Home / Romansa / Gairah Liar Presdir Posesif / 4. Melayani dengan 'Baju Dinas'

Share

4. Melayani dengan 'Baju Dinas'

Author: Caramelodrama
last update Last Updated: 2024-11-12 10:06:03

‘Satu hal yang aku pelajari sekarang … jangan terburu-buru menilai seorang pria dari sikap baik yang ditampilkan di publik.’ Ziandra membatin, merasa tertipu.

Dia berjalan gontai di lorong rumah sakit. Setiap selesai melayani Aldric, dia selalu merasa dirinya tak pantas ada di dunia ini. Malu kepada suami dan juga keluarga.

Hanya karena tekad besar menyembuhkan anaknya yang membuat dia terus bertahan menjalani kegilaan yang sama sekali belum pernah dia rambah.

“Kamu kenapa, Zia?” tanya Susan ketika putri sulungnya sudah tiba di depan ruang tunggu operasi. “Mukamu pucat begitu. Kamu sudah makan?”

Ziandra lekas duduk di bangku panjang dan menjawab, “Sudah, Ma. Mukaku pucat … mungkin karena lelah, Ma.”

Ya, dia lelah karena kegilaan Aldric.

“Mila di mana?” tanya Ziandra ketika tidak melihat adiknya menemani Susan.

“Dia baru saja pergi, katanya mau live di Tik Tak, makanya pulang lebih dulu.” Susan menyahut.

Ziandra menghela napas. Tak habis pikir dengan kelakuan adiknya.

“Bocah itu … dulu aku susah-payah membiayai kuliahnya sampai menjual barang-barang branded-ku, tapi Mila malah berhenti di tengah jalan dengan alasan tidak sanggup dan ingin langsung bekerja.”

Ziandra mengenang kelakuan adiknya.

“Setelahnya, bukannya mencari pekerjaan memakai ijazah SMA-nya, dia justru asyik di medsos dan bercita-cita menjadi selebriti medsos. Hah … aku tak paham lagi dengan jalan pemikirannya,” keluh Ziandra.

Susan di samping Ziandra, menatap tak berdaya. Mungkin salahnya juga terlalu memanjakan anak bungsunya hingga kerap bertindak seenaknya meski Namila sudah di umur 25 tahun.

“Kamu yang sabar, Zia. Adikmu memang begitu tabiatnya. Semoga saja dia lekas mencari pekerjaan.” Ini saja yang bisa diucapkan Susan.

Ziandra melirik ibunya, tak berani menyalahkan Beliau yang kerap membela adiknya hanya karena Namila dianggap bungsu dan harus lebih banyak diberi kesempatan.

Sementara di tempat lain, Namila berjalan gontai di jalanan kompleks perumahan kelas menengah mereka. Meski hampir jam 9 malam, masih cukup ramai di sana.

“Eh? Kenapa sendirian, Mbak Mila? Bu Susan mana?” tanya basa-basi salah satu tetangga yang sedang membeli mie keliling.

“Oh, Mama sedang menemani Clara di rumah sakit.” Namila menjawab dengan santun.

Tetangga lainnya mendekat untuk bertanya, “Clara sakit apa?”

“Leukemia,” jawab Namila.

Banyak tetangga yang terkaget-kaget mendengar itu. Mereka segera berkumpul sambil menampilkan wajah sedih.

“Berarti sekarang Bu Susan menunggui cucunya? Lalu Mbak Zia ke mana?” tanya seorang tetangga.

“Mbak Zia mungkin sedang sibuk lembur, Bu. Namanya juga wanita karir.” Namila memaksakan senyumnya. Padahal dia jelas mengetahui kakaknya sedang pontang-panting mencari uang.

“Dasar Zia itu! Bisa-bisanya anak sedang sakit parah, dia malah memikirkan pekerjaan!” geram seorang tetangga.

Tetangga lain mulai mengecam Ziandra yang dikatakan melupakan kodrat sebagai istri dan sebagai ibu.

“Tolong jangan memarahi Mbak Zia. Dia sebenarnya sayang keluarga!” Namila menampilkan wajah memelasnya.

