahnya memancarkan amarah yang menggebu. “Melukai keluarga kerajaan, apa kamu tidak tahu apa hukumannya?!” Selagi mengucapkan hal itu, Anindita meringis. Bulir-bulir keringat muncul di keningnya karena sepertinya kulitnya sedikit terbakar. Entah kenapa, teh yang tumpah itu masih sangat panas! Astaga, kalau tahu sepanas ini, Anindita akan menggunakan cara lain untuk membuat gadis pelayan genit itu dihukum! Sementara itu, Rena yang mampu membaca wajah kesakitan Anindita di balik ekspresi marahnya tertawa dalam hati. Bertindak didasari emosi dan tanpa pemikiran matang, sepupunya ini ternyata … memang sebodoh itu. ‘Hah ….’ Rena menghela napas dalam hati, bersyukur bahwa sang sepupu tidak penuh dengan tipu muslihat dan kelicikan seperti anggota keluarga kerajaan yang lain. Demikian, dia tidak perlu pusing
“Kalau tidak … aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya.”Saat perkataan itu terlontar dari bibir Adikara, semua orang tertegun, terutama Maheswara.Pangeran adipati itu memerhatikan saudara angkatnya dalam diam, mempelajari dengan saksama setiap perubahan ekspresi guna memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.Adikara adalah orang seperti apa, Maheswara tahu dengan jelas. Pria itu dingin, misterius, dan tidak suka berdekatan dengan orang asing.Lalu, kenapa sepertinya Adikara menaruh perhatian lebih terhadap gadis pelayan angkuh itu?!‘Apa Adikara mengenalinya?’ batin Maheswara seraya menatap sosok Rena. ‘Atau hanya … karena tertarik padanya?’Patut Maheswara akui, gadis itu memang cantik dan anggun. Sikap dan pembawaannya jauh melebihi keanggunan pelayan istana, malah lebih seperti seorang putri.Tidak, bahkan putri kerajaan seperti Anindita saja tidak bisa dibandingkan!Dia anggun dan lembut seperti Saraswati, tapi berani dan penuh kuasa seperti Yara.‘Siapa sebenarnya gadis ini