Share

Godaan Dari Imas

Penulis: NomNom69
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-03 15:15:15

Pagi itu suasana kosan masih lengang, hanya terdengar suara sapu yang digesek Raga di halaman. Sinar matahari mulai mengintip dari celah pepohonan, menerangi parkiran motor yang berjejer. Raga sudah terbiasa dengan rutinitas ini, menyapu lalu merapikan halaman sebelum para penghuni keluar.

Tak lama, terdengar suara sandal menuruni tangga. Wulan muncul dengan kaos longgar dan celana training, rambutnya diikat seadanya. Ia langsung berjalan ke arah motornya yang terparkir di pojok.

“Pagi, Mas Raga.”

“Pagi juga, Mbak Wulan. Mau kuliah ya?”

“Iya, sebentar lagi. Eh, tadi aku denger-denger, katanya Maudy ada barang pribadinya yang ilang lho.” Wulan nyengir kecil sambil menyalakan motor.

Raga sontak berhenti menyapu. Alisnya berkerut, jantungnya berdegup agak kencang. Ingatannya langsung melayang pada sesuatu yang ditemukannya kemarin di lemari Maudy.

“Barang apa maksudnya, Mbak? Kemarin pas dia pulang, nggak bilang apa-apa ke aku.” Suara Raga terdengar agak kaku.

Wulan menoleh cepat, memperhatikan ekspresi Raga yang mendadak serius. Senyumnya makin lebar, jelas terlihat ia sedang sengaja mengusik.

“Hmm… aku kurang tau juga sih barangnya apa. Coba aja nanti tanya langsung ke Maudy,” ucap Wulan sambil menahan tawa.

Raga menggaruk kepala yang tidak gatal. Pikirannya makin berputar, rasa penasaran bercampur dengan ketakutan. “Apa jangan-jangan yang dimaksud… itu?” gumamnya pelan dalam hati.

Wulan memutar gas motor pelan, lalu melirik sekali lagi. “Udah ah, aku jalan dulu. Tapi Mas jangan panik gitu, nanti malah keliatan aneh, hehe.”

Motor Wulan melaju meninggalkan halaman, sementara Raga masih berdiri kaku dengan sapu di tangan. Hatinya semakin resah, seperti ada perang rahasia yang mulai dimainkan di dalam kosan itu.

****

Siang itu suasana kosan terasa lengang. Raga baru saja selesai makan siang, lalu duduk di dapur bawah sambil menyeruput kopi dan menyalakan rokok. Asap rokoknya berputar pelan, menemaninya menikmati waktu istirahat sejenak.

Tiba-tiba langkah cepat terdengar dari arah pintu depan. Imas muncul dengan tangtop tipis dan celana pendek, keringat menetes di pelipisnya seakan baru saja pulang dari luar. Wajahnya agak lelah, tapi tetap menyunggingkan senyum tipis.

“Mas Raga, tolong dong… AC di kamarku udah nggak dingin banget. Tidur jadi gerah,” ucap Imas sambil mengibaskan tangan ke lehernya.

Raga menaruh rokok di asbak. “Oh, gitu ya? Yaudah, sekarang aja aku cek.”

“Serius nih? Makasih banget, Mas,” kata Imas sambil menghela napas lega.

Tanpa banyak pikir, Raga berdiri dan mengambil tangga lipat kecil yang biasa ia pakai. Mereka lalu berjalan menuju kamar Imas di lantai dua. Saat pintu kamar terbuka, aroma parfum bercampur keringat tipis langsung tercium, membuat ruang itu terasa begitu pribadi.

“Maaf ya agak berantakan, tadi pagi pulang kerja langsung tidur,” kata Imas menepuk-nepuk bantal di kasur.

Raga hanya mengangguk. “Nggak masalah kok. Mana AC-nya?”

Imas menunjuk ke arah dinding di atas kasur. Raga pun mulai menyiapkan tangga dan berdiri tepat di bawah mesin pendingin yang terlihat berdebu.

