“Tapi aku belum pernah melakukan itu. Aku belum pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Mana mungkin aku tahu apa yang kusuka dan tidak.”
Rey menatap gadis di hadapannya dengan rasa tak percaya. Tentu saja, di jaman yang semakin gila seperti sekarang, ia tak percaya masih ada gadis yang mempertahankan kesuciannya seperti Aura. “Maksudmu … kamu belum pernah berhubungan dengan keponakanku?” Sekali lagi Aura menggigit bibir bawahnya dengan gelisah sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. Tatapan mata itu seperti hendak menelanjanginya. Lelaki itu seperti mempunyai kemampuan untuk membaca semua yang ada di dalam pikirannya. “Si bodoh itu belum pernah menyentuhmu? Maksudku … katakan padaku sejauh apa dia sudah menyentuhmu selama ini,” tanyanya lagi. Aura terdiam. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya merasa tak nyaman, bahkan terlalu privacy untuk dibicarakan dengan orang yang masih termasuk asing baginya. “Aku tahu, hari ini cukup berat buat kamu. Istirahatlah, dan pikirkan tawaran itu.” *** “Kamu sudah gila? Kabur dengan Rey Damarta di hari pernikahanmu sendiri,” teriak Jessy sesaat setelah panggilannya diterima oleh Aura. “Aku nggak ada pilihan, Jess,” sahut Aura lirih saking takutnya suaranya terdengar oleh sang pemilik rumah, “cuma dia satu-satunya yang mau menolongku.” “Kamu yakin nggak mau balik lagi sama si Micho?” “Justru, aku beruntung karena tahu semua ini sebelum terlambat,” keluh Aura, “kenapa aku begitu naif dan percaya begitu saja sama mereka? Tentang Rona … seharusnya aku mendengar nasehatmu dulu.” “Lalu Rey Damarta, apa dia baik sama kamu?” “Sejauh ini, dia baik.” “Syukurlah. Aku yakin kamu aman sama dia. Dia nggak bakal sentuh kamu,” sambung Jessy, “aku dengar dia nggak suka sama perempuan. Bahkan aku nggak pernah lihat foto dia dengan perempuan manapun. Aku percaya gosip kalau dia itu penyuka sesama jenis.” “Tapi … dia bukan homo sex, Jess,” balas Aura pelan. Ia masih ingat surat kontrak yang ditawarkan oleh Rey semalam. Surat kontrak yang isinya sangat aneh bagi Aura. “Upsy! Kalo memang dia bukan gay, aku rasa itu lebih baik lagi,” balas Jessy, “dia termasuk salah satu penguasa di kota ini. Tampan dan memiliki banyak aset, yang bahkan para pembesar negeri ini pun enggan untuk membuat masalah dengannya.” “Jika kamu bisa mendapatkan hatinya,” lanjutnya, “kamu adalah gadis paling beruntung. Melepaskan pecundang seperti Micho dan mendapatkan Rey Damarta sebagai gantinya.” “Jess, aku nggak mau manfaatin dia buat ….” “Kamu pikirkan saja dulu masak-masak. Jangan sampai kamu salah ambil keputusan seperti saat menerima lamaran Micho ke–.” Klik! Aura segera menutup panggilan itu saat menyadari seseorang masuk ke dalam kamarnya. Ia berusaha menutupi kegugupan dengan meletakkan ponselnya dan meneguk cepat air putih dari atas nakas. “Nona, Tuan menunggu Anda di ruang kerjanya,” ucap wanita paruh baya itu dengan sopan. “Ruang kerjanya?” “Aku akan mengantar Anda ke sana.” Perempuan itu menatap Aura dari ujung rambut hingga ujung kaki seakan sedang menghakimi penampilan gadis yang kali ini dibawa pulang oleh majikannya. Tapi Aura mengabaikan tatapan anehnya. Diikutinya langkah perempuan itu tanpa bersuara sedikitpun hingga mereka sampai di depan sebuah ruangan. “Dia menunggumu di dalam.” Wanita itu berbalik dan berlalu begitu saja setelah mengatakan pesan itu. Suara ketukan yang terdengar, membuat perhatian Rey teralihkan. Ia menatap sosok wanita ayu yang muncul dari balik pintu. Wajah pucat dalam kemeja putih oversize itu, justru memperlihatkan kecantikan alaminya. Kecantikan yang telah jarang dijumpai karena membanjirnya produk kosmetika yang selalu sukses menipu dalam setiap polesannya. Lelaki itu menelan kasar salivanya. Ditatapnya gadis dengan rambut hitam terurai dalam kemeja yang tak bisa menyembunyikan gumpalan kenyal yang menonjol di dadanya, hingga sepasang pahanya yang mulus. Setiap gerakannya terlihat sensual di mata Rey. “Apa kamu sudah mempertimbangkan tawaranku semalam?” tanya lelaki tampan itu dari balik mejanya. Ia berusaha menyembunyikan hasratnya sebagai seorang lelaki. Aura menghela napas panjang. Ditatapnya sepasang