Share

Gairah Dalam Pernikahan
Gairah Dalam Pernikahan
Penulis: Citirex Cirich

KEHANGATAN DI ATAS RANJANG

Suara deru mobil berhenti saat tiba di depan rumah, hari itu hujan lebat. Di dalam mobil tidak tersedia payung, laki-laki itu pun keluar dari mobil dengan cepat dan berlari menuju beranda rumah. Menapaki dua anak tangga naik ke teras rumah dan membuka pintu rumah dengan kode password yang ia hafal.

Saat masuk, rumahnya temaram dan ia pun tidak berniat untuk menyalakan lampu. Tujuan pertamanya adalah naik ke lantai dua, ke kamarnya dan ada istrinya di sana.

"Dingin sekali," keluhnya.

Pria memakai setelan jas hitam itu pulang jam dua pagi, dengan pakaian yang sedikit basah dan meletakkan tas kerjanya ke sembarang tempat, ia pun berjalan ke lantai dua. Namanya adalah Teodan Prahado, pria tinggi dengan tubuh atletis dan memiliki wajah yang tampan. Jas yang ia pakai tadi ia tanggalkan dan mencampakkan-nya ke lantai sebelum sampai di kamar.

"Pasti sudah tidur."

Suara hujan di luar membuat langkah kakinya tidak terdengar. Sejuk udara membuat ia tak sabar melihat istrinya. Perlahan dan sambil berjalan ia melepaskan satu persatu kancing kemejanya berwarna putih membuat dada bidangnya terlihat.

"Anesia," gumamnya lagi.

Teo membuka pintu kamarnya, temaram dan sangat dingin. Matanya dalam melihat istrinya yang tidur tidak berselimut dengan memakai baju tidur tipis tanpa pakaian dalam. Teo sangat tahu kebiasaan istrinya, sudah tiga tahun mereka menikah, namun mereka belum dikaruniai buah hati.

Teo tersenyum tipis, "Nyenyak sekali tidurnya," ucapnya melihat Anes.

Gairahnya bangkit seketika saat makin dekat dan berdiri di samping tempat tidur. Teo terlebih dahulu meletakkan handphonenya di atas nakas, kemudian melihat istrinya kembali. Ia menanggalkan kemejanya yang sudah terlepas semua kancingnya, menanggalkan sepatu pantofel dan kaos kaki hitam.

Tubuhnya sempurna, tubuh pria idaman banyak wanita. Berotot dan terlihat seksi.

"Istriku," bisik Teo setelah menyingkap rambut yang menutupi telinga istrinya.

Bibir Teo bermain di telinga Anesia Dutta. Ia berbisik dan menggigit kecil telinga istrinya, itu membuat Anes menggeliat. Anes membuka matanya perlahan, saat itu Teo sudah melihat dan wajah suaminya itu sudah ada di depan matanya.

"Mas, kamu sudah pulang? Ini sudah jam berapa?" tanya Anes dengan suara lembutnya. Anes ingin duduk, namun ditahan oleh Teo.

Teo tersenyum melihat istrinya, ia hanya mengenakan celana dalam saja saat ini.

Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, tapi Teo malah mendekatkan bibirnya dan menyatukan bibirnya dengan bibir Anes.

Siap tidak siap, untuk suaminya yang tercinta, Anes mengerti apa yang diinginkan suaminya saat ini. Cukup lama penyatuan bibir itu hingga membuat gairah mereka melonjak tinggi.

"Mas," panggil Anes dengan suara mendayu.

Mereka mengambil nafas beberapa saat, kemudian mereka kembali melakukan aksi panas itu.

Hujan di luar makin lebat, seakan-akan memberikan mereka untuk leluasa untuk berteriak dan mengadu kasih. Tidak ada lagi kata dingin, bahkan ruangan di dalam kamar itu terasa panas. Keringat bercucuran dan suara-suara yang tak beraturan terdengar keras.

Sat penyatuan itu tiba-tiba handphone Teo yang di atas nakas berbunyi.

"Siapa, Mas?" tanya Anes dengan tersengal-sengal.

Teo menyuruh Anes untuk bergeser sebentar, kemudian ia turun dari tempat tidur dan mengambil handphonenya. Teo diam sejenak melihat siapa yang menelponnya subuh-subuh hari, apalagi disaat ia dan istrinya sedang berhubungan.

"Siapa, Mas?" tanya Anes lagi.

Anes takut suaminya macam-macam, tapi ia tahu jika suaminya itu setia dengannya. Namun, karena waktu sudah jam segini, membuat Anes sedikit curiga.

