LOGINReno di lantai dua. Fakta itu bagai mimpi buruk yang mengacak-acak nyali Karina.
“Aku harus keluar sekarang.” Karina menepis kasar tangan Dimas. Namun pria itu malah menarik tanganya. “Tunggu.” Karina mendongak, memicing sengit. “Kalau dia lukai kamu sekali lagi ….” Dimas mengambil jeda, tatapannya teguh, “Aku yang maju.” Karina membeku. Matanya berkilat sendu. Sesaat benaknya dipenuhi kecamuk dilema. Kenapa … ketika dia pada akhirnya menemukan rasa aman, datangnya justru dari laki-laki lain … yang bukan suaminya? “Karinaa!!” Suara garang itu kembali terdengar. Karina kembali menangkis tangan Dimas, lalu keluar dari ruangan kecil itu menuju ke dalam rumah. Di depan pintu balkon yang berhadapan langsung dengan tangga menuju lantai satu, dia bertemu Reno. Pria itu berdiri tegak di atas anak tangga tertinggi. Matanya menyorot tajam. Tangannya menekan susuran tangga begitu erat. Di sisi lain, ada Jimmy yang berdiri di depan pintu kamarnya sendiri. “Nah, itu Mbak Karina tuh Pak.” sahut Jimmy. “Mbak, dicariin Bapak.” Karina terpaku. Apa tadi Reno sempat menanyakan keberadaannya pada Jimmy? Jimmy menyipitkan mata. Tangannya terangkat menggaruk kepala. “Eh tapi … perasaan tadi di balkon belakang adanya si orang baru.” Karina tersentak, matanya membelakak, mulutnya terbuka sekelumit, hendak mengarang sebuah alasan yang sayangnya … tak juga muncul di kepala. Sementara itu, Reno menatap tajam Karina dan Jimmy bergantian. Pada Karina, pria itu menggerakkan dagunya ke arah lantai satu, sebuah perintah tanpa suara agar Karina kembali ke bawah. “Diminta bikin kopi malah jemur cucian nggak kelar-kelar.” Sungutnya dengan suara meredam, langkahnya semakin jauh menyusuri satu per satu anak tangga. Sedangkan Jimmy, mengangguk sopan pada Karina lalu masuk ke kamarnya sambil tersenyum canggung. Selamat. Usai mengambil napas panjang, Karina bergegas turun menuju dapur. Kemudian menyiapkan kopi. Dengan hati-hati, Karina membawa cangkir kopi yang mengepulkan uap panas ke ruang tengah. Namun dilihatnya Reno sudah melangkah keluar dari kamar dengan penampilan rapi. Tangannya menyambar kunci mobil di atas meja, sedangkan tangan yang lain merapatkan ponsel ke telinga. “Iya. Aku ke sana sekarang.” sahut pria itu tanpa mengacuhkan Karina. “Mas! Mau kemana? Kopinya?” Dan seperti biasa, sahutan Karina tak bersambut apa-apa. Wanita itu terpaku menatap sang suami menaiki mobil yang sudah menyala mesinnya. Hanya bisa mengernyit dengan segelas kopi yang masih penuh tanpa dia tahu akan berakhir ke mana—mungkin ke saluran pembuangan air. Begitu mobil meninggalkan pelataran, Karina meletakkan kopi di tangannya ke meja. Bergegas dia menutup pintu pagar yang tak dirapatkan seenaknya. Lalu berjalan tenang ke kamar setelah sebuah helaan berat. Kepalanya pening. Sungguh, dia ingin cepat-cepat berpisah dari Reno. Dibukanya lemari pakaian, dicarinya sebuah lembar cetak lebar yang menampilkan utang pinjaman bersama bunganya. Dibawanya kertas itu duduk di sisi kasur. Tangannya memijit pelipis yang semakin berdenyut. Hingga saat ini jumlah yang harus dia bayar sudah menyentuh angka satu miliar, dan angka itu akan terus bertambah semakin lama dia menunda pembayaran—dalam bentuk uang, atau …. Keturunan dari Reno. Semua ini gara-gara Ibunya meminjam uang tanpa berpikir panjang. Bertahun-tahun lalu, mereka memang terdesak karena membutuhkan uang untuk biaya pengobatan Ayah. Namun