Micho dilempar duduk ke sofa oleh salah satu pengawal Rey. Wajahnya memucat, napas memburu, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Di seberangnya, Rey berdiri membelakangi jendela, tubuhnya tegak, matanya dingin menatap keponakannya itu seperti singa yang siap menerkam.Hening. Sampai akhirnya suara Rey terdengar, pelan tapi tajam.“Jelaskan.”Micho menggertakkan rahangnya. “Dia seharusnya jadi istriku. Om merebutnya dariku.”Rey menyipitkan mata. “Apa?”“Kakek menjodohkan kami. Aura seharusnya menikah denganku. Semuanya sudah disiapkan … kalau saja Om tidak muncul dan ikut campur. Kalau saja Om tidak datang dan membawa Aura pergi dari hari pernikahanku.”Suara Micho mulai meninggi, penuh dendam dan frustrasi. “Kalau saja Om nggak merebut dia dariku … semuanya nggak akan jadi seperti ini!”Rey menghela napas, langkahnya perlahan mendekat ke arah Micho.“Dia bukan benda untuk direbut, Micho. Dan kamu … kamu kehilangan hak untuk menyebutnya calon istrimu sejak hari itu.”Rey berhenti
Brak!Pintu kamar rias terhempas keras hingga membentur dinding, membuat hiasan bunga di atas meja rias terjatuh. Rey menerobos masuk dengan napas memburu, mata elangnya menyapu ruangan dengan cepat. Ada sesuatu yang salah. Terlalu sunyi. Terlalu rapi … namun justru itu yang membuat ruangan ini mencurigakan.Matanya menangkap anting-anting dan kalung Aura tergeletak di atas meja rias, seolah dilepas terburu-buru. Rey mendekat, menyentuhnya sebentar, lalu menoleh ke sekeliling dengan jantung makin berdebar. Instingnya menyala, seperti binatang pemburu yang mencium aroma ancaman.Lalu ia melihat jejak kaki basah di atas lantai. Langkah-langkah tergesa, tidak teratur, meninggalkan noda air di atas lantai marmer, mengarah keluar dari kamar mandi. Ada seseorang yang baru saja keluar dari sana.Bayangan samar melintas di ujung lorong belakang, tapi Rey tidak mengejarnya. Firasatnya berteriak seakan melarangnya.Bukan sosok yang kabur itu yang penting. Ia tidak bisa mengabaikan firasatnya.
Tak lama kemudian, dari arah yang sama, muncul seorang pelayan cowok hanya dengan handuk kecil di pinggang, wajahnya memerah, rambut awut-awutan.“Saya ... saya ditodong!” katanya nyaris menangis. “Baju saya diambil! Dia pakai seragam saya buat nyamar! Saya disekap di lemari!”Ega langsung menutup mulutnya dengan dramatis. “Oh em ji! Ini kenapa makin drama sih? Macem sinetron jam sembilan malem!”Arga langsung bergerak cepat. “Ciri-cirinya?” tanyanya pendek.“Cowok. Tinggi. Ada bekas luka kecil di pelipis kanan. Dan dia pakai parfum ... bau banget ... kayak cologne murahan!”Ega menyambar, “Boom! Fix itu Micho! Gue kenal banget sama ‘signature bau colognenya’ ... waktu itu dia sempat nyosor ke gue di dapur, baunya nempel dua hari!”Arga langsung mendengus tak percaya celoteh aneh yang keluar dari bibir Ega. Ia membuka map dan menunjuk ke staf security. “Kunci semua akses keluar ballroom. Suruh tim digital ambil sketsa wajah dari deskripsi. Periksa setiap footage CCTV dari dapur dan lo
Ballroom hotel mewah itu masih berkilau dengan cahaya kristal dan lampu gantung megah, mencerminkan kemewahan malam istimewa mereka. Aura dan Rey berjalan berdampingan, menyapa satu per satu kolega penting, dari mitra bisnis D’Amartha Group hingga pemegang saham Dinata Corp.Aura tersenyum anggun, mengenakan gaun putih dengan detail renda tipis yang menyapu lantai. Rey di sampingnya mengenakan tuxedo hitam, ekspresinya tak pernah lepas dari Aura, seolah ingin mengingat setiap detik malam itu.Lalu terdengar suara yang langsung membuat Aura terbahak pelan.“Aaaurraaaaa! Gue nggak ngerti lagi sama lo. Kenapa lo cantiknya nggak pake logika?”Ega datang dengan gaya flamboyan khasnya, mengenakan jas fuchsia dan celana ketat hitam, diikuti oleh tim dapur Seventy Eight Degrees yang tampil rapi tapi jelas gugup.Aura tertawa dan langsung memeluk Ega. “Kamu beneran datang .…”“Jelas, lah. Gue harus dateng! Ini sejarah! Dari mantan sous chef jadi nyonya konglomerat! Gue bangga sama lo, Sis!” Eg
Di tengah keheningan yang menggantung usai pengumuman Rey dan Aura, Linda perlahan berdiri dari tempat duduknya. Gaun gelapnya yang elegan tampak sedikit bergetar bersama langkahnya yang pelan, seolah menyimpan segudang beban yang akhirnya harus dilepaskan. Sorot matanya menghindar sejenak dari tatapan Rey, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan Aura.“Aura ….” Suara Linda terdengar serak, namun ia berusaha lembut. Ia mencoba tersenyum, meski jelas bibirnya gemetar. “Aku tahu … kamu membenciku. Tapi sungguh, aku tak pernah berniat mengambil yang bukan milikku.”Aura menatapnya dalam diam. Jantungnya berdetak cepat, namun ia memilih untuk mendengarkan.“Aku … aku memang menjalankan Dinata Corp setelah ayahmu tiada. Tapi hanya karena … karena aku tak ingin perusahaan itu jatuh ke tangan orang asing.” Linda menarik napas, mencoba menstabilkan suaranya. “Aku pikir saat kau sudah cukup dewasa, dan mampu berdiri sendiri … aku akan menyerahkan semuanya. Aku … benar-benar menunggu waktu yan
Aura menatap Rey penuh tanya saat mereka duduk berdampingan di sofa, di antara tumpukan katalog gaun pengantin dan brosur tempat pernikahan yang tadi Rey lempar asal-asalan ke meja."Aku mau tanya sesuatu," ucap Aura pelan, menyingkirkan katalog dari pangkuannya.Rey menoleh, menatap istrinya, menunggu pertanyaan keluar dari bibirnya. "Kalau kamu bilang aku harus ambil kembali yang jadi milikku ... berarti kamu juga punya rencana, kan? Soal perusahaan ayahku." Suaranya agak berat. "Soal mama tiriku, Linda."Rey menghela napas dan menyandarkan punggung. Matanya menatap langit-langit sejenak, lalu kembali ke Aura."Aku tahu kamu nggak mau balas dendam, Aura. Tapi ini bukan lagi soal dendam," katanya serius. "Ini soal keadilan. Kamu putri satu-satunya Robin Dinata, dan kamu dibuang seperti orang asing. Linda ngambil semua hakmu, bahkan rumah warisan ayahmu. Dia nggak akan menyerahkannya begitu saja ... kecuali kita mengambilnya dengan paksa, kita buat dia merasa harus."Aura mengerutkan