Hujan seperti merobek langit malam, membasahi seluruh tubuh Runa yang masih berdiri terpaku di trotoar. Bukan karena dingin ia menggigil, tapi karena lelaki di hadapannya. Lelaki dari dalam bus tadi, kini berdiri begitu dekat, nyata, beraroma air hujan dan hasrat yang tak selesai.
Ia menatap lelaki itu dalam diam. Nafasnya pendek, dadanya naik turun tak teratur. Tubuhnya masih menyimpan sisa reaksi dari sentuhan dalam bus tadi, dari tekanan samar yang sempat ia benci tapi juga diam-diam ia nikmati. Sekarang, dalam jarak sedekat ini, semua denyut itu kembali menyerbu, liar, tanpa aba-aba. Lelaki itu tak berkata apa-apa. Matanya menatap langsung ke dalam matanya, tanpa malu, tanpa ragu. Ada sorot yang dalam di balik hujan yang membasahi wajah tampannya, seperti mengatakan bahwa ia tahu betul apa yang barusan terjadi di antara mereka. Seolah tubuh mereka sudah saling bicara bahkan sebelum mulut mereka buka. Runa menelan salivanya. Suaranya tercekat. "Aku ngikutin kamu," kata lelaki itu pelan, tapi jelas, dengan nada rendah yang membuat kulit lehernya meremang. "Sejak kamu turun dari bus tadi." Hujan tak mengizinkan keheningan. Tapi di antara ribuan titik air, napas mereka terasa paling nyata. "Kenapa?" bisik Runa, nyaris tak terdengar oleh siapa pun kecuali lelaki itu. Lelaki itu tersenyum. Satu sudut bibirnya terangkat. "Karena kamu menggigil … tapi bukan karena kedinginan." Ucapan itu menghantam jantungnya. Tepat dan dalam hingga ia tak bisa menyangkal lagi. Seumur hidupnya, Runa tak pernah merasa sehidup ini. Tak pernah merasa dilihat, begitu dipahami, hanya dalam tatap dan napas. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, tubuhnya mengambil keputusan lebih dulu daripada pikirannya. Ia melangkah mendekat, memotong jarak yang tersisa. Air hujan mengalir di pelipisnya, menetes dari ujung rambut ke bibirnya. Tapi lelaki itu tetap diam, membiarkan jarak mereka menyatu. Hanya selisih napas. "Aku baru saja melihat suamiku bercumbu dengan perempuan lain," ucap Runa pelan, matanya tetap menatap lurus. "Di ranjangku. Di rumahku." Lelaki itu tidak bereaksi. Tapi tangannya perlahan terangkat, menyingkirkan satu helai rambut basah dari wajah Runa, lalu membiarkannya menyentuh pipi, pelan. Sentuhan itu seperti percikan api ke kulit beku. "Dan kamu?” gumamnya, “Mau lari darinya … atau mau lari ke sesuatu?" Runa tersenyum. Kali ini untuk menutupi kegetiran dalam hatinya. Lalu ia mendekat lagi, cukup untuk mencium aroma sabun pria itu yang samar di balik hujan. Tubuh mereka nyaris bersentuhan, napas mereka sudah saling bertabrakan. "Aku cuma ... mau merasa diinginkan," bisiknya jujur. "Bukan sekedar dimiliki. Bukan ditoleransi. Tapi ... diinginkan." Lelaki itu tak menjawab. Sebaliknya, ia menunduk sedikit, tanpa tergesa. Seolah memberi Runa waktu untuk mundur. Tapi Runa tidak bergerak. Dan saat bibir mereka bersentuhan, segalanya terasa seperti ledakan dalam diam. Ciuman itu basah, hangat, dan penuh kekacauan yang tertahan. Tangan Runa menggenggam kerah kemeja lelaki itu, menariknya lebih dekat. Hujan masih mengguyur, tapi tubuh mereka seperti berpindah ke dunia lain. Dunia basah dan kelam, penuh rasa pahit dari pengkhianatan dan manis dari pelampiasan yang terlambat. Lelaki itu menarik wajahnya sedikit, menatap Runa. "Ikut aku," ucapnya pendek. Runa mengangguk. Ia melangkah