pada akhirnya, Ayah tak selamat. Dan perjuangan mereka menyisakan utang yang tak sanggup mereka lunasi. Keluarga Reno dan keluarga Karina memang kerabat dekat. Mereka tahu persis bagaimana kemampuan keuangan keluarga Karina, sehingga menawarkan jalan keluar lain dari pelunasan dengan uang, yaitu dengan melahirkan keturunan dari Reno. Mereka berharap, kehadiran Karina sebagai seorang istri akan memalingkan Reno dari rasa cintanya terhadap Rachel, dan munculnya seorang anak akan berperan seperti jangkar yang menjamin Reno tak kembali lagi pada wanita itu. Reno sendiri pada akhirnya terpaksa menikahi Karina karena iming-iming kepemilikan restoran keluarga Reno yang cabangnya telah menyebar di mana-mana. Hingga … mereka kini terjebak dalam ikatan yang sama-sama tak mereka inginkan. Karina melipat kertas itu kembali. Dadanya sesak hanya dengan melihat angka itu. Sekarang, dia harus bagaimana agar bisa segera hamil anak Reno? Rasanya terlalu mustahil mengingat betapa Reno sangat tergila-gila pada Rachel. Saat tanpa sengaja memalingkan wajah ke samping, sepasang mata Karina menyipit, menangkap sesuatu yang lekas membuat dadanya panas. Sebuah foto rekaman USG, terselip di bawah laptop Reno. Tergesa Karina menyambarnya. Pasien : Ny. Rachel Jantung Karina rasanya seperti dihantam ribuan luka. * Dimas yang baru saja selesai mandi, sedang memakai kaos di kamarnya ketika tiba-tiba … Pet! Kipas angin berhenti berputar. Lampu kamar padam. Ponselnya yang sedang diisi daya berpendar, menandakan pengisian baterai terhenti. Listrik padam. Dimas mengedarkan pandangan ke sekeliling. Apakah pemadaman listrik dari pusat? Atau listrik turun? Dimas beranjak mengambil ponsel, kemudian ke luar kamar untuk memeriksa situasi. Tepat saat itu, didapatinya Jimmy juga ke luar kamar. “Listrik mati ya?” tanya Jimmy sambil celingukan. Dimas mengangguk. “Kayaknya.” “Panas banget, gila.” Jimmy menarik area kerah kaosnya, mengibas-ngibasnya. Hendak memastikan kondisi di lantai satu, Dimas melongok ke bawah melalui langit-langit terbuka di depan kamar, tangannya berpegangan pada susuran yang mengelilingi area kosong itu. Suasana di bawah nyaris gelap total, mungkin karena pintu depan dan semua gorden ditutup rapat. Dilihatnya Jimmy sedang membuka lebar-lebar pintu utama dan semua jendela di lantai dua, membiarkan cahaya matahari masuk dan juga udara bertukar bebas. “MCB-nya dimana ya Jim?” tanya Dimas sedikit lantang. “Di bawah kayaknya. Pernah lihat di ruang tamu bawah.” sahut Jimmy, pria itu sedang melangkah mendekat. “Eh Bang, namanya siapa?” tanya Jimmy, tangannya terulur ke arah Dimas. “Dimas.” jawab Dimas yang menjabat tangan Jimmy. “Pinjam power bank punya nggak?” Jimmy menggaruk tengkuk, terkekeh canggung. Dimas yang sedang mencari kontak Karina di ponsel mengangguk sesaat, “Ada. Bentar.” Pria itu kembali ke kamar, meraih sebatang power bank di atas meja, lalu kembali keluar, menyerahkannya pada Jimmy. “Thanks ya. Nanti gue balikin.” ucap Jimmy sambil tersenyum lebar. Setelah pria itu masuk ke kamarnya yang dibiarkan terbuka, Dimas menekan tombol ‘dial’ di ponsel, menghubungi Karina. Ditempelkannya benda pipih itu ke telinga. Sambil menunggu nada sambung berbunyi, Dimas melongok ke lantai bawah. Mana tahu Karina lewat sehingga bisa dia panggil tanpa harus menelepon. Namun rupanya, panggilan itu bersambut suara serak Karina. “Halo?” “Mm— “ Dimas melirik Jimmy yang