Runa menelan kasar salivanya saat merasakan seseorang sengaja menggesek-gesekkan tubuhnya di pantatnya. Ia merasa terhina. Namun tak berdaya dalam sesaknya bus yang sedang melaju itu.
Lelaki itu bahkan semakin intens menggesekkan tubuhnya seakan sengaja memancing reaksinya. Runa memperkuat cengkeramannya pada tiang yang berdiri di hadapannya. Ia ingin melawan, tapi ia terlalu takut. Lelaki itu mulai memberanikan diri menyentuh pinggangnya, seakan sedang membantunya memperoleh kekuatan di saat tungkainya mulai terasa lemas. Tapi tidak seperti yang ada dalam pikiran Runa. Lelaki itu justru menekan miliknya lebih kuat di bagian belakang tubuhnya. Ia merasakan sesak, tegang dan kedut yang kuat di antara kedua pahanya. Kegelisahan itu menjalar begitu saja di tubuhnya. Apalagi ketika tiba-tiba jemari tangan itu mulai menyentuh kulitnya. Ia seperti tersihir. Setiap sentuhannya seakan menghisap darah dari seluruh tubuhnya ke satu titik. Jemari itu semakin nakal dan liar. Ia bukan saja menyentuh bagian paha Aruna, bahkan menyusup naik, membelai kain penutup yang telah basah dengan gerakan yang menggoda. “Gadis nakal,” bisik lelaki itu di telinga Aruna, “apa kamu menyukainya?” Runa tersentak. Ia tidak bisa merespon apa pun, pikirannya kosong dan jantungnya berdegup kencang. Runa ingin menjerit, tetapi tiba-tiba seorang pria muda mencengkram tangan lelaki itu. “Lepaskan tanganmu dari istriku!” Suara itu membelah keheningan bus yang mendadak membeku. Suaranya yang tajam dan penuh kemarahan seolah menampar seluruh udara di dalam kendaraan itu. Tangan lelaki cabul itu langsung dipelintir ke belakang sebelum sempat melarikan diri. Ia menjerit tertahan. “Arghh!” Tubuhnya ditekan kuat ke tiang pegangan bus. Peluh dingin mengalir di pelipisnya. Nafasnya terengah-engah oleh rasa sakit dan panik. Runa membeku. Tubuhnya gemetar. Matanya perlahan menoleh, menatap pria asing yang berdiri di belakangnya, seperti tembok kokoh yang siap melindunginya dari dunia. “Berani-beraninya kamu menyentuh istriku.” Berbisik dingin di telinga pelaku, nyaris tak terdengar oleh orang lain, tapi penuh ancaman yang nyata. Penumpang lain mulai bergerak. Seorang wanita berteriak, “Pak sopir! Turunkan lelaki cabul ini sekarang juga!” “Lapor polisi! Ini pelecehan!” “Jangan biarkan dia pergi!” Suasana bus mendadak gaduh. Kemarahan mengalir bersama napas penumpang yang menyaksikan kejadian itu. Si sopir menginjak rem, bus berhenti mendadak di halte berikutnya. Lelaki asing itu mendorong pelaku ke depan dengan paksa. “Keluar,” ucapnya dingin. “Sebelum aku hilang kendali dan membunuhmu!” Beberapa penumpang membantu mengusir lelaki itu. Ia didorong turun tanpa ampun. Setelah pintu bus tertutup kembali, suasana hening. Semua mata kini tertuju pada Runa yang masih berdiri kaku dengan napas memburu, wajahnya pucat dan air matanya mengalir pelan. Pria asing itu berdiri di belakangnya. Tak menyentuh, tak berkata apa-apa. Tapi keberadaannya seperti selimut tebal di tengah malam musim dingin. “Terima kasih,” bisik Runa akhirnya, nyaris tak terdengar. “Aku ... aku tadi tidak bisa bergerak. Aku terlalu takut.” Lelaki itu tersenyum dan menautkan kedua tangannya di pinggang Runa. Ia sedikit membungkuk dan berbisik di telinganya. “Tapi … sebenarnya kamu juga menikmatinya, ‘kan?” Runa kembali tersentak, ia menggertakkan gigi, mencoba mengabaikan dan menahan ledakan emosi yang memenuhi dadanya. Tapi detak jantungnya berantakan. Tubuhnya berkeringat meski AC bus menyala. Ia ingin marah, ingin menoleh dan memaki, tapi juga takut kalau