“Bahagia? Apa mungkin aku bisa hidup bahagia kalau hanya menjadi budakmu?”
Pikiran itu tiba-tiba saja muncul dan begitu kuat mengusiknya. Kalimat yang diucapkan oleh Rey, seakan sebuah bom yang memicu sebuah pergolakan dalam hatinya. Namun ia tak sanggup mengatakannya. Sepasang tangannya mendorong dada Rey menjauh. Namun lelaki itu justru memperkuat pelukannya dan kembali membakar gairahnya dengan kecupannya di leher jenjangnya. Kegelisahan semakin kuat mengguncang tubuh gadis itu. Tubuhnya menegang saat sentuhan intens berada tepat di titik-titik sensitifnya. Setiap sentuhannya bahkan membuatnya merasa ingin lebih dan lebih lagi. Sepasang tangannya yang semula mendorong, kini justru meremas kemeja Rey seakan keduanya sengaja mengkhianati pikirannya. Gestur tubuh yang dengan mudahnya ditangkap oleh Rey. Umpannya telah disambut! Lelaki itu melepaskan pagutannya. Ia merapikan pakaiannya dan mengatur kembali napasnya. “Aku tidak akan memaksamu, Aura. Aku suka kamu, dan kita akan melanjutkan semua ini hanya jika kamu menginginkannya,” ucap Rey dengan sabarnya, walau sesuatu miliknya telah sesak di bawah sana. Aura menggigit bibir bawahnya dengan kegelisahan yang semakin menjadi. “Aku menginginkannya.” Rey yang baru saja selesai mengancingkan beberapa manik kemejanya pun terkejut mendengar jawaban Aura. Ia menurunkan lengannya dan menatap Aura seperti melihat sebuah keajaiban yang sangat langkah. “Apa? Kamu bilang apa barusan?” “Aku … menginginkannya.” Aura merasakan debaran di dadanya. Debaran yang bahkan tidak berkurang walau napasnya telah kembali teratur. “Katakan sekali lagi.” “Aku … mau kamu, Om Rey.” Lelaki itu menatap wajah gadis cantik di depannya. Tangannya mengusap lembut pipinya yang memerah, menyibak anak rambut dan menyelipkannya di balik daun telinga gadisnya. “Aku janji, aku bakal membuatmu bahagia,” ucapnya dengan suara lembutnya. Aura memejamkan matanya, ia merasakan lembutnya usapan tangan Rey. Usapan yang seakan membiusnya dalam gelombang gairah yang tak dapat ditolaknya. Rey kembali mengecup bibirnya, menikmati rasa manis dan lembut bibir gadis muda di hadapannya. Tangannya mengusap lembut paha gadis yang terlihat begitu pasrah dalam dekapannya. Napasnya yang terasa hangat, berhembus dengan ritme yang cepat, memperlihatkan hasrat yang tak bisa dibendungnya. Tiba-tiba suara ponsel memecah dalam keheningan. Dengan gugup, Aura mendorong tubuh lelaki itu. “Celaka! Aku sudah terlambat!” teriak Aura yang langsung lompat turun dari meja berbahan kayu itu. “Aura! Kamu mau kemana?” “Kerja! Dia bakal bunuh aku hari ini, aku sudah terlambat! Sangat terlambat!” teriak gadis itu sebelum pintu itu kembali tertutup. Rey memijat keningnya. Ditarik dan dihembuskannya napas sepanjang-panjangnya. “Astaga, dia benar-benar ingin menyiksaku.” *** “Jam berapa ini?” Suara cempreng bak kaleng rengginang itu langsung terdengar begitu Aura menampakkan wajahnya. Wanita berbadan bulat itu mendelik begitu Aura masuk ke dapur, tempatnya bekerja setiap harinya. “Maaf, Bu.” “Kalau kamu udah nggak suka kerja di sini, mending berhenti saja. Kita ini team work!” teriak Bu Natusha saking kesalnya, “aku harap ini terakhir kali kamu datang terlambat. Acara jamuan makan D’Amarta satu jam lagi. Cepat kamu siapkan semua bahan! Aku nggak mau resto kita di blacklist hanya gara-gara sous chefnya yang nggak becus!” Aura menarik napas dalam-dalam. Ia menahan diri untuk tidak menutup telinganya yang terasa sakit mendengar suara bernada delapan oktaf itu. Ia baru merasa tenang saat perempuan itu beranjak keluar dari dapur. “Sabar, ya cin. Nggak tau, tuh. Bu Nat main sidak segala hari ini,” ucap lelaki gemulai itu, “sepertinya dia lagi pe em es, deh.” “Tapi … memang aku yang salah, sih,” sahut Aura