Sirine ambulans meraung memecah malam yang diguyur hujan deras. Lampu merah dan biru berkedip cepat, membias di kaca basah dan genangan air, memantulkan bayangan pilu yang menyeret duka dalam keheningan jalan. Di dalam kabin sempit ambulans, Maureen terbujur di atas tandu. Tubuhnya lunglai, tertutup selimut tipis yang tak banyak membantu mengusir dingin yang menusuk sampai ke tulangnya. Oksigen mengalir dari masker bening yang menempel di wajah pucatnya. Tapi napasnya tetap berat dan terputus-putus, seperti tubuhnya yang tak lagi ingin bertahan.Aura duduk di sampingnya, menggenggam tangan Maureen erat-erat. Tangan gadis yang sempat mengkhianatinya itu, kini begitu rapuh, seperti akan hancur jika terlalu kuat ditekan. Hujan yang membasahi rambut dan pakaian Aura bahkan belum mengering, tapi ia tak peduli. Pandangannya terpaku pada wajah Maureen. Ia berharap bisa menahan waktu. Bahkan berharap ambulans ini bisa terbang, bukan sekedar melaju di jalanan licin yang terasa begitu lambat.
Langit malam menggantung kelam di atas kediaman Rey. Hujan turun tak kenal henti sejak sore, seperti ingin membersihkan jejak-jejak luka yang tersisa. Tapi tidak ada yang bisa membersihkan perasaan bersalah yang mendekam di dalam hati Maureen.Dari celah tirai kamar di lantai dua, Maureen berdiri bergeming tanpa suara. Ia tahu dirinya seharusnya tidak mengintip. Tapi hatinya benar-benar tidak bisa tenang. Matanya terus memandangi sosok Rey yang duduk di kursi ruang tamu dalam diam. Cahaya lampu kuning temaram membuat wajah lelaki itu tampak lebih tua, lebih letih, memperlihatkan dengan jelas jiwanya yang hancur.Aura belum juga keluar dari kamar sejak sore tadi, sejak pertengkaran hebat itu. Sejak ia melihat Rey dan Maureen di ruang merah yang membuat hatinya hancur.Dan Maureen tahu, semua itu salahnya.Tangannya gemetar ketika menyibakkan sedikit tirai untuk melihat lebih jauh. Hanya Rey yang ada di sana. Aura sama sekali tak keluar dari kamar. Lalu suara langkah itu mulai terdenga
Suara pintu berderit pelan ketika Aura mendorongnya terbuka. Ia mengira Rey sedang di ruang kerjanya, atau mungkin tertidur di kamar. Tapi langkah kakinya justru membawanya menuju lorong yang selama ini ia hindari — bukan karena takut, melainkan karena ia ingin menghargai ruang itu sebagai bagian kelam dari masa lalu Rey.Namun hari ini, firasat buruk tak bisa ditepis. Aura tahu sesuatu tidak beres sejak memergoki Maureen menyusup ke lantai atas, mengendap seperti pencuri bayangan . Maka ia mengikuti.Dan sekarang, berdiri di ambang pintu ruangan gelap itu, namun Aura tak siap dengan apa yang dilihatnya.Rey sedang mendominasi, ia sedang menghimpit Maureen ke dinding di sudut ruangan itu. Jarak wajah mereka terlalu dekat, seperti Rey baru saja menciumnya.Tangan Rey mencengkram pergelangan tangan Maureen, dan napasnya — napas Rey — kini terdengar berat dan pendek.Dan Maureen ... gadis itu seperti menatap Rey dengan senyum puas. Senyum seorang pemenang. Atau justru itu adalah sebuah s
Sudah tiga hari Maureen tinggal di rumah besar itu. Aura mempercayainya, setidaknya untuk sementara. Ia diberi tempat di kamar staf di lantai bawah, diberi tugas ringan menyapu dan membantu di dapur bersama asisten rumah tangga lainnya. Aura pun sempat membelikan beberapa pakaian bersih untuknya — meski tetap dengan batasan.Tapi Rey tak pernah menyambut kehadirannya. Tatapan dingin pria itu tak berubah sejak pertama kali melihat Maureen berdiri di ruang tamunya. Tak ada sapaan, tak ada percakapan. Bahkan ketika mereka tanpa sengaja bertemu di dapur, Rey hanya mengangguk tipis dan berlalu tanpa suara.Maureen pura-pura tak peduli. Tapi diam-diam, ia mempelajari setiap sudut rumah.Ia mengingat lorong-lorongnya. Mengingat aroma kamar Rey, bahkan arah angin dari jendela utama yang selalu dibuka saat sore. Ia mengenal rumah ini lebih baik dari siapapun — bahkan mungkin lebih baik daripada Aura.Karena dulu di sinilah ia pernah menjadi bagian dari kehidupan Rey. Bagian dari kelamnya kehid
Sore itu langit mendung seperti menyimpan rahasia. Udara lembap masih tersisa setelah hujan deras membasahi jalanan yang padat dan gelap oleh cipratan ban kendaraan. Aura melangkah cepat di sepanjang trotoar sempit, jaket tipisnya sedikit basah, dan kantong plastik berisi makanan tergenggam erat di tangan.Langkahnya terhenti mendadak saat ia melihat seseorang yang tampak mencurigakan di dekat halte tua.Seorang perempuan dengan hoodie lusuh berdiri terlalu dekat dengan seorang ibu yang tengah mencari uang di dalam tas selempangnya. Aura memperhatikan gerak perempuan itu — cara tangannya menyusup pelan ke resleting tas, gerakan tubuh yang terlalu hati-hati.Aura menajamkan pandangannya. Wajah itu … tubuh kurus itu ….“Maureen?”Suara Aura menusuk pelan tapi cukup untuk membuat si pencopet itu membeku.Perempuan itu menoleh. Wajah tirus, kulitnya yang kusam, dan mata coklatnya membelalak karena kaget. Dia langsung pura-pura mengalihkan pandangan dan menjauh perlahan.Aura menyusul dan
