MasukPagi itu udara masih lembap sisa hujan semalam. Raga menyapu halaman kos dengan gerakan teratur, daun-daun basah menempel di ujung sapu lidi. Area parkiran motor sudah mulai terisi, sebagian penghuni kos bersiap kuliah.
Suara langkah pelan terdengar menuruni tangga. Raga menoleh dan mendapati Wulan muncul dengan kaos santai dan celana pendek, rambutnya diikat asal. Matanya yang masih segar langsung menangkap sosok Raga di halaman. “Pagi, Mas Raga.” “Pagi, Wulan. Mau ke mana pagi-pagi gini?” “Aku mau beli sarapan di warung depan.” Wulan tersenyum sambil menuruni anak tangga terakhir. “Kamu rajin banget, tiap pagi pasti nyapu.” Raga kembali menggerakkan sapunya, mencoba bersikap biasa. “Udah tugasnya jaga kos, kan. Kalau bukan aku yang bersihin, siapa lagi.” Wulan mendekat, berdiri di tepi halaman sambil memeluk lengannya. “Aku masih inget loh, hutang budi kamu semalam.” Raga langsung berhenti menyapu, menatapnya canggung. “Wulan, soal semalam itu…” Wulan menaikkan alisnya, senyum tipis terbit di wajahnya. “Tenang aja, aku nggak bakal cerita ke siapa-siapa. Tapi jangan pura-pura lupa juga, Mas.” “Lupa gimana? Aku cuma… kebetulan lewat aja di depan kamar Maudy.” Wulan terkekeh pelan. “Kebetulan yang aneh. Kamu berdiri di depan pintunya, terus diem aja. Aku nggak bego, Mas.” Raga menunduk, tak sanggup membantah. Perkataan Wulan lebih tajam daripada sapu lidi yang digenggamnya. Dalam hati ia sadar, rahasia semalam benar-benar membuatnya terikat pada gadis itu. Wulan melangkah keluar pagar, menoleh sekilas dengan senyum penuh arti. “Jangan lupa, aku bisa pakai hutang itu kapan aja.” Raga terdiam di halaman, sapu masih terpegang, tapi pikirannya melayang jauh lebih berat dari pekerjaan paginya. Wulan sudah menghilang di tikungan jalan, menyisakan Raga sendiri di halaman kos. Ia baru saja hendak melanjutkan menyapu ketika suara sandal berdecit terdengar dari arah pagar. Seorang wanita dengan daster ketat khasnya masuk dengan senyum lebar. Tante Maya melangkah santai, dasternya menempel erat di tubuh padatnya yang berayun alami setiap kali ia berjalan. Pagi itu, seperti biasa, ia tidak repot mengenakan bra. Raga buru-buru menunduk, menahan tatapannya agar tak terlalu lama singgah. “Eh, Raga. Seneng liat kamu pagi-pagi udah rajin.” “Pagi, Tante Maya.” “Untung ada kamu yang jaga kos, anak-anak jadi nyaman.” Tante Maya merogoh tas kecilnya, lalu mengeluarkan kunci yang digantung dengan gantungan boneka kecil. Ia menyerahkannya langsung pada Raga dengan senyum penuh arti. “Oh ya, ini ada titipan dari Maudy. Katanya tadi pagi-pagi sebelum ke kampus, dia minta kamarnya dibersihin.” Raga sempat terkejut. “Maudy yang minta, Tante?” “Iya. Katanya udah hampir sebulan kamarnya nggak dirapiin. Sprei sama sarung bantalnya sekalian diganti, yang lama kamu cuci. Dia nitip kunci ini ke Tante.” Raga menerima kunci itu dengan raut bingung. Membersihkan kamar kos memang pekerjaannya, tapi baru kali ini Maudy sendiri yang meminta. Ada sesuatu dalam permintaan itu yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkan kejadian semalam. “Baik, Tante. Nanti saya kerjakan setelah nyapu halaman.” “Bagus. Tante percaya sama kamu. Jangan ada yang kelewat, ya.” Tante Maya menepuk bahu Raga sebelum melangkah masuk ke ruang tamu kos. Raga menatap kunci kamar Maudy di tangannya, merasakan pagi itu berubah jadi lebih berat dari sekadar pekerjaan biasa. Raga melanjutkan pekerjaannya di halaman bawah. Sapu lidi kembali bergerak, menyingkirkan sisa daun yang jatuh dari pohon mangga di depan kos. Sesekali, ia menyapa penghuni yang berangkat dengan rutinitasnya masing-masing. Rahma keluar dengan kemeja rapi dan tas kerja di bahu. Wajahnya segar meski tampak terburu-buru menuju kantor. Raga mengangguk ramah, lalu menyambut sapaan singkatnya. “Pagi, Mas Raga.” “Pagi, Mbak Rahma. Hati-hati di jalan.” “Seperti biasa ya, kamu paling rajin di sini.” Rahma tersenyum sebelum berlalu menuju parkiran. Tak lama, Imas muncul dari arah