Share

Hutang Budi

Author: NomNom69
last update Last Updated: 2025-10-03 13:18:49

Pagi itu udara masih lembap sisa hujan semalam. Raga menyapu halaman kos dengan gerakan teratur, daun-daun basah menempel di ujung sapu lidi. Area parkiran motor sudah mulai terisi, sebagian penghuni kos bersiap kuliah.

Suara langkah pelan terdengar menuruni tangga. Raga menoleh dan mendapati Wulan muncul dengan kaos santai dan celana pendek, rambutnya diikat asal. Matanya yang masih segar langsung menangkap sosok Raga di halaman.

“Pagi, Mas Raga.”

“Pagi, Wulan. Mau ke mana pagi-pagi gini?”

“Aku mau beli sarapan di warung depan.” Wulan tersenyum sambil menuruni anak tangga terakhir. “Kamu rajin banget, tiap pagi pasti nyapu.”

Raga kembali menggerakkan sapunya, mencoba bersikap biasa. “Udah tugasnya jaga kos, kan. Kalau bukan aku yang bersihin, siapa lagi.”

Wulan mendekat, berdiri di tepi halaman sambil memeluk lengannya. “Aku masih inget loh, hutang budi kamu semalam.”

Raga langsung berhenti menyapu, menatapnya canggung. “Wulan, soal semalam itu…”

Wulan menaikkan alisnya, senyum tipis terbit di wajahnya. “Tenang aja, aku nggak bakal cerita ke siapa-siapa. Tapi jangan pura-pura lupa juga, Mas.”

“Lupa gimana? Aku cuma… kebetulan lewat aja di depan kamar Maudy.”

Wulan terkekeh pelan. “Kebetulan yang aneh. Kamu berdiri di depan pintunya, terus diem aja. Aku nggak bego, Mas.”

Raga menunduk, tak sanggup membantah. Perkataan Wulan lebih tajam daripada sapu lidi yang digenggamnya. Dalam hati ia sadar, rahasia semalam benar-benar membuatnya terikat pada gadis itu.

Wulan melangkah keluar pagar, menoleh sekilas dengan senyum penuh arti. “Jangan lupa, aku bisa pakai hutang itu kapan aja.”

Raga terdiam di halaman, sapu masih terpegang, tapi pikirannya melayang jauh lebih berat dari pekerjaan paginya.

Wulan sudah menghilang di tikungan jalan, menyisakan Raga sendiri di halaman kos. Ia baru saja hendak melanjutkan menyapu ketika suara sandal berdecit terdengar dari arah pagar. Seorang wanita dengan daster ketat khasnya masuk dengan senyum lebar.

Tante Maya melangkah santai, dasternya menempel erat di tubuh padatnya yang berayun alami setiap kali ia berjalan. Pagi itu, seperti biasa, ia tidak repot mengenakan bra. Raga buru-buru menunduk, menahan tatapannya agar tak terlalu lama singgah.

“Eh, Raga. Seneng liat kamu pagi-pagi udah rajin.”

“Pagi, Tante Maya.”

“Untung ada kamu yang jaga kos, anak-anak jadi nyaman.”

Tante Maya merogoh tas kecilnya, lalu mengeluarkan kunci yang digantung dengan gantungan boneka kecil. Ia menyerahkannya langsung pada Raga dengan senyum penuh arti.

“Oh ya, ini ada titipan dari Maudy. Katanya tadi pagi-pagi sebelum ke kampus, dia minta kamarnya dibersihin.”

Raga sempat terkejut. “Maudy yang minta, Tante?”

“Iya. Katanya udah hampir sebulan kamarnya nggak dirapiin. Sprei sama sarung bantalnya sekalian diganti, yang lama kamu cuci. Dia nitip kunci ini ke Tante.”

Raga menerima kunci itu dengan raut bingung. Membersihkan kamar kos memang pekerjaannya, tapi baru kali ini Maudy sendiri yang meminta. Ada sesuatu dalam permintaan itu yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkan kejadian semalam.

“Baik, Tante. Nanti saya kerjakan setelah nyapu halaman.”

“Bagus. Tante percaya sama kamu. Jangan ada yang kelewat, ya.”

Tante Maya menepuk bahu Raga sebelum melangkah masuk ke ruang tamu kos. Raga menatap kunci kamar Maudy di tangannya, merasakan pagi itu berubah jadi lebih berat dari sekadar pekerjaan biasa.

Raga melanjutkan pekerjaannya di halaman bawah. Sapu lidi kembali bergerak, menyingkirkan sisa daun yang jatuh dari pohon mangga di depan kos. Sesekali, ia menyapa penghuni yang berangkat dengan rutinitasnya masing-masing.

Rahma keluar dengan kemeja rapi dan tas kerja di bahu. Wajahnya segar meski tampak terburu-buru menuju kantor. Raga mengangguk ramah, lalu menyambut sapaan singkatnya.

“Pagi, Mas Raga.”

“Pagi, Mbak Rahma. Hati-hati di jalan.”

“Seperti biasa ya, kamu paling rajin di sini.” Rahma tersenyum sebelum berlalu menuju parkiran.

