Marco mengintip keluar kamarnya. Tidak terdengar suara apapun, bahkan dari kamar Cassandra, keponakannya.
"Hmm … mungkin dia sedang mandi setelah berenang tadi," batinnya. "Mending aku cepat-cepat keluar sekarang, daripada nanti berurusan dengan bocah itu."Cepat-cepat Marco menuruni tangga. Tanpa sengaja ia berpapasan dengan Bik Sum, asisten rumah tangga yang sudah belasan tahun mengabdikan dirinya di rumah itu. "Loh, Den Marco mau kemana?" tanyanya. "Bibik sudah masakin opor ayam kesukaan Den Marco loh."Marco hanya melambaikan tangannya. "Mau ketemu teman-teman, Bik," sahutnya singkat sambil mempercepat langkahnya menuju pintu. Sesaat ia menoleh ke belakang, mencari tahu apakah suara berisik itu membuat Cassandra menyadari jika ia sedang menghindarinya. Dan Marco pun dapat menghela napas lega ketika tak melihat gadis ayu itu muncul dari kamarnya. Entah kenapa ada perasaan mengganjal saat ia hendak meninggalkan rumah itu. Tapi jalan terbaik adalah menghindarinya. Apa jadinya jika ia benar-benar tidur dengan keponakannya sendiri nanti malam. Ah! Sandra benar-benar nyaris membuatnya jantungan di hari pertamanya kembali ke rumah."Lihat! Siapa ini?" sambut Reana. "Woah! Kulitnya lebih eksotis dari sepuluh tahun yang lalu. Njir, Nyet, kenapa pacar lo jadi ganteng gini. Jangan-jangan karena dia pake ramuan penduduk asli ….""Ish! Apaan sih?" tangkis seorang wanita muda di sisinya. Marco hanya tertawa kecil menanggapi celoteh sahabat-sahabatnya yang sudah sepuluh tahun tidak didengarnya lagi. Ia tidak menanggapi perkataan yang hanya dianggapnya sebagai lelucon itu. "Emang, lo udah punya pacar? Kenapa nggak balikan aja sama Zissy?" cetus Reana. "Nyet, daripada lo ngejomblo ngerecokin gue terus, mendingan lo balik deh sama Marco."Mendengar kalimat ceplos yang diucapkan Reana, membuat Zissy merasa malu. Ia mencubit pinggang sahabatnya itu dengan keras. "Sialan lo!""Sudah … sudah. Yang lalu biar berlalu," tukas Marco. "Sekarang kita jalani saja malam ini."Rexy mengangkat gelasnya dan menempelkannya di gelas Marco. "Untuk kita berempat malam ini."Reana menatap Zissy dengan heran. Ia tahu bahwa sahabatnya itu begitu menyesali putusnya hubungannya dengan Marco sepuluh tahun yang lalu. Ia tahu bahwa Zissy juga tidak bisa membuka hati pada siapapun selama sepuluh tahun ini. Tapi kenapa ia seakan mengkhianati perasaannya sendiri. "Nyet, lo yakin nggak mau balikan sama dia," bisik Reana. Zissy menghela napas panjang. Perempuan itu mengedikkan pundaknya dengan pasrah. "Gue cuma nggak mau terlihat payah di hadapan dia.""Jujur aja deh, lo mau kan sama dia?" desak Reana. "Gimana kalo gue bantu lo. Gue bisa bikin dia nggak bakalan bisa lepas lagi dari lo.""Gimana caranya? Pake pelet? Makin gila aja lo!" sahutnya. Untung saja musik yang terdengar, jauh lebih keras daripada suara Zissy. Tak ada yang mendengar perkataannya selain Reana. "Tapi lo mau, kan?" tanya Reana sekali lagi. Zissy tak menjawab. Ia semakin gelisah di antara menerima bantuan Reana atau menolaknya. Sesekali ia melirik Marco, mengamati sosok lelaki yang sepuluh tahun ia rindukan. Dan yang lebih menyakitkan baginya adalah Marco terlihat acuh, seakan tak pernah ada hubungan apapun di antara mereka. Kehadirannya bahkan seperti sebuah kehampaan yang tak berarti. Kali ini tanpa ragu, Zissy pun menganggukkan kepalanya. "Gue mau. Tapi nggak pake pelet atau ilmu hitam. Gue anti sama yang mistis begituan."Reana tertawa terkekeh. "Njir! Lo pikir gue biasa pake yang begituan, apa?"Zissy menghela napas lega. Setidaknya ketakutan dalam pikirannya tidak akan terjadi. Ia tahu bahwa memakai ilmu hitam akan mempersulit kehidupannya kelak.Reana merogoh tas