jalan. Rambutnya sedikit berantakan, riasan wajahnya tipis menandakan lelah setelah semalaman bekerja di karaoke. Ia berjalan lambat sambil menyeret sandal. “Mas Raga, masih pagi udah kerja aja.” Raga menoleh, lalu tersenyum kecil. “Namanya juga jaga kos, Imas. Kamu baru pulang kerja, ya?” “Iya. Capek banget, tapi mau gimana lagi. Aku langsung ke kamar, ya.” Imas hanya melambaikan tangan sebelum menaiki tangga dengan langkah berat. Setelah halaman bersih, Raga menepuk-nepuk tangannya dan menatap kunci di saku celana. Saatnya mengerjakan titipan Maudy. Ia pun melangkah naik ke lantai dua, menuju pintu kamar yang sejak semalam masih menyinggung pikirannya. Kunci itu berputar dengan bunyi klik. Saat pintu sedikit terbuka, suara langkah ringan terdengar mendekat. Wulan baru pulang sarapan dari luar, membawa plastik berisi kotak nasi. “Mas Raga?” Wulan menatap curiga. “Mau ngapain di kamar Maudy?” Raga menoleh cepat, merasa tak nyaman seolah ketahuan sesuatu. “Ini titipan Tante Maya. Katanya Maudy minta kamarnya dibersihin, udah sebulan nggak dirapiin.” Wulan mendekat, senyumnya tipis penuh arti. “Oh gitu… hati-hati ya, Mas. Katanya di dalam kamar itu suka ada yang ngagetin.” Raga terdiam sesaat, menatap wajah Wulan yang menyimpan nada misterius. Lalu ia melangkah masuk, membawa sapu dan kain pel, sementara perasaan tak enak mulai merambati dadanya. Raga akhirnya menutup pintu kamar Maudy dari dalam, mulai sibuk dengan pekerjaannya. Lorong lantai dua kembali sunyi, hanya suara sapu dan ember pel yang terdengar samar. Dari kejauhan, langkah Wulan pelan kembali ke kamarnya. Begitu pintu kamarnya tertutup, Wulan meletakkan plastik sarapannya di meja. Ia bersandar di dinding, membiarkan senyum kecil mengembang di wajahnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berkilat, bukan sekadar iseng. Wulan menatap langit-langit, jemarinya memainkan ujung rambut. Bibirnya bergumam pelan seolah menyimpan rahasia yang hanya ia nikmati sendiri. “Raga… jadi pengen tau rasanya gimana…”Pagi itu udara masih sejuk. Matahari belum terlalu tinggi, dan halaman kos baru saja selesai disapu. Raga menyandarkan sapu di pojok teras, lalu masuk ke dapur untuk membereskan gelas dan lap meja. Hari itu dia berencana balik ke rumah Tante Maya dulu, karena perlu mandi dan ambil pakaian bersih. Ketika Raga baru saja menutup lemari piring, suara langkah dari tangga terdengar pelan. Rani turun sambil merapikan rambutnya yang masih sedikit kusut. Rani berkata pelan, “Pagi, Mas Raga.” Raga menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi juga.” Rani berjalan mendekat sedikit. “Abis beberes ya?” Raga mengangguk sambil mengambil sandal. “Iya. Mau balik sebentar ke rumah Tante Maya. Kamu mau kemana?” Rani menjawab santai, “Mau beli sarapan di luar.” Raga membuka pintu belakang rumah kos dan berjalan bersamaan dengan Rani sampai halaman depan. “Emang hari ini gak kuliah?" Rani menggeleng pelan. “Belum. Kuliah baru mulai besok. Hari ini masih libur.” Raga mengangguk paham. Beberapa detik
Malam itu kosan sunyi. Lampu lorong redup, cuma cukup buat lihat jalan. Raga selesai beberes area luar dan dapur, lalu berhenti sebentar di depan pintu kamar Gita. Di palanya cuma satu alasan: tugas bantu beresin kamar. Raga angkat tangan, ketuk pelan. Tok… tok… Beberapa detik kemudian, pintu terbuka setengah. “Mas Raga?” suara Gita terdengar santai, tapi ada nada… halus yang nggak ada semalam-semalam sebelumnya. “Masuk aja.” Raga refleks tarik napas kecil waktu pintunya kebuka lebih lebar. Gita pakai tanktop tipis warna hitam, jatuh longgar tapi tetap bentuk siluet bahunya kebayang jelas. Rambutnya digerai, ada sedikit basah kayak baru selesai mandi. Celana yang dia pakai bukan celana tidur panjang—tapi short pants kain lembut yang keliatan nyaman. Dan, entah disengaja atau tidak, dia berdiri dengan satu tangan di pinggul, satu bahu sedikit naik. Raga coba tetap datar. "Jadi ya, aku bersihin kamarmu." Gita sedikit menunduk sambil senyum tipis. “Iya Mas, sini. Aku tunggu di
