Runa menatap tangan itu. Dadanya sesak. Bukan karena takut, tapi karena ia sadar bahwa tangan itu menawarkan sesuatu yang selama ini tak pernah ia punya, sebuah pilihan.
Butuh beberapa detik sebelum Runa akhirnya menyambut uluran itu. Kian menariknya berdiri. “Mobilku ada di seberang,” katanya pelan. “Ayo. Aku cuma ingin kamu tidur di tempat yang aman malam ini. Itu saja.” Mereka menyeberang jalan yang sunyi bersama. Runa melangkah dengan ragu, tapi ia tetap berjalan. Setiap langkah terasa seperti menanggalkan satu per satu belenggu yang selama ini menahannya, antara moral, budi dan status. Mobil melaju menyusuri jalanan sunyi menuju pinggiran kota. Runa bersandar lelah di kursi penumpang, tak banyak bicara sejak mereka meninggalkan halte. Matanya kosong menatap keluar jendela, tapi pikirannya gaduh. Beberapa waktu kemudian, Kian membelokkan mobil ke jalan pribadi yang terlindung oleh pagar pohon cemara. Di ujung jalan itu berdiri sebuah vila kecil bergaya Skandinavia. Lampu eksterior temaram, dindingnya dari kayu alami yang hangat yang tampak nyaman, seperti rumah yang dirindukan seseorang setelah terlalu lama terjebak dalam masalah kehidupan. “Tempat ini milik keluarga. Tapi aku yang paling sering ke sini,” ucap Kian sambil mematikan mesin mobil. Ia turun lebih dulu membuka pintu untuk Runa. “Aku butuh tempat yang tenang setelah hari-hari yang terlalu bising.” Runa melangkah masuk dengan langkah pelan. Udara di dalam vila itu hangat. Aroma kayu dan rempah halus menyambutnya. Ruangan utama memiliki perapian kecil, jendela besar menghadap ke danau yang berkilau tenang di bawah cahaya bulan. “Ini ... terlalu indah,” bisik Runa nyaris tak terdengar. Kian hanya tersenyum. “Tempat indah yang pantas dikunjungi orang-orang yang terluka.” Runa berdiri di dekat jendela, menatap bayangan air yang memantulkan cahaya remang malam. Ia menggenggam lengannya sendiri, seperti masih ingin menjaga jarak karena rasa bersalah dalam dirinya sendiri. Kian mendekat perlahan, lalu berhenti satu langkah di belakangnya. “Boleh aku ceritakan sesuatu yang bodoh?” Runa menoleh setengah, matanya bertanya. “Aku pernah jatuh cinta pada seseorang waktu SMA. Dia menolak karena katanya wajahku mirip pizza.” Runa mengerjapkan matanya. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya, tapi kemudian tertawa terkekeh. “Pizza?” "Aku pernah jerawatan parah. Sampai orang-orang bilang wajahku mirip pizza topping sosis," ujar Kian santai sambil menyandarkan tubuh ke sofa. Runa mengerutkan dahi, matanya melirik wajah pria di hadapannya yang kini sedang menyodorkan mug teh padanya. "Pizza? Kamu? Nggak masuk akal. Wajahmu sekarang ... terlalu bersih." "Bisa tanya ke dokter kulit lamaku kalau nggak percaya," kata Kian, lalu tersenyum kecil. Ia meraih ponselnya dan mulai membuka galeri. "Serius? Kamu punya buktinya?" Tanpa berkata-kata, Kian menyodorkan ponselnya ke arah Runa. Layar menampilkan beberapa foto lama, seorang remaja laki-laki dengan rambut acak-acakan, kulit wajah penuh bekas jerawat, dan senyum lebar yang nyaris tak berubah. Runa tertawa kecil. "Astaga. Kamu seperti ... anak SMA yang baru keluar dari hutan." "Makasih," gumam Kian, pura-pura tersinggung. Ia menggeser beberapa foto lain. Beberapa menunjukkan dirinya di bengkel, lalu di kampus teknik, bahkan ada satu saat ia berdiri di bawah air terjun dengan tubuh lebih kurus dan rambut panjang sebahu. Runa memperhatikan semua itu dengan mata takjub, lalu berkata pelan, "Kamu nggak pernah upload ini semua?" "Ngapain? Biar reputasiku tetap aman." Ia terkekeh, lalu menutup galeri dan menyandarkan ponsel di meja. Beberapa detik berlalu sebelum Runa bertanya, suaranya pelan, "Lalu … mana foto istrimu?" Pertanyaan itu membuat keheningan turun sejenak. Kian mengangkat alis, lalu menatap Runa lurus-lurus. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Kian justru berkata, "Aku nggak pernah bawa siapa pun ke vila ini. Kamu yang pertama." Runa terdiam. Matanya terpaku pada Kian yang menatapnya tanpa senyum, namun juga tanpa kebohongan. Bukan sebuah jawaban atas pertanyaannya, tapi sebuah pernyataan yang cukup membuat jantungnya berdebar aneh. "Hmm," gumam Runa akhirnya, pura-pura sibuk dengan mug tehnya yang mulai hangat. Tapi di hatinya, ada sesuatu yang berdenyut pelan. Campuran rasa penasaran, gugup, dan … entah kenapa terasa begitu nyaman. Kian tidak berkata apa-apa lagi. Hanya memandangi Runa dengan tatapan yang seolah bisa menembus isi pikirannya. Saat Runa akhirnya mendongak untuk menatap balik, waktu terasa merayap dengan lambat. Kian menyentuh rambut Runa dengan lembut, menyelipkannya ke belakang telinganya. Tangannya berhenti di sana. “Tadi, kamu cantik sekali saat tertawa.” Napas Runa perlahan bergetar. Ia tak menjawab. Tapi ia juga tidak menjauh. Kian menatapnya dalam. “Aku tahu kamu terluka, Runa. Aku bisa lihat dari cara kamu berdiri, dari cara kamu diam. Kamu perempuan yang terlalu sering diam untuk menyelamatkan semuanya, tapi kamu lupa buat menyelamatkan diri sendiri.” Runa menunduk. Matanya mulai panas, tapi ia masih berusaha menahannya. Kian mendekat. Bibirnya hampir menyentuh dahi Runa. “Kalau kamu mau marah, mau nangis, atau bahkan memaki dunia ... lakukan saja malam ini. Di sini. Bersamaku.” Tangan Runa naik perlahan, menggenggam jemari Kian yang masih menempel di pipinya. Kontak itu sederhana… tapi bagi Runa, sentuhan itu seperti pegangan terakhir di tepi jurang.“Kenapa kamu baik padaku?” bisiknya, suaranya serak, dada terasa sesak oleh rapuh yang tiba-tiba menyeruak.
Kian tidak menjawab. Ia menunduk, mengecup keningnya perlahan, lalu menyusuri garis rahang dengan bibirnya.
“Karena aku tahu rasanya ingin pergi… tapi tak tahu ke mana.”
Saat mata mereka bertemu, Kian menutup jarak dan mencium bibirnya. Awalnya lembut, lalu menekan lebih dalam. Runa merasakan bibir itu bergerak mantap, lidahnya menyapu pelan hingga napas mereka berpadu.
Tangan Kian turun ke lehernya, jemarinya menggeser piyama satin yang licin. Satu per satu kancing dibuka, menyingkap kulit yang langsung tersapu udara dingin, sebelum kembali dilapisi panas tubuhnya. Piyama itu melorot hingga menyisakan bahunya yang telanjang.
Kian menunduk, menggesekkan hidungnya di sepanjang tulang selangka, lalu mengecupnya. Napasnya terasa langsung di kulit. Jemarinya menekan pinggang Runa, menariknya hingga dada mereka saling menempel.
Runa menggenggam lengannya, tubuhnya sedikit bergetar. Kian menggeser tangannya ke punggung, meraih kain tipis yang tersisa.
“Kamu mau aku berhenti?” suaranya rendah, jemarinya masih menahan kain itu di ujung jemari.
Runa terdiam, napasnya memburu. “Tidak… sentuh aku,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Tatapan Kian mengeras, dan tanpa ragu jemarinya menurunkan sisa kain itu, membiarkan kulit Runa sepenuhnya terbuka di bawah tatapannya.
Juwita mengangkat wajahnya perlahan, ia masih ragu. "Run … ini sudah klien besar kedua yang mundur dalam minggu ini."Runa memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi dengan tatapan tajam. "Oke. Catat baik-baik. Kita akan buat daftar semua klien yang mundur, beserta alasan mereka. Aku mau tahu siapa yang menghubungi mereka sebelum keputusan itu diambil.""Baik … tapi —""Nggak ada tapi." Runa memotong cepat, lalu duduk di kursinya. "Kalau mereka mau main kotor, kita nggak akan diam. Darrel pikir dia bisa tekan aku lewat bisnis? Salah besar."Juwita menggenggam tablet lebih erat. "Run,aku … aku cuma takut ini bakal makin besar."Runa menatapnya lama. "Wit, dengar. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Kalau mereka mau perang, kita kasih perang. Tapi kali ini … kita yang pilih medannya."Juwita mengangguk pelan, tapi ekspresinya masih khawatir. Ia berbalik menuju pintu, lalu berhenti. "Run … kamu hati-hati, sepertinya Darrel nggak main-main."Runa tersenyum tipis, senyum yang lebih mi
Telepon di meja Runa bergetar keras, tapi ia justru menutupnya dan menekan tombol panggil setelah memilih nomor Darrel. Setiap nada tunggu membuat darahnya berdesir lebih cepat, hingga akhirnya suara itu terdengar di telinganya. Datar dan nyaris tanpa emosi.“Runa.”“Jangan pura-pura nggak tahu.” Suara Runa tajam, tanpa ucapan salam. “Aku baru saja lihat live stream itu. Litha, di depan ratusan ribu orang, memainkan narasi yang jelas-jelas menjatuhkan aku. Dan kamu … membiarkannya.”Terdengar tawa kecil di ujung sana, tawa pendek yang dingin. “Membiarkannya? Runa, aku tidak bisa mengontrol semua orang, apalagi Litha.”Runa mengepalkan tangan. “Omong kosong. Aku yakin dia nggak akan bisa ngomong se-presisi itu tanpa ada yang membisikinya. Dan satu-satunya orang yang diuntungkan dari semua ini adalah —”“Cukup.” Nada suara Darrel berubah tajam, memotong kalimatnya. “Kalau kamu mau nuduh aku, pastikan kamu siap dengan bukti. Atau … sebenarnya kamu cemburu karena aku nggak pernah punya ha