“Kalau dia sayang keluarga, dia takkan bekerja di luar rumah! Tiap hari anak ditinggal, kasihan Clara.” Ada yang sengit ketika membicarakan Ziandra. “Lalu, apa pekerjaan suaminya Mbak Zia?”

“Oh, Mas Dion … dia bekerja dari rumah karena mengalah ke Mbak Zia yang ngotot ingin bekerja kantoran,” pelintir Namila dengan mulus.

Tetangga semakin menghujat dan menyematkan stigma buruk pada Ziandra. Namila pun pamit ke rumah, beralasan hendak menyiapkan makan malam bagi Dion yang belum makan.

Sesampainya di rumah, dia melirik ke kakak iparnya yang asyik rebah di sofa ruang tengah. “Mas, kalau ingin makan, ada mi instan di lemari dapur!”

“Aku sudah makan.” Dion melirik Namila.

Namila pun pergi ke kamarnya dan keluar lagi sambil membawa alat-alat untuk live-nya. Kemudian, dia mulai berceloteh riang, dan sesekali akan berjoget dengan pakaian minim agar banyak disawer. Padahal jika keluar rumah, dia selalu memakai pakaian serba panjang dan menampilkan citra wanita santun di mata tetangga.

Dion sesekali melirik ke arah Namila yang sedang berjoget sebelum fokusnya kembali ke layar ponselnya lagi.

***

Karena besok merupakan akhir pekan, maka Ziandra memutuskan untuk tetap berada di rumah sakit sampai putrinya tersadar. Operasinya selesai di jam 12 malam dan dia terus berjaga di samping Clara yang masih tak sadarkan diri di ruang ICU.

Meski harus repot mengenakan pakaian khusus untuk di ICU, dia tak keberatan.

“Untung saja ada uang dari Pak Aldric, makanya Mama bisa aku sewakan bed penunggu pasien untuk tidur.” Ziandra bergumam lirih sambil menoleh ke ibunya yang sudah rebah di ruang tunggu ICU.

Kemudian dia mengambil tangan mungil putrinya untuk dia bawa ke pipinya.

“Rara Sayang, cepat buka matanya, Nak! Bunda kangen celotehan kamu.”

Usai mengucap lirih begitu, Ziandra mulai terisak pelan. Dia merasa berdosa, tak tahu apakah pilihannya menjual diri ke Aldric merupakan sesuatu yang tepat.

Tapi setiap teringat Clara, maka dia akan meneguhkan hati bahwa dia sudah memilih dengan benar. Ibu mana di dunia ini yang tidak ingin berkorban apa pun demi anak tercinta?

Pada pagi harinya di jam 7, Ziandra terkantuk-kantuk ketika merasakan getaran ponsel di sakunya.

Saat dilihat, itu pesan dari Aldric.

[Layani aku sekarang! Hotel kemarin!]

Astaga! Sepagi ini dia sudah harus melayani bosnya? Bukannya kemarin sore dia sudah menjadi mainan Aldric selama 2 jam? Masih kurang? Apa bosnya maniak?

“Ma, aku pergi dulu!” pamit Ziandra ke ibunya yang baru saja keluar dari kamar mandi penunggu. “Aku … ingin mencari makan. Nanti kalau ada jatah makan pagi untuk penunggu, itu untuk Mama saja.”

Setelah ibunya mengangguk, dia bergegas pergi keluar.

Setibanya di hotel, dia diperintahkan untuk mandi dulu dan berganti dengan pakaian yang sudah disediakan di dalam kamar mandi.

Ada sebuah kotak karton dengan tulisan: Baju Dinas.

Kening Ziandra berkerut bingung. Baju dinas apaan?

Ketika dia mengenakan pakaian itu, alangkah kagetnya dia. “Ko-kostum perawat seksi?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Presdir Posesif   96. Menghadapi Ibu Mertua

