MasukPagi itu suasana kosan masih lengang, hanya terdengar suara sapu yang digesek Raga di halaman. Sinar matahari mulai mengintip dari celah pepohonan, menerangi parkiran motor yang berjejer. Raga sudah terbiasa dengan rutinitas ini, menyapu lalu merapikan halaman sebelum para penghuni keluar.
Tak lama, terdengar suara sandal menuruni tangga. Wulan muncul dengan kaos longgar dan celana training, rambutnya diikat seadanya. Ia langsung berjalan ke arah motornya yang terparkir di pojok. “Pagi, Mas Raga.” “Pagi juga, Mbak Wulan. Mau kuliah ya?” “Iya, sebentar lagi. Eh, tadi aku denger-denger, katanya Maudy ada barang pribadinya yang ilang lho.” Wulan nyengir kecil sambil menyalakan motor. Raga sontak berhenti menyapu. Alisnya berkerut, jantungnya berdegup agak kencang. Ingatannya langsung melayang pada sesuatu yang ditemukannya kemarin di lemari Maudy. “Barang apa maksudnya, Mbak? Kemarin pas dia pulang, nggak bilang apa-apa ke aku.” Suara Raga terdengar agak kaku. Wulan menoleh cepat, memperhatikan ekspresi Raga yang mendadak serius. Senyumnya makin lebar, jelas terlihat ia sedang sengaja mengusik. “Hmm… aku kurang tau juga sih barangnya apa. Coba aja nanti tanya langsung ke Maudy,” ucap Wulan sambil menahan tawa. Raga menggaruk kepala yang tidak gatal. Pikirannya makin berputar, rasa penasaran bercampur dengan ketakutan. “Apa jangan-jangan yang dimaksud… itu?” gumamnya pelan dalam hati. Wulan memutar gas motor pelan, lalu melirik sekali lagi. “Udah ah, aku jalan dulu. Tapi Mas jangan panik gitu, nanti malah keliatan aneh, hehe.” Motor Wulan melaju meninggalkan halaman, sementara Raga masih berdiri kaku dengan sapu di tangan. Hatinya semakin resah, seperti ada perang rahasia yang mulai dimainkan di dalam kosan itu. **** Siang itu suasana kosan terasa lengang. Raga baru saja selesai makan siang, lalu duduk di dapur bawah sambil menyeruput kopi dan menyalakan rokok. Asap rokoknya berputar pelan, menemaninya menikmati waktu istirahat sejenak. Tiba-tiba langkah cepat terdengar dari arah pintu depan. Imas muncul dengan tangtop tipis dan celana pendek, keringat menetes di pelipisnya seakan baru saja pulang dari luar. Wajahnya agak lelah, tapi tetap menyunggingkan senyum tipis. “Mas Raga, tolong dong… AC di kamarku udah nggak dingin banget. Tidur jadi gerah,” ucap Imas sambil mengibaskan tangan ke lehernya. Raga menaruh rokok di asbak. “Oh, gitu ya? Yaudah, sekarang aja aku cek.” “Serius nih? Makasih banget, Mas,” kata Imas sambil menghela napas lega. Tanpa banyak pikir, Raga berdiri dan mengambil tangga lipat kecil yang biasa ia pakai. Mereka lalu berjalan menuju kamar Imas di lantai dua. Saat pintu kamar terbuka, aroma parfum bercampur keringat tipis langsung tercium, membuat ruang itu terasa begitu pribadi. “Maaf ya agak berantakan, tadi pagi pulang kerja langsung tidur,” kata Imas menepuk-nepuk bantal di kasur. Raga hanya mengangguk. “Nggak masalah kok. Mana AC-nya?” Imas menunjuk ke arah dinding di atas kasur. Raga pun mulai menyiapkan tangga dan berdiri tepat di bawah mesin pendingin yang terlihat berdebu. Saat ia memanjat, Imas berdiri di sampingnya sambil melipat tangan. Tatapannya sesekali naik ke arah Raga, lalu kembali ke lantai. Senyum samar muncul, seperti sedang menyimpan sesuatu di pikirannya. “Ati-ati ya Mas, jangan sampe jatuh. Soalnya kalau jatuh, aku nggak bisa ngegendong,” ucap Imas dengan nada menggoda. Raga hanya terkekeh kecil, mencoba tetap fokus membuka cover AC itu. Namun dalam hati, ia sadar, kamar kos ini bukan cuma tempat perbaikan mesin… ada sesuatu yang lebih hangat tersembunyi di balik tatapan Imas. **** Raga masih berdiri di atas tangga lipat, tangannya sibuk membersihkan debu dari filter AC. Sesekali ia melirik ke bawah, melihat Imas yang duduk di tepi kasur dengan tangtop tipisnya. Keringat kecil masih menetes di leher Imas, membuatnya sibuk mengipasi diri dengan tangan. Raga menelan ludah pelan, matanya sempat tertahan sebentar pada lekuk dada yang samar terlihat dari balik kain tipis itu. