Kamar itu kembali sunyi, keheningan tebal menyelimuti udara setelah panggilan singkat dari sang ayah terputus. Valdi memandangi ponsel yang kini mati di tangannya, layarnya yang gelap memantulkan bayangan wajahnya yang kosong, hampa.
Di sisi ranjang, Celine duduk dengan tenang. Matanya yang tajam namun penuh kepedulian mengamati ekspresi Valdi yang membeku, terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri. Perlahan, dengan gerakan lembut, ia menyentuh pergelangan tangan Valdi, kehadirannya yang hangat mencoba menarik pria itu kembali ke realitas yang saat ini ia tinggali.
“Val…” suaranya pelan namun mantap, seolah mengucapkan mantra penenang. “…udah, jangan terlalu dipikirin dulu. Yang penting sekarang loe sembuh. Bisa jalan lagi. Bisa ngelakuin apa pun yang loe mau.” Itu adalah kata-kata penyemangat klise, namun diucapkan d
Tanpa menunggu jawaban, Valdi menindihnya, tubuhnya yang kekar membelenggu Vina, membuatnya terperangkap dalam pelukannya. Vina merasakan sentuhan panas dan kuatnya kejantanan Valdi yang besar dan keras menekan perut bawahnya, sebuah janji surgawi yang menggetarkan, mengirimkan gelombang kenikmatan lain yang menjalar. Valdi menatapnya lagi, matanya yang abu-abu seperti pusaran badai, penuh dengan hasrat yang mendalam, hasrat yang seakan menelan Vina sepenuhnya ke dalam inti gairahnya.“Siap untuk yang terakhir, Sayang?” bisik Valdi, namun ada nada ejekan samar yang terselip di sana, seperti peringatan yang diabaikan dalam badai hasrat. Vina terlalu jauh tenggelam untuk peduli.Tanpa menunggu jawaban, Valdi menyesuaikan diri. Dengan satu dorongan kuat, ia menyatukan diri dengan Vina.Vina menjerit. Sebuah
Pernyataan Valdi menusuknya. Dia memang menginginkan Valdi. Itu adalah kebenaran yang paling mengerikan dan paling membebaskan baginya. Kebenaran yang dia coba sembunyikan dari dirinya sendiri, tapi setiap kali Valdi menyentuhnya, kebenaran itu berteriak dengan nyaring. Vina menatap mata Valdi, mata yang kini tidak lagi memancarkan gairah membara, melainkan sebuah pengertian yang menakutkan, seolah Valdi bisa melihat langsung ke dalam jiwanya yang compang-camping.“Aku… aku tidak bisa terus begini, Valdi,” Vina berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. “Ini adalah siksaan. I Love you honey, Tapi ini… ini salah. Ini dosa. Kamu… kamu keponakanku.” Rasa mual menusuk perutnya saat kata ‘keponakan’ itu keluar dari bibirnya. Fakta DNA itu adalah racun yang merayap di setiap sendi hidupnya, menggerogoti akal sehatnya, tapi juga menjadi rantai tak kasat mata
"Achhh… Valdi… please..." desahnya, suaranya bercampur napas terengah-engah yang memburu. Matanya terpejam erat, kepalanya mendongak, merasakan setiap gerakan pinggul Valdi yang mendorongnya ke atas dan ke bawah, menghantam titik yang tepat di dalam dirinya, titik yang membuat kakinya kejang dan pinggulnya melengkung secara otomatis, menggesekkan dirinya semakin dalam pada kejantanan Valdi, mencari gesekan yang lebih panas, lebih intens. Remasan Valdi di buah dadanya yang membusung, tarikan lembut pada titik sensitifnya, mengirimkan gelombang ke seluruh tubuhnya, membuatnya menggeliat tak terkendali, menjeritkan nama pria itu dalam diam, dalam setiap denyutan yang membanjiri dirinya.“
Pagi itu, Vina perlahan mengerjapkan mata, kelopak beratnya terasa lengket, sulit untuk terbuka sepenuhnya. Sinar matahari pagi yang keemasan menyelinap dari celah tirai tebal, melukis garis cahaya di lantai marmer yang dingin, mencoba mengusir kegelapan dari sudut-sudut kamar yang masih remang. Namun, kamar itu sendiri masih diselimuti aroma pekat yang tak bisa disembunyikan: aroma tubuh Valdi yang maskulin, bercampur dengan wangi gairah dan desah napas memburu yang semalam memabukkan. Semuanya masih begitu nyata, begitu kuat, menusuk indra Vina hingga ke ulu hati, menjeratnya dalam kenyataan yang pahit.Dia merasakan lengannya sendiri melingkar erat di pinggang telanjang Valdi, jemarinya menekan kulit punggung pria itu yang kokoh dan hangat. Tubuhnya menempel rapat, setiap lekuknya menyatu sempurna dengan lekuk punggung Valdi, seolah diciptakan untuk saling melengkapi. Kehangatan Valdi memancar, membalut
Bibir Valdi bergerak, membelai lembut bibir Vina, sebelum menyapu leher jenjangnya, turun ke bahu, mengecup setiap tetes embun yang menempel di kulit, seolah ingin menjilat habis setiap inchi dirinya. Tubuh Vina menggeliat, lengannya melingkar erat di leher Valdi, menariknya lebih dekat lagi. Rasa panas menjalar, dari ujung jari kaki hingga ke ubun-ubun, membakar saraf-sarafnya. Desahan lepas dari bibir Vina, mengiringi sentuhan Valdi yang semakin berani, semakin dalam. Jemari Valdi yang kuat menelusuri lekuk pinggangnya, mendekapnya erat, membiarkan kehangatan tubuh mereka saling mengisi, saling melumat. Ia merasakan betapa keras dan padatnya otot-otot di balik sentuhan Valdi, gairah yang terpancar dari setiap pori-pori pria itu seolah menular, menghipnotisnya.Malam ini, semua batasan seolah runtuh. Mereka berdua hanyut dalam samudra hasrat yang dalam, di mana logika dan akal sehat tenggelam, digantikan
Vina mendesah pelan dalam ciuman itu, desahan yang sarat gairah dan tabu yang memabukkan, sebuah melodi liat dari jiwa yang memberontak. Tangannya melingkari leher Valdi, menariknya lebih dalam, seolah ingin sepenuhnya menenggelamkan diri dalam samudra gelap pria itu. Pikiran tentang Maximilian, tentang status mereka sebagai ibu tiri dan anak tiri, semuanya tenggelam di bawah gelombang sensasi yang membanjiri dirinya. Ini salah, ia tahu. Ini gila. Tapi Valdi adalah racun memabukkan yang selalu ia inginkan, obat bius yang membuatnya lupa pada dunia. Ia merasakan tangan Valdi turun, meremas bokongnya posesif, jari-jarinya menekan kulitnya yang lembut, dan sebuah desahan pasrah lolos dari bibirnya, menyerah sepenuhnya pada dominasi yang disuguhkan.Valdi melepaskan satu tangannya dari tengkuk Vina, matanya yang gelap berkilat tajam seperti predator. Tangannya yang lain masih memeluk pinggang Vina erat, menaha