"Pak Direktur," jawab Teo sambil menunjukkan layar handphone kepada istrinya.

Anes yang melihat itu langsung lega, ia takut saja jika suaminya macam-macam.

"Angkat saja," jawab Anes. "Mungkin ada sesuatu yang hendak ia katakan," kata Anes lagi.

Teo tidak mendengarkan apa kata istrinya, ia malah menolak panggilan itu dan mematikan handphonenya. Anes yang melihat itu langsung kaget, masalahnya panggilan yang ditolak itu adalah seorang direktur dan bos suaminya.

"Mas, kenapa kamu matikan? Kalau dia mau minta bantuan bagaimana?" tanya Anes yang panik, ia pun merangkak berjalan ke tepi ranjang hendak turun dari tempat tidur, tapi Teo langsung menghalanginya.

Teo menahan Anes agar tidak turun, ia juga sudah meletakkan kembali handphonenya ke atas nakas. Teo melihat wajah istrinya, ia memegang dagunya dan melihat bibir istrinya yang basah.

"Kita lanjut lagi, ya," Teo mendekati bibirnya dan hendak melanjutkan permainan mereka tadi, tapi Anes malah menahan wajahnya agar tidak mendaratkan bibir itu.

Teo kaget, ia memasang wajah kecewa. Pasalnya dia belum sama sekali puas, sementara istrinya baru satu kali tadi.

"Kenapa, istriku?" tanya Teo, dia ikutan duduk di tepi ranjang sambil memegang tangan istrinya.

"Mas, kamu itu baru dua Minggu naik jabatan jadi manager. Masa kamu menolak telpon dari Pak Direktur, kalau dia menurunkan jabatan kamu lagi bagaimana?"

Anesia sangat senang karena suaminya sudah naik jabatan. Dari kepala supervisor menjadi seorang manajer di perusahaan besar, perusahaan teman ayahnya. Anesia tidak ingin suaminya diturunkan jabatannya karena menolak panggilan itu.

"Kamu baru naik jabatan loh," kata Anes lagi.

Melihat kekhawatiran istrinya itu membuat Teo tersenyum, ia pun memegang kedua pipi istrinya dan menangkupnya lembut.

"Istriku, hari ini Mas lelah banget. Sebenarnya tadi sudah pulang jam sepuluh, tapi Pak Direktur mengajak Mas ke tempat biasa, dia minum-minum dan mabuk. Dia menelpon Mas karena dia sedang mabuk. Tapi, dia sudah pulang ke rumah, mungkin karena efek itu. Mungkin setiap hari Mas akan pulang telat, Mas akan jarang bersamamu."

Teo memegang bibir istrinya dengan jempolnya, dia juga memainkannya. Anesia mengerti, ia juga merasa kasihan dengan suaminya.

"Mas, kamu minta libur saja besok."

"Memangnya kenapa? Apa maksudnya hari ini? Ini kan sudah subuh."

Anesia menganggukan kepalanya, "Iya, kamu libur saja hari ini. Kita akan seharian bersama hari ini, tunggu sebentar ya." Anesia menjauhkan tubuhnya sebentar dan dia turun dari tempat tidur.

Teo segera menahannya, ia memegang tangan istrinya sebelum Anesia berjalan pergi.

"Kamu mau kemana, Istriku?" tanya Teo.

"Sebentar saja, Mas. Aku mau mengambil obat untuk kamu di lemari," kata Anesia sembari melepaskan pegangan tangan suaminya. Teo masih bingung, ia tidak tahu istrinya mau mengambil obat apa.

Ia pun menaikkan sedikit bahunya melihat istrinya yang masih melihatnya, Anesia tertawa kecil melihat wajah suaminya yang ia rasa lucu. "Obat kuat," ucap Anesia dengan manja dan ia kemudian berjalan menuju lemari.

Teo yang mendengar itu jadi tertawa sendiri, ia sampai geleng-geleng kepala melihat tubuh indah istrinya dari belakang. Sangat sempurna, sayangnya mereka belum dikaruniai anak.

Saat Anesia mengambil obat, Teo melihat handphonenya di atas nakas. Tiba-tiba sorot mata Teo berubah, sepertinya ada yang ia sembunyikan.

Ada apa dengan handphonenya? Tidak, ada apa dengan orang yang meneleponnya? Atau apa yang dia pikirkan saat ini?

Baca kelanjutannya ya, semoga kamu suka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status