Sudah tiga hari Maureen tinggal di rumah besar itu. Aura mempercayainya, setidaknya untuk sementara. Ia diberi tempat di kamar staf di lantai bawah, diberi tugas ringan menyapu dan membantu di dapur bersama asisten rumah tangga lainnya. Aura pun sempat membelikan beberapa pakaian bersih untuknya — meski tetap dengan batasan.Tapi Rey tak pernah menyambut kehadirannya. Tatapan dingin pria itu tak berubah sejak pertama kali melihat Maureen berdiri di ruang tamunya. Tak ada sapaan, tak ada percakapan. Bahkan ketika mereka tanpa sengaja bertemu di dapur, Rey hanya mengangguk tipis dan berlalu tanpa suara.Maureen pura-pura tak peduli. Tapi diam-diam, ia mempelajari setiap sudut rumah.Ia mengingat lorong-lorongnya. Mengingat aroma kamar Rey, bahkan arah angin dari jendela utama yang selalu dibuka saat sore. Ia mengenal rumah ini lebih baik dari siapapun — bahkan mungkin lebih baik daripada Aura.Karena dulu di sinilah ia pernah menjadi bagian dari kehidupan Rey. Bagian dari kelamnya kehid
Sore itu langit mendung seperti menyimpan rahasia. Udara lembap masih tersisa setelah hujan deras membasahi jalanan yang padat dan gelap oleh cipratan ban kendaraan. Aura melangkah cepat di sepanjang trotoar sempit, jaket tipisnya sedikit basah, dan kantong plastik berisi makanan tergenggam erat di tangan.Langkahnya terhenti mendadak saat ia melihat seseorang yang tampak mencurigakan di dekat halte tua.Seorang perempuan dengan hoodie lusuh berdiri terlalu dekat dengan seorang ibu yang tengah mencari uang di dalam tas selempangnya. Aura memperhatikan gerak perempuan itu — cara tangannya menyusup pelan ke resleting tas, gerakan tubuh yang terlalu hati-hati.Aura menajamkan pandangannya. Wajah itu … tubuh kurus itu ….“Maureen?”Suara Aura menusuk pelan tapi cukup untuk membuat si pencopet itu membeku.Perempuan itu menoleh. Wajah tirus, kulitnya yang kusam, dan mata coklatnya membelalak karena kaget. Dia langsung pura-pura mengalihkan pandangan dan menjauh perlahan.Aura menyusul dan
Sinar matahari menembus tirai tipis kamar Rey, membasuh lembut wajah Aura yang masih terlelap dalam dekapan hangat. Aroma sandalwood dan kopi hitam menyatu dengan sisa hembusan napas hangat yang mengenai tengkuknya.Tak ada jeritan ataupun desahan. Tak ada gairah meledak-ledak seperti malam-malam sebelumnya. Hanya napas tenang, jari-jari yang masih saling menggenggam erat, dan dada Rey yang naik-turun dengan ritme damai di belakang punggungnya.Aura membuka mata perlahan. Sesuatu di dalam dirinya terasa berubah.Biasanya, setelah malam bersama Rey, ia akan terbangun lebih dulu, buru-buru mengenakan baju, menjaga jarak, menyibukkan diri agar tak sempat merasa canggung. Tapi pagi ini, ia hanya diam. Tak ingin bergerak. Tak ingin Rey melepaskan lengannya yang memeluk tubuhnya.Ia menggigit bibir, malu pada dirinya sendiri. Bahkan pipinya memanas saat mengingat betapa lekat dirinya semalam pada lelaki itu. Tangisan. Pelukan. Bisikan-bisikan lemah yang ia ucapkan saat Rey mengangkat tubuhn
Aroma tanah basah masih menggantung di udara setelah hujan reda. Langit mulai gelap, dan jalanan basah memantulkan cahaya lampu kota. Di dalam SUV hitam yang melaju perlahan, suasana di dalam terasa jauh lebih hangat — dan penuh ketegangan yang tak terlihat.Di kursi belakang, Aura meringkuk dalam pelukan Rey. Wajahnya menempel di leher pria itu, dan lengannya melingkar erat di pinggangnya, seakan enggan dilepaskan. Tubuh Aura hangat, bahkan cenderung panas. Sebaliknya, tubuh Rey tetap dingin dan tenang seperti biasa — dan justru itulah yang membuat Aura enggan menjauh.“Om Rey ...” gumamnya manja, nyaris seperti desahan. “Tubuhmu dingin sekali ... nyaman sekali ….” Tangannya naik menyentuh kerah Rey, lalu menyelipkan jari-jari mungilnya ke dalam jaket Rey.Rey mengusap kepala Aura perlahan, mencoba menenangkan. “Kamu demam. Istirahat saja.”Tapi Aura tidak berhenti. Ia justru menggeliat pelan, seperti sedang mencari posisi yang lebih dekat, lebih nyaman. Ia menyentuhkan bibirnya ke t