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura kembali serius membongkar cover AC. Namun degup jantungnya makin cepat, seolah ikut menegaskan kegugupannya. “Mas, kemarin abis bersihin kamar Maudy ya?” suara Imas memecah keheningan. “Eh, iya… kok tau?” Raga menoleh ke bawah dengan kening berkerut. “Tau dong, hehe…” Imas menyeringai kecil, matanya berkilat penuh rahasia. Raga mengerutkan dahi. “Emangnya kenapa?” Imas menyandarkan tubuh ke kasur, senyumnya masih sama. “Trus Mas… nemu sesuatu nggak di kamar Maudy?” tanyanya dengan nada menggoda. Raga sempat terdiam. “Nemu apa maksudnya?” Imas mendongak, menatapnya tajam. “Masa sih nggak nemu apa-apa? Padahal kan Mas Raga bersihin semua kamarnya Maudy, ya?” Raga tercekat, seketika ingat benda yang ditemukannya di lemari. Ia mencoba menyangkal, tapi wajahnya sendiri sudah memerah. “E-enggak kok… aku nggak nemu apa-apa.” “Hooo…” Imas tertawa kecil, lalu bergumam sambil menggoyangkan kakinya. “Zaman sekarang masih aja pake begituan ya… padahal kan enakan juga yang asli.” Kata-kata itu meluncur ringan, tapi terasa panas di telinga Raga. Tangannya sempat berhenti mengelap, otaknya sibuk mencerna maksud ucapan Imas. Ia bisa merasakan tubuhnya menegang, bukan karena tangga, tapi karena arah pembicaraan yang makin berani. Raga menarik napas dalam, mencoba kembali fokus pada AC. Tapi matanya tetap tak bisa bohong, sekali lagi melirik Imas yang kini tersenyum sambil menatapnya tanpa berkedip. Raga masih berjongkok di atas tangga, tangannya bergerak membersihkan filter AC yang berdebu. Namun pikirannya tidak lagi fokus pada mesin di depannya. Degup jantungnya makin kencang setiap kali teringat kata-kata Imas barusan. Imas menyandarkan tubuhnya ke kasur, matanya menatap tajam ke arah Raga yang tampak gugup. Senyum tipis muncul di bibirnya, seolah ia tahu betul apa yang sedang dipikirkan laki-laki itu. “Mas, kok diem aja?” Raga berhenti sejenak, tangannya terhenti di pinggir AC. “Mas paham kan, maksud aku apa?” suara Imas terdengar pelan, tapi menohok. Raga menelan ludah, matanya tetap terpaku pada mesin. Tangannya kembali bergerak, pura-pura sibuk mengencangkan baut. Ia tidak menjawab, hanya diam dalam kegugupan yang sulit disembunyikan. Dalam hati, Raga tahu ia mengerti maksud Imas, tapi lidahnya seperti terkunci, takut salah bicara. Imas tertawa kecil, lalu kembali mengipasi lehernya dengan tangan. Tatapannya tak lepas dari Raga yang masih berusaha menenangkan diri. Keheningan tipis menyelimuti kamar itu, menyisakan ketegangan yang belum menemukan jawaban.Pagi itu udara masih sejuk. Matahari belum terlalu tinggi, dan halaman kos baru saja selesai disapu. Raga menyandarkan sapu di pojok teras, lalu masuk ke dapur untuk membereskan gelas dan lap meja. Hari itu dia berencana balik ke rumah Tante Maya dulu, karena perlu mandi dan ambil pakaian bersih. Ketika Raga baru saja menutup lemari piring, suara langkah dari tangga terdengar pelan. Rani turun sambil merapikan rambutnya yang masih sedikit kusut. Rani berkata pelan, “Pagi, Mas Raga.” Raga menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi juga.” Rani berjalan mendekat sedikit. “Abis beberes ya?” Raga mengangguk sambil mengambil sandal. “Iya. Mau balik sebentar ke rumah Tante Maya. Kamu mau kemana?” Rani menjawab santai, “Mau beli sarapan di luar.” Raga membuka pintu belakang rumah kos dan berjalan bersamaan dengan Rani sampai halaman depan. “Emang hari ini gak kuliah?" Rani menggeleng pelan. “Belum. Kuliah baru mulai besok. Hari ini masih libur.” Raga mengangguk paham. Beberapa detik
Malam itu kosan sunyi. Lampu lorong redup, cuma cukup buat lihat jalan. Raga selesai beberes area luar dan dapur, lalu berhenti sebentar di depan pintu kamar Gita. Di palanya cuma satu alasan: tugas bantu beresin kamar. Raga angkat tangan, ketuk pelan. Tok… tok… Beberapa detik kemudian, pintu terbuka setengah. “Mas Raga?” suara Gita terdengar santai, tapi ada nada… halus yang nggak ada semalam-semalam sebelumnya. “Masuk aja.” Raga refleks tarik napas kecil waktu pintunya kebuka lebih lebar. Gita pakai tanktop tipis warna hitam, jatuh longgar tapi tetap bentuk siluet bahunya kebayang jelas. Rambutnya digerai, ada sedikit basah kayak baru selesai mandi. Celana yang dia pakai bukan celana tidur panjang—tapi short pants kain lembut yang keliatan nyaman. Dan, entah disengaja atau tidak, dia berdiri dengan satu tangan di pinggul, satu bahu sedikit naik. Raga coba tetap datar. "Jadi ya, aku bersihin kamarmu." Gita sedikit menunduk sambil senyum tipis. “Iya Mas, sini. Aku tunggu di