dengan patuh tak bertanya ke mana. *** Runa berdiri mematung di dekat dinding tua yang lembab. Kamar itu sempit, ranjangnya berderit saat disentuh angin dari jendela kecil yang tertutup tirai lusuh. Aroma sabun murah dan kayu lapuk menyatu, tapi tak ada yang lebih menyengat daripada detak jantung di dalam dadanya. Lelaki itu mendekat pelan, menyalakan lampu meja yang meredupkan seluruh sudut ruang. Tak ada kata. Hanya tatapan mereka yang bertemu. Panas penuh hasrat, seolah dunia menyusutkan jarak hingga satu tarikan napas di antara mereka. Dengan gerakan pelan, Runa membuka kancing atas kemejanya. Tapi sebelum jemarinya menyentuh yang kedua, tangan laki-laki itu terangkat, menyentuh punggung tangannya. Lembut namun tegas, menggantikannya meloloskan manik-manik itu satu demi satu. Tanpa suara, hanya derik kecil dari kancing plastik yang terlepas dari lubangnya. Runa menunduk, napasnya tertahan. Bukan karena takut, tapi karena tubuhnya seperti baru menyadari bahwa ia hidup. Kemejanya terlepas, jatuh setengah meluncur ke lantai. Tubuhnya tidak mundur. Ia hanya berdiri di sana, telapak kaki menempel pada lantai dingin, sementara tangan laki-laki itu menyentuh pinggangnya. Sekilas saja, namun cukup membuat seluruh nadinya bergetar. Lelaki itu menariknya mendekat. Gerakan yang pelan, tapi pasti. Seperti aliran hangat yang melewati celah kulit dan kesadaran. Runa tidak bicara. Ia hanya memejamkan mata saat tubuh mereka bersentuhan, menyatu dalam keheningan yang riuh di dalam dada. Ranjang itu berdecit ketika punggung Runa menyentuh kasurnya. Ia menarik napas panjang, membiarkan tangan-tangan itu menjelajah, bukan dengan nafsu, tapi dengan ketenangan yang anehnya membuatnya lemas. Runa tak melawan saat tubuhnya dituntun ke tepian ranjang. Tangannya sempat menggenggam ujung sprei yang sedikit berdebu, seakan mencoba menahan sesuatu yang telah terlalu lama tertahan. Lelaki itu berdiri di hadapannya, membungkuk sedikit, membiarkan jari-jarinya menyentuh bahu Runa. Sentuhan itu tidak liar. Tidak memaksa. Tapi ada kekuatan tenang di dalamnya, seperti angin yang tahu persis di mana harus berhembus agar sesuatu bergoyang. Runa mendongak. Tatapan mereka bertemu lagi. Tanpa bicara, seakan sebuah kesepakatan bisu antara dua orang dewasa yang tahu bahwa malam ini bukan tentang cinta, bukan tentang rencana masa depan, tapi tentang mengisi ruang kosong yang terlalu lama dibiarkan menganga. Lelaki itu berlutut di hadapannya, tangannya menyusur perlahan dari lutut ke pahanya. Runa nyaris menahan napas. Ia tidak terbiasa disentuh seperti ini. Dengan perhitungan, dengan perhatian, dengan sejenis penghormatan yang asing. Tangannya, yang tadi gemetar, kini justru berani bergerak menyentuh rambut lelaki itu, mengusap pelipisnya, lalu turun ke garis rahangnya yang kuat dan tajam. Desahan kecil lolos dari bibirnya, bukan karena sakit, bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya ia merasa dilihat, dirasakan dan diinginkan. Ia mengangkat tubuhnya, dan mereka bergeser ke atas ranjang sempit itu. Suara kasur tua bergesekan pelan, tapi tak ada yang peduli. Lelaki itu mencium bahunya, lambat dan dalam, lalu turun ke tulang selangkanya. Runa memejamkan mata. Ada desir halus mengalir dari tengkuk ke tulang belakangnya. Saat mereka berbaring berdampingan, dada bertemu dada, napas beradu panas, Runa