manik gelap di depannya dengan perasaan bimbang. Jantungnya berdebar, saking gelisahnya ia kembali menggigit bibir bawahnya. “Aku tidak akan menyakitimu. Kenapa kamu terus menggigit bibirmu?” ucapnya sembari berdiri dari kursinya dan melangkah. Langkahnya terhenti tepat di depan Aura. “A–aku ….” sahutnya semakin gugup. “Aku tidak akan memaksamu. Kalau kamu tidak mau melakukannya.” “Om Rey, maaf kalau pertanyaan ini membuatmu kesal, tapi … kenapa aku harus menandatangani perjanjian itu? Kenapa aku harus merahasiakan semuanya?” “Itu adalah aturanku. Aturan yang bakal menjamin supaya tidak ada kejadian yang tidak kita inginkan. Kamu bisa menambahkan apa yang kamu inginkan dan yang tidak kamu inginkan di dalamnya,” tuturnya, “semacam batasan. Role play.” Aura tertawa dengan canggung. “Astaga. Role play? Apa ini semacam permainan?” “Aku menyukaimu, Aura Dinata,” ucap lelaki itu. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, mengunci gerakan wanitanya dalam sebuah kecupan. Aura merapatkan bibirnya dengan canggung. Ciuman ini bukan pertama kali baginya. Bahkan ia sudah dua kali mencium Rey dengan sengaja. Tapi … kali ini berbeda. Ada perasaan aneh di dalam sana. Seperti getar-getar yang sedang menggelitik di dalam dadanya. Perasaan asing yang bahkan tak pernah dirasakannya pada Micho, cinta pertamanya. Rey memeluk pinggang gadisnya. Diangkatnya perempuan bertubuh ramping itu ke atas meja kerjanya tanpa menghentikan pagutannya di bibirnya. Rasa manis bibir gadis itu, seperti candu. Sama sekali berbeda dengan gadis-gadis yang pernah disentuhnya. Perlahan tangannya menyelinap di balik kemeja sang gadis untuk merasakan kulit lembutnya. Napasnya semakin memberat, seiring gairahnya yang semakin memuncak. Sepasang tangan itu pun bergerak semakin liar dan menyelinap di balik segitiga yang membungkus sepasang gumpalan lemak di belakang sang gadis. Sesaat ia meremasnya dengan gemas tanpa menghentikan pagutannya. Aura mulai kewalahan. Napasnya semakin berat, ditambah sentuhan liar di punggungnya semakin membuatnya larut dalam pusaran gairah yang diciptakan oleh Rey. Remasan di bokongnya membuatnya tersentak dalam sebuah kenikmatan yang tak pernah dirasakannya. “Kamu menyukainya, Aura?” tanya Rey. “Yah, aku menyukainya.” Lelaki itu menyentuh bagian membuncah di dada gadisnya, meremasnya dan mengecupnya, seolah dengan sengaja meninggalkan bekas di bagian itu. “Kamu hanya perlu menandatanganinya, Aura,” tuturnya, “dan sisanya serahkan padaku. Aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia di dunia.” “Bahagia … apa aku bisa bahagia jika hidup hanya sebagai budakmu?”"Probability of sibling relationship: 99.98%." Matanya berkaca. "Kaluna ... benar-benar adik kandungku. Dari Papa ..." bisiknya lirih. Langkah cepat terdengar di balik pintu. Kaluna muncul dengan wajah tegang, masih mengenakan dress semi formal yang tak sempat ia ganti sejak kemarin. Begitu melihat wajah Aura yang mulai tersenyum, tubuhnya menegang. Aura berdiri. Kaluna menatapnya penuh harap. "Kita beneran saudara?" tanya Kaluna lirih, matanya nyaris tak berani menatap langsung. Aura tak menjawab dengan kata. Ia hanya membuka lengannya, lalu memeluk Kaluna erat. Kaluna terisak. "Kakak ..." gumamnya pelan untuk pertama kalinya. Seketika, Aura mencubit pipi Kaluna gemas. “Tapi jangan lagi tiru-tiru aku, ya?” Kaluna tersipu. “Aku cuma ... ingin terlihat seperti bagian dari kalian.” Aura tersenyum dan mengusap pipinya. “Kamu nggak perlu jadi duplikat siapapun. Jadi dirimu sendiri. Karena kamu akan jadi sempurna ... buat seseorang yang mencintaimu, bukan karena kamu mir
Namun perempuan itu tak berhenti. Ia justru menghunus pisau lipat kecil dari saku dalam jaketnya dan mengarahkannya ke pria di sebelah kanannya. “Jangan sentuh aku!” raungnya. Pria itu segera mundur. Linda memutar tubuhnya, mencoba kabur ke arah semak di balik rerimbunan. Arga maju lebih dulu. “Linda, berhenti!” “Kalian pikir bisa dengan mudah menangkapku!” serunya dengan napas memburu. Ricko sudah siaga di belakang, kameranya terangkat sedikit, tapi tetap membiarkan bayangan semak-semak menutupi sebagian pandangan agar tak langsung terlihat. Linda menusuk ke depan dengan cepat, mengayunkan pisaunya ke lengan salah satu pengawal. Pria itu tersentak karena luka ringan di lengannya. Arga maju lagi. “Tangkap dia hidup-hidup!” Linda menjerit kasar, mencoba mengayunkan kembali senjata tajamnya ke arah Arga. Tapi langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri di hadapannya
