Share

Bab 2

Marco mengintip keluar kamarnya. Tidak terdengar suara apapun, bahkan dari kamar Cassandra, keponakannya.

"Hmm … mungkin dia sedang mandi setelah berenang tadi," batinnya. "Mending aku cepat-cepat keluar sekarang, daripada nanti berurusan dengan bocah itu."

Cepat-cepat Marco menuruni tangga. Tanpa sengaja ia berpapasan dengan Bik Sum, asisten rumah tangga yang sudah belasan tahun mengabdikan dirinya di rumah itu. 

"Loh, Den Marco mau kemana?" tanyanya. "Bibik sudah masakin opor ayam kesukaan Den Marco loh."

Marco hanya melambaikan tangannya. "Mau ketemu teman-teman, Bik," sahutnya singkat sambil mempercepat langkahnya menuju pintu. 

Sesaat ia menoleh ke belakang, mencari tahu apakah suara berisik itu membuat Cassandra menyadari jika ia sedang menghindarinya. Dan Marco pun dapat menghela napas lega ketika tak melihat gadis ayu itu muncul dari kamarnya. 

Entah kenapa ada perasaan mengganjal saat ia hendak meninggalkan rumah itu. Tapi jalan terbaik adalah menghindarinya. Apa jadinya jika ia benar-benar tidur dengan keponakannya sendiri nanti malam. Ah! Sandra benar-benar nyaris membuatnya jantungan di hari pertamanya kembali ke rumah.

"Lihat! Siapa ini?" sambut Reana. "Woah! Kulitnya lebih eksotis dari sepuluh tahun yang lalu. Njir, Nyet, kenapa pacar lo jadi ganteng gini. Jangan-jangan karena dia pake ramuan penduduk asli …."

"Ish! Apaan sih?" tangkis seorang wanita muda di sisinya. 

Marco hanya tertawa kecil menanggapi celoteh sahabat-sahabatnya yang sudah sepuluh tahun tidak didengarnya lagi. Ia tidak menanggapi perkataan yang hanya dianggapnya sebagai lelucon itu. 

"Emang, lo udah punya pacar? Kenapa nggak balikan aja sama Zissy?" cetus Reana. "Nyet, daripada lo ngejomblo ngerecokin gue terus, mendingan lo balik deh sama Marco."

Mendengar kalimat ceplos yang diucapkan Reana, membuat Zissy merasa malu. Ia mencubit pinggang sahabatnya itu dengan keras. "Sialan lo!"

"Sudah … sudah. Yang lalu biar berlalu," tukas Marco. "Sekarang kita jalani saja malam ini."

Rexy mengangkat gelasnya dan menempelkannya di gelas Marco. "Untuk kita berempat malam ini."

Reana menatap Zissy dengan heran. Ia tahu bahwa sahabatnya itu begitu menyesali putusnya hubungannya dengan Marco sepuluh tahun yang lalu. Ia tahu bahwa Zissy juga tidak bisa membuka hati pada siapapun selama sepuluh tahun ini. Tapi kenapa ia seakan mengkhianati perasaannya sendiri. 

"Nyet, lo yakin nggak mau balikan sama dia," bisik Reana. 

Zissy menghela napas panjang. Perempuan itu mengedikkan pundaknya dengan pasrah. "Gue cuma nggak mau terlihat payah di hadapan dia."

"Jujur aja deh, lo mau kan sama dia?" desak Reana. "Gimana kalo gue bantu lo. Gue bisa bikin dia nggak bakalan bisa lepas lagi dari lo."

"Gimana caranya? Pake pelet? Makin gila aja lo!" sahutnya. 

Untung saja musik yang terdengar, jauh lebih keras daripada suara Zissy. Tak ada yang mendengar perkataannya selain Reana. 

"Tapi lo mau, kan?" tanya Reana sekali lagi. 

Zissy tak menjawab. Ia semakin gelisah di antara menerima bantuan Reana atau menolaknya. Sesekali ia melirik Marco, mengamati sosok lelaki yang sepuluh tahun ia rindukan. Dan yang lebih menyakitkan baginya adalah Marco terlihat acuh, seakan tak pernah ada hubungan apapun di antara mereka. Kehadirannya bahkan seperti sebuah kehampaan yang tak berarti. 

Kali ini tanpa ragu, Zissy pun menganggukkan kepalanya. "Gue mau. Tapi nggak pake pelet atau ilmu hitam. Gue anti sama yang mistis begituan."

Reana tertawa terkekeh. "Njir! Lo pikir gue biasa pake yang begituan, apa?"