menyentuh wajah lelaki itu. Jarinya menelusuri dahi, pipi dan bibir yang kini terbuka sedikit, seakan sebuah penantian. Mereka saling mendekat, dan kali ini ciuman mereka bukan untuk mencuri rasa, tapi untuk membagi napas. Untuk menyelami luka. Untuk menemukan kembali getar yang selama ini dipendam. Tubuh mereka bergerak lambat. Tidak buru-buru. Tidak ingin lekas selesai. Setiap sentuhan terasa seperti kalimat yang tidak pernah sempat terucap dalam rumah tangganya yang sunyi. Dan ketika lengan lelaki itu melingkari punggungnya, memeluknya seolah ia adalah satu-satunya alasan malam ini berarti, Runa membenamkan wajah di dadanya. Tak ada kata-kata. Hanya suara napas yang menyatu, peluh yang menetes perlahan, dan getar di perut yang membuat tubuhnya lemas. Ia tidak ingin menjelaskan. Tidak ingin membenarkan. Yang ia tahu, malam itu tubuhnya bukan sekadar cangkang yang dipajang di rumah mewah.“Iya, aku kangen banget sama dia. Puas?” balas Runa, “astaga … bahkan saat dia tidak ada di sini, kamu juga masih cemburu sama dia?” Kian tertawa, tangannya meraih pinggang Runa, kemudian menarik tubuh perempuan itu lebih dekat ke arahnya. Ia mendekatkan wajahnya, menatap mata Runa dengan tatapan intens yang penuh dengan kesungguhan. “Aku cemburu, tentu saja. Karena aku cinta sama kamu. Karena aku nggak mau kamu lihat pria lain selain aku,” imbuhnya. Runa merasakan jantungnya berdegup kencang. Napasnya tertahan saat menatap mata Kian yang begitu dekat, begitu intens. Tangannya terangkat, menyentuh dada Kian yang bidang, merasakan detak jantung lelaki itu yang berdegup sama cepatnya dengan miliknya. “Kian …” Runa berbisik pelan. Tanpa menunggu lagi, Kian menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Runa dengan lembut. Awalnya hanya kecupan ringan, seolah bertanya izin. Tapi, begitu Runa membalas, kecupan i
Runa menatap Kian dengan tatapan penuh kekhawatiran. Di sekelilingnya, Karin dan Bram masih berbincang dengan antusias tentang rencana pernikahan, membahas tema, lokasi, bahkan bunga yang akan digunakan. Namun, Runa sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi dengan satu hal. Bagaimana mungkin mereka bisa menikah jika secara hukum dia masih terikat dengan Darrel?Kian merasakan kecemasan Runa melalui genggaman tangannya yang semakin kencang. Ia menoleh ke arah Runa, lalu tersenyum tipis. Sebuah senyum yang menenangkan tapi penuh dengan kepastian.“Ayo, ikut aku.” Kian menarik tangan Runa dengan cepat. Runa membungkukkan setengah badannya sambil tersenyum, lalu mengikuti Kian. Keduanya berjalan cepat menuju ruang kerja Kian yang ada di sudut rumah.Runa menatap punggung Kian dengan tatapan bingung. Jantungnya berdegup kencang, perasaan tidak enak mulai menyelinap di dadanya. Apa yang akan Kian ambil? Apa yang akan dia tunjukkan?Beberapa saat kemudian, Kian berbalik dengan sebuah
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Runa menatap keluar jendela, tangannya terkepal di pangkuannya, pikirannya berkecamuk. Ia masih bisa merasakan kekecewaan yang terpancar dari wajah Kian tadi. Ia tahu, penolakannya pasti menyakiti Kian. Tapi, Runa tidak bisa begitu saja mengabaikan kenyataan bahwa secara hukum, dia masih terikat dengan Darrel.Kian tidak mengatakan apa-apa lagi. Tangannya mencengkeram setir dengan tenang, wajahnya datar, matanya fokus ke jalan. Namun, Runa bisa merasakan ketegangan yang masih menggantung di udara di antara mereka.Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Runa menyadari sesuatu yang aneh. Jalanan yang mereka lalui bukan jalanan menuju apartemennya. Ia mengerutkan alis, menoleh ke arah Kian dengan tatapan bingung.“Kian, ini bukan jalan ke apartemen kita,” kata Runa.Kian tidak menjawab. Ia hanya terus mengemudi dengan tenang, seolah tidak mendengar pertanyaan Runa.“Kian? Kita mau ke mana?” Runa melontarkan pertanyaan. Membuat