Tak lama, Imas muncul dari arah jalan. Rambutnya sedikit berantakan, riasan wajahnya tipis menandakan lelah setelah semalaman bekerja di karaoke. Ia berjalan lambat sambil menyeret sandal.

“Mas Raga, masih pagi udah kerja aja.”

Raga menoleh, lalu tersenyum kecil. “Namanya juga jaga kos, Imas. Kamu baru pulang kerja, ya?”

“Iya. Capek banget, tapi mau gimana lagi. Aku langsung ke kamar, ya.” Imas hanya melambaikan tangan sebelum menaiki tangga dengan langkah berat.

Setelah halaman bersih, Raga menepuk-nepuk tangannya dan menatap kunci di saku celana. Saatnya mengerjakan titipan Maudy. Ia pun melangkah naik ke lantai dua, menuju pintu kamar yang sejak semalam masih menyinggung pikirannya.

Kunci itu berputar dengan bunyi klik. Saat pintu sedikit terbuka, suara langkah ringan terdengar mendekat. Wulan baru pulang sarapan dari luar, membawa plastik berisi kotak nasi.

“Mas Raga?” Wulan menatap curiga. “Mau ngapain di kamar Maudy?”

Raga menoleh cepat, merasa tak nyaman seolah ketahuan sesuatu. “Ini titipan Tante Maya. Katanya Maudy minta kamarnya dibersihin, udah sebulan nggak dirapiin.”

Wulan mendekat, senyumnya tipis penuh arti. “Oh gitu… hati-hati ya, Mas. Katanya di dalam kamar itu suka ada yang ngagetin.”

Raga terdiam sesaat, menatap wajah Wulan yang menyimpan nada misterius. Lalu ia melangkah masuk, membawa sapu dan kain pel, sementara perasaan tak enak mulai merambati dadanya.

Raga akhirnya menutup pintu kamar Maudy dari dalam, mulai sibuk dengan pekerjaannya. Lorong lantai dua kembali sunyi, hanya suara sapu dan ember pel yang terdengar samar. Dari kejauhan, langkah Wulan pelan kembali ke kamarnya.

Begitu pintu kamarnya tertutup, Wulan meletakkan plastik sarapannya di meja. Ia bersandar di dinding, membiarkan senyum kecil mengembang di wajahnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berkilat, bukan sekadar iseng.

Wulan menatap langit-langit, jemarinya memainkan ujung rambut. Bibirnya bergumam pelan seolah menyimpan rahasia yang hanya ia nikmati sendiri.

“Raga… jadi pengen tau rasanya gimana…”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Cemburu

    Arman menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Raga sambil menyeringai.“Aahh, nanti lu juga pasti pengen balik lagi kek dulu, Ga…” katanya dengan nada menggoda, separuh serius.Raga menatapnya dengan senyum tipis. “Yaelah, lu bikin penasaran gue aja, Man.”Bayu langsung menimpali, “Kasih aja, Man, kasih! Biar dia inget rasa masa lalunya.”Arman tertawa kecil. Ia meraih ponselnya di meja, menggulir layar, lalu menyodorkannya ke Raga.“Nih…”Raga menatap layar itu — dan napasnya tercekat.Benar. Itu Rahma.Tubuhnya telanjang, tertidur dengan posisi miring, selimut setengah menutupi bagian pinggulnya.Cahaya redup kamar hotel masih bisa dikenali dari foto itu.“Anjirr… siapa itu, Man!?” seru Raga pura-pura terkejut, menahan ekspresi yang hampir pecah.Arman terkekeh bangga.“Biasa, barang bagus. Abis enak-enak, dia kecapean, tidur gitu aja. Gw iseng fotoin.”Raga mengepalkan tangan di bawah meja. Dalam dadanya, amarah dan jijik bercampur jadi satu, tapi wajahnya tetap datar.“Masih aj

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kosan Arman

    Raga yang sudah setengah berbaring langsung bangkit ketika notifikasi WA berbunyi. Ia meraih ponselnya cepat, membaca nama pengirimnya—Arman.> Arman: Wahh, Raga! Kemana aja lu.Jantung Raga sedikit berdegup lebih cepat. Ia langsung membalas tanpa berpikir panjang.> Raga: Biasa… nongkrong lah besok.Tak butuh waktu lama, balasan datang lagi.> Arman: Boleh boleh… datang aja ke kosan gue, nih alamatnya....Raga membaca pesan itu pelan-pelan, memastikan alamat yang dikirim. Setelah itu, ia mengetik balasan singkat.> Raga: Oke, besok gue otw yaa.Pesan terkirim. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghembuskan napas pelan.Besok, pikirnya—semua akan mulai terjawab.======================JANGAN LUPA!!FOLLOW, LIKE, AND COMMENT!!======================Pagi itu udara masih sejuk, aroma sabun dari lantai yang baru dipel pelan menguap di udara.Raga menyapu halaman sambil menata beberapa pot bunga di teras. Pikirannya masih tertuju pada rencana siang nanti—pertemuannya dengan

