LOGINMalam pun tiba, saung kosan terlihat lebih ramai dari biasanya. Semua penghuni sudah hadir dan duduk melingkar. Raga datang membawa termos kopi dan teh, sementara Laura menenteng beberapa bungkus camilan yang langsung diletakkan di tengah. Suasana awal cukup cair, ada obrolan ringan, tawa kecil, dan candaan khas penghuni kos yang sudah saling kenal lama. Tak lama kemudian, Tante Maya datang dari arah rumah, tersenyum sambil melangkah ke saung dan ikut duduk bersama mereka. “Udah kumpul semua?” tanya Tante Maya sambil menatap satu per satu. “Udah, Tan!” jawab mereka hampir bersamaan. Tante Maya tersenyum, menghela napas pendek, lalu memulai pertemuan. “Assalamualaikum semuanya. Makasih ya udah mau nyempetin dateng malam ini.” Semua mengangguk, obrolan pelan langsung mereda. Perhatian tertuju ke Tante Maya. “Ada beberapa hal yang mau Tante sampaikan,” lanjutnya tenang. “Yang pertama, kita bakal nambah empat kamar kosan lagi. Sekarang proses pembangunannya sudah mulai.” B
“Ga! Buruan kamu ke kosan.” Raga yang baru saja selesai mandi sore itu langsung meraih kaus, mengenakannya seadanya. Rambutnya masih basah saat ia keluar rumah dan melangkah cepat menuju kosan. Firasat buruk menekan sejak langkah pertama. Begitu tiba di depan gerbang, langkah Raga mendadak melambat. “Martin…?” gumamnya pelan. Di halaman kosan, Martin terlihat berjalan turun dari arah tangga bersama beberapa anggota tim reserse narkoba. Di tengah mereka, Anita berjalan tertunduk. Kedua tangannya diborgol, wajahnya pucat, tanpa riasan, jauh dari kesan santai yang biasa ia tunjukkan. Beberapa warga sekitar sudah berkumpul di depan gerbang. Ada yang berbisik, ada yang terang-terangan memandang dengan rasa penasaran. Suasana kosan yang biasanya tenang berubah riuh oleh desas-desus dan tatapan ingin tahu. Pandangan Raga menyapu cepat ke dalam. Di dapur, Laura duduk diam di samping Tante Maya. Tidak ada obrolan. Tidak ada air mata. Hanya wajah tegang dan mata yang kosong. Raga
“Hah!? Farhan ketangkep?” suara Anita refleks meninggi sebelum buru-buru ia tekan lagi. Ponsel menempel di telinga, sementara langkahnya mondar-mandir di kamar. “Iya, Nit. Gue dapet kabar dari anak-anak kemarin,” suara Dede terdengar lebih tenang. Anita berhenti di dekat jendela, satu tangannya menekan pelipis. “Terus sekarang gimana? Kok bisa sih?” napasnya agak tersengal, dan mulai merasa panik. “Sementara stop dulu deh semua transaksi,” jawab Dede cepat. “Tunggu situasi bener-bener aman. Kita gak tau apa yang di nyanyiin Farhan ke polisi nanti.” Anita menghela napas panjang, lalu berbalik dan duduk di tepi ranjang. Matanya kosong menatap lantai. “Terus acara di vila gimana?” tanyanya ragu. “Itu kan udah direncanain dari jauh hari.” “Itu tetep jadi, Nit,” kata Dede. “Nggak enak sama yang lain. Lagian vilanya juga udah dibayar.” Anita terdiam sejenak. “Aman nggak?” suaranya kini jauh lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Aman. Lo tenang aja,” Dede menegaskan. “Farhan ke
“Hah, kamu mau ikut Anita ke acara gathering kantornya?” suara Raga terdengar agak meninggi saat mereka duduk di saung sore itu.Wulan yang sejak tadi selonjoran di bangku bambu menoleh santai. “Iya, Mas. Mbak Anita minta ditemenin katanya.”Raga menghela napas pelan, menatap halaman kosan. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia mengangguk. “Hmmm… yaudah, Lan. Gak apa-apa. Yang penting kamu hati-hati, ya.”Wulan tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Iya, Mas.”Raga meliriknya sekilas. “Terus kuliahmu gimana?”“Kan libur, Mas. Ih, gimana sih,” jawab Wulan sambil mencubit pelan lengan Raga.Raga terkekeh, refleks mengacak rambut Wulan dengan santai. “Kamu seneng banget nyubit orang, ya.”Wulan tertawa kecil, berusaha menepis tangan Raga. “Biar Mas gak lupa terus.”Belum sempat Raga menanggapi, suara dari arah halaman memecah suasana. “Wehehee! Kalian makin mesra aja, ya!”Ningsih berjalan mendekat ke saung dengan senyum jahil di wajahnya. Wulan langsung manyun. “Ihh, Mbak Ningsih!”Raga ikut
Malam itu Raga sedang berada di dapur lantai dua, membereskan sisa gelas dan cangkir sambil sesekali menyesap kopi. Suasana kosan cukup tenang, hanya terdengar suara kipas angin dan langkah kaki samar di lorong. Dari sudut matanya, Raga melihat pintu kamar Anita terbuka. Perempuan itu keluar, lalu berhenti di depan kamar Wulan. Raga refleks menoleh lebih jelas. Ia melihat setengah badan Wulan muncul dari balik pintu, tangannya menyodorkan sebungkus rokok ke arah Anita. Anita menerimanya cepat, tanpa banyak bicara. Alis Raga sedikit mengernyit. Sejak kapan Wulan ngerokok? batinnya, matanya menyipit sejenak. Tak lama kemudian Anita berjalan menyusuri lorong menuju tangga. Saat berpapasan, ia hanya menyapa singkat, lalu turun dan menghilang ke arah bawah, hingga terdengar samar suara gerbang dibuka. Rasa penasaran Raga akhirnya menang. Ia meletakkan lap dapur, lalu melangkah ke depan kamar Wulan dan mengetuk pelan. Pintu terbuka. “Iya, Mas? Kenapa?” tanya Wulan santai. “G
Keesokan harinya, kegiatan Raga berjalan seperti biasa. Pagi ia habiskan dengan beres-beres kosan, memastikan dapur rapi, lalu duduk sejenak sambil menyeruput kopi. Menjelang siang, suasana kosan mulai hidup kembali, beberapa penghuni lalu-lalang bersiap dengan urusan masing-masing. Saat Raga sedang berada di dapur, matanya menangkap sosok Anita dan Wulan yang berjalan berdampingan ke arah pintu gerbang. Ada sesuatu dari cara Anita melangkah yang langsung bikin perasaan Raga gak enak. “Mau ke mana, Lan?” tanya Raga spontan. Wulan menoleh sambil tersenyum. “Mau nemenin Mbak Anita bentar, Mas. Habis itu langsung ke kampus.” Raga mengangguk pelan, mencoba terdengar biasa. “Oh gitu. Yaudah, hati-hati ya, Lan. Anita juga.” “Siap, Mas ganteng,” jawab Wulan ringan. Anita hanya mengangguk singkat. “Iya, Kak.” Pintu gerbang tertutup perlahan di belakang mereka. Raga tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah luar. Ada rasa tidak nyaman yang makin menguat di dadanya. Jan