Sinar matahari menembus tirai tipis kamar Rey, membasuh lembut wajah Aura yang masih terlelap dalam dekapan hangat. Aroma sandalwood dan kopi hitam menyatu dengan sisa hembusan napas hangat yang mengenai tengkuknya.Tak ada jeritan ataupun desahan. Tak ada gairah meledak-ledak seperti malam-malam sebelumnya. Hanya napas tenang, jari-jari yang masih saling menggenggam erat, dan dada Rey yang naik-turun dengan ritme damai di belakang punggungnya.Aura membuka mata perlahan. Sesuatu di dalam dirinya terasa berubah.Biasanya, setelah malam bersama Rey, ia akan terbangun lebih dulu, buru-buru mengenakan baju, menjaga jarak, menyibukkan diri agar tak sempat merasa canggung. Tapi pagi ini, ia hanya diam. Tak ingin bergerak. Tak ingin Rey melepaskan lengannya yang memeluk tubuhnya.Ia menggigit bibir, malu pada dirinya sendiri. Bahkan pipinya memanas saat mengingat betapa lekat dirinya semalam pada lelaki itu. Tangisan. Pelukan. Bisikan-bisikan lemah yang ia ucapkan saat Rey mengangkat tubuhn
Aroma tanah basah masih menggantung di udara setelah hujan reda. Langit mulai gelap, dan jalanan basah memantulkan cahaya lampu kota. Di dalam SUV hitam yang melaju perlahan, suasana di dalam terasa jauh lebih hangat — dan penuh ketegangan yang tak terlihat.Di kursi belakang, Aura meringkuk dalam pelukan Rey. Wajahnya menempel di leher pria itu, dan lengannya melingkar erat di pinggangnya, seakan enggan dilepaskan. Tubuh Aura hangat, bahkan cenderung panas. Sebaliknya, tubuh Rey tetap dingin dan tenang seperti biasa — dan justru itulah yang membuat Aura enggan menjauh.“Om Rey ...” gumamnya manja, nyaris seperti desahan. “Tubuhmu dingin sekali ... nyaman sekali ….” Tangannya naik menyentuh kerah Rey, lalu menyelipkan jari-jari mungilnya ke dalam jaket Rey.Rey mengusap kepala Aura perlahan, mencoba menenangkan. “Kamu demam. Istirahat saja.”Tapi Aura tidak berhenti. Ia justru menggeliat pelan, seperti sedang mencari posisi yang lebih dekat, lebih nyaman. Ia menyentuhkan bibirnya ke t
Beberapa jam sebelum senja menggantung muram di langit kota, Rey duduk sendiri di ruang kerjanya. Gelas kopi di tangannya tak tersentuh, uapnya sudah lama lenyap bersama pikirannya yang berkecamuk. Matanya tajam menatap layar ponsel. Beberapa panggilan tak terjawab dari Aura menari di benaknya, menyisakan perasaan bersalah yang menggigit pelan tapi pasti. Ia mencoba menghubunginya sejak pagi, tapi semua sia-sia. Aura menghilang. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal, hanya tertulis satu kalimat bernada ancaman. "Kau tak bisa melindunginya selamanya, Rey. Sekarang giliranku." Rey berdiri terguncang, jantungnya berdegup liar seperti gong peringatan. Tangannya langsung menekan nomor asisten kepercayaannya, Arga. "Temukan Aura. Sekarang juga. Lacak semua CCTV di sekitar apartemen dan jalur keluar kota," perintahnya. Tak butuh waktu lama, Arga mengirimkan sebuah tangkapan layar dari video pengawasan. Di sana, terekam mobil hitam gelap berhenti di dekat gang kecil tak jauh d
Aura membalas tatapan itu. Matanya tak bergetar. “Bunuh saja kami berdua. Setidaknya kami akan mati bersama. Dan kau akan tetap menjadi satu-satunya orang yang dikutuk oleh semua dosa ini.”Micho membalikkan tubuhnya dan menghentakkan pintu ketika keluar.Beberapa jam kemudian, ia kembali.Langkahnya lebih tenang, lebih tertata. Kali ini tak membawa ancaman. Ia membawa sepiring roti panggang dan segelas air putih, namun tak sekadar itu — di dalam air itu, diam-diam telah ia campurkan sesuatu. Cairan jernih tak berbau, afrodisiak yang diberikan seorang kenalan gelap.Ia menaruh nampan itu di dekat Aura. Wajahnya hangat dan senyumannya seolah tulus tanpa niat kotor. “Maaf untuk tadi pagi. Aku kehilangan kendali. Aku nggak akan maksa kamu lagi buat balikan sama aku. Aku cuma mau kamu makan. Kamu butuh tenaga. Paling tidak … supaya kamu bisa kabur dari sini, ‘kan?” Ia menyeringai ringan, seolah bercanda.Aura masih diam, tapi sorot matanya sedikit melunak — bukan karena percaya, tapi kar