suaranya justru bergetar … karena kegugupan campur malu mendengar kalimat terakhir dari lelaki itu. Saat bus akhirnya berhenti di terminal, Runa melangkah keluar lebih dulu, menghela napas panjang dan mulai berlari di bawah payung orang lain yang lewat. Tapi sebelum berjalan pergi, ia sempat menoleh. Pria itu juga turun. Ia berdiri di bawah lampu jalan. Tinggi, jangkung, dan basah. Kemeja putih yang dikenakannya melekat pada tubuh bidangnya karena gerimis. Matanya tajam, rahangnya tegas, dan bagian bawah tubuhnya, masih menonjol di balik celana jeans yang basah. Jelas. Tegas. Tanpa malu. Runa menunduk cepat dan berbalik. Napasnya sesak. Bukan karena takut. Tapi karena rasa aneh yang menyerbu perutnya seperti pusaran panas yang belum punya tempat untuk meledak. Ia menggenggam ponsel dengan tangan gemetar, memesan taksi daring, lalu berjalan cepat di tengah hujan menuju apartemen. Wajahnya memerah. Dadanya berat. Dan tubuhnya masih menahan sesuatu yang tak selesai. Sesampainya di unit apartemen, ia memasukkan kode dengan cepat dan masuk. Lampu ruang tamu mati, tapi dari lantai atas, alunan jazz lembut terdengar samar, terlalu sensual untuk malam sepanas ini. Runa menggantung tas dan langsung naik, masih dengan napas berantakan. Pintu kamar sedikit terbuka. Ia melangkah pelan, lalu berhenti. Dan semua darah di tubuhnya seperti ditarik ke satu titik di dada saat ia melihatnya. Darrel, suaminya sedang berdiri dengan tubuh setengah telanjang, bibirnya menempel di leher seorang wanita yang duduk di meja rias miliknya. Litha, model dengan reputasi vulgar juga seorang dari masa lalu yang katanya sudah selesai. Tangan Darrel menyusup ke balik gaun tipis Litha, mencengkram dengan rakus. Litha tertawa kecil dan menarik kepala Darrel untuk mencium bibirnya. Mereka tak mendengar langkah Runa. Tapi Litha melihatnya dari cermin. Ia tersenyum. Sebuah senyum licik, seperti sengaja memamerkan kemenangan. “Oh … kamu udah pulang?” ucap Litha manja, suaranya berat dan bergetar oleh kenikmatan yang belum usai. Darrel menoleh. Hanya sebentar sebelum kembali menempelkan mulutnya ke pundak Litha. Runa berdiri diam, seperti patung. Lalu perlahan, ia memutar tubuhnya dan turun. Tak berkata apa-apa. Tak menjerit. Tak menangis. Tapi napasnya memburu seperti seorang pelari marathon. Dan seluruh kulit tubuhnya, dari tengkuk sampai paha, terasa seperti dibakar. Runa melangkah cepat di antara hujan yang mengguyur trotoar, membiarkan air membasahi rambut dan pakaian kerjanya. Tangannya mencengkeram tali tas dengan erat, napasnya masih memburu. Dada sesak, perut terasa panas, dan pikirannya penuh ledakan yang belum menemukan tempat untuk meledak. Ia tak tahu hendak ke mana. Ia hanya berjalan, menjauh dari apartemen itu. Dari ranjang yang sudah ternoda, dari suara tawa Litha, dan tatapan dingin Darrel yang bahkan tak berniat membela. Langkahnya melambat di perempatan, ketika lampu merah memantulkan cahaya menyilaukan di jalanan basah. Runa hendak menyebrang, tapi tiba-tiba … ia berhenti. Ia menyadari seseorang sedang berdiri di hadapannya. Hujan jatuh di antara mereka, tapi tak mampu menyamarkan sosok itu. Pria dari dalam bus tadi. Tubuhnya menjulang tinggi, kemeja putihnya sudah sepenuhnya basah dan menempel sempurna di dada bidangnya. Rambut hitamnya basah, menetes, tapi tak mengurangi ketampanannya, justru menambah kesan liar, dingin, dan tak tertebak. Tatapan matanya tertuju langsung pada Runa. Tegas dan dalam, seolah sejak tadi memang mencarinya, menunggunya di sana. Runa terpaku. Hujan menetes di pelipisnya, tapi