kecilnya. Ia mengeluarkan sebutir kapsul dari dalam sebuah kantong plastik kecil dan menyerahkannya pada Zissy. "Nih, pasang di minumannya." Zissy menatap sahabatnya penuh keraguan. "Bukan racun!" lanjut Reana. "Itu obat yang biasa gue pakein ke Rexy kalo gue lagi pingin.""Tapi Re," potong Zissy. "Gimana kalo dia marah?""Ck! Mana ada kucing yang nolak dikasih ikan," sahut Reana. "Udah, nurut aja. Gue juga kasihan sama lo. Udah kepala tiga, masih aja perawan."Zissy menggigit bibirnya. Kalimat itu sudah sering diterimanya. Bukan hanya dari mulut Reana, bahkan dari mulut kawan-kawannya di tempat kerjanya. Lamunan Zissy buyar saat ia merasakan tepukan di pundaknya. "Cepetan! Sekarang waktunya. Mumpung mereka ke toilet." Mendengar instruksi Reana, dengan gugup Zissy pun membuka kapsul yang ada dalam genggamannya. Ia menaburkan serbuk putih itu ke dalam minuman Marco.***"Gue pulang duluan," pamit Marco.Lelaki itu sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres di tubuhnya. Tubuhnya terasa memanas dan ada perasaan tak nyaman yang begitu mengganggunya. "Lo belum mabuk, kan Mar?" tanya Rexy. "Kenapa udah mau pulang?""Gue anterin!" tawar Zissy cepat. "Lo nggak bisa nyetir dalam keadaan mabuk kayak gini." "Tapi gue nggak mabuk." Marco menepiskan tangannya."Nggak ada orang mabuk, yang mengatakan dirinya mabuk," timpal Reana. Perempuan itu mengedipkan satu matanya pada Zissy. "Antar dia sampai tujuan, Nyet!" Zissy menganggukkan kepalanya. Mau tak mau Marco menuruti perkataan teman-temannya. Di dalam mobil, pengaruh obat mulai berjalan. Beberapa kali Marco mendesis dan berusaha menenangkan dirinya. Ia kembali teringat pada keponakannya di rumah. Seandainya ia pulang malam ini, maka sudah dapat dipastikan ia tidak akan dapat beristirahat dengan nyaman. "Magnolia," ucapnya. "Hah?" Mendengar Marco menyebutkan nama sebuah hotel, membuat Zissy mendadak gugup. Bagaimana tidak, dengan pengaruh obat itu, kemungkinan Marco akan berubah menjadi harimau yang ganas di ranjang. "Aku tidak mungkin pulang malam ini. Keponakanku terus menempel seperti permen karet," keluhnya. "Jangan berpikir yang aneh-aneh." Zissy menelan kasar salivanya. "Apa kamu benar-benar sudah melupakan semua kenangan kita?" "Tidak," sahut Marco. "Seperti sejarah, semua tidak mungkin terlupakan walau perasaan yang ada bisa saja berubah." Zissy memutar kemudinya, mengendalikan kendaraan beroda empat itu masuk ke halaman parkir sebuah hotel. Dengan tangkas, ia menempatkan kendaraan itu sejajar dengan kendaraan lainnya. "Terima kasih, kamu bisa pulang sekarang." Marco berbalik dan masuk ke dalam lobi hotel. Tapi Zissy tetap membuntutinya. Reana sudah memberitahunya bahwa efek obat itu akan segera muncul, tidak lebih dari tiga puluh menit setelah Marco meneguknya. Dengan sisa keberanian, Zissy mengikuti dan menerobos masuk ke dalam kamar Marco. Ia sudah melepaskan semua perasaan malunya. Tanpa ragu, ia memeluk Marco. "Tapi perasaanku tak pernah berubah. Marco, aku benar-benar menyesali perpisahan itu. Sepuluh tahun jauh darimu, adalah hukuman terberat bagiku," ucapnya. Marco berbalik. Pandangannya tampak kabur. Bahkan wajah perempuan di hadapannya tak terlihat jelas. Lelaki itu memicingkan matanya. Kini wajah perempuan itu terlihat di matanya. Sosok gadis cantik yang seharian seolah menggoda dirinya. "Cassandra …." Marco membalas pelukannya lebih erat. Suhu tubuhnya semakin meningkat seiring hasratnya untuk dipuaskan.Marco mengecup bibir Zissy dengan penuh hasrat. Tentu saja, perempuan itu menyambutnya dengan sepenuh hati. Penantian selama sepuluh tahun seakan terbayar lunas berkat obat yang diberikan oleh Reana. Zissy bisa melepaskan kerinduannya