cepat. “Oh iya, chef Farel minta disiapin tenderloin grade A buat menu utama hari ini. Terus dia juga minta salmon dan … ah, kamu cek aja, nih. Semua daging kiriman udah aku bantu terima dan aku taruh di sana, tuh.” Ega menyerahkan kertas berisi daftar sembari menunjuk ke sebuah freezer yang tepat berada di depan ruang pendingin restoran itu. Aura menepuk pundak Ega. “Thanks ya. Aku nggak tau, gimana hidupku kalau nggak ada kamu.” “Ya elah, ya tetep aja jadi Aura Dinata, lah. Nggak mungkin pula kamu jadi rempeyek udang. Bisa habis kamu, aku makan,” ucap Ega sembari menunjukkan jemarinya dengan seringai seekor macan. “Aura! Cepat siapkan semua bahan? Kita nggak boleh buang waktu! Tamu segera datang!” Teriak chef Farrel membuat Aura kembali tersentak. Ia segera mengisi keranjangnya dengan semua bahan yang tertera pada lembaran yang dipegangnya. “Pernikahanmu dengan keluarga Damarta nggak bakal menambah poin penilaian kamu di mata aku,” imbuh lelaki berahang tegas itu. Ega menghela napas panjang. Ia mengedikkan pundaknya sebelum kembali ke posisinya di dapur. Memang tidak mudah untuk mengikuti keinginan kedua atasannya. Bu Natusha yang haus akan uang dan chef Farel yang perfectionis dan bermulut tajam itu. Aura baru saja meletakkan bahan terakhir yang dibutuhkan ke dalam keranjangnya. Empat kilo daging sirloin yang telah disisihkannya dari dalam pendingin sesuai keinginan Chef Farrel. Diangkatnya semua bahan yang cukup berat itu ke dapur. “Oke, teman-teman! Kita sudah tidak punya banyak waktu. Tamu-tamu yang sudah membooking resto kita sudah datang. Kita lakukan semua yang terbaik yang bisa kita lakukan sekarang!” teriak Chef Farrel membuka perjuangan mereka di dapur hari itu, “aku minta kerjasamanya. Semangat!” Walau hanya lima orang saja yang berkutat di dalamnya, namun cukup membuat suasana dapur sangat meriah. Suara Chef Farrel yang tegas dan mendominasi ditambah dengan udara panas karena asap yang mengepul dengan aromanya yang menggoda. “Tes rasa Aura! Jangan pernah kasih peluang buat siapapun mengkritik pekerjaan kita,” ucap Chef Farel dengan suara lantangnya. “Chef, tamu ingin daging steaknya di masak medium well,” ucap gadis muda yang tiba-tiba muncul menyerahkan nampan berisi sepotong daging steak. Chef Farel menusukkan garpunya sebelum mendecak kesal. “Medium rare! Aura, apa kamu mau aku kirim ke sekolah lagi?” “Maaf chef.” “Sial! Siapkan tambahan appetizer sebagai kompensasi kesalahan kita. Aku tidak mau citra restoran kita jadi rusak karena keteledoran sous chef kita hari ini.” “Done, chef!” Ega meletakkan piring steak ke hadapan Farrel. Dilihatnya lelaki bermulut tajam itu menusukkan garpunya. “Oke. Kalian semua siapkan menu terakhir. Dan kamu,” kata lelaki itu sembari menuding Aura, “temui aku di ruanganku!” Aura meremas apronnya. Mau tak mau dilangkahkannya kakinya menuju ruang yang letaknya berhadapan dengan dapur itu, tepat beberapa langkah di belakang Farrel. “Kamu nggak fokus hari ini!” “Maaf Chef.” “Kenapa? Kamu sudah kangen sama Micho mu itu? Kamu inget dia terus, sampai-sampai kamu nggak bisa tau kalau steak itu masih medium rare?” hardik Chef Farrel dengan gemas, “pulang saja kamu, nggak usah kerja lagi! Percuma!” “Aku … nggak jadi nikah sama dia.” Wajah Chef Farrel memperlihatkan keterkejutan yang kentara. Namun ia segera menyembunyikannya saat suara ketukan terdengar dari balik pintunya. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan tangannya, menyembunyikan sebuah perasaan yang muncul akibat pernyataan itu. "Chef, apa Aura ada di dalam? Tamu kita sedang menunggunya."Farel tidak menjawab. Ia justru disibukkan oleh pikirannya sendiri. Seharusnya ia tidak bersikap sekasar itu pada Aura, terlebih karena ia tidak tahu apa yang sudah dialaminya.