Beberapa jam sebelum senja menggantung muram di langit kota, Rey duduk sendiri di ruang kerjanya. Gelas kopi di tangannya tak tersentuh, uapnya sudah lama lenyap bersama pikirannya yang berkecamuk. Matanya tajam menatap layar ponsel. Beberapa panggilan tak terjawab dari Aura menari di benaknya, menyisakan perasaan bersalah yang menggigit pelan tapi pasti. Ia mencoba menghubunginya sejak pagi, tapi semua sia-sia. Aura menghilang. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal, hanya tertulis satu kalimat bernada ancaman. "Kau tak bisa melindunginya selamanya, Rey. Sekarang giliranku." Rey berdiri terguncang, jantungnya berdegup liar seperti gong peringatan. Tangannya langsung menekan nomor asisten kepercayaannya, Arga. "Temukan Aura. Sekarang juga. Lacak semua CCTV di sekitar apartemen dan jalur keluar kota," perintahnya. Tak butuh waktu lama, Arga mengirimkan sebuah tangkapan layar dari video pengawasan. Di sana, terekam mobil hitam gelap berhenti di dekat gang kecil tak jauh d
Aura membalas tatapan itu. Matanya tak bergetar. “Bunuh saja kami berdua. Setidaknya kami akan mati bersama. Dan kau akan tetap menjadi satu-satunya orang yang dikutuk oleh semua dosa ini.”Micho membalikkan tubuhnya dan menghentakkan pintu ketika keluar.Beberapa jam kemudian, ia kembali.Langkahnya lebih tenang, lebih tertata. Kali ini tak membawa ancaman. Ia membawa sepiring roti panggang dan segelas air putih, namun tak sekadar itu — di dalam air itu, diam-diam telah ia campurkan sesuatu. Cairan jernih tak berbau, afrodisiak yang diberikan seorang kenalan gelap.Ia menaruh nampan itu di dekat Aura. Wajahnya hangat dan senyumannya seolah tulus tanpa niat kotor. “Maaf untuk tadi pagi. Aku kehilangan kendali. Aku nggak akan maksa kamu lagi buat balikan sama aku. Aku cuma mau kamu makan. Kamu butuh tenaga. Paling tidak … supaya kamu bisa kabur dari sini, ‘kan?” Ia menyeringai ringan, seolah bercanda.Aura masih diam, tapi sorot matanya sedikit melunak — bukan karena percaya, tapi kar
Senja belum sepenuhnya padam ketika Rey menerima panggilan dari Arga. Di luar jendela apartemen Rey, langit tampak muram, seolah ikut menandai firasat buruk yang mulai menghimpit dadanya.“Dia sudah bebas, Rey,” suara Arga terdengar tertekan dari seberang. “Sofia menjaminnya. Pengacaranya membuat skenario bahwa Micho memang datang malam itu atas undangan Aura. Katanya … Aura yang memanggilnya karena kangen pada mantan tunangannya.”Rey berdiri dari sofa, rahangnya mengeras. “Itu bohong. Tidak mungkin Aura mengundangnya.”“Aku tahu,” jawab Arga cepat. “Tapi dengan pengaruh Sofia, polisi akhirnya menutup kasus itu. Semua bukti dibelokkan. Dan yang lebih buruk … Micho menghilang sejak tadi pagi. Tidak ada yang tahu dia di mana.”Rey menggenggam ponselnya erat. Aura. Hanya satu nama itu yang terngiang dalam kepalanya. “Aura dalam bahaya. Aku harus carì dia.”---Sementara itu, di sisi lain kota, di sebuah ruang mewah tersembunyi di lantai dua rumah besar keluarga Damartha, Micho berdiri
Rey membuka mata dan menatap Aura, sorotnya penuh beban. “Aku ingin melindungimu. Aku takut kalau kau tahu semuanya ... kau akan pergi.”Aura mendekat. “Jangan lindungi aku dengan kebohongan. Aku bukan gadis lemah yang butuh dijaga dengan ketidaktahuan. Aku butuh kebenaran, Om. Walau menyakitkan.”Hening sesaat. Rey menunduk, seperti sedang menahan badai dalam dirinya.“Sofia … dia adalah belenggu dalam hidupku,” gumam Rey, hampir tak terdengar. “Dia menyalahkanku atas kematian Dion. Membuatku merasa bersalah selama bertahun-tahun. Dan setelah Dion tiada, dia … dia mengikatku dengan cara yang paling menjijikkan. Bukan cinta. Tapi kendali.”Aura merasakan matanya panas. “Dan kamu biarkan dia tetap mendekatimu?”Rey menggeleng. “Tidak. Aku sudah mencoba lepas sejak lama. Tapi setiap kali aku menjauh, dia menarikku kembali … lewat Micho, lewat ancaman perusahaan, lewat rahasia-rahasia masa lalu yang tidak bisa aku kendalikan.”Aura mencengkram tangannya sendiri. Emosinya meluap, tapi ada
Langit senja menggantung muram saat Aura melangkah menuju butik Sofia untuk kedua kalinya. Namun kali ini, langkahnya bukan karena rasa penasaran, melainkan karena sebuah tekad yang telah membara sejak pagi. Kata-kata Sofia di telepon masih terngiang dalam pikirannya — datar, tenang, namun penuh ancaman."Kalau kau ingin Rey tetap hidup tenang, datanglah sore ini. Jangan buat aku mencarimu."Ancaman itu tidak diucapkan dengan nada tinggi. Tapi justru karena tenangnya, Aura tahu Sofia serius. Bukan ajakan bicara. Ini adalah tantangan. Sebuah peringatan yang dibungkus dalam senyum palsu.Begitu memasuki butik, aroma parfum mawar langsung menyergap inderanya. Cahaya remang dari lampu gantung memantulkan kilau gaun-gaun mahal yang tergantung rapi. Butik itu tampak elegan, tenang di luar, namun Aura tahu badai tengah menunggu di dalamnya.Sofia berdiri di tengah ruangan. Seperti biasanya, perempuan paruh baya itu tampil nyaris sempurna — setelan hitam berkilau, rambut tersanggul rapi, bibi