Share

Kecurigaan Menguat

Author: NomNom69
last update Last Updated: 2025-10-03 14:48:50

Cukup lama Raga bekerja di kamar itu. Lantai yang semula lengket sudah bersih mengilap, meja belajar Maudy pun sudah ia lap hingga bebas debu. Saat pekerjaan hampir selesai, tinggal mengganti sprei dan sarung bantal.

Raga berhenti sejenak, menatap ranjang berantakan di hadapannya. Tangannya menggenggam sprei kusam yang hendak ia lepas. Baru ia sadar, ia tidak menanyakan ke Tante Maya di mana Maudy menyimpan cadangan spreinya.

Ia menarik napas berat, lalu bergumam pelan. “Daripada bolak-balik ke rumah Tante Maya, mending aku cari aja di sini.”

Pelan, Raga membuka lemari pertama. Tumpukan baju kasual Maudy berjejer rapi meski sudah terlipat agak kusut. Dari atas sampai ke bagian bawah, ia tidak menemukan sprei maupun sarung bantal.

Ia melangkah ke pintu lemari sebelahnya. Kali ini ada lipatan selimut berbagai motif, ditumpuk tinggi sampai hampir memenuhi rak. Raga mengangkat satu per satu, berharap menemukan yang ia cari.

Namun di bawah tumpukan itu, matanya membelalak. Sebuah benda panjang berwarna mencolok muncul dari balik lipatan kain, tergeletak seakan sengaja disembunyikan. Jantung Raga berdegup tak karuan.

“Apaan ini…?” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara.

Tangannya gemetar saat meraih benda itu. Permukaannya licin, dengan bentuk yang jelas meniru alat kelamin pria. Otaknya langsung terseret pada suara lirih semalam, desahan Maudy yang begitu nyata di balik pintu kamar.

“Jangan-jangan… semalam dia pake ini…” gumamnya, matanya tak lepas dari benda itu.

Raga tercekat. Sadar betapa lancangnya ia berdiri dengan benda pribadi itu di tangannya. Ia buru-buru menaruhnya kembali, tapi terlalu terburu. Benda itu kini hanya ia letakkan di atas tumpukan selimut, jauh berbeda dari tempat semula.

Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Kalau ada yang tahu ia membuka lemari, bisa-bisa ia dituduh macam-macam.

“Ya Tuhan… apa yang aku lakukan…” suara Raga parau, sementara pandangannya masih tertuju pada benda yang seakan menatap balik, menyimpan rahasia malam Maudy.

Sore tiba, udara kosan mulai teduh. Raga duduk di bangku kayu dekat mesin cuci, menyeruput kopi sambil menyalakan sebatang rokok. Mesin di sampingnya berdengung, mencuci sprei dan sarung bantal milik Maudy yang tadi ia lepas.

Asap rokok mengepul bercampur aroma deterjen, membuat suasana terasa lengang. Raga menatap kosong, pikirannya masih dihantui benda yang ia temukan siang tadi di dalam lemari. Sesekali ia menghela napas panjang, berusaha menghapus bayangan itu dari kepalanya.

Tak lama, suara sandal beradu dengan lantai semen terdengar dari arah gerbang. Maudy baru pulang dari kampus, menenteng kantong plastik bening yang berisi setumpuk pakaian laundry. Rambut kuncir ekornya bergoyang ringan, wajahnya terlihat segar meski lelah.

“Mas, udah bersih kamarku?” Maudy tersenyum sambil berdiri di depan Raga.

“Udah kok, tapi… itu… sprei sama sarung bantalnya belum ku pasang,” jawab Raga sambil buru-buru mematikan rokok di asbak.

“Oh iya, ini aku lupa. Padahal udah dua minggu laundry-an ini nggak kuambil,” kata Maudy sambil terkekeh kecil, lalu duduk di sampingnya.

“Sini, biar aku gantiin sekalian.”

“Yaudah, Mas.” Maudy menyerahkan kantong plastik itu, lalu berjalan bareng Raga menuju kamarnya di lantai dua.

Begitu pintu terbuka, Raga langsung merentangkan sprei bersih dan mulai menata di ranjang. Gerakannya cekatan, menekuk sudut-sudut kain agar rapi. Sementara itu Maudy jongkok di depan lemari, memasukkan baju bersih dan selimut yang baru di-laundry.

Tiba-tiba tangannya terhenti. Pandangan matanya jatuh pada benda panjang yang tergeletak di atas lipatan selimut. Jantungnya langsung berdegup kencang, wajahnya panas.

Sekilas, ia melirik ke arah Raga yang masih sibuk dengan ranjang. “Mas… makasih ya, udah repot bersihin semuanya.”

Raga menoleh sebentar. “Nggak apa-apa, emang kerjaanku kok.”

Maudy cepat-cepat menunduk lagi, pura-pura sibuk. Tapi dalam hati ia bergetar: benda itu jelas tidak berada di tempat semula.

Malam itu kosan kembali sepi. Lampu halaman temaram menerangi saung kecil di dekat gerbang, tempat beberapa penghuni kadang duduk santai. Malam ini hanya ada Maudy dan Wulan, duduk berdampingan sambil ngemil keripik.

