Klontang!
Cassandra meringis kesakitan. Saking gugupnya, tanpa sengaja ia menjatuhkan coffee pot dari atas meja. Tangannya terasa terbakar karena cairan panas itu mengenai kulitnya.Hal itu membuat Marco panik. Lelaki itu spontan membawa Cassandra menuju wastafel dan langsung mengguyurnya dengan air mengalir.Cassandra meletakkan kepalanya di dada lelaki itu. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri atas kecerobohannya. Pagi yang seharusnya dinikmatinya berdua dengan pamannya, kini menjadi berantakan.“Maaf, semua gara-gara aku,” ucap Marco menyesali kesalahannya. Seharusnya dia tidak melakukan hal semacam itu. Bahkan Marco berpikir bahwa ini adalah sebuah peringatan agar ia tak lagi mengganggu keponakannya.“Bukan salah Om Marco,” sesal Cassandra. “Semua karena kecerobohanku. Maafin Sandra, Om.”Marco menghela napas panjang. Ia yakin bahwa ini bukan cuma karena kecerobohan, tapi juga sebuah kode yanMarco memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jarak empat jam perjalanan, terasa begitu jauh di saat kegelisahan menyelimutinya. Pikirannya kalut, seolah gumpalan kabut tebal memenuhi kepalanya. Diabaikannya beberapa rambu jalan, hanya untuk menghemat beberapa menit waktunya. “Om Marco, tolong aku. Perutku sakit sekali.” Suara itu terus terngiang di telinganya, seolah penyemangat baginya untuk memacu lebih kencang kendaraan yang dinaikinya. Seandainya terjadi sesuatu pada Cassandra, tentu Marco akan sangat menyesal. Ia tidak ingin itu terjadi. Oleh karena itu, tanpa berpikir panjang ia memutuskan untuk pulang. Apa jadinya jika benar di dalam perutnya ada sebuah nyawa. Irfan tentu akan sangat marah. Ini adalah sebuah mimpi buruk yang tak boleh terjadi. Bukan masalah jika dirinya yang akan dihukum, tapi membayangkan gadis yang dicintainya harus menderita karena ulahnya, rasanya sangat tidak adil.
“Kamu nggak papa, kan?” Irfan menepuk pundak Marco. “Eh, kenapa Kak?” Marco yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri, terkejut menyadari kehadiran kakaknya.Irfan menautkan kedua tangannya di atas meja. Ia menatap wajah adiknya dengan pandangan menyelidik. “Apa ada sesuatu yang mau kamu sampaikan?” tanya Irfan penuh kecurigaan. Marco balas menatapnya. Perlahan di gelengkan kepalanya. “Nggak ada, semuanya baik-baik saja,” sahutnya.“Jadi … kamu nggak mau menceritakan tentang kemajuan program launching Phopo?” Marco bernapas lega. Sejenak ia berpikir jika Irfan sudah mengetahui semua yang terjadi antara dirinya dan Cassandra. Ia tidak tahu apa yang terjadi seandainya berita kehamilan Cassandra diketahui oleh ayahnya. “Tentang itu, aku berhasil menyewa taman kota. Dan aku juga sudah menghubungi beberapa event organizer untuk mengatur dekorasi dan juga rancangan yang sudah aku s
Melihat raut wajah Cassandra, membuat Marco merasa semakin penasaran. Lelaki itu merebut lembaran kertas itu dari tangannya dan melihatnya sendiri. “Tes urine bla bla bla negatif,” lirih Marco. Tak ada hal lain yang ingin diketahuinya lagi. Ia melipat kembali lembaran kertas di tangannya. Tepat saat itu, Cassandra merasakan cairan keluar dari bagian intimnya. Spontan ia menatap lelaki di hadapannya dengan mata membulat. “Sudah, Om. Tamunya sudah datang,” lirihnya dengan malu-malu. Marco bernapas lega. Setidaknya semua hal buruk yang hinggap dalam pikirannya tidak pernah terjadi. Lelaki itu tersenyum lega. Dicubitnya pipi keponakannya itu dengan gemas. Semua rasa ketakutan selama beberapa hari ini, lenyap dalam seketika. “Mulai sekarang, kamu harus menandai dengan benar kalendermu,” saran Marco. “Kamu sudah besar. Harus bisa merawat dan menjaga diri sendiri.” Cassandra mencebik kesal. “Kenapa? Om takut kalau bayi i
“Menjauhlah, jika ada perempuan di dekat Om.” Tiba-tiba saja Marco seperti mendengar suara Cassandra. Ia membuka matanya. Betapa terkejutnya dia, ketika melihat Cassandra berada di hadapannya.“Tidak!” Tanpa sadar, Marco menepis tubuh Micha yang terlihat seperti keponakannya, hingga gadis itu terguling di sebelahnya. Micha menatapnya dengan heran. Baru kali ini ia mendapatkan perlakuan kasar dari seorang pria. “Om, ada apa? Apa ada yang salah?” tanya Micha masih keheranan. Padahal ia merasa sangat yakin bahwa pria yang menjadi kencannya ini sudah berhasil ia taklukkan. Tinggal sedikit lagi, dan semua urusannya beres. Marco memijat keningnya yang terasa berdenyut. "Maaf … maaf. Sepertinya aku kurang fit hari ini. Perjalanan jauh dan urusan pekerjaan membuatku benar-benar kelelahan,” akunya. Micha tersenyum. Ia menyentuh perut berotot lelaki di sampingnya, mencoba untuk merayunya kembali."Kalau Om kelelahan, Micha bisa pijat Om dulu," tawarnya dengan kerlingan yang menggoda. "Jang