sedang rebah di kamar, pintunya dia biarkan terbuka lebar. Dimas tidak bisa sembarangan panggil ‘Karina’ saat ini. “—Mbak … ini, listriknya mati atau turun ya?” Tak terdengar jawaban Karina di seberang, yang dia dapati malah suara isakkan pelan. Kening Dimas lekas berkerut. “Halo?” “Aku nggak tau Dim.” suara itu parau, serak dan bersambut isakan lain yang menggetarkan hati Dimas. Karina menangis. Pikiran Dimas tak bisa tak melayang pada kemungkinan bahwa wanita itu habis dihajar lagi oleh suaminya. Apalagi tadi … si bajingan itu sempat mencari-cari Karina dengan suara bernada kasar. Dimas beralih menatap pintu gerbang penutup tangga yang menyatu dengan susuran tempatnya berpegangan. Pintu itu masih terbuka setelah tadi Karina habis menjemur. “Saya izin ke bawah sekarang ya?”“Sayang … perutku sakit.” suara itu terdengar jelas walau Reno tidak mengaktifkan mode loudspeaker.Karina menaikkan sebelah alis, menikmati pemandangan Reno yang gelagapan menatap waspada ke sekitar. Mama di depan kamar. Karina di sebelahnya. Semua bisa mendengar pembicaraannya di telepon.“S-saya ke sana sekarang!”Karina mendengus. Saya? Formal sekali.Dia mau bersandiwara seperti apa lagi?“Ma, ada pekerjaan mendadak yang harus kuurus. Aku pergi dulu.”Pekerjaan. Benar. Jika tujuannya Rachel, kedoknya pasti pekerjaan. Dinas-dinas ke luar kota-nya yang dulu itu, kemungkinan besar sama sekali bukan dinas, melainkan kunjungan ke rumah selingkuhan.“Kamu baru sampai rumah, Reno! Mau ke luar lagi?” Mama bertanya dengan lengan dilipat di depan dada. Matanya membelalak penuh protes. Namun, suara Rachel barusan jelas terdengar sedang menahan sakit. Dan jika sudah menyangkut keselamatan Rachel, mana mungkin Reno mau menunda.“Iya, penting sekali. Harus malam ini juga.” Reno sibuk membongk
“Suara mobil Reno. Reno pulang.”Karina bergeming sejenak, hendak memastikan kembali suara yang menyambangi telinganya. Deru mesin mobil yang semula samar, kini jelas terdengar. Biasanya pria itu teriak-teriak kalau sudah berada di depan. Tetapi malam ini, ada Annaya dan Mama di rumah, dia pasti tidak berani bertindak kasar.“Aku kembali ke bawah.” Karina menatap Dimas, pria itu mengerutkan kening, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang dipendam.Dimas menghela napas kasar. “Oke. Kamu tadi bilang mau cerita. Nanti chat aku aja.” “Iya.” Karina mengangguk, lalu melepas genggamannya dari tangan Dimas. Tangan Dimas singgah sebentar di lengannya, seperti belum rela berpisah. “Hati-hati.” bisiknya.Karina tak menjawab, hanya mengulas senyum tipis.Setelah keluar dari kamar Dimas, Karina melangkah cepat menuruni anak tangga. Sedapat mungkin hentakannya diatur agar tak menciptakan suara.Hingga, anak tangga terakhir dia lewati dan Karina mendongak. Mulutnya refleks mengeluarkan suara jeritan
Annaya datang mendekat sambil membawa ponsel yang memperdengarkan nada sambung. Benda itu dia letakkan di meja ruang tamu, memperlihatkan layar yang menampilkan panggilan ke kontak bernama ‘Mas Reno’. ‘Tuut … tuut ….’ Suara nada sambung itu menjadi satu-satunya yang terdengar di tengah senyap, menciptakan ketegangan yang mencekik Karina.“Halo?” suara berat pria terdengar dari speaker ponsel Annaya.“Reno, Ini Mama.”“Kenapa, Ma?”“Mama mau kasih tau kamu, Mama akan tanda tangan surat pelunasan hutangnya Karina—”“Tunggu dulu, Ma!”Pundak Karina menegang. Tentu Reno tak akan diam saja.“Dengar dulu, kesepakatannya kan kalau Karina melahirkan anakku. Anak itu masih di dalam kandungan, belum tentu dia lahir.”Gejolak amarah mendorong getaran di tangan Karina perlahan mengepal. Gemuruh panas di dadanya bagai mendesak untuk diluapkan. “Apa maksud kamu belum tentu dia lahir? Sembarangan kamu, Reno.” alis Mama bertaut curam, nada suaranya meninggi.“Yaa memang benar kan, Ma? Nanti sajal
