Anya melirik Valdi yang sedang menunggu dengan tatapan bertanya-tanya. Ia menggigit bibirnya pelan sebelum menjawab. “Tentu, Pa. Aku akan temani Papa.”
Setelah menutup telepon, Anya menatap Valdi dengan ekspresi penuh penyesalan. “Val… Papa tiba di Singapura hari ini. Dia minta aku temani dia.”
Valdi mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya menunjukkan sedikit kekecewaan. “Jadi kamu nggak bisa pulang bareng aku hari ini?”
Anya mendekat, meraih tangan Valdi. “Maaf, Val. Aku nggak mau bikin Papa kecewa. Dia jarang minta hal seperti ini… Aku nggak punya pilihan.”
Valdi menarik Anya ke pelukannya, mencoba menenangkan dirinya dan Anya. “It’s okay. Aku ngerti. Kamu temani Papa, aku pulang duluan. Kita akan ketemu lagi di Jakarta.”
"Aku... aku nggak ngerti apa maksud kamu, Valdi." Anya akhirnya bersuara, raut wajahnya dipenuhi kepanikan yang berusaha ia sembunyikan. "Aku cuma khawatir sama kondisi kamu kalau dirawat di rumah. Kamu masih butuh pengawasan ketat."Valdi mendengus. "Bullshit." Napasnya terdengar berat. "Asal kamu tahu aja, setelah aku tahu apa yang bikin aku koma selama ini, aku nggak akan diem, Anya. Dan kamu tahu itu." Ia menatap Anya tajam, seolah mampu menembus kebenaran yang disembunyikan di balik matanya."Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, Valdi. Kamu pikir aku orang seperti apa? Aku nggak akan sembarangan menangani pasien, apalagi kamu..." Suara Anya bergetar, berusaha meyakinkan, tapi justru terdengar seperti pembelaan diri yang lemah.Valdi memejamkan mata sejenak, berusaha meredam amarah yang membara dalam dirinya. "Sudahlah, Anya. Aku nggak mau denger alasan ini itu dari kamu. Aku capek. Tolong keluar sekarang juga."Anya berdiri terpaku, seolah kakinya
Vina menangkap kebingungan penuh rasa ingin tahu di mata Valdi. Senyum kecilnya menyimpan rahasia, ada kerlip lucu di matanya yang seolah menantang."Your dad told me about you… and I’ve read your story," ujarnya ringan. "Tapi ketemu langsung seperti ini? Kayaknya belum. Why?" Pertanyaan sederhana itu, dilontarkan dengan kepala sedikit dimiringkan, terasa seperti Vina sedang membaca setiap inci rahasia yang tersembunyi dalam diri Valdi.Valdi perlahan melepaskan genggaman tangannya, namun jemarinya sempat menyapu punggung tangan Vina, gerakan yang sarat makna, seolah mencari jejak kehangatan yang baru saja menyelinap."Cuma penasaran aja," bisiknya pelan, nyaris gumaman. "Seems like we already knew each other… for a long time." Tatapannya dalam, intens, namun dibungkus ketenangan yang menggoda.Vina melangkah lebih dekat, keintiman di antara mereka semakin kentara. Jari-jemarinya yang lembut mengusap pipi Valdi. Nada suaran
Beberapa hari berlalu. Siang itu di rumah sakit terasa sunyi, namun udara di sekitar kamar VIP Valdi terasa penuh ketegangan yang tak terlihat. Di dalam, Valdi sedang duduk di ranjangnya, mendengarkan tim dokter dari Singapura yang menjelaskan panjang lebar soal kondisinya. Suara percakapan mereka terdengar formal, cepat, dan penuh istilah sulit yang tak dikenal Valdi—namun ia tetap menyimak dengan serius.Di luar pintu, Mayang berdiri mematung, tubuh mungilnya menempel ke dinding. Ia berjinjit, mengintip dari celah jendela kaca kecil. Tak satu kata pun dari diskusi di dalam yang bisa ia pahami. Tapi melihat raut wajah dokter dan Valdi yang tidak terlihat panik, setidaknya sedikit menenangkan hatinya. Ia menggenggam erat nampan berisi makan siang Valdi yang mulai dingin.Namun tiba-tiba, di ujung koridor yang sepi, terdengar derap langkah pelan dan suara
Suara napas Anya terdengar pelan tapi berat. Di antara ketegangan yang menggantung di udara kamar, ia mencoba merespons dengan nada yang terdengar terkendali. "Val… kamu salah paham. Aku sama Evan itu cuma rekan kerja."Celine langsung memotong dengan cepat. "Rekan kerja? Bukannya loe berdua udah kenal dari kuliah?"Anya menoleh tajam ke arah Celine. Nada suaranya naik sedikit, matanya menyipit. "Apa sih, Cel? Loe tuh ada masalah apa sih dari dulu sama gue?!"Lalu ia kembali menatap Valdi, mencoba mengembalikan fokus. "Val, kita emang udah kenal lama dari kuliah, iya. Tapi hubungan kita nggak seperti yang kamu pikirin. Aku nggak mau kamu salah paham dalam kondisi kayak gini."Valdi menatapnya. Sorot matanya tak lagi meledak-ledak. Tidak ada amarah, tidak juga kese
Kamar itu kembali sunyi, keheningan tebal menyelimuti udara setelah panggilan singkat dari sang ayah terputus. Valdi memandangi ponsel yang kini mati di tangannya, layarnya yang gelap memantulkan bayangan wajahnya yang kosong, hampa.Di sisi ranjang, Celine duduk dengan tenang. Matanya yang tajam namun penuh kepedulian mengamati ekspresi Valdi yang membeku, terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri. Perlahan, dengan gerakan lembut, ia menyentuh pergelangan tangan Valdi, kehadirannya yang hangat mencoba menarik pria itu kembali ke realitas yang saat ini ia tinggali.“Val…” suaranya pelan namun mantap, seolah mengucapkan mantra penenang. “…udah, jangan terlalu dipikirin dulu. Yang penting sekarang loe sembuh. Bisa jalan lagi. Bisa ngelakuin apa pun yang loe mau.” Itu adalah kata-kata penyemangat klise, namun diucapkan d
Siang itu, udara dalam kamar terasa lebih lengang dari biasanya. Sunyi, hanya dipecah oleh desah napas Valdi yang tertahan dan suara lembut pendingin ruangan. Valdi terbaring sendirian di ranjang, memandangi langit-langit putih yang seperti terus mengejeknya dalam kesunyian yang dipaksakan. Ia baru saja menyelesaikan sesi fisioterapi singkat – singkat karena keterbatasan fisiknya, tapi melelahkan luar biasa.Mayang, sosok yang beberapa hari terakhir menjadi sandaran fisik dan emosionalnya, belum kembali. Tadi ia pamit untuk makan siang, namun sudah hampir satu jam berlalu. Kursi di sebelah ranjang Valdi masih kosong, penanda fisik akan ketiadaan yang dirasakannya begitu dalam.Lalu, ketukan pintu terdengar. Ringan, santai, tidak seperti ketukan terburu-buru khas suster atau staf rumah sakit. Ketukan itu punya ritme yang familiar, mengingatkan Valdi