Suara jangkrik samar terdengar dari balik pagar. Maudy tampak gelisah sejak sore, dan Wulan menyadarinya. Tatapan Maudy bolak-balik ke arah halaman, lalu akhirnya ia membuka mulut.

“Lan, tadi kan Raga yang bersihin kamarku…”

“Iya, kenapa emangnya?” Wulan menoleh, alisnya sedikit terangkat.

“Aku yakin banget semalem alat itu udah ku simpen rapi di bawah selimut. Tapi pas sore aku buka lemari, tau-tau udah di atas selimut.”

Wulan terdiam sebentar, lalu pura-pura santai. “Mungkin kamu lupa naro kali, Maud. Namanya juga habis capek kuliah, bisa aja salah inget.”

“Nggak mungkin. Aku masih inget jelas kok. Semalem abis make, langsung ku rapihin ke bawah lipatan. Rasanya nggak salah.”

Wulan mengunyah keripiknya pelan, matanya melirik sekilas ke arah gerbang. “Ya terus kamu curiga Raga yang mindahin?”

Maudy menggigit bibir bawahnya, wajahnya terlihat sebal. “Iya… soalnya seharian kan dia yang beberes kamarku.”

Hening sejenak, lalu Maudy kembali menoleh. “Eh, ngomong-ngomong… semalem kalian berdua ada di depan kamarku. Kalian ngapain sih?”

Wulan langsung terbatuk kecil, lalu tertawa pendek. “Enak aja. Aku mah cuma lewat. Kalau ada yang nguping, ya paling Mas Raga kali.”

“Masa sih, Mas Raga nguping?” Maudy ikut tertawa, meski nada suaranya penuh curiga.

“Ya mana tau. Tanya aja sendiri.” Wulan terkekeh kecil, menutupi ekspresi yang seolah menyimpan sesuatu.

Dalam hati, Wulan tahu persis kalau semalam memang Raga berdiri di depan pintu kamar Maudy. Ia hanya memilih untuk tidak mengungkapkannya.

Maudy mendengus, lalu menyandarkan kepalanya di tiang saung. “Hmmm… harus dikerjain nih si Mas Raga.”

“Makanya lain kali kalau lagi solo, jangan kenceng-kenceng suaranya,” ucap Wulan santai sambil nyengir. “Untung yang lain nggak ada yang ikut denger.”

Maudy menutup wajah dengan kedua tangan, setengah malu, setengah kesal. Namun di balik itu, ada rasa penasaran yang tumbuh semakin besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Cemburu

    Arman menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Raga sambil menyeringai.“Aahh, nanti lu juga pasti pengen balik lagi kek dulu, Ga…” katanya dengan nada menggoda, separuh serius.Raga menatapnya dengan senyum tipis. “Yaelah, lu bikin penasaran gue aja, Man.”Bayu langsung menimpali, “Kasih aja, Man, kasih! Biar dia inget rasa masa lalunya.”Arman tertawa kecil. Ia meraih ponselnya di meja, menggulir layar, lalu menyodorkannya ke Raga.“Nih…”Raga menatap layar itu — dan napasnya tercekat.Benar. Itu Rahma.Tubuhnya telanjang, tertidur dengan posisi miring, selimut setengah menutupi bagian pinggulnya.Cahaya redup kamar hotel masih bisa dikenali dari foto itu.“Anjirr… siapa itu, Man!?” seru Raga pura-pura terkejut, menahan ekspresi yang hampir pecah.Arman terkekeh bangga.“Biasa, barang bagus. Abis enak-enak, dia kecapean, tidur gitu aja. Gw iseng fotoin.”Raga mengepalkan tangan di bawah meja. Dalam dadanya, amarah dan jijik bercampur jadi satu, tapi wajahnya tetap datar.“Masih aj

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kosan Arman

    Raga yang sudah setengah berbaring langsung bangkit ketika notifikasi WA berbunyi. Ia meraih ponselnya cepat, membaca nama pengirimnya—Arman.> Arman: Wahh, Raga! Kemana aja lu.Jantung Raga sedikit berdegup lebih cepat. Ia langsung membalas tanpa berpikir panjang.> Raga: Biasa… nongkrong lah besok.Tak butuh waktu lama, balasan datang lagi.> Arman: Boleh boleh… datang aja ke kosan gue, nih alamatnya....Raga membaca pesan itu pelan-pelan, memastikan alamat yang dikirim. Setelah itu, ia mengetik balasan singkat.> Raga: Oke, besok gue otw yaa.Pesan terkirim. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghembuskan napas pelan.Besok, pikirnya—semua akan mulai terjawab.======================JANGAN LUPA!!FOLLOW, LIKE, AND COMMENT!!======================Pagi itu udara masih sejuk, aroma sabun dari lantai yang baru dipel pelan menguap di udara.Raga menyapu halaman sambil menata beberapa pot bunga di teras. Pikirannya masih tertuju pada rencana siang nanti—pertemuannya dengan

