Marco melepaskan setelannya. Ia melepaskan celana panjangnya dan segera menghampiri Cassandra. Lelaki itu benar-benar tak habis pikir dengan tingkah nakal kekasihnya. Bagaimana jika ada orang lain yang melintas dan melihatnya dalam keadaan polos.“Sandra, kamu benar-benar gila. Bagaimana kalau ada seseorang yang melihatmu?” kesal Marco. Ia menutupi bagian badan Cassandra yang terbuka dengan kemeja putihnya. Lelaki itu merasa sangat kesal. Ia tidak ingin ada orang lain, yang bisa menikmati kemolekan tubuh gadisnya. “Tapi Om, nggak ada orang lain di sini. Tempat ini sangat terasing, bahkan tetangga terdekat Tante Mona berjarak beberapa kilometer dari sini,” ucap gadis itu dengan begitu yakinnya.“Iya, aku tahu. Tapi ….” Cassandra berjingkat. Dengan sigap ia melingkarkan sepasang tangannya di leher lelaki di hadapannya dan menutup perdebatan itu dengan kecupan di bibir Marco. Jantung Marco berdegup kencang. Dia memang sudah bermain dengan banyak gadis di luaran sana, tapi di alam be
“Bagaimana kalau Irfan tahu semua ini,” batin Mona. Wanita itu merasa semua ini tak bisa dibiarkan. Di satu pihak, Mona merasa kasihan pada Cassandra. Tapi di sisi lain, ia tak rela jika kejadian dua puluh tahun yang lalu terulang kembali. Bagaimana jika kali ini Cassandra dinikahkan dengan pria sembarangan oleh Irfan? Haruskah kesalahan yang sama terulang kembali? Marco baru saja hendak menjelaskan semuanya pada Mona. Namun Cassandra menghalangi niatnya. Jemari tangan gadis itu telah mencubitnya di bawah meja. “Tidurlah! Besok aku ikut kalian ke kota. Ada yang perlu aku bicarakan dengan papa kamu,” perintah Mona. Perempuan itu menghela napas dengan wajah kecewa. Ia berdiri dari kursinya dan pergi meninggalkan kedua tamunya yang saling berpandangan. Marco menatap Cassandra dengan kesal. Kedua alisnya menyatu memperlihatkan perasaannya. “Kamu ini kenapa? Seharusnya kamu biarkan aku mengatakan semuanya agar dia tidak salah paham tentang hubungan kita.” Marco masih merasa tak nyam
“Kalau Tante pikir papa nggak bisa didik Cassandra dengan baik, kenapa tidak Tante saja yang mendidik Sandra?” tantang gadis itu menimpali ucapannya. “Kamu!” Mona kehilangan kata-kata. “Lihat Irfan! Bahkan dia berani menjawab,” keluhnya. “Itu karena kamu tidak memberikan kesempatan baginya untuk menjelaskan alasan dia berbuat seperti itu.” Irfan duduk kembali di sofanya. Lelaki itu mengangkat satu kakinya bersilangan dengan kaki lainnya dengan santai. “Dia sudah dewasa, sebagai orang tua tentu saja aku tidak bisa mengekangnya. Dan sebagai konsekuensinya, dia harus bisa mempertanggungjawabkan setiap tindakannya.” Mona mendecak kesal. “Lalu bagaimana kalau semuanya terlambat dan dia hamil duluan?” “Kak Mona, sebenarnya aku ingin memberitahumu sejak kemarin. Tapi ….” Marco mengedikkan pundaknya. “Cassandra memintaku agar tidak memberitahu Kakak tentang hal itu.” “Hal apa? Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?” tanya Mona penasaran.“Aku dan Cassandra … sebenarnya kami tidak memp
Marco menekan telapak tangannya di atas ranjang, membuat tubuhnya terangkat menjauh dari tubuh gadis di bawahnya. Terlalu naif bila ia tidak tersinggung dengan kalimat yang baru saja dilontarkan kekasihnya. Ia bangkit dan berdiri dari ranjang itu. “Sepertinya kamu perlu istirahat,” ucapnya. Lalu tanpa menoleh, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya sambil berjalan keluar dari kamar itu. “Om, mau kemana?” teriak Cassandra tepat sebelum pintu kamarnya tertutup. Namun Marco sama sekali tak mengurungkan niatnya untuk menutup pintu. Ia tidak berniat untuk menjawabnya.“Apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya?” batin Marco. “Bukankah kebanyakan perempuan lebih menyukai sebuah hubungan dengan ikatan yang jelas?”Sebaliknya dengan Cassandra. Gadis itu berguling dan membenamkan wajahnya di bantalnya. “Om Marco ngeselin! Kenapa sih dia nggak mau ngertiin aku? Aku kan masih ingin nikmatin masa mudaku. Kalau aku nikah, aku harus sibuk urus rumah, urus anak, urus segala macem,