Saat ia memanjat, Imas berdiri di sampingnya sambil melipat tangan. Tatapannya sesekali naik ke arah Raga, lalu kembali ke lantai. Senyum samar muncul, seperti sedang menyimpan sesuatu di pikirannya.

“Ati-ati ya Mas, jangan sampe jatuh. Soalnya kalau jatuh, aku nggak bisa ngegendong,” ucap Imas dengan nada menggoda.

Raga hanya terkekeh kecil, mencoba tetap fokus membuka cover AC itu. Namun dalam hati, ia sadar, kamar kos ini bukan cuma tempat perbaikan mesin… ada sesuatu yang lebih hangat tersembunyi di balik tatapan Imas.

****

Raga masih berdiri di atas tangga lipat, tangannya sibuk membersihkan debu dari filter AC. Sesekali ia melirik ke bawah, melihat Imas yang duduk di tepi kasur dengan tangtop tipisnya. Keringat kecil masih menetes di leher Imas, membuatnya sibuk mengipasi diri dengan tangan.

Raga menelan ludah pelan, matanya sempat tertahan sebentar pada lekuk dada yang samar terlihat dari balik kain tipis itu. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura kembali serius membongkar cover AC. Namun degup jantungnya makin cepat, seolah ikut menegaskan kegugupannya.

“Mas, kemarin abis bersihin kamar Maudy ya?” suara Imas memecah keheningan.

“Eh, iya… kok tau?” Raga menoleh ke bawah dengan kening berkerut.

“Tau dong, hehe…” Imas menyeringai kecil, matanya berkilat penuh rahasia.

Raga mengerutkan dahi. “Emangnya kenapa?”

Imas menyandarkan tubuh ke kasur, senyumnya masih sama. “Trus Mas… nemu sesuatu nggak di kamar Maudy?” tanyanya dengan nada menggoda.

Raga sempat terdiam. “Nemu apa maksudnya?”

Imas mendongak, menatapnya tajam. “Masa sih nggak nemu apa-apa? Padahal kan Mas Raga bersihin semua kamarnya Maudy, ya?”

Raga tercekat, seketika ingat benda yang ditemukannya di lemari. Ia mencoba menyangkal, tapi wajahnya sendiri sudah memerah. “E-enggak kok… aku nggak nemu apa-apa.”

“Hooo…” Imas tertawa kecil, lalu bergumam sambil menggoyangkan kakinya. “Zaman sekarang masih aja pake begituan ya… padahal kan enakan juga yang asli.”

Kata-kata itu meluncur ringan, tapi terasa panas di telinga Raga. Tangannya sempat berhenti mengelap, otaknya sibuk mencerna maksud ucapan Imas. Ia bisa merasakan tubuhnya menegang, bukan karena tangga, tapi karena arah pembicaraan yang makin berani.

Raga menarik napas dalam, mencoba kembali fokus pada AC. Tapi matanya tetap tak bisa bohong, sekali lagi melirik Imas yang kini tersenyum sambil menatapnya tanpa berkedip.

Raga masih berjongkok di atas tangga, tangannya bergerak membersihkan filter AC yang berdebu. Namun pikirannya tidak lagi fokus pada mesin di depannya. Degup jantungnya makin kencang setiap kali teringat kata-kata Imas barusan.

Imas menyandarkan tubuhnya ke kasur, matanya menatap tajam ke arah Raga yang tampak gugup. Senyum tipis muncul di bibirnya, seolah ia tahu betul apa yang sedang dipikirkan laki-laki itu.

“Mas, kok diem aja?”

Raga berhenti sejenak, tangannya terhenti di pinggir AC.

“Mas paham kan, maksud aku apa?” suara Imas terdengar pelan, tapi menohok.

Raga menelan ludah, matanya tetap terpaku pada mesin. Tangannya kembali bergerak, pura-pura sibuk mengencangkan baut.