"Kalau tidak ada hal penting lainnya, aku permisi dulu." Baru saja gadis itu berbalik, Farrel segera menangkap lengannya, memaksa Aura menghentikan langkahnya. "Kamu serius batalin pernikahan kamu sama dia?""Probability of sibling relationship: 99.98%." Matanya berkaca. "Kaluna ... benar-benar adik kandungku. Dari Papa ..." bisiknya lirih. Langkah cepat terdengar di balik pintu. Kaluna muncul dengan wajah tegang, masih mengenakan dress semi formal yang tak sempat ia ganti sejak kemarin. Begitu melihat wajah Aura yang mulai tersenyum, tubuhnya menegang. Aura berdiri. Kaluna menatapnya penuh harap. "Kita beneran saudara?" tanya Kaluna lirih, matanya nyaris tak berani menatap langsung. Aura tak menjawab dengan kata. Ia hanya membuka lengannya, lalu memeluk Kaluna erat. Kaluna terisak. "Kakak ..." gumamnya pelan untuk pertama kalinya. Seketika, Aura mencubit pipi Kaluna gemas. “Tapi jangan lagi tiru-tiru aku, ya?” Kaluna tersipu. “Aku cuma ... ingin terlihat seperti bagian dari kalian.” Aura tersenyum dan mengusap pipinya. “Kamu nggak perlu jadi duplikat siapapun. Jadi dirimu sendiri. Karena kamu akan jadi sempurna ... buat seseorang yang mencintaimu, bukan karena kamu mir
Namun perempuan itu tak berhenti. Ia justru menghunus pisau lipat kecil dari saku dalam jaketnya dan mengarahkannya ke pria di sebelah kanannya. “Jangan sentuh aku!” raungnya. Pria itu segera mundur. Linda memutar tubuhnya, mencoba kabur ke arah semak di balik rerimbunan. Arga maju lebih dulu. “Linda, berhenti!” “Kalian pikir bisa dengan mudah menangkapku!” serunya dengan napas memburu. Ricko sudah siaga di belakang, kameranya terangkat sedikit, tapi tetap membiarkan bayangan semak-semak menutupi sebagian pandangan agar tak langsung terlihat. Linda menusuk ke depan dengan cepat, mengayunkan pisaunya ke lengan salah satu pengawal. Pria itu tersentak karena luka ringan di lengannya. Arga maju lagi. “Tangkap dia hidup-hidup!” Linda menjerit kasar, mencoba mengayunkan kembali senjata tajamnya ke arah Arga. Tapi langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri di hadapannya
Kaluna tertawa kecil. “Kalian pikir aku ancaman besar? Aku cuma ... Aku cuma ingin diakui.” Ricko menyipitkan mata. “Dan kau kira menjatuhkan Aura akan memberimu pengakuan?” Kaluna menggertakkan gigi, lalu berbisik, “Aku memang bukan siapa-siapa di keluarga Dinata. Tapi aku juga anak Robin Dinata.” Kalimat itu membuat Arga dan Ricko saling bertukar pandang cepat. “Aura tidak punya saudara. Dia putri tunggal Robin. Apa kamu punya bukti tentang itu?” tanya Arga dingin. “Tidak ada,” sahut Kaluna cepat. “Kecuali satu cincin tua yang pernah diberikan ibunya Aura pada ibu kandungku. Tapi sudah lama hilang. Linda yang merampasnya dariku.” Ricko mencondongkan tubuh. “Berarti Linda memanfaatkan fakta bahwa kamu anak Robin Dinata ... untuk menghancurkan Aura dari dalam.” Kaluna mengangguk pelan. “Awalnya aku menolak. Tapi ... aku juga ingin tahu rasanya dicintai. Aku tidak mau hidup sebatang kara lagi.” Arga menepuk meja. “Kamu tidak menjawab. Di mana Linda sekarang?” Kaluna te