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Pertemuan

    Pagi itu udara masih sejuk, embun belum sepenuhnya mengering di daun-daun halaman kosan. Raga menyapu pelan, menikmati ketenangan pagi yang jarang ia dapat akhir-akhir ini. Tak lama, langkah sepatu berhak terdengar dari arah pintu depan. Rahma muncul dengan setelan kantor rapi, rambutnya terikat sederhana, wajahnya tampak segar meski masih menyimpan gurat lelah. “Pagi, Mas,” sapa Rahma lembut sambil tersenyum. Raga menoleh, sedikit terkejut melihatnya sudah siap. “Pagi, Rahma. Lho, udah mau berangkat?” “Iya, Mas. Bosku udah nanyain terus, padahal baru sehari aja absen,” jawab Rahma, mencoba terdengar ceria meski suaranya masih agak pelan. “Ohh, yaudah… jaga kondisi, ya. Dan hati-hati di jalan,” kata Raga sambil menepuk gagang sapu. Rahma mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku berangkat dulu, ya.” Raga hanya tersenyum, mengikuti langkah Rahma dengan pandangan mata sampai tubuhnya perlahan menghilang di balik gerbang. Hening pagi kembali mengisi udara. Namun dalam benak Raga,

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kepingan Masalalu

    Tiba di kosan, suasana sudah sepi. Lampu lorong hanya menyala setengah, menambah kesan muram malam itu. Raga memapah Rahma perlahan menuju kamarnya di ujung koridor, memastikan gadis itu masih kuat berdiri. Begitu sampai, Rahma berhenti di depan pintu dan menatap Raga dengan mata sayu. “Mas… makasih ya, udah mau jemput aku,” ucapnya pelan. “Iya, gak usah dipikirin lagi. Yang penting kamu istirahat dulu,” jawab Raga lembut. Rahma menunduk, tangannya menggenggam gagang pintu erat. “Mas, tolong jangan bilang siapa-siapa ya… termasuk Tante Maya. Aku gak mau orang lain tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar. Raga mengangguk pelan. “Aku janji, Rahma. Ini cukup antara kita aja.” Rahma pun masuk ke kamarnya, menutup pintu perlahan. Raga berdiri sebentar di depan pintu itu, menarik napas panjang sebelum melangkah pergi. Sesampainya di halaman, ia langsung menuju rumah utama untuk mengembalikan kunci mobil. Tante Maya tampak duduk di ruang tamu sambil memegang tablet. “Eh,

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kemalangan Rahma

    Dalam perjalanan malam itu, jalanan cukup lengang, hanya beberapa mobil yang melintas di arah berlawanan. Raga menyetir pelan sambil sesekali menatap layar ponselnya. Ia mencoba mengirim pesan ke Rahma.> “Rahma, kamu di mana? Aku disuruh jemput sama Tante Maya.”Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan. Raga mulai khawatir. Ia pun mencoba menelepon. Satu kali, dua kali, tiga kali, tidak diangkat.Sambil terus mengemudi, ia menekan panggilan ulang. Akhirnya di dering keempat, sambungan terangkat. Suara Rahma terdengar di seberang—pelan, serak, dan lemah.“Ha.. halo.. Mas Raga..”“Rahma? Kamu di mana sekarang? Tante Maya nyuruh aku jemput kamu.” Raga langsung menegakkan tubuh, fokus penuh ke arah jalan.“H-hotel... Indah Palace... kamar... 203…” Suara Rahma nyaris tak terdengar jelas di antara napasnya yang berat.“Hotel? Maksud kamu di hotel, bukan kantor?” Raga bertanya memastikan, tapi Rahma hanya menggumam pelan sebelum sambungan terputus begitu saja.Tanpa pikir panjang, Raga lan

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Wujud Asli Kosan

    Pagi itu udara masih sejuk ketika Raga sibuk menyapu halaman kosan. Matanya agak sayu, tubuhnya sedikit lemas, seolah energi semalam masih membekas. “Pagi Mas… tumben lemes banget. Kerja lembur ya semalam?” sapa Wulan yang baru saja keluar dengan helm di tangan, siap berangkat ke kampus. “E-eh Wulan… eng… iya, semalam bantuin Maudy,” jawab Raga terbata, menyembunyikan kegugupannya. Wulan tersenyum nakal, lalu menepuk bahu Raga. “Oh… yaudah Mas, banyakin minum suplemen biar gak lemes. Hehe…” katanya, kemudian menyalakan motor dan meluncur pergi. Raga terdiam sejenak, pandangannya kosong ke halaman. Dalam hatinya, ia bergumam penuh waspada. Duuhh, mudah-mudahan tadi gak ada yang liat aku keluar kamar Maudy. Ia masih ingat jelas, sebelum fajar tadi ia pelan-pelan meninggalkan kamar Maudy, yang saat itu masih tertidur pulas dalam keadaan tanpa busana, wajahnya tenang di balik selimut. Meski begitu, Raga tetap harus kembali ke rutinitasnya. Bagaimanapun, pekerjaan di kosan tidak bol

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status