Ia tidak menjawab, hanya diam dalam kegugupan yang sulit disembunyikan. Dalam hati, Raga tahu ia mengerti maksud Imas, tapi lidahnya seperti terkunci, takut salah bicara.

Imas tertawa kecil, lalu kembali mengipasi lehernya dengan tangan. Tatapannya tak lepas dari Raga yang masih berusaha menenangkan diri.

Keheningan tipis menyelimuti kamar itu, menyisakan ketegangan yang belum menemukan jawaban.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Cemburu

    Arman menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Raga sambil menyeringai.“Aahh, nanti lu juga pasti pengen balik lagi kek dulu, Ga…” katanya dengan nada menggoda, separuh serius.Raga menatapnya dengan senyum tipis. “Yaelah, lu bikin penasaran gue aja, Man.”Bayu langsung menimpali, “Kasih aja, Man, kasih! Biar dia inget rasa masa lalunya.”Arman tertawa kecil. Ia meraih ponselnya di meja, menggulir layar, lalu menyodorkannya ke Raga.“Nih…”Raga menatap layar itu — dan napasnya tercekat.Benar. Itu Rahma.Tubuhnya telanjang, tertidur dengan posisi miring, selimut setengah menutupi bagian pinggulnya.Cahaya redup kamar hotel masih bisa dikenali dari foto itu.“Anjirr… siapa itu, Man!?” seru Raga pura-pura terkejut, menahan ekspresi yang hampir pecah.Arman terkekeh bangga.“Biasa, barang bagus. Abis enak-enak, dia kecapean, tidur gitu aja. Gw iseng fotoin.”Raga mengepalkan tangan di bawah meja. Dalam dadanya, amarah dan jijik bercampur jadi satu, tapi wajahnya tetap datar.“Masih aj

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kosan Arman

    Raga yang sudah setengah berbaring langsung bangkit ketika notifikasi WA berbunyi. Ia meraih ponselnya cepat, membaca nama pengirimnya—Arman.> Arman: Wahh, Raga! Kemana aja lu.Jantung Raga sedikit berdegup lebih cepat. Ia langsung membalas tanpa berpikir panjang.> Raga: Biasa… nongkrong lah besok.Tak butuh waktu lama, balasan datang lagi.> Arman: Boleh boleh… datang aja ke kosan gue, nih alamatnya....Raga membaca pesan itu pelan-pelan, memastikan alamat yang dikirim. Setelah itu, ia mengetik balasan singkat.> Raga: Oke, besok gue otw yaa.Pesan terkirim. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghembuskan napas pelan.Besok, pikirnya—semua akan mulai terjawab.======================JANGAN LUPA!!FOLLOW, LIKE, AND COMMENT!!======================Pagi itu udara masih sejuk, aroma sabun dari lantai yang baru dipel pelan menguap di udara.Raga menyapu halaman sambil menata beberapa pot bunga di teras. Pikirannya masih tertuju pada rencana siang nanti—pertemuannya dengan

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Pertemuan

    Pagi itu udara masih sejuk, embun belum sepenuhnya mengering di daun-daun halaman kosan. Raga menyapu pelan, menikmati ketenangan pagi yang jarang ia dapat akhir-akhir ini. Tak lama, langkah sepatu berhak terdengar dari arah pintu depan. Rahma muncul dengan setelan kantor rapi, rambutnya terikat sederhana, wajahnya tampak segar meski masih menyimpan gurat lelah. “Pagi, Mas,” sapa Rahma lembut sambil tersenyum. Raga menoleh, sedikit terkejut melihatnya sudah siap. “Pagi, Rahma. Lho, udah mau berangkat?” “Iya, Mas. Bosku udah nanyain terus, padahal baru sehari aja absen,” jawab Rahma, mencoba terdengar ceria meski suaranya masih agak pelan. “Ohh, yaudah… jaga kondisi, ya. Dan hati-hati di jalan,” kata Raga sambil menepuk gagang sapu. Rahma mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku berangkat dulu, ya.” Raga hanya tersenyum, mengikuti langkah Rahma dengan pandangan mata sampai tubuhnya perlahan menghilang di balik gerbang. Hening pagi kembali mengisi udara. Namun dalam benak Raga,

