MasukCukup lama Raga bekerja di kamar itu. Lantai yang semula lengket sudah bersih mengilap, meja belajar Maudy pun sudah ia lap hingga bebas debu. Saat pekerjaan hampir selesai, tinggal mengganti sprei dan sarung bantal.
Raga berhenti sejenak, menatap ranjang berantakan di hadapannya. Tangannya menggenggam sprei kusam yang hendak ia lepas. Baru ia sadar, ia tidak menanyakan ke Tante Maya di mana Maudy menyimpan cadangan spreinya. Ia menarik napas berat, lalu bergumam pelan. “Daripada bolak-balik ke rumah Tante Maya, mending aku cari aja di sini.” Pelan, Raga membuka lemari pertama. Tumpukan baju kasual Maudy berjejer rapi meski sudah terlipat agak kusut. Dari atas sampai ke bagian bawah, ia tidak menemukan sprei maupun sarung bantal. Ia melangkah ke pintu lemari sebelahnya. Kali ini ada lipatan selimut berbagai motif, ditumpuk tinggi sampai hampir memenuhi rak. Raga mengangkat satu per satu, berharap menemukan yang ia cari. Namun di bawah tumpukan itu, matanya membelalak. Sebuah benda panjang berwarna mencolok muncul dari balik lipatan kain, tergeletak seakan sengaja disembunyikan. Jantung Raga berdegup tak karuan. “Apaan ini…?” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara. Tangannya gemetar saat meraih benda itu. Permukaannya licin, dengan bentuk yang jelas meniru alat kelamin pria. Otaknya langsung terseret pada suara lirih semalam, desahan Maudy yang begitu nyata di balik pintu kamar. “Jangan-jangan… semalam dia pake ini…” gumamnya, matanya tak lepas dari benda itu. Raga tercekat. Sadar betapa lancangnya ia berdiri dengan benda pribadi itu di tangannya. Ia buru-buru menaruhnya kembali, tapi terlalu terburu. Benda itu kini hanya ia letakkan di atas tumpukan selimut, jauh berbeda dari tempat semula. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Kalau ada yang tahu ia membuka lemari, bisa-bisa ia dituduh macam-macam. “Ya Tuhan… apa yang aku lakukan…” suara Raga parau, sementara pandangannya masih tertuju pada benda yang seakan menatap balik, menyimpan rahasia malam Maudy. Sore tiba, udara kosan mulai teduh. Raga duduk di bangku kayu dekat mesin cuci, menyeruput kopi sambil menyalakan sebatang rokok. Mesin di sampingnya berdengung, mencuci sprei dan sarung bantal milik Maudy yang tadi ia lepas. Asap rokok mengepul bercampur aroma deterjen, membuat suasana terasa lengang. Raga menatap kosong, pikirannya masih dihantui benda yang ia temukan siang tadi di dalam lemari. Sesekali ia menghela napas panjang, berusaha menghapus bayangan itu dari kepalanya. Tak lama, suara sandal beradu dengan lantai semen terdengar dari arah gerbang. Maudy baru pulang dari kampus, menenteng kantong plastik bening yang berisi setumpuk pakaian laundry. Rambut kuncir ekornya bergoyang ringan, wajahnya terlihat segar meski lelah. “Mas, udah bersih kamarku?” Maudy tersenyum sambil berdiri di depan Raga. “Udah kok, tapi… itu… sprei sama sarung bantalnya belum ku pasang,” jawab Raga sambil buru-buru mematikan rokok di asbak. “Oh iya, ini aku lupa. Padahal udah dua minggu laundry-an ini nggak kuambil,” kata Maudy sambil terkekeh kecil, lalu duduk di sampingnya. “Sini, biar aku gantiin sekalian.” “Yaudah, Mas.” Maudy menyerahkan kantong plastik itu, lalu berjalan bareng Raga menuju kamarnya di lantai dua. Begitu pintu terbuka, Raga langsung merentangkan sprei bersih dan mulai menata di ranjang. Gerakannya cekatan, menekuk sudut-sudut kain agar rapi. Sementara itu Maudy jongkok di depan lemari, memasukkan baju bersih dan selimut yang baru di-laundry. Tiba-tiba tangannya terhenti. Pandangan matanya jatuh pada benda panjang yang tergeletak di atas lipatan selimut. Jantungnya langsung berdegup kencang, wajahnya panas. Sekilas, ia melirik ke arah Raga yang masih sibuk dengan ranjang. “Mas… makasih ya, udah repot bersihin semuanya.” Raga menoleh sebentar. “Nggak apa-apa, emang kerjaanku kok.” Maudy cepat-cepat menunduk lagi, pura-pura sibuk. Tapi dalam hati ia bergetar: benda itu jelas tidak berada di tempat semula. Malam itu kosan kembali sepi. Lampu