Malam itu, warung kopi pinggir jalan terlihat ramai tapi tetap terasa santai. Lampu kuning redup, suara motor lewat sesekali, dan aroma kopi hitam pekat mengisi udara. Martin duduk paling pojok, tangannya menggenggam gelas kopi panas. Laura di sebelahnya sambil memainkan sendok kecil, sedangkan Raga duduk di seberangnya sambil menyeruput kopi. Raga buka pembicaraan duluan. “Tumben banget ngajak ngopi malem-malem gini, ada apa tuh?” katanya sambil melirik Martin. Martin nggak langsung jawab. Dia tarik napas kecil lalu menatap Raga dan Laura bergantian. “Laura udah cerita ke gue. Katanya Gita sama Rani udah balik kosan.” Raga mengangguk pelan. “Iya, mereka udah balik tadi pagi.” Martin ngelirik tajam, ekspresinya serius. “Menurut lu ada yang aneh nggak dari sikap mereka setelah balik?” Raga terdiam, menyandarkan punggung ke kursi sambil berpikir. Dia coba ingat momen ketemu Gita sore tadi—senyum, sikap, gaya bicara. Semuanya terasa normal, tapi ada sesuatu yang berbeda. Sayangn
Siang hari, suasana rumah Tante Maya terasa tenang. Di dapur, Laura sedang membantu menyiapkan makan siang. Tangannya sibuk memotong sayuran, sementara Tante Maya meracik bumbu di kompor. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Raga keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia berjalan santai menuju dapur setelah mencium aroma masakan. “Wah… harum banget. Udah mau siap ya?” katanya sambil menarik kursi. Laura hanya nyengir kecil tanpa menoleh. Tante Maya menjawab singkat, “Sebentar lagi.” Tak lama, semua makanan sudah tersaji di meja makan. Mereka pun duduk bersama dan mulai makan dalam suasana santai. Awalnya obrolan ringan—cuaca, kegiatan hari ini, rencana sore—sampai akhirnya Tante Maya berhenti makan sebentar dan memasang ekspresi sedikit serius. “Kalian tau nggak…” katanya pelan, “Gita sama Rani kayaknya udah sampai kosan.” Seketika suasana berubah. Raga langsung berhenti mengunyah. Laura juga refleks menoleh. Keduanya j
Setelah cukup lama berkeliling, Raga dan Rahma akhirnya keluar dari mall. Langkah mereka pelan, seolah masih menikmati sisa waktu yang ada. Di area parkiran, Rahma merapikan ujung jilbabnya sementara Raga membuka kunci motor. “Aku tanya dulu,” kata Raga sambil menoleh pelan. “Abis ini mau langsung pulang? Atau masih mau jalan?” Rahma menaikkan alis, pura-pura mikir. “Hmmm…” dia menatap langit yang mulai berubah jingga. “Kayanya kalau pulang sekarang sayang banget deh. Jalan bentar ke taman kota yuk mas? Sekalian liat sunset.” Nada suaranya santai, tapi jelas ada harapan di dalamnya. Raga tersenyum kecil, mengangguk. “Yaudah. Ayo.” Mereka berdua memakai helm, lalu motor melaju pelan melewati jalanan kota sore itu. Angin sore menyapu wajah mereka, dan suasana jadi terasa tenang. Rahma sesekali menunjuk arah atau komentar hal kecil yang dilihatnya di jalan. Begitu sampai di taman kota, Raga mencari tempat parkir yang teduh. Setelah motor terkunci, mereka mulai berjalan
Sore itu suasana dapur kosan cukup tenang. Raga duduk santai sambil main ponsel dan sesekali menyeruput minumnya. Hembusan angin dari halaman belakang bikin suasana adem. Langkah kaki terdengar mendekat. Rahma muncul dari arah koridor, sudah rapi dengan tas kecil di bahu dan parfum yang cukup menyengat. “Mas Ragaa…” panggilnya sambil senyum. Raga menoleh. “Ya?” “Antarin aku yuk.” Suaranya manja tapi terdengar santai. Raga mengangkat alis. “Kemana Ma?” “Ke mall. Aku udah izin ke Tante Maya kok, dan katanya boleh.” Rahma menjawab sambil memeriksa rambutnya sendiri. “Oh gitu.” Raga bangkit dari kursinya. “Yaudah, aku siap-siap dulu sebentar.” Rahma mengangguk sambil senyum puas, lalu duduk di kursi dapur sambil memainkan ponselnya. Tidak lama kemudian, Raga muncul lagi dari arah luar setelah berganti pakaian. Kaos hitam polos, celana jeans rapi, dan sepatu bersih. Rahma berdiri dan menyerahkan kunci motor padanya. “Monggo driver,” goda Rahma. Raga cuma senyum keci