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Pertemuan

    Pagi itu udara masih sejuk, embun belum sepenuhnya mengering di daun-daun halaman kosan. Raga menyapu pelan, menikmati ketenangan pagi yang jarang ia dapat akhir-akhir ini. Tak lama, langkah sepatu berhak terdengar dari arah pintu depan. Rahma muncul dengan setelan kantor rapi, rambutnya terikat sederhana, wajahnya tampak segar meski masih menyimpan gurat lelah. “Pagi, Mas,” sapa Rahma lembut sambil tersenyum. Raga menoleh, sedikit terkejut melihatnya sudah siap. “Pagi, Rahma. Lho, udah mau berangkat?” “Iya, Mas. Bosku udah nanyain terus, padahal baru sehari aja absen,” jawab Rahma, mencoba terdengar ceria meski suaranya masih agak pelan. “Ohh, yaudah… jaga kondisi, ya. Dan hati-hati di jalan,” kata Raga sambil menepuk gagang sapu. Rahma mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku berangkat dulu, ya.” Raga hanya tersenyum, mengikuti langkah Rahma dengan pandangan mata sampai tubuhnya perlahan menghilang di balik gerbang. Hening pagi kembali mengisi udara. Namun dalam benak Raga,

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kepingan Masalalu

    Tiba di kosan, suasana sudah sepi. Lampu lorong hanya menyala setengah, menambah kesan muram malam itu. Raga memapah Rahma perlahan menuju kamarnya di ujung koridor, memastikan gadis itu masih kuat berdiri. Begitu sampai, Rahma berhenti di depan pintu dan menatap Raga dengan mata sayu. “Mas… makasih ya, udah mau jemput aku,” ucapnya pelan. “Iya, gak usah dipikirin lagi. Yang penting kamu istirahat dulu,” jawab Raga lembut. Rahma menunduk, tangannya menggenggam gagang pintu erat. “Mas, tolong jangan bilang siapa-siapa ya… termasuk Tante Maya. Aku gak mau orang lain tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar. Raga mengangguk pelan. “Aku janji, Rahma. Ini cukup antara kita aja.” Rahma pun masuk ke kamarnya, menutup pintu perlahan. Raga berdiri sebentar di depan pintu itu, menarik napas panjang sebelum melangkah pergi. Sesampainya di halaman, ia langsung menuju rumah utama untuk mengembalikan kunci mobil. Tante Maya tampak duduk di ruang tamu sambil memegang tablet. “Eh,

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kemalangan Rahma

    Dalam perjalanan malam itu, jalanan cukup lengang, hanya beberapa mobil yang melintas di arah berlawanan. Raga menyetir pelan sambil sesekali menatap layar ponselnya. Ia mencoba mengirim pesan ke Rahma.> “Rahma, kamu di mana? Aku disuruh jemput sama Tante Maya.”Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan. Raga mulai khawatir. Ia pun mencoba menelepon. Satu kali, dua kali, tiga kali, tidak diangkat.Sambil terus mengemudi, ia menekan panggilan ulang. Akhirnya di dering keempat, sambungan terangkat. Suara Rahma terdengar di seberang—pelan, serak, dan lemah.“Ha.. halo.. Mas Raga..”“Rahma? Kamu di mana sekarang? Tante Maya nyuruh aku jemput kamu.” Raga langsung menegakkan tubuh, fokus penuh ke arah jalan.“H-hotel... Indah Palace... kamar... 203…” Suara Rahma nyaris tak terdengar jelas di antara napasnya yang berat.“Hotel? Maksud kamu di hotel, bukan kantor?” Raga bertanya memastikan, tapi Rahma hanya menggumam pelan sebelum sambungan terputus begitu saja.Tanpa pikir panjang, Raga lan

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Wujud Asli Kosan

    Pagi itu udara masih sejuk ketika Raga sibuk menyapu halaman kosan. Matanya agak sayu, tubuhnya sedikit lemas, seolah energi semalam masih membekas. “Pagi Mas… tumben lemes banget. Kerja lembur ya semalam?” sapa Wulan yang baru saja keluar dengan helm di tangan, siap berangkat ke kampus. “E-eh Wulan… eng… iya, semalam bantuin Maudy,” jawab Raga terbata, menyembunyikan kegugupannya. Wulan tersenyum nakal, lalu menepuk bahu Raga. “Oh… yaudah Mas, banyakin minum suplemen biar gak lemes. Hehe…” katanya, kemudian menyalakan motor dan meluncur pergi. Raga terdiam sejenak, pandangannya kosong ke halaman. Dalam hatinya, ia bergumam penuh waspada. Duuhh, mudah-mudahan tadi gak ada yang liat aku keluar kamar Maudy. Ia masih ingat jelas, sebelum fajar tadi ia pelan-pelan meninggalkan kamar Maudy, yang saat itu masih tertidur pulas dalam keadaan tanpa busana, wajahnya tenang di balik selimut. Meski begitu, Raga tetap harus kembali ke rutinitasnya. Bagaimanapun, pekerjaan di kosan tidak bol

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status