Namun, puncak itu, rasanya begitu hampa. Ada sebuah kekosongan yang menganga di dalam dirinya, sebuah lubang yang ia tahu hanya kejantanan Valdi yang luar biasa besar dan panjang itu yang bisa mengisinya, mengisi setiap sudut dirinya hingga tak tersisa ruang untuk apa pun selain dirinya. Itu adalah kehampaan yang tak bisa diisi oleh jari-jarinya sendiri, tak bisa diredakan oleh imajinasinya yang paling liar sekalipun. Ia menginginkan Valdi, seluruh Valdi, di sini, sekarang, menjatuhkan dirinya ke jurang kenikmatan yang hanya Valdi yang bisa memberikannya.
Pada hari keempat, Celine tidak sanggup lagi menahannya. Rasa rindu yang menyiksa, yang bercampur dengan kebutuhan yang mendesak, membuatnya nyaris gila. Ia harus menemukannya. Ia meraih ponselnya, jarinya gemetar saat mencari kontak Valdi. Jempolnya melayang di atas nama Valdi, ragu-ragu sesaat, sebelum tekadnya mengeras.
Keesokan harinya, Valdi tidak menghubungi Vina. Ia juga tidak menghubungi Intan. Ia membiarkan mereka berdua terlarut dalam neraka pribadi mereka, membiarkan racun dari pengakuan semalam bekerja, meresap ke dalam setiap pori-pori jiwa mereka. Ia tahu, dalam kekacauan emosional, seorang wanita akan mencari pegangan. Dan ia telah memposisikan dirinya sebagai satu-satunya pegangan yang tersedia.Benar saja, sore harinya, sebuah mobil sedan mewah berhenti di depan gerbang kediaman Wirasatya. Vina melangkah keluar, wajahnya pucat dan matanya bengkak, namun ia mengenakan gaun terbaiknya, sebuah baju zirah keanggunan untuk menutupi kerapuhannya.Valdi menemuinya di ruang kerja, tempat yang telah menjadi saksi bisu dari banyak dosa mereka.“Bagaimana keadaan Intan?” tanya Valdi, suaranya penuh dengan “kepe
Malam itu, Valdi tiba di lobi apartemen Intan yang mewah dan minimalis. Ia tidak datang dengan tangan kosong. Di satu tangan, ia membawa koper Intan. Di tangan lainnya, ia membawa sebotol wine Perancis edisi terbatas yang harganya bisa membeli sebuah mobil.Intan membuka pintu, ia tampak terkejut (atau pura-pura terkejut) melihat Valdi di sana. Ia mengenakan gaun rumah satin sederhana yang justru menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. “Mas Valdi? Kukira akan menyuruh sopir,” sapanya, suaranya terdengar manis.“Untuk wanita sepertimu, aku lebih suka mengantar sendiri,” balas Valdi, melangkah masuk melewati Intan, membawa serta aura dominasi dan aroma parfum mahalnya ke dalam apartemen yang terasa begitu personal.Namun, Intan tidak menyambutnya lebih jauh. Ia hanya berdiri di ambang pintu, t
Keesokan harinya, Valdi terbangun dengan kejantanan yang mengeras luar biasa, sisa-sisa gairah dari malam sebelumnya masih membakar setiap sel di tubuhnya. Napsunya memburu, menuntut pelepasan yang tak kunjung ia dapatkan. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya, namun yang ia temukan hanyalah sprei sutra yang dingin dan kosong. Intan tak ada. Dia telah pergi.Valdi menggeram frustasi. Ia meraih ponselnya di nakas dan melihat ada pesan baru. Dari Intan.“Aku pergi dulu, ada meeting pagi. Terima kasih untuk malam yang… menarik.”Di bawahnya, ada pesan kedua yang masuk beberapa menit kemudian.“Kalau Mas berkenan, nanti malam tolong antarkan koperku ke apartemen. Sepertinya aku tidak sengaja meninggalkannya di mobilmu.”
Napas Intan tercekat. Ciuman Valdi, yang tadinya lembut menjajaki bibirnya, kini berubah menjadi badai yang melumat, menghisap setiap oksigen dari paru-parunya. Ia meraih wajah pria itu, jemarinya yang lentik mencengkeram rambut tebal Valdi, menariknya semakin dekat, seolah ingin menyatukan mereka menjadi satu. Semua keraguan, semua permainan catur psikologis yang selama ini mereka mainkan, kini lenyap ditelan gelombang gairah murni yang membakar, melenyapkan akal sehat. Ia membalas setiap lumatan Valdi dengan kerakusan yang sama, lidah mereka bertaut dalam tarian panas yang basah dan menuntut, saling menjajah, saling mengklaim. Erangan pelan keluar dari bibirnya, bukan penolakan, melainkan undangan.Valdi menggeram puas, merasakan dominasinya. Ia merasakan penyerahan diri total dalam ciuman Intan. Dengan gerakan cepat namun tetap sensual, ia menarik blus sutra Intan ke atas, melepaskannya dari tubuh wanit
Satu jam kemudian, tim audit tiba. Namun, saat mereka masuk ke ruang rapat, Valdi merasakan gelombang kekecewaan yang dingin menghantamnya. Intan tidak ada di antara mereka.“Di mana Intan?” tanya Valdi langsung pada ketua tim, nadanya tidak menyembunyikan kekesalannya.“Maaf, Pak Valdi,” jawab pria itu gugup. “Nona Intan sedang mengurus audit darurat di perusahaan klien kami di Singapura. Beliau baru akan kembali ke Indonesia sore ini.”Valdi menatap pria itu dengan tatapan dingin yang membuat seisi ruangan merinding. “Jadwal penerbangannya?” tanyanya.Ketua tim itu, dengan tangan gemetar, segera memberikan detail penerbangan Intan. Valdi mendengarkan, mencatatnya dalam benak. “Kalian boleh pergi,” usirnya, mem
Keesokan harinya, Valdi datang lebih pagi ke kantor, bahkan sebelum matahari sepenuhnya menampakkan diri. Ada energi gelisah yang membakar di dalam dirinya. Ia bukan datang untuk bekerja. Ia datang untuk menunggu. Ia duduk di singgasananya di ruang kerja yang luas, matanya terpaku pada pintu masuk lobi melalui layar CCTV, menantikan satu siluet yang telah meracuni pikirannya: Intan.Namun, jam demi jam berlalu, Intan tak kunjung datang. Matahari naik semakin tinggi, lalu mulai condong ke barat. Valdi semakin kalut. Setiap derit pintu lift, setiap langkah kaki di koridor, membuatnya menoleh penuh harap, hanya untuk dikecewakan.Debby, sekretarisnya yang sensual, mencoba segala cara untuk menarik perhatiannya. Ia masuk membawakan kopi dengan rok yang terasa lebih pendek dari kemarin, membungkuk lebih rendah dari seharusnya, membiarkan Valdi melihat belahan payuda