Pagi itu, kantor masih sunyi. Hanya suara kipas pendingin dan derit kursi yang mengisi ruang. Runa baru saja membuka laptopnya ketika suara langkah terburu-buru terdengar dari arah koridor. Juwita muncul di pintu dengan wajah pucat dan napas tersengal, seperti baru saja berlari dari ujung gedung.“Run …” suaranya parau, matanya lebar. “Kamu harus lihat ini. Sekarang.”Tanpa menunggu persetujuan, Juwita menaruh ponselnya di atas meja kerja Runa. Layar menampilkan sebuah siaran langsung di media sosial yang sudah ditonton puluhan ribu orang.Di layar, Litha duduk di kursi beludru abu-abu, di depan meja kaca dengan bunga putih yang disusun rapi. Latar belakangnya sederhana, tapi pencahayaan sempurna membuat kulitnya terlihat bercahaya. Gaun biru pastel yang ia kenakan memberi kesan lembut yang rapuh.“Pagi ini …” suara Litha terdengar rendah, nyaris gemetar, “saya memutuskan untuk bicara … setelah sekian lama saya memilih diam.”Ia berhenti sebentar, menunduk, dan menarik napas panjang.
Malam sudah sangat larut saat pintu apartemen terbuka perlahan. Darrel masuk dan menutupnya tanpa suara. Gerakannya tenang, tapi berat seperti seseorang yang baru saja menjalani jam-jam panjang penuh basa-basi dan senyum palsu. Aroma parfum kayu yang hangat langsung menyusup ke ruangan, mendahului sosoknya. Jas hitamnya basah di bagian bahu, rambutnya sedikit acak akibat hujan.Litha duduk di sofa, kaki disilangkan dengan posisi yang tampak santai tapi penuh perhitungan. Gaun satin tipis berwarna gelap terlihat cantik dengan warna kulitnya yang kontras, mengikuti lekuknya dengan kilau lembut yang hampir terlalu intim untuk malam yang dingin. Rambutnya terurai agak berantakan, eyeliner-nya juga mulai memudar. Di meja kopi, segelas wine merah hanya tersisa setengah, namun jemarinya memegangnya seolah tak akan melepaskan.“Kamu datang juga,” suaranya datar, nyaris dingin, tanpa menoleh.Darrel menggantung jasnya di kursi makan, lalu berjalan pelan, tatapannya mengikuti Litha dari ujung k
Restoran itu temaram diterangi cahaya lilin yang bergoyang lembut di setiap meja. Dindingnya berlapis kayu tua mengkilap, aroma rempah hangat bercampur samar dengan bau anggur merah yang baru dibuka. Musik jazz pelan mengalun dari sudut ruangan, seakan ingin menenangkan, tapi justru membuat udara di antara mereka terasa semakin berat.Runa melangkah masuk, tumit sepatunya beradu dengan lantai kayu, setiap langkah terdengar mantap dengan irama yang sempurna. Matanya menangkap sosok Darrel yang sudah duduk di meja pojok, jas hitamnya rapi, dasinya tertata sempurna, dan di bibirnya tersungging senyum tipis. Senyum yang bagi kebanyakan orang tampak hangat, tapi bagi Runa justru terasa seperti jerat yang siap mengencang.“Kamu cantik sekali malam ini, Sayang,” ucap Darrel sambil bangkit, menarik kursi untuknya dengan gerakan yang terlalu manis untuk bisa dipercaya.Runa duduk perlahan, menatapnya datar. “Kamu tidak bilang akan ada makan malam seperti ini.”Darrel mengangkat alis, tersenyum
Pagi itu udara di kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Rasa dingin itu bukan hanya datang dari pendingin ruangan, tapi dari tatapan diam-diam yang mengikutinya sejak melewati pintu lobi, dari balik layar komputer, dari meja resepsionis, bahkan dari lorong tempat beberapa rekan-rekan kerja Runa yang berdiri sambil pura-pura ngobrol.Tumit sepatu Runa beradu dengan lantai marmer, menghasilkan bunyi jernih yang terdengar terlalu nyaring, seolah setiap langkahnya mengumumkan keberadaannya kepada semua orang yang sudah lebih dulu membaca berita pagi ini. Bunyi itu memantul di kepalanya, selaras dengan detak jantungnya yang semakin cepat.Ia tak perlu membuka ponsel untuk tahu apa yang terjadi. Semalam, ia sudah melihat semuanya, tepat ketika ia berbaring gelisah di tempat tidur, mencoba memejamkan mata. Ia bisa melihat notifikasi masuk bertubi-tubi dari grup-grup chat kantor yang riuh, pesan dari nomor tak dikenal, tautan berita dengan judul tebal yang di layar ponselny