halaman temaram menerangi saung kecil di dekat gerbang, tempat beberapa penghuni kadang duduk santai. Malam ini hanya ada Maudy dan Wulan, duduk berdampingan sambil ngemil keripik. Suara jangkrik samar terdengar dari balik pagar. Maudy tampak gelisah sejak sore, dan Wulan menyadarinya. Tatapan Maudy bolak-balik ke arah halaman, lalu akhirnya ia membuka mulut. “Lan, tadi kan Raga yang bersihin kamarku…” “Iya, kenapa emangnya?” Wulan menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Aku yakin banget semalem alat itu udah ku simpen rapi di bawah selimut. Tapi pas sore aku buka lemari, tau-tau udah di atas selimut.” Wulan terdiam sebentar, lalu pura-pura santai. “Mungkin kamu lupa naro kali, Maud. Namanya juga habis capek kuliah, bisa aja salah inget.” “Nggak mungkin. Aku masih inget jelas kok. Semalem abis make, langsung ku rapihin ke bawah lipatan. Rasanya nggak salah.” Wulan mengunyah keripiknya pelan, matanya melirik sekilas ke arah gerbang. “Ya terus kamu curiga Raga yang mindahin?” Maudy menggigit bibir bawahnya, wajahnya terlihat sebal. “Iya… soalnya seharian kan dia yang beberes kamarku.” Hening sejenak, lalu Maudy kembali menoleh. “Eh, ngomong-ngomong… semalem kalian berdua ada di depan kamarku. Kalian ngapain sih?” Wulan langsung terbatuk kecil, lalu tertawa pendek. “Enak aja. Aku mah cuma lewat. Kalau ada yang nguping, ya paling Mas Raga kali.” “Masa sih, Mas Raga nguping?” Maudy ikut tertawa, meski nada suaranya penuh curiga. “Ya mana tau. Tanya aja sendiri.” Wulan terkekeh kecil, menutupi ekspresi yang seolah menyimpan sesuatu. Dalam hati, Wulan tahu persis kalau semalam memang Raga berdiri di depan pintu kamar Maudy. Ia hanya memilih untuk tidak mengungkapkannya. Maudy mendengus, lalu menyandarkan kepalanya di tiang saung. “Hmmm… harus dikerjain nih si Mas Raga.” “Makanya lain kali kalau lagi solo, jangan kenceng-kenceng suaranya,” ucap Wulan santai sambil nyengir. “Untung yang lain nggak ada yang ikut denger.” Maudy menutup wajah dengan kedua tangan, setengah malu, setengah kesal. Namun di balik itu, ada rasa penasaran yang tumbuh semakin besar.Pagi itu udara masih sejuk. Matahari belum terlalu tinggi, dan halaman kos baru saja selesai disapu. Raga menyandarkan sapu di pojok teras, lalu masuk ke dapur untuk membereskan gelas dan lap meja. Hari itu dia berencana balik ke rumah Tante Maya dulu, karena perlu mandi dan ambil pakaian bersih. Ketika Raga baru saja menutup lemari piring, suara langkah dari tangga terdengar pelan. Rani turun sambil merapikan rambutnya yang masih sedikit kusut. Rani berkata pelan, “Pagi, Mas Raga.” Raga menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi juga.” Rani berjalan mendekat sedikit. “Abis beberes ya?” Raga mengangguk sambil mengambil sandal. “Iya. Mau balik sebentar ke rumah Tante Maya. Kamu mau kemana?” Rani menjawab santai, “Mau beli sarapan di luar.” Raga membuka pintu belakang rumah kos dan berjalan bersamaan dengan Rani sampai halaman depan. “Emang hari ini gak kuliah?" Rani menggeleng pelan. “Belum. Kuliah baru mulai besok. Hari ini masih libur.” Raga mengangguk paham. Beberapa detik
Malam itu kosan sunyi. Lampu lorong redup, cuma cukup buat lihat jalan. Raga selesai beberes area luar dan dapur, lalu berhenti sebentar di depan pintu kamar Gita. Di palanya cuma satu alasan: tugas bantu beresin kamar. Raga angkat tangan, ketuk pelan. Tok… tok… Beberapa detik kemudian, pintu terbuka setengah. “Mas Raga?” suara Gita terdengar santai, tapi ada nada… halus yang nggak ada semalam-semalam sebelumnya. “Masuk aja.” Raga refleks tarik napas kecil waktu pintunya kebuka lebih lebar. Gita pakai tanktop tipis warna hitam, jatuh longgar tapi tetap bentuk siluet bahunya kebayang jelas. Rambutnya digerai, ada sedikit basah kayak baru selesai mandi. Celana yang dia pakai bukan celana tidur panjang—tapi short pants kain lembut yang keliatan nyaman. Dan, entah disengaja atau tidak, dia berdiri dengan satu tangan di pinggul, satu bahu sedikit naik. Raga coba tetap datar. "Jadi ya, aku bersihin kamarmu." Gita sedikit menunduk sambil senyum tipis. “Iya Mas, sini. Aku tunggu di