tubuhnya terasa panas. Ia menelan salivanya, menatap mata pria itu … lalu turun ke bagian wajahnya yang maskulin, leher panjangnya, dan dada yang tampak naik turun di balik kemejanya Dan kemudian tanpa bisa dicegah, matanya turun lagi, menyapu bagian bawah tubuhnya yang terlihat menegang. Begitu nyata, tegas dan liar, seolah memujanya. Detak jantung Runa menggema di telinganya sendiri. Bukan karena takut, bukan karena malu. Tapi karena hasrat. Hasrat yang sejak di bus tadi belum sempat padam. Hasrat yang dipermalukan oleh suaminya sendiri, yang kini seolah sedang mencari celah untuk menyala lagi. Dan kini, lelaki asing itu berdiri tepat di depannya. Tegap, penuh magnet. Seakan sedang menawarkan sebuah kesempatan. Runa menarik napas panjang. Dalam dadanya, suara Darrel dan Litha masih berputar-putar. Rasa ditampar, dihina, dan dilukai masih menggumpal dalam tenggorokannya. Suaminya bisa bercumbu terang-terangan di ranjang mereka, tanpa rasa bersalah. Lalu menatapnya seperti istri yang tak pantas dipedulikan. Maka, jika Darrel bisa bermain kotor di depan matanya .… Kenapa ia tidak boleh melakukan hal yang sama? Untuk pertama kalinya dalam hidup, Runa tak menahan dirinya. Ia melangkah maju, berdiri lebih dekat ke pria itu. Jarak mereka tak sampai satu lengan. Hujan mengguyur wajahnya, tapi ia tak berkedip. Matanya menatap lurus, tanpa rasa gentar. "Mau jalan ke mana?" suara pria itu rendah, serak, nyaris tertelan oleh hujan. Runa tidak menjawab. Hanya menatapnya … lalu tersenyum kecil.Darrel tak langsung bicara. Sorot matanya menghitam. Rahangnya terkunci, dan jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kalimat Runa barusan menyulut sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar marah. “Ulangi,” desisnya pelan. “Ulangi kalimat barusan, Runa.” Tapi Runa hanya diam. Sorot matanya tajam, tidak bergeming. Ia berdiri tegak, meski jantungnya berdenyut kencang. Tiba-tiba, tangan Darrel menghantam pipinya. Suara tamparan itu menggema keras di ruang kecil kamar mandi. Runa terhuyung ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan, dan menabrak pintu kayu di belakangnya. Belum sempat ia menarik napas, Darrel sudah mencengkram lengannya. “Kalau kamu berani buat Mama kecewa,” bisiknya tajam di telinga Runa, “kamu akan lihat siapa aku sebenarnya.” “Sudah telat, Darrel,” Runa menjawab, napasnya terputus-putus, suara gemetar tapi keras. “Aku sudah lihat siapa kamu … sejak malam pertama kita menikah.” Pukulan selanjutnya datang tanpa peringatan. Kali ini bukan ke wajah, tapi ke bah
Gaun satin warna biru keabu-abuan itu tergeletak di atas ranjang. Darrel sendiri yang meletakkannya sebelum pergi. Masih licin, mahal, dan beraroma deterjen hotel bintang lima. Gaun yang nyaris tak pernah dipakai Runa karena ia terlalu tahu setiap helainya hanya untuk menyenangkan mata mertua, bukan dirinya sendiri.Runa berdiri di depan cermin besar kamar. Pakaian dalam tipis sudah membalut tubuhnya. Tapi bukan kelembutan yang terpancar dari wajah itu, melainkan ketegangan yang sulit diuraikan. Ia berdiri diam beberapa saat, membiarkan pantulan itu menatap balik dirinya sendiri.Wajah itu sama. Hidung mancung kecil. Bibir yang tak pernah terlalu tipis, tak juga penuh. Kulit bersih yang selalu dirawat sejak masuk keluarga Lukito. Tapi ada sesuatu yang berbeda di balik sinar mata itu, seperti lelah namun dingin.Ia menyentuh lehernya. Masih ada jejak kemerahan samar di sana, bekas jari Darrel. Bekas kemarahan. Bekas penghinaan. Bekas sebuah pelampiasan perasaan cemburu.Lucu, pikirnya.