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kepingan Masalalu

    Tiba di kosan, suasana sudah sepi. Lampu lorong hanya menyala setengah, menambah kesan muram malam itu. Raga memapah Rahma perlahan menuju kamarnya di ujung koridor, memastikan gadis itu masih kuat berdiri. Begitu sampai, Rahma berhenti di depan pintu dan menatap Raga dengan mata sayu. “Mas… makasih ya, udah mau jemput aku,” ucapnya pelan. “Iya, gak usah dipikirin lagi. Yang penting kamu istirahat dulu,” jawab Raga lembut. Rahma menunduk, tangannya menggenggam gagang pintu erat. “Mas, tolong jangan bilang siapa-siapa ya… termasuk Tante Maya. Aku gak mau orang lain tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar. Raga mengangguk pelan. “Aku janji, Rahma. Ini cukup antara kita aja.” Rahma pun masuk ke kamarnya, menutup pintu perlahan. Raga berdiri sebentar di depan pintu itu, menarik napas panjang sebelum melangkah pergi. Sesampainya di halaman, ia langsung menuju rumah utama untuk mengembalikan kunci mobil. Tante Maya tampak duduk di ruang tamu sambil memegang tablet. “Eh,

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kemalangan Rahma

    Dalam perjalanan malam itu, jalanan cukup lengang, hanya beberapa mobil yang melintas di arah berlawanan. Raga menyetir pelan sambil sesekali menatap layar ponselnya. Ia mencoba mengirim pesan ke Rahma.> “Rahma, kamu di mana? Aku disuruh jemput sama Tante Maya.”Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan. Raga mulai khawatir. Ia pun mencoba menelepon. Satu kali, dua kali, tiga kali, tidak diangkat.Sambil terus mengemudi, ia menekan panggilan ulang. Akhirnya di dering keempat, sambungan terangkat. Suara Rahma terdengar di seberang—pelan, serak, dan lemah.“Ha.. halo.. Mas Raga..”“Rahma? Kamu di mana sekarang? Tante Maya nyuruh aku jemput kamu.” Raga langsung menegakkan tubuh, fokus penuh ke arah jalan.“H-hotel... Indah Palace... kamar... 203…” Suara Rahma nyaris tak terdengar jelas di antara napasnya yang berat.“Hotel? Maksud kamu di hotel, bukan kantor?” Raga bertanya memastikan, tapi Rahma hanya menggumam pelan sebelum sambungan terputus begitu saja.Tanpa pikir panjang, Raga lan

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Wujud Asli Kosan

    Pagi itu udara masih sejuk ketika Raga sibuk menyapu halaman kosan. Matanya agak sayu, tubuhnya sedikit lemas, seolah energi semalam masih membekas. “Pagi Mas… tumben lemes banget. Kerja lembur ya semalam?” sapa Wulan yang baru saja keluar dengan helm di tangan, siap berangkat ke kampus. “E-eh Wulan… eng… iya, semalam bantuin Maudy,” jawab Raga terbata, menyembunyikan kegugupannya. Wulan tersenyum nakal, lalu menepuk bahu Raga. “Oh… yaudah Mas, banyakin minum suplemen biar gak lemes. Hehe…” katanya, kemudian menyalakan motor dan meluncur pergi. Raga terdiam sejenak, pandangannya kosong ke halaman. Dalam hatinya, ia bergumam penuh waspada. Duuhh, mudah-mudahan tadi gak ada yang liat aku keluar kamar Maudy. Ia masih ingat jelas, sebelum fajar tadi ia pelan-pelan meninggalkan kamar Maudy, yang saat itu masih tertidur pulas dalam keadaan tanpa busana, wajahnya tenang di balik selimut. Meski begitu, Raga tetap harus kembali ke rutinitasnya. Bagaimanapun, pekerjaan di kosan tidak bol

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status