Kian memarkirkan mobilnya di area parkir rumah sakit yang luas, matanya langsung menyapu sekeliling mencari sosok Runa. Ia sudah mengirim pesan sejak tadi pagi, mengatakan akan menjemput Runa setelah urusan di rumah sakit selesai. Namun, sejak sampai, dia tidak menemukan Runa di lobi atau di koridor tempat mereka biasa bertemu. Kian melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Matanya terus mencari keberadaan Runa. Dan langkahnya terhenti tepat di jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumah sakit. Kian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Runa duduk di bangku taman dengan sinar matahari sore yang menerangi rambutnya yang tergerai lembut. Tapi, yang membuat langkah Kian terhenti adalah sosok lelaki yang duduk di kursi roda tepat di sebelah Runa. Robert. Lelaki itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kian melihatnya, wajahnya pucat, tapi senyumnya masih sama, senyum yang terlalu hangat, terlalu akrab.
Runa merasakan paru-parunya terbakar, napasnya tercekat di tenggorokan yang dicengkeram dengan keras oleh tangan Darrel. Matanya mulai berkabut, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Tangannya mencakar pergelangan tangan Darrel, kukunya menggores kulit lelaki itu, tapi genggaman Darrel tidak mengendur sedikitpun.“Jawab aku, Runa!” Darrel berteriak lagi.Suara pria itu memekakkan telinga di ruang sempit itu. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang, matanya menyala penuh amarah yang tidak terkendali. “Apa yang kamu katakan ke Mama? Kamu meracuni pikirannya, kan? Kamu bilang apa tentang Litha? Kamu pasti berkata buruk tentang Litha pada Mama, bukan? Katakan, Runa! Mustahil kamu tidak mengatakan hal buruk tentang Litha!”Runa membuka mulutnya, mencoba menjawab, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya desahan napas tersengal-sengal yang terdengar semakin lemah. Penglihatan Runa mulai mengabur, tubuhnya melemas, tangannya yang semula menc
Runa menatap pintu ruang rawat yang terbuka di hadapannya. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah masuk dengan perlahan.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar dengungan halus mesin-mesin medis yang terpasang di sekitar tempat tidur. Cahaya lampu redup memberikan suasana yang tenang tapi menegangkan. Di tengah ruangan, terbaring sosok Lila Lukito dengan kepala bersandar pada bantal putih tebal. Wajah Lila tampak pucat, kurus, dengan garis-garis halus yang semakin dalam di sekitar matanya. Tapi, matanya, mata yang selalu penuh kehangatan itu kini terbuka, menatap ke arah pintu dengan pandangan yang begitu lembut.“Mama.” Runa memanggil pelan, suaranya bergetar tanpa bisa dia sembunyikan.Lila tersenyum tipis, tangannya yang kurus terangkat perlahan dari atas selimut, seolah mengundang Runa untuk mendekat. “Runa, Sayang. Kemarilah.”Runa m