Malam itu, warung kopi pinggir jalan terlihat ramai tapi tetap terasa santai. Lampu kuning redup, suara motor lewat sesekali, dan aroma kopi hitam pekat mengisi udara. Martin duduk paling pojok, tangannya menggenggam gelas kopi panas. Laura di sebelahnya sambil memainkan sendok kecil, sedangkan Raga duduk di seberangnya sambil menyeruput kopi. Raga buka pembicaraan duluan. “Tumben banget ngajak ngopi malem-malem gini, ada apa tuh?” katanya sambil melirik Martin. Martin nggak langsung jawab. Dia tarik napas kecil lalu menatap Raga dan Laura bergantian. “Laura udah cerita ke gue. Katanya Gita sama Rani udah balik kosan.” Raga mengangguk pelan. “Iya, mereka udah balik tadi pagi.” Martin ngelirik tajam, ekspresinya serius. “Menurut lu ada yang aneh nggak dari sikap mereka setelah balik?” Raga terdiam, menyandarkan punggung ke kursi sambil berpikir. Dia coba ingat momen ketemu Gita sore tadi—senyum, sikap, gaya bicara. Semuanya terasa normal, tapi ada sesuatu yang berbeda. Sayangn
Siang hari, suasana rumah Tante Maya terasa tenang. Di dapur, Laura sedang membantu menyiapkan makan siang. Tangannya sibuk memotong sayuran, sementara Tante Maya meracik bumbu di kompor. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Raga keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia berjalan santai menuju dapur setelah mencium aroma masakan. “Wah… harum banget. Udah mau siap ya?” katanya sambil menarik kursi. Laura hanya nyengir kecil tanpa menoleh. Tante Maya menjawab singkat, “Sebentar lagi.” Tak lama, semua makanan sudah tersaji di meja makan. Mereka pun duduk bersama dan mulai makan dalam suasana santai. Awalnya obrolan ringan—cuaca, kegiatan hari ini, rencana sore—sampai akhirnya Tante Maya berhenti makan sebentar dan memasang ekspresi sedikit serius. “Kalian tau nggak…” katanya pelan, “Gita sama Rani kayaknya udah sampai kosan.” Seketika suasana berubah. Raga langsung berhenti mengunyah. Laura juga refleks menoleh. Keduanya j
Setelah cukup lama berkeliling, Raga dan Rahma akhirnya keluar dari mall. Langkah mereka pelan, seolah masih menikmati sisa waktu yang ada. Di area parkiran, Rahma merapikan ujung jilbabnya sementara Raga membuka kunci motor. “Aku tanya dulu,” kata Raga sambil menoleh pelan. “Abis ini mau langsung pulang? Atau masih mau jalan?” Rahma menaikkan alis, pura-pura mikir. “Hmmm…” dia menatap langit yang mulai berubah jingga. “Kayanya kalau pulang sekarang sayang banget deh. Jalan bentar ke taman kota yuk mas? Sekalian liat sunset.” Nada suaranya santai, tapi jelas ada harapan di dalamnya. Raga tersenyum kecil, mengangguk. “Yaudah. Ayo.” Mereka berdua memakai helm, lalu motor melaju pelan melewati jalanan kota sore itu. Angin sore menyapu wajah mereka, dan suasana jadi terasa tenang. Rahma sesekali menunjuk arah atau komentar hal kecil yang dilihatnya di jalan. Begitu sampai di taman kota, Raga mencari tempat parkir yang teduh. Setelah motor terkunci, mereka mulai berjalan
Sore itu suasana dapur kosan cukup tenang. Raga duduk santai sambil main ponsel dan sesekali menyeruput minumnya. Hembusan angin dari halaman belakang bikin suasana adem. Langkah kaki terdengar mendekat. Rahma muncul dari arah koridor, sudah rapi dengan tas kecil di bahu dan parfum yang cukup menyengat. “Mas Ragaa…” panggilnya sambil senyum. Raga menoleh. “Ya?” “Antarin aku yuk.” Suaranya manja tapi terdengar santai. Raga mengangkat alis. “Kemana Ma?” “Ke mall. Aku udah izin ke Tante Maya kok, dan katanya boleh.” Rahma menjawab sambil memeriksa rambutnya sendiri. “Oh gitu.” Raga bangkit dari kursinya. “Yaudah, aku siap-siap dulu sebentar.” Rahma mengangguk sambil senyum puas, lalu duduk di kursi dapur sambil memainkan ponselnya. Tidak lama kemudian, Raga muncul lagi dari arah luar setelah berganti pakaian. Kaos hitam polos, celana jeans rapi, dan sepatu bersih. Rahma berdiri dan menyerahkan kunci motor padanya. “Monggo driver,” goda Rahma. Raga cuma senyum keci