Pagi datang tanpa suara. Runa membuka mata di kamar yang asing, ditemani bau kayu basah, seprai lembab, dan sisa desah yang belum sepenuhnya padam dari kulitnya. Cahaya matahari masuk samar dari sela tirai tua, menyorot pada rambutnya yang kusut dan leher yang masih menyimpan jejak bibir lelaki itu. Jejak dari malam yang tak akan pernah ia ulang, walau juga tak akan pernah ia lupakan. Ia menyentuh bagian dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat. Bukan karena penyesalan, tapi karena tubuhnya untuk pertama kalinya setelah tiga tahun pernikahan, terasa hidup, nyata. Ia merasa dimiliki, dihargai, bukan sebagai istri, tapi sebagai perempuan. Ia menoleh ke sisi ranjang. Kosong. Bahkan tak terlihat jejak lelaki semalam. Hanya ada secarik kertas di atas meja kecil, dengan tulisan tangan yang terburu-buru. “Kian.” Tanpa nomer, tanpa alamat atau pesan khusus. Hanya satu nama. Dan entah kenapa … cukup untuk membuat hatinya terasa seperti dicekam. Runa menarik napas dalam-dalam, lalu berdir
Hujan seperti merobek langit malam, membasahi seluruh tubuh Runa yang masih berdiri terpaku di trotoar. Bukan karena dingin ia menggigil, tapi karena lelaki di hadapannya. Lelaki dari dalam bus tadi, kini berdiri begitu dekat, nyata, beraroma air hujan dan hasrat yang tak selesai.Ia menatap lelaki itu dalam diam. Nafasnya pendek, dadanya naik turun tak teratur. Tubuhnya masih menyimpan sisa reaksi dari sentuhan dalam bus tadi, dari tekanan samar yang sempat ia benci tapi juga diam-diam ia nikmati. Sekarang, dalam jarak sedekat ini, semua denyut itu kembali menyerbu, liar, tanpa aba-aba.Lelaki itu tak berkata apa-apa. Matanya menatap langsung ke dalam matanya, tanpa malu, tanpa ragu. Ada sorot yang dalam di balik hujan yang membasahi wajah tampannya, seperti mengatakan bahwa ia tahu betul apa yang barusan terjadi di antara mereka. Seolah tubuh mereka sudah saling bicara bahkan sebelum mulut mereka buka.Runa menelan salivanya. Suaranya tercekat."Aku ngikutin kamu," kata lelaki itu p
Runa menelan kasar salivanya saat merasakan seseorang sengaja menggesek-gesekkan tubuhnya di pantatnya. Ia merasa terhina. Namun tak berdaya dalam sesaknya bus yang sedang melaju itu. Lelaki itu bahkan semakin intens menggesekkan tubuhnya seakan sengaja memancing reaksinya. Runa memperkuat cengkeramannya pada tiang yang berdiri di hadapannya. Ia ingin melawan, tapi ia terlalu takut. Lelaki itu mulai memberanikan diri menyentuh pinggangnya, seakan sedang membantunya memperoleh kekuatan di saat tungkainya mulai terasa lemas. Tapi tidak seperti yang ada dalam pikiran Runa. Lelaki itu justru menekan miliknya lebih kuat di bagian belakang tubuhnya. Ia merasakan sesak, tegang dan kedut yang kuat di antara kedua pahanya. Kegelisahan itu menjalar begitu saja di tubuhnya. Apalagi ketika tiba-tiba jemari tangan itu mulai menyentuh kulitnya. Ia seperti tersihir. Setiap sentuhannya seakan menghisap darah dari seluruh tubuhnya ke satu titik. Jemari itu semakin nakal dan liar. I