Zissy menghela napas lega. Setidaknya ketakutan dalam pikirannya tidak akan terjadi. Ia tahu bahwa memakai ilmu hitam akan mempersulit kehidupannya kelak.

Reana merogoh tas kecilnya. Ia mengeluarkan sebutir kapsul dari dalam sebuah kantong plastik kecil dan menyerahkannya pada Zissy. "Nih, pasang di minumannya." 

Zissy menatap sahabatnya penuh keraguan. 

"Bukan racun!" lanjut Reana. "Itu obat yang biasa gue pakein ke Rexy kalo gue lagi pingin."

"Tapi Re," potong Zissy. "Gimana kalo dia marah?"

"Ck! Mana ada kucing yang nolak dikasih ikan," sahut Reana. "Udah, nurut aja. Gue juga kasihan sama lo. Udah kepala tiga, masih aja perawan."

Zissy menggigit bibirnya. Kalimat itu sudah sering diterimanya. Bukan hanya dari mulut Reana, bahkan dari mulut kawan-kawannya di tempat kerjanya. 

Lamunan Zissy buyar saat ia merasakan tepukan di pundaknya. "Cepetan! Sekarang waktunya. Mumpung mereka ke toilet." 

Mendengar instruksi Reana, dengan gugup Zissy pun membuka kapsul yang ada dalam genggamannya. Ia menaburkan serbuk putih itu ke dalam minuman Marco.

***

"Gue pulang duluan," pamit Marco.

Lelaki itu sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres di tubuhnya. Tubuhnya terasa memanas dan ada perasaan tak nyaman yang begitu mengganggunya. 

"Lo belum mabuk, kan Mar?" tanya Rexy. "Kenapa udah mau pulang?"

"Gue anterin!" tawar Zissy cepat. "Lo nggak bisa nyetir dalam keadaan mabuk kayak gini." 

"Tapi gue nggak mabuk." Marco menepiskan tangannya.

"Nggak ada orang mabuk, yang mengatakan dirinya mabuk," timpal Reana. Perempuan itu mengedipkan satu matanya pada Zissy. "Antar dia sampai tujuan, Nyet!" 

Zissy menganggukkan kepalanya. Mau tak mau Marco menuruti perkataan teman-temannya. 

Di dalam mobil, pengaruh obat mulai berjalan. Beberapa kali Marco mendesis dan berusaha menenangkan dirinya. 

Ia kembali teringat pada keponakannya di rumah. Seandainya ia pulang malam ini, maka sudah dapat dipastikan ia tidak akan dapat beristirahat dengan nyaman. 

"Magnolia," ucapnya. 

"Hah?" 

Mendengar Marco menyebutkan nama sebuah hotel, membuat Zissy mendadak gugup. Bagaimana tidak, dengan pengaruh obat itu, kemungkinan Marco akan berubah menjadi harimau yang ganas di ranjang. 

"Aku tidak mungkin pulang malam ini. Keponakanku terus menempel seperti permen karet," keluhnya. "Jangan berpikir yang aneh-aneh." 

Zissy menelan kasar salivanya. "Apa kamu benar-benar sudah melupakan semua kenangan kita?" 

"Tidak," sahut Marco. "Seperti sejarah, semua tidak mungkin terlupakan walau perasaan yang ada bisa saja berubah." 

Zissy memutar kemudinya, mengendalikan kendaraan beroda empat itu masuk ke halaman parkir sebuah hotel. Dengan tangkas, ia menempatkan kendaraan itu sejajar dengan kendaraan lainnya. 

"Terima kasih, kamu bisa pulang sekarang." Marco berbalik dan masuk ke dalam lobi hotel. 

Tapi Zissy tetap membuntutinya. Reana sudah memberitahunya bahwa efek obat itu akan segera muncul, tidak lebih dari tiga puluh menit setelah Marco meneguknya. Dengan sisa keberanian, Zissy mengikuti dan menerobos masuk ke dalam kamar Marco. 

Ia sudah melepaskan semua perasaan malunya. Tanpa ragu, ia memeluk Marco. 

"Tapi perasaanku tak pernah berubah. Marco, aku benar-benar menyesali perpisahan itu. Sepuluh tahun jauh darimu, adalah hukuman terberat bagiku," ucapnya. 

Marco berbalik. Pandangannya tampak kabur. Bahkan wajah perempuan di hadapannya tak terlihat jelas. Lelaki itu memicingkan matanya. Kini wajah perempuan itu terlihat di matanya. Sosok gadis cantik yang seharian seolah menggoda dirinya. 

"Cassandra …." 

Marco membalas pelukannya lebih erat. Suhu tubuhnya semakin meningkat seiring hasratnya untuk dipuaskan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status