selama sepuluh tahun ini. Dengan penuh hasrat, Marco mengecup perempuan di hadapannya. Badannya yang semakin memanas, membuatnya semakin tak sabar untuk melepaskan birahi yang sengaja di tekannya selama beberapa menit terakhir pada wanita yang dicintainya itu. "Cassandra …." Marco semakin menggila. Hanyalah Cassandra yang saat ini berada di benaknya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa semua itu hanya halusinasinya. Ia mulai mencecap setiap inchi tubuh perempuan di hadapannya, hingga meninggalkan noda kemerahan di kulit putihnya. Zissy mengerjapkan sepasang matanya. Perasaan gelisah mulai bergelayut di dalam pikirannya. Mungkin bagi Marco dia hanyalah perempuan yang lewat dan singgah sementara dalam hatinya. Tapi ia hanya bisa menahan perasaan cemburu
"Tidak," batinnya. "Aku tidak mau jadi monster yang bahkan memangsa keluargaku sendiri." Marco melepaskan gagang knop pintu. Dia mengabaikan panggilan dari Cassandra dan berbalik menuju kamar mandi. Dipenuhinya bak mandi dengan air dingin dan tanpa berpikir panjang, ia pun berendam di dalamnya. ***Pagi itu Cassandra telah siap untuk berangkat kuliah. Ia membuka pintu kamarnya. Sesaat ia mematung ketika kembali teringat pada kejadian semalam. Ia teringat tentang bagaimana Marco memeluknya dan betapa panas suhu badan pamannya itu. Gadis itu menghela napas sambil menggelengkan kepalanya."Dia bukan Om Marco yang dulu. Sudahlah, dia tidak punya waktu melayani bocah seperti aku," batinnya. Dengan sedikit kesal, Cassandra menghentakkan sepatunya dan berlari turun dari lantai satu rumah tinggalnya."Pagi Non Sandra," sapa Bik Sum. "Sarapan dulu, Non. Bibik khusus bikin omelet sama daging teriyaki kesukaan Non." Tanpa sebuah jawaban, Sandra menarik kursi dan duduk di depan meja makan. Te
Ciuman itu mendarat di bibir Marco. Walau hanya beberapa detik saja, serangan mendadak itu mampu membuat jantung Marco berdetak dengan kencang. Pembuluh darahnya seakan terpompa dengan cepat menghantam katup-katup jantungnya. Sebuah perasaan yang selama ini belum pernah dirasakannya sepanjang hidupnya, dengan perempuan lain yang pernah disentuhnya. Cassandra benar-benar sudah berhasil mempermainkan hatinya. Marco terpaku. Sepasang matanya menatap Cassandra tak berkedip. Waktu seakan berhenti baginya. Wajah merona gadis di hadapannya terlihat begitu menggodanya. Cassandra merasa kikuk setelah berhasil dengan serangannya. Apalagi tatapan mata Marco, membuatnya semakin merasa malu. Wajahnya terasa memanas, seolah aliran darahnya menjadi sangat lancar. "Sandra, kamu nggak boleh melakukan hal seperti itu," ucap Marco setelah kesadarannya pulih. "Apalagi dengan sembarang pria. Kamu –" Sekali lagi Cassandra mendaratkan ciumannya, membungkam kalimat bernada tinggi yang hendak diluncurkan
Zissy menyeka bibir neneknya setelah suapan terakhir tuntas diberikannya. Perempuan berusia delapan puluhan itu masih mencecap makanan yang tersisa dengan giginya yang hanya beberapa saja. “Enak, Oma? Nanti malam mau dimasakin apa?” tanya Zissy dengan senyum lembutnya. “Terserah kamu. Oma makan apapun yang kamu masak. Semua masakan buatanmu enak,” sahut si nenek.“Ya sudah, sekarang Oma mau ngapain?” tanya Zissy. Ia bersiap untuk membantu memposisikan wanita tua itu.“Mau rebahan,” sahutnya, tak terlalu jelas karena jumlah giginya yang nyaris habis. “Kok rebahan, Oma? Apa nggak capek terus rebahan?" tanyanya pada wanita yang telah membesarkannya itu.Belum sempat sang nenek memberikan jawaban, ia dikejutkan oleh suara ketukan di pintu rumahnya. “Tidak biasanya ada tamu,” gumamnya. Ia bergegas meninggalkan perempuan tua itu untuk membuka pintu rumahnya. Namun betapa terkejutnya ia ketika melihat Marco, mantan kekasihnya berdiri tepat di depan pintu. Sejenak keduanya membisu dan sa