Suara angin malam menyapu pelan taman belakang ballroom, membawa aroma bunga dan tanah basah. Di balik pepohonan besar yang tumbuh rapi seperti labirin, Ricko berdiri dalam diam, punggungnya bersandar ke batang pohon, tangan kiri menggenggam ponsel yang merekam seluruh percakapan Kaluna dengan Linda.Ia tidak bergerak. Nafasnya teratur. Tapi matanya tajam, menusuk setiap kata yang keluar dari mulut Kaluna yang terdengar dingin, terlatih dan penuh strategi.“Kalau kamu ingin tetap hidup dan tidak dijadikan kambing hitam resmi, ikuti saja permainanku ….”Kalimat itu menutup semuanya. Seperti paku terakhir di peti penuh kebohongan.Ricko menyentuh earbud-nya. “Rey. Aku punya sesuatu untukmu. Jangan minum lebih dari satu teguk. Ulangi. Hanya satu teguk. Kaluna bukan siapa yang kalian kira.”Tidak ada balasan suara. Tapi delay satu detik dari koneksi satelit pribadi mereka menandakan sinyal diterima.Ricko menutup jalur komunikasi dan
Langit malam telah berubah pekat. Di luar ballroom, udara dingin menyeruak pelan, membawa aroma bunga taman yang samar bercampur asap mobil dan udara basah sisa gerimis sore tadi. Langkah Kaluna tenang saat kembali dari sisi taman menuju ballroom. Tumit sepatunya beradu pelan dengan marmer lantai, dan di tangannya, sebuah gelas wine bening, dengan busa halus yang baru saja dituang bartender. Ia meniupnya ringan, seolah menguji suhu … lalu menambahkan setetes cairan bening dari vial kecil mungil yang ia selipkan di balik clutch bag-nya. Gerakannya cepat, terlatih, namun cukup elegan untuk tidak mengundang tanya siapa pun. Lalu ia masuk ke ruangan pesta, kembali menyatu dalam gelombang tamu-tamu penting yang bicara sambil tertawa kecil, diiringi musik jazz lembut dari panggung utama. Matanya langsung menangkap Rey yang tengah berdiri di dekat salah satu meja sisi, berbicara dengan pria paruh baya dari Liman Gro
Mobil hitam itu meluncur mulus menuju tempat acara, membelah senja yang mulai memudar. Di dalam kabin yang nyaman dan kedap suara, Rey duduk tenang di kursinya, sesekali melihat keluar jendela. Di sebelahnya, Kaluna duduk anggun, membenarkan lipatan gaunnya yang panjang menjuntai hingga ke lantai mobil.Gaun malam berwarna champagne dengan potongan leher V yang elegan menyempurnakan siluet tubuh Kaluna. Rambutnya digelung separuh ke belakang dengan detail jepit mutiara, persis seperti gaya Aura dalam berbagai foto resmi Dinata Group. Make up nya tipis, rapi, dan nyaris tanpa cela. Parfum mawar yang lembut kembali menguar, menyatu dengan aroma kulit mobil dan udara malam yang masuk melalui ventilasi.Rey sempat menoleh dan mengerutkan dahi tipis.Gaun itu ... rambut itu ... kilau kecil di sudut mata Kaluna, semuanya seperti membawa memori yang samar, tapi kuat.Namun ia tak mengatakan apa-apa.Sementara Kaluna menunduk sopan, tangan kecilnya menggenggam clutch bag dengan tenang.Mobil