Kaluna tertawa kecil. “Kalian pikir aku ancaman besar? Aku cuma ... Aku cuma ingin diakui.” Ricko menyipitkan mata. “Dan kau kira menjatuhkan Aura akan memberimu pengakuan?” Kaluna menggertakkan gigi, lalu berbisik, “Aku memang bukan siapa-siapa di keluarga Dinata. Tapi aku juga anak Robin Dinata.” Kalimat itu membuat Arga dan Ricko saling bertukar pandang cepat. “Aura tidak punya saudara. Dia putri tunggal Robin. Apa kamu punya bukti tentang itu?” tanya Arga dingin. “Tidak ada,” sahut Kaluna cepat. “Kecuali satu cincin tua yang pernah diberikan ibunya Aura pada ibu kandungku. Tapi sudah lama hilang. Linda yang merampasnya dariku.” Ricko mencondongkan tubuh. “Berarti Linda memanfaatkan fakta bahwa kamu anak Robin Dinata ... untuk menghancurkan Aura dari dalam.” Kaluna mengangguk pelan. “Awalnya aku menolak. Tapi ... aku juga ingin tahu rasanya dicintai. Aku tidak mau hidup sebatang kara lagi.” Arga menepuk meja. “Kamu tidak menjawab. Di mana Linda sekarang?” Kaluna te
Suara angin malam menyapu pelan taman belakang ballroom, membawa aroma bunga dan tanah basah. Di balik pepohonan besar yang tumbuh rapi seperti labirin, Ricko berdiri dalam diam, punggungnya bersandar ke batang pohon, tangan kiri menggenggam ponsel yang merekam seluruh percakapan Kaluna dengan Linda.Ia tidak bergerak. Nafasnya teratur. Tapi matanya tajam, menusuk setiap kata yang keluar dari mulut Kaluna yang terdengar dingin, terlatih dan penuh strategi.“Kalau kamu ingin tetap hidup dan tidak dijadikan kambing hitam resmi, ikuti saja permainanku ….”Kalimat itu menutup semuanya. Seperti paku terakhir di peti penuh kebohongan.Ricko menyentuh earbud-nya. “Rey. Aku punya sesuatu untukmu. Jangan minum lebih dari satu teguk. Ulangi. Hanya satu teguk. Kaluna bukan siapa yang kalian kira.”Tidak ada balasan suara. Tapi delay satu detik dari koneksi satelit pribadi mereka menandakan sinyal diterima.Ricko menutup jalur komunikasi dan
Langit malam telah berubah pekat. Di luar ballroom, udara dingin menyeruak pelan, membawa aroma bunga taman yang samar bercampur asap mobil dan udara basah sisa gerimis sore tadi. Langkah Kaluna tenang saat kembali dari sisi taman menuju ballroom. Tumit sepatunya beradu pelan dengan marmer lantai, dan di tangannya, sebuah gelas wine bening, dengan busa halus yang baru saja dituang bartender. Ia meniupnya ringan, seolah menguji suhu … lalu menambahkan setetes cairan bening dari vial kecil mungil yang ia selipkan di balik clutch bag-nya. Gerakannya cepat, terlatih, namun cukup elegan untuk tidak mengundang tanya siapa pun. Lalu ia masuk ke ruangan pesta, kembali menyatu dalam gelombang tamu-tamu penting yang bicara sambil tertawa kecil, diiringi musik jazz lembut dari panggung utama. Matanya langsung menangkap Rey yang tengah berdiri di dekat salah satu meja sisi, berbicara dengan pria paruh baya dari Liman Gro
Mobil hitam itu meluncur mulus menuju tempat acara, membelah senja yang mulai memudar. Di dalam kabin yang nyaman dan kedap suara, Rey duduk tenang di kursinya, sesekali melihat keluar jendela. Di sebelahnya, Kaluna duduk anggun, membenarkan lipatan gaunnya yang panjang menjuntai hingga ke lantai mobil.Gaun malam berwarna champagne dengan potongan leher V yang elegan menyempurnakan siluet tubuh Kaluna. Rambutnya digelung separuh ke belakang dengan detail jepit mutiara, persis seperti gaya Aura dalam berbagai foto resmi Dinata Group. Make up nya tipis, rapi, dan nyaris tanpa cela. Parfum mawar yang lembut kembali menguar, menyatu dengan aroma kulit mobil dan udara malam yang masuk melalui ventilasi.Rey sempat menoleh dan mengerutkan dahi tipis.Gaun itu ... rambut itu ... kilau kecil di sudut mata Kaluna, semuanya seperti membawa memori yang samar, tapi kuat.Namun ia tak mengatakan apa-apa.Sementara Kaluna menunduk sopan, tangan kecilnya menggenggam clutch bag dengan tenang.Mobil