"Teman!" "Ah masa cuma teman? Beneran cuma teman?" tanya Cassandra. "Iya, dia teman lama Om.""Cie … teman apa teman?" Marco membelokkan kendaraannya dan berhenti di taman dekat gerbang perumahan. Setelah memarkir mobilnya, ia menatap Cassandra dengan wajah penuh pertanyaan."Jadi kamu bisa berpikir kalau Om dan Bu Zissy mempunyai hubungan lebih dari teman?" tanyanya. "Dan kalau memang hubungan kami lebih dari sekedar teman, salahnya dimana?""Iya sih, nggak ada yang salah," sahut Cassandra. "Tapi …."Cassandra menghentikan kalimatnya. Ia ragu untuk menyatakan perasaannya. Ia tidak suka jika Om Marco mempunyai hubungan dengan dosen yang se-menyebalkan Bu Zissy. "Tapi kenapa? Bu Zissy cantik, apa tidak cocok dengan Om kamu yang ganteng ini?" "Siapa bilang Om ganteng?""Bu Zissy," sahut Marco dengan cepat. Sepasang mata Cassand
Marco menelan kasar salivanya saat Cassandra dengan suara centilnya mulai melancarkan jurus rayuan mautnya. Ditambah lagi dengan bibir sexynya yang mencebik manja, membuat Marco menjadi semakin salah tingkah.“Ayolah Om, bantuin Sandra dong,” rayunya sembari mengayun-ayunkan tangan Marco dengan manja.Gerakan tangan yang menghentak-hentak itu membuat gumpalan lemak nan indah di dadanya ikut terguncang. Marco menghela napas, seolah ia dapat mengusir pikiran kotornya dengan oksigen yang mengalir dalam pembuluh darahnya.“Sandra,” panggilnya dengan lembut. “Om bahkan belum pakai baju. Jangan asal main tarik saja.”“Abisnya … Sandra bingung, udah malem gini, tapi masih nggak tau harus nulis apa.” “Ya udah, Om mau pakai baju dulu,” kesal Marco. Lelaki itu hendak melangkah meninggalkan keponakannya. Cassandra merentangkan tangannya, ia menghalangi langkah pamannya keluar dari kamarnya. Wajahnya merengut
Dengan gerakan perlahan dan senyum yang menggoda, gadis itu melepaskan satu demi satu manik kancing pakaian Marco. Marco berusaha berteriak dan mengusirnya pergi. Namun lidahnya kelu. Bukan saja lidahnya, tapi tubuhnya juga seakan lumpuh. Hanya sesuatu di pangkal pahanya yang terasa hidup dan semakin mengeras.“Om Marco cinta Sandra, kan? Jadi … Sandra mau kasih hadiah buat Om malam ini.”Jemari lentik gadis itu akhirnya berhasil membebaskan sesuatu yang mulai sesak di dalam celananya. Marco kembali melihat senyuman di bibir gadis itu. “Ah ….” erangnya saat merasakan sentuhan di bagian paling pribadi miliknya. Marco berusaha bergerak, angkat suara. Tapi ia tak bisa. Suara yang terdengar hanyalah erangan dan napasnya yang semakin memburu. Sandra mulai menimang bagian tubuh Marco yang mulai mengeras itu dengan lembut. Namun semakin lama pijatan itu berubah menjadi semakin agresif. Ma
“Tentu saja tidak,” sahut Marco dengan yakin. Lelaki itu menghentikan kendaraannya tepat di pinggir trotoar fakultas sastra. “Om sudah lelah berpetualang.”Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saja seulas senyuman terbit di bibir Cassandra. Ia melambaikan tangannya pada Marco. “Om sini deh, aku mau ngomong sesuatu.” Marco mengerutkan keningnya sekali lagi. “Ngomong aja. Kita cuman berdua di sini.” “Ssst ….” Sandra meletakkan jari telunjuknya di atas bibirnya. “Sandra nggak mau kursi, kaca atau apapun di mobil ini mendengar ucapan Sandra.”“Memang kamu mau bilang apa?” tanya Marco sembari mencondongkan tubuhnya. Tepat saat itu gadis itu mengecup bibir Marco. “Terima kasih jawabannya. Sandra tau, Om nggak bakal mempermainkan Sandra.”Marco terpaku, bahkan saat kehangatan itu kembali menyentuh bibirnya. Tubuhnya seakan membeku, tak bisa menolak ciuman yang tiba-tiba mendarat begitu saja.