Gadis itu mendongakkan kepalanya. Napasnya terengah dan sepasang tangannya meremas rambut di batok kepala kekasihnya. Marco menghentikan permainannya. Ia menatap lembut wajah kekasihnya yang tampak kelelahan karena ulahnya. “Aku … sepertinya aku terlalu banyak lihat konten di media sosial. Aku takut jika menikah nanti, aku harus terus tinggal di rumah, melakukan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya, hamil, punya anak dan mengurus segalanya sendirian sampai tak punya waktu untuk diri sendiri.” Cassandra terdiam. “Jujur, itu sangat menakutkan.” Marco tersenyum manis. “Kalau itu yang menjadi kegelisahanmu. Aku tidak akan keberatan berbagi tugas denganmu. Kita bisa berangkat bekerja bersama-sama, pulang bersama. Mengerjakan segala sesuatunya bersama. Bukankah itu terdengar sangat manis.” Cassandra memiringkan badannya, menatap lelaki yang sedang tersenyum, seolah sengaja memamerkan pesonanya. Gadis itu membalas senyuman itu dan menganggukkan kepalanya. “Itulah kenapa aku sangat m
Siang itu Marco dengan sengaja membatalkan pertemuannya dengan beberapa customer baru. Ia sudah tidak sabar untuk menemui Zissy. Sengaja ia memesan VIP room sebuah resto agar privacynya terjaga. Ia masih tak bisa melupakan bagaimana Zissy menyabotase pertemuannya dengan drama bunuh diri di hadapan banyak wartawan. Kali ini Marco tidak mau bertindak gegabah. Ia juga telah membayar beberapa orang untuk berjaga di sekitar resto itu. Ia duduk dengan tenang, menyesap secangkir americano pesanannya saat wanita yang ditunggunya datang. Wanita bertubuh mungil yang terlihat lebih gemuk dari biasanya itu menarik kursi di hadapan Marco dan duduk di sana. “Maaf, aku terlambat. Semoga aku tidak membuatmu menunggu lama,” ucapnya dengan gugup. Marco tersenyum tipis. Ia tidak mau mengacaukan rencananya hanya karena emosinya. Sekuat tenaga, ia berusaha menahan amarahnya. “Tenang saja. Hari ini aku sudah membatalkan beberapa janjiku, hanya untuk membahas sesuatu yang penting ini denganmu,” ucap Ma
“Papa ngajak tante, eh … mama Mona keliling Eropa,” cicit Cassandra malam itu. “Memangnya dia nggak pamit sama Om?” “Nggak. Mungkin saja mereka nggak sempat,” sahut Marco dengan santainya. “Semua serba dadakan. Pertemuan mereka, pernikahan mereka, juga bulan madunya, semua tanpa rencana.” “Benar juga, sih.” Cassandra menganggukkan kepalanya. “Jadi kita pulang ke mana sekarang? Rumah atau apartemen?” “Hmm … kamu yakin mau pulang?” goda Marco. “Yakin nggak bakal bosen di rumah?”Cassandra menepuk-nepuk pundaknya sendiri. “Iya, Sandra capek banget nih. Seharian ini harus melototin tumpukan berkas yang ditinggalkan papa.” Marco mengulurkan tangannya, mengacak puncak kepala gadisnya. “Kan udah aku bantu setengahnya tadi.” “Tapi bener-bener nggak manusiawi kalo pemula seperti aku harus periksa segitu banyak laporan,” omel Cassandra. “Harusnya Om periksa dan langsung Om tandatangani sendiri. Apa susahnya sih? Kenapa juga aku harus ikut periksa.” “Lalu kamu mau ngerjain apa, hmm? Mau be
“Pak Marco, apa Anda sudah mencari kado ulang tahun untuk Nona?” tanya Niken pagi itu. “Besok adalah hari kelahiran Nona Cassandra.” Marco berhenti mencoret kertas di hadapannya. Matanya membulat saat kepalanya terangkat, menatap sekretarisnya itu. “Besok?” ulangnya seperti sedang terkejut. “Jadi … Anda belum mempersiapkannya?” tanya Niken dengan nada meninggi karena mendadak ikut panik. Marco meletakkan penanya. Ia menggigit bibirnya, suatu kebiasaan ketika ia sedang berpikir keras. Tak berapa lama kemudian, lelaki itu menjentikkan jarinya. “Apa kamu bisa membantuku?” Niken mendadak gugup. Dengan sedikit ragu, ia menganggukkan kepalanya. Tentu saja ia merasa takut tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan Marco, sesuai ekspektasinya jika waktu yang diberikan hanya sehari saja.“Pesan sebuah hall, undang kawan-kawan dan juga beberapa relasi kita,” perintah Marco. “Aku akan mengumumkan pertunanganku dengannya besok.” “Tapi Pak Marco ….” Niken merasa semakin gugup ketika men