DRRRTTT! DRRRTTT!
Dering ponsel yang keras dan berulang dari nakas di samping ranjang itu seketika merobek gelembung intim yang baru saja membungkus Valdi dan Mayang. Valdi tersentak, tubuhnya kaku mendadak. Mayang membeku di pelukannya, desahannya yang murni terhenti di tenggorokan, mata polosnya mengerjap-ngerjap kaget oleh suara mendadak itu.
Wajah Valdi seketika berubah masam, rahangnya mengeras menahan kekesalan yang membuncah. Betapa bodohnya ia membiarkan ponsel itu di sana. Tapi Mayang, dengan polosnya yang tak terusik oleh emosi kusut Valdi, justru terkikik geli melihat ekspresi Valdi yang tiba-tiba seperti anak kecil direbut permen.
"Om, angkat dulu aja," ucap Mayang lembut, suaranya sedikit serak oleh sensasi yang masih tersisa, "Takutnya penting, hihihi." Dia berusaha terlihat tenang, meski tubuhnya masi
Mayang kembali dari kamar mandi, jemarinya masih terasa sejuk dan basah bekas mencuci tangan. Lana, dengan pipi memerah padam dan napas sedikit tak beraturan, meraih tangan Mayang yang dingin. Jeda singkat, mata Lana tanpa sengaja bertemu pandang dengan mata Vald, lalu tangannya yang gemetar lembut menuntun tangan Mayang, membawanya kembali ke posisi yang entah kenapa terasa begitu akrab bagi gadis polos itu. Jemari Mayang kini kembali menggenggam ‘milik’ Valdi yang sekali lagi mengeras."Begini, Mayang," bisik Lana, suaranya sedikit serak dan bergetar, kontras dengan ketenangan yang dia coba tampilkan, "pegangnya yang mantap. Nggak usah takut."Mayang mengangguk patuh, matanya yang bening dan polos hanya fokus pada genggamannya. Dia mulai menggerakkan tangannya, mengikuti instruksi Lana, lalu tanpa sadar kembali ke ritme yang dia pelajari sendiri. Sensasi itu kembali datang; kehangatan yang merambat, kekerasan yang berdenyut kuat, dan getaran halus yang terasa begitu peka di ujung j
Klik.Suara tuas pintu berputar itu bagai sambaran petir di tengah keheningan yang sarat gairah. Detik itu juga, naluri Lana memekik, tangannya yang tadinya mencengkeram hangat kejantanan Valdi di balik handuk langsung bergerak menarik diri, seperti tersengat listrik.Tapi... sebelum tangannya benar-benar lepas, sebuah genggaman kuat namun terkendali menahannya. Tangan Valdi yang kokoh mencengkram pergelangan tangannya. Seketika, kegundahan Lana bukan hanya memuncak, tapi meledak dalam diam. Bagaimana ini? Siapa yang datang? Dan Valdi... kenapa dia menahan tangannya?"Pak Valdi..." bisik Lana, matanya membelalak lebar ke arah Valdi, campuran panik dan pertanyaan yang membisu. Anehnya, meskipun ketakutan mencengkeramnya, kilasan senyum nakal dari kejadian sebelumnya masih sedikit tertinggal di sudut bibirnya yang sedikit membengkak karena napas memburu. Ada sensasi berbahaya yang entah kenapa... dia nikmati.Valdi tidak berkata apa-apa. Tatapannya, yang se
Perlahan, isak tangis Mayang yang lirih mulai menarik Valdi lebih dalam ke alam nyata."Om... kenapa...?" tanya Mayang, suaranya bergetar.Valdi meraih wajah Mayang, ibu jarinya dengan lembut menghapus jejak air mata di pipi mulusnya. Ia berusaha tersenyum, senyum yang terasa kaku di wajahnya, sedikit keringat dingin masih terasa di pelipisnya."Mayang... Om gapapa... cuma sedikit pusing..." ucapnya, suaranya terdengar parau.Mayang perlahan berhenti terisak, sorot matanya masih penuh kekhawatiran."Beneran om Valdi gapapa?"Valdi mengangguk, senyumnya sedikit lebih kuat. "Beneran gapapa, sayang."Mayang bernapas lega
DRRRTTT! DRRRTTT!Dering ponsel yang keras dan berulang dari nakas di samping ranjang itu seketika merobek gelembung intim yang baru saja membungkus Valdi dan Mayang. Valdi tersentak, tubuhnya kaku mendadak. Mayang membeku di pelukannya, desahannya yang murni terhenti di tenggorokan, mata polosnya mengerjap-ngerjap kaget oleh suara mendadak itu.Wajah Valdi seketika berubah masam, rahangnya mengeras menahan kekesalan yang membuncah. Betapa bodohnya ia membiarkan ponsel itu di sana. Tapi Mayang, dengan polosnya yang tak terusik oleh emosi kusut Valdi, justru terkikik geli melihat ekspresi Valdi yang tiba-tiba seperti anak kecil direbut permen."Om, angkat dulu aja," ucap Mayang lembut, suaranya sedikit serak oleh sensasi yang masih tersisa, "Takutnya penting, hihihi." Dia berusaha terlihat tenang, meski tubuhnya masi
Di tengah kepanikan sesaat itu, pandangan Mayang justru tertuju pada wajah Valdi. Wajah yang kini tampak jauh lebih tenang, napasnya masih memburu namun ada semacam kelegaan. Melihat itu, entah bagaimana, rasa cemas Mayang perlahan sirna, terganti oleh perasaan aneh... ya, ada semacam kepuasan yang ikut merayap di dadanya. Dia berhasil membuat Valdi merasa lebih baik. Dia berhasil! Rasa bangga, sekali lagi, menyusup ke dalam hatinya.Lalu, perhatiannya kembali pada sensasi hangat dan kental di mulutnya. Cairan ini... cukup banyak. Apa yang harus dia lakukan? Pemikiran yang sederhana adalah... membuangnya? Tapi di mana? Dia tidak mau mengotori Valdi dia juga tidak mau mengotori seprai putih bersih yang baru diganti semalam.Tanpa sadar, lidahnya sedikit mengecap cairan itu. Oh. Rasanya... aneh. Agak asin, hangat, dan... ternyata tidak begitu buruk seperti yang d
Ketika Mayang menutup matanya dan menenggelamkan wajahnya di bantal, dunia seakan berhenti berputar baginya. Jantungnya masih berdegup kencang, serasa ingin melompat keluar dari rongga dada. Malu. Rasa panas menjalar dari pipi hingga ke seluruh tubuhnya. Ia benar-benar tidak berani menatap lagi ke arah Valdi setelah melontarkan pengakuan paling jujur dan paling memalukan seumur hidupnya.Malu, ya Tuhan, ia sangat malu. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana raut wajah Valdi setelah mendengar pengakuannya tadi. Apa Valdi akan menolaknya? Menertawakannya? Atau malah...Pikiran Mayang terhenti ketika ia merasakan gerakan lain. Perlahan, sebuah kehangatan lembut menyelimuti mereka. Selimut. Valdi menarik selimut untuk menutupi mereka berdua. Cahaya di kamar terasa semakin pudar, meredup, menciptakan suasana yang intim dan... entah kenapa, terasa sakral bagin