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Gadis itu sedang berbaring di ranjangnya. Wajahnya pucat tanpa polesan make up sedikitpun. “Jadi … kamu beneran di rumah?” tanyanya tak percaya.“Dih! Memangnya aku mau kemana pagi-pagi gini?” sahut gadis itu tak mau kalah. “Ah … Sandra tahu deh. Om Marco pingin Sandra temani, ya, di sana.”Marco menghela napas lega. Mungkin konsentrasinya benar-benar sudah kacau. Mungkin perasaannya sudah menguasai akal sehatnya sehingga ia bisa salah mengenali orang. “Kamu … baik-baik saja, kan, di sana?” tanya Marco dengan perasaan canggung. Ia merasa bersalah karena telah berpikiran buruk pada keponakannya itu. “Tidak.”“Apa perutmu masih sakit?” tanya Marco. Ia melihat wajah pucat keponakannya dengan cemas. “Bukan, perutku sudah membaik. Tapi aku masih merasa tidak baik-baik saja, Om,” sahutnya.“
Marco menghampiri keduanya. Wajahnya memerah karena marah. “Cassandra! Apa yang kamu lakukan!”Semua mata kini menatap mereka. Sebuah adegan yang benar-benar memalukan dan mencoreng nama baik perusahaan. Marco meraih tangan keponakannya dan menggenggamnya dengan kuat. Genggaman itu terasa sangat menyakitkan bagi Cassandra. Gadis itu berusaha melepaskan genggaman tangan pamannya. “Maaf atas ketidaknyamanan ini, silahkan menikmati fasilitas sebelum acara utama dimulai,” ucap Marco sembari membungkukkan badannya pada semua tamu yang menatap mereka.Marco menarik tangan Cassandra dan membawanya menjauh dari keramaian. Tak dihiraukannya Zissy yang masih kebingungan tak tahu harus berbuat apa pada gaun putihnya yang kini bernoda merah. “Apa-apaan ini?” tanya Marco setelah merasa cukup aman untuk berbicara berdua. “Kenapa tiba-tiba kamu menjadi liar, Cassandra?”Cassandra meletakkan kedua tangannya bersedekap di depan dada. Ia sama sekali tidak merasa bersalah atas kejadian itu. “Om Mar
Marco mulai menggila. Ia menarik turun, melepas kain renda berwarna hitam yang menutup bagian intim wanitanya. Namun baru saja ia bersiap untuk menikmati wanitanya, suara deringan terdengar di ponselnya. Sejenak Marco melirik benda pipih itu. Terlihat nama kakaknya mengambang di layarnya. Marco mengerutkan keningnya. Tidak biasanya Irfan menghubunginya di tengah malam seperti ini. Tanpa menunggu lama, ia menerima panggilan itu. “Marco! Apa kamu bersama Cassandra? Apa kamu menyewakan sebuah kamar dan membiarkan dia menginap di sana? Kenapa dia tidak ada di rumah?” Irfan melontarkan banyak pertanyaan sekaligus. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat Marco mendadak panik.“Jadi … dia tidak pulang?” tanya Marco. Ia segera menutup resleting celananya dan merapikan kemejanya. “Kakak jangan khawatir. Aku akan mencarinya sampai ketemu sekarang.”Zissy hanya bisa menatap punggung Marco yang lenyap di balik pintu. Tangannya menge
“Rex, harder!” perintah Reana pada suaminya. Lelaki itu mempercepat gerakan maju mundurnya mengikuti suara napas istrinya yang semakin cepat. Ia memacu, mengejar kenikmatan yang ingin direguknya bersama-sama.Reana meremas bed cover berdesain LV itu kuat-kuat. Punggungnya melengkung dengan estetik. Kepala mendongak dengan mata terpejam penuh kepuasan. “Ini gila! Ini benar-benar gila!” teriak Marco. Lagi-lagi lelaki itu mendobrak pintu kamar Rexy.Melihat aktifitas suami istri yang sedang di kacaunya, spontan Marco berbalik dengan cepat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal saking canggungnya.Reana menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. “Sial! Rex, kita harus benar-benar memecat Markonah sekarang!” geram Reana yang merasa terusik oleh kedatangan Marco. Rexy memakai kembali pakaiannya dengan cepat. Ia yakin, Marco sedang membutuhkan pendapatnya sebagai teman. Sesuatu yang b