Malam itu, warung kopi pinggir jalan terlihat ramai tapi tetap terasa santai. Lampu kuning redup, suara motor lewat sesekali, dan aroma kopi hitam pekat mengisi udara. Martin duduk paling pojok, tangannya menggenggam gelas kopi panas. Laura di sebelahnya sambil memainkan sendok kecil, sedangkan Raga duduk di seberangnya sambil menyeruput kopi. Raga buka pembicaraan duluan. “Tumben banget ngajak ngopi malem-malem gini, ada apa tuh?” katanya sambil melirik Martin. Martin nggak langsung jawab. Dia tarik napas kecil lalu menatap Raga dan Laura bergantian. “Laura udah cerita ke gue. Katanya Gita sama Rani udah balik kosan.” Raga mengangguk pelan. “Iya, mereka udah balik tadi pagi.” Martin ngelirik tajam, ekspresinya serius. “Menurut lu ada yang aneh nggak dari sikap mereka setelah balik?” Raga terdiam, menyandarkan punggung ke kursi sambil berpikir. Dia coba ingat momen ketemu Gita sore tadi—senyum, sikap, gaya bicara. Semuanya terasa normal, tapi ada sesuatu yang berbeda. Sayangn
Siang hari, suasana rumah Tante Maya terasa tenang. Di dapur, Laura sedang membantu menyiapkan makan siang. Tangannya sibuk memotong sayuran, sementara Tante Maya meracik bumbu di kompor. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Raga keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia berjalan santai menuju dapur setelah mencium aroma masakan. “Wah… harum banget. Udah mau siap ya?” katanya sambil menarik kursi. Laura hanya nyengir kecil tanpa menoleh. Tante Maya menjawab singkat, “Sebentar lagi.” Tak lama, semua makanan sudah tersaji di meja makan. Mereka pun duduk bersama dan mulai makan dalam suasana santai. Awalnya obrolan ringan—cuaca, kegiatan hari ini, rencana sore—sampai akhirnya Tante Maya berhenti makan sebentar dan memasang ekspresi sedikit serius. “Kalian tau nggak…” katanya pelan, “Gita sama Rani kayaknya udah sampai kosan.” Seketika suasana berubah. Raga langsung berhenti mengunyah. Laura juga refleks menoleh. Keduanya j
Setelah cukup lama berkeliling, Raga dan Rahma akhirnya keluar dari mall. Langkah mereka pelan, seolah masih menikmati sisa waktu yang ada. Di area parkiran, Rahma merapikan ujung jilbabnya sementara Raga membuka kunci motor. “Aku tanya dulu,” kata Raga sambil menoleh pelan. “Abis ini mau langsung pulang? Atau masih mau jalan?” Rahma menaikkan alis, pura-pura mikir. “Hmmm…” dia menatap langit yang mulai berubah jingga. “Kayanya kalau pulang sekarang sayang banget deh. Jalan bentar ke taman kota yuk mas? Sekalian liat sunset.” Nada suaranya santai, tapi jelas ada harapan di dalamnya. Raga tersenyum kecil, mengangguk. “Yaudah. Ayo.” Mereka berdua memakai helm, lalu motor melaju pelan melewati jalanan kota sore itu. Angin sore menyapu wajah mereka, dan suasana jadi terasa tenang. Rahma sesekali menunjuk arah atau komentar hal kecil yang dilihatnya di jalan. Begitu sampai di taman kota, Raga mencari tempat parkir yang teduh. Setelah motor terkunci, mereka mulai berjalan
Sore itu suasana dapur kosan cukup tenang. Raga duduk santai sambil main ponsel dan sesekali menyeruput minumnya. Hembusan angin dari halaman belakang bikin suasana adem. Langkah kaki terdengar mendekat. Rahma muncul dari arah koridor, sudah rapi dengan tas kecil di bahu dan parfum yang cukup menyengat. “Mas Ragaa…” panggilnya sambil senyum. Raga menoleh. “Ya?” “Antarin aku yuk.” Suaranya manja tapi terdengar santai. Raga mengangkat alis. “Kemana Ma?” “Ke mall. Aku udah izin ke Tante Maya kok, dan katanya boleh.” Rahma menjawab sambil memeriksa rambutnya sendiri. “Oh gitu.” Raga bangkit dari kursinya. “Yaudah, aku siap-siap dulu sebentar.” Rahma mengangguk sambil senyum puas, lalu duduk di kursi dapur sambil memainkan ponselnya. Tidak lama kemudian, Raga muncul lagi dari arah luar setelah berganti pakaian. Kaos hitam polos, celana jeans rapi, dan sepatu bersih. Rahma berdiri dan menyerahkan kunci motor padanya. “Monggo driver,” goda Rahma. Raga cuma senyum keci







