“Oke,” desis Wahyu, suaranya penuh dendam membara.
Bahlil menyeringai lebar. “Itu baru Wahyu yang gue kenal.”
Di bawah meja makan yang mewah, Farah sudah tenggelam dalam dunianya sendiri. Kegelapan dan kehangatan kain tebal itu seperti menyelimutinya, menciptakan ruang privat yang terisolasi dari keramaian restoran elit di puncak kota. Aroma wine dan hidangan lezat bercampur dengan wangi maskulin Valdi, membuatnya semakin mabuk kepayang.Jari-jemari lentiknya menyusuri permukaan keras itu, merasakan setiap urat yang menonjol, setiap denyutan kecil yang menjalar. Nafas Farah memburu, detak jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena sensasi adrenalin dan gairah yang membakar. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lakukan, apalagi di tempat umum seperti ini.Perlahan, Farah menunduk. Bibirnya yang basah dan sedikit bengkak karena ciuman Valdi, kini mendekat ke kepala kejantanan Valdi. Udara hangat menerpa kulit ujungnya, membuat
Lengan Valdi tetap melingkar erat di pinggang Farah saat mereka melangkah masuk. Restoran itu dipenuhi bisikan-bisikan lembut dan denting elegan dari peralatan makan. Aroma masakan mediterania bercampur dengan wangi bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Lampu gantung kristal memancarkan cahaya keemasan yang menenangkan, namun Farah merasa jantungnya berdebar tak karuan. Setiap langkah terasa berat, ia memaksa dirinya untuk tetap tegak, berusaha menyembunyikan getaran di lututnya.Tiba-tiba, sebuah pikiran menerjangnya, membuat pori-porinya meremang. Ia tidak memakai apa pun di balik minidress santainya. Tidak ada bra, tidak ada celana dalam. Selama ini, ia terlalu tenggelam dalam sensasi Valdi di mobil, lalu buru-buru memakai pakaian lagi tanpa mempedulikan isinya. Sekarang, di tengah keramaian ini, ia merasa telanjan
Farah menatap Valdi, matanya sedikit membelalak. Ia tahu apa yang Valdi maksud. Pria itu menyeringai, senyum kecilnya terlihat begitu menggoda sekaligus menuntut. Tubuh Farah sudah basah kuyup oleh keringat dan cairan mereka, namun jantungnya berdebar bukan karena kelelahan, melainkan antisipasi mendebarkan.Dengan gerakan halus namun pasti, Valdi menarik salah satu kaki Farah lebih tinggi, hingga lututnya hampir menyentuh dada. Tubuh Farah kini teregang sepenuhnya, bagian belakangnya terangkat dan terbuka lebar, mengundang. Valdi berlutut di antara kedua kaki Farah, tangannya bergerak cepat meraih tas kecil di sampingnya. Dari sana, ia mengeluarkan sebotol kecil gel pelumas transparan dan mengoleskannya ke seluruh kejantanannya yang masih berdiri kokoh dan memerah, serta ke ujung jari telunjuknya.Farah menatap Valdi dengan napas tertahan. Ada sesuatu di tatapan pria itu yang membuatnya merinding, perpaduan antara gairah buas dan senyum kemenangan. Ia tahu, Valdi akan melakukan sesua
“Ah… Tuan…” gumam Farah, suaranya tercekat. Ia ingin lebih, seluruh tubuhnya meronta meminta sentuhan Valdi yang lebih dalam. Mata mereka bertemu. Mata Valdi memancarkan hasrat yang membara, memenjarakan Farah dalam tatapannya. Tanpa ragu, Valdi menundukkan kepalanya, mencium bibir Farah.Ciuman itu dimulai lembut, perlahan, memabukkan. Valdi menyesap bibir bawah Farah, mengulumnya, lalu lidahnya mulai menjelajahi setiap sudut rongga mulut Farah. Lidah mereka menari, beradu, menciptakan suara kecapan basah yang memanaskan suasana. Farah merespons dengan tak kalah liarnya. Tangannya naik, mencengkeram erat rambut belakang Valdi, menariknya mendekat, seolah ingin menyatu dengan pria itu.Sementara bibir mereka beradu dalam tarian gila, tangan Valdi tak tinggal diam. Jari-jarinya yang tadi bermain di biji Farah kini bergerak lebih berani. Ia menyelipkan satu jari, lalu dua jari, masuk ke dalam gua Farah yang sudah basah kuyup dan hangat. Farah terkesiap, lenguhan keras lolos dari bibirny
Pintu Alphard yang lapang itu tertutup pelan di belakang mereka, meredam hiruk pikuk jalanan ibu kota. Valdi menuntun Farah masuk, mendudukkannya di kursi belakang yang empuk, kemudian ikut bergabung di sebelahnya. Farah masih gemetar, pelukannya di pinggang Valdi belum lepas. Air mata mengalir deras dari matanya, membasahi kemeja pria itu. Bukan hanya air mata kesedihan, tapi juga kemarahan, kekesalan, dan rasa jijik yang campur aduk terhadap Wahyu. Ia benci pada suaminya itu, benci pada Udin Gondrong, dan benci pada seluruh situasi yang membuat harga dirinya diinjak-injak seperti barang murahan. Valdi membiarkan Farah menangis sebentar di bahunya, tangannya mengusap lembut punggung wanita itu, sesekali meremas sensual lekuk pinggangnya. Aroma kulit mewah di interior mobil bercampur wangi parfum Valdi yang maskulin, entah kenapa, semakin menenangkan sekaligus menggelorakan isi hati Farah. “Dia… dia jahat, Tuan… saya benci dia!” bisik Farah di antara isak tangisnya. Suaranya serak,
Wahyu mendongak, matanya yang kabur berusaha mengenali sosok itu. Perlahan, siluet itu melangkah maju, menembus cahaya remang, dan wajah Valdi pun terlihat jelas. Senyum tipis, menyebalkan, terukir di bibirnya. Auranya begitu kuat, memenuhi setiap sudut ruangan, membuat udara terasa lebih berat. Udin Gondrong yang barusan garang, mendadak berubah. Tubuhnya membungkuk hormat, senyumnya langsung mengembang, nyaris menjilat.