“Kar ….” suara Dimas yang serak itu terdengar lirih di tengah sunyi, menggetarkan satu sisi dalam diri Karina. Sisi dirinya yang terasa begitu haus, yang menginginkan kehadiran Dimas secara ‘lebih’.Karina merasakan sekujur tubuhnya menegang. Degup di dalam dadanya berdentum keras. Aroma maskulin yang menguar sangat tipis dari kulit Dimas di depannya bagai sihir yang menggerakkan tangannya di luar kendali—jemarinya kini mendarat lembut di sisi wajah Dimas, lalu naik ke rambutnya, menggelitik jemarinya untuk menjelajah ke belakang leher.Saat sentuhannya berakhir, detik itu, dia dapat merasakan deru napas Dimas berubah. Karina meneguk saliva, menata napasnya yang tanpa terasa, tak lagi beraturan. Seluruh fitur wajah Dimas yang terasa begitu dekat kini … mengundang gejolak rindu yang sejak lama meronta dan terus dia pendam. Namun sekarang telah menemukan penawarnya. Tatapan Dimas padanya tak lagi selembut sebelumnya. Kali ini tajam, dalam, menyiratkan dorongan yang Karina tahu maknany
“Ibu Karina, pasangan Pak Reno Wijaya?” suara perawat yang memanggil dari ambang pintu ruang poli terdengar nyaring menggema. Dimas menegakkan punggung, bangkit dan membungkuk perlahan. Walau tanpa menoleh pun, dia yakin, Rachel di belakang pasti tengah menatap penuh curiga ke arahnya.Satu tangan Dimas bergeser, pindah merangkul pundak Karina dari belakang. Mulutnya berdehem kecil, berupaya mengatur suaranya agar tak terdengar gugup. “Sayang, kita dipanggil. Ayo, kubantu berdiri.” gumam Dimas dengan nada datar, menyelami sandiwaranya sebagai seorang pria lain yang juga bernama ‘Reno Wijaya’.Dengan langkah pelan namun tegas, Dimas memapah Karina ke arah ruang poli. Tubuhnya sedikit dimiringkan untuk menutupi wajah Karina dari pandangan Rachel. Sementara kepala Karina dia benamkan ke bahu, seolah Karin hanyalah istri yang tengah menahan lelah di pelukan suaminya. Hingga, langkah mereka memasuki ruang poli dan pintu ditutup oleh perawat.“Selamat siang, Bu Karina.” dokter menyapa ram
“Dim ….” Karina meringis kecil. Tangannya menjangkau area perut. Sebuah pemandangan yang membuat dada Dimas terasa ngilu bagai terhunus duri. Dia tahu, ada sesuatu yang mengancam nyawa calon bayinya. “Aku takut ….” Karina tampak menahan napas, sebelah tangannya mencengkeram kaos di pundak Dimas.Dimas menggeleng. Berusaha mengenyahkan beragam skenario buruk yang bermunculan di kepala. Kepanikan menyergap. Jantungnya berdetak cepat. “Sakit banget?” ucapnya terbata. Karina mengerjap sesaat. “Nggak … nggak terlalu intens. Tapi aku takut ….” Karina memindahkan pandangannya ke arah Dimas. “Takut kalau ini tanda bahaya.”Detik itu, waktu seolah berhenti. Hanya denging panjang dan suara detak jantung Dimas sendiri yang mengisi pendengaran. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Dimas bangkit. Dadanya bergemuruh, batinnya dipenuhi rasa takut.Takut kehilangan darah dagingnya, yang bahkan belum dia sapa sama sekali.“Kamu bisa turun tangga?”Belum sempat Karina menjawab, Dimas lekas memotong. “Ngga