    “Zia. Kenapa baru datang jam ini? Apa kantormu terlalu mengeksploitasi pekerjanya?” Winda, ibu mertuanya, berbicara dengan nada manis.Ziandra termangu untuk sesaat? Ibu mertuanya tidak salah makan hari ini, kan?“Kalau mereka melakukan eksploitasi ke pekerjanya, nanti biar Mami adukan teman Mami yang anggota dewan kota!” Si ibu mertua kini malah menambahkan senyuman bersahabat.Apakah ini ibu mertua yang sama? Ziandra terus bertanya-tanya.Bukankah biasanya ibu mertuanya tak pernah memberikan sikap ramah ke dia? Kenapa ini malah tiba-tiba….“Ya ampun, kamu malah bengong begitu.” Kini si ibu mertua menghampiri Ziandra dan menggamit lengannya. “Ayo, sini! Mami bawa martabak manis. Katanya Dion kamu suka itu, kan?”Sejak kapan dia suka martabak manis? Bukannya itu kesukaan Dion dan Namila?Mata Ziandra melirik ke Dion dan Namila yang duduk berdampingan tak jauh darinya. Mereka tersenyum simpul. Ada apa ini? Permainan macam apa lagi dari mereka?“Oh, eh, iya, terima kasih, Mi.” Ziandra m

  • Gairah Liar Presdir Posesif   95. Incaran Dion

    “Mobilku….” Ziandra trtawa keras dalam hatinya.Rupanya itu yang diincar suaminya sejak tadi.“Kenapa? Aku sudah memberikanmu motorku.”Ziandra tidak berlebihan mengatakannya. Motor pribadinya yang dia beli dari hasil menabung dan harus kredit selama 3 tahun, sudah dia relakan untuk jadi hak milik Dion.“Biar aku bisa pakai untuk antar jemput ibumu ke sini. Masa kamu tega biarin Ibu naik ojek tiap hari? Aku termasuk anaknya juga, kan?” Dion memberikan alasan.Ziandra ingin tertawa hina tapi dia tahan.Dia tahu. Permintaan Dion bukan demi ibunya. Hanya sebuah pemuasan ego dari suaminya saja.‘Tapi aku tak punya pilihan. Kalau Clara sampai tahu—dalam cara yang salah, dengan bahasa Dion yang keji—trauma itu bisa membekas seumur hidupnya.’ Dia membatin.Dan Ziandra tak sanggup membayangkannya.“Ambil mobil itu,” ucapnya pelan. “Ambil saja.”Senyum Dion seketika mengembang tanpa malu-malu. “Kamu yang bilang, loh ya! Kamu yang berikan itu ke aku.”Setelahnya Dion lekas pergi dari sana diiri

  • Gairah Liar Presdir Posesif   94. Melibatkan Clara

    “Membuntutinya?” Dion mengerutkan kening mendengar ide Namila.Dia diam untuk berpikir dulu mengenai itu.“Kenapa?” Namila bertanya. “Bukannya itu ide bagus?”Mata tajam Dion melirik Namila yang masih memandanginya demi menunggu jawaban.“Aku punya hal lain yang ingin aku kejar.” Dion berkata.“Apa itu?” Namila penasaran.Dion mulai tersenyum miring sebelum dia berkata, “Pokoknya ada! Kamu belum saatnya tahu.”Rupanya Dion masih ingin merahasiakan apa yang ada dalam benaknya dari Namila.Ini menyebabkan Namila merengek manja. Dia tak terima kekasih tabunya memiliki sesuatu yang disembunyikan darinya. "Ayolah, sayang, jangan main rahasia denganku. Aku bisa mati penasaran kalau kamu tidak memberitahu aku." Namila mencoba meluluhkan Dion dengan rengekannya.Tapi Dion masih kukuh, tak mau membagi pikirannya dengan Namila."Kali ini saja aku ingin menyimpan ini dulu darimu, Mila sayang." Dion mengelus wajah cantik Namila. "Nanti juga kamu akan tahu. Kan tidak menjadi kejutan menyenangkan

  • Gairah Liar Presdir Posesif   93. Rencana Baru untuk Ziandra

    “Pak! Pak Aldric!” Dion bangkit, ingin menahan kepergian Aldric dari sana.Dia masih belum berhasil mendapatkan kesepakatan Aldric. Dia tak ingin impiannya musnah sebelum waktunya.“Apa lagi? Kurasa sudah tak ada yang perlu dibincangkan.” Aldric menatap malas ke Dion yang tak tahu malu.Sayang sekali, Dion ketika sudah menargetkan seseorang, dia jarang ingin melepaskan mangsanya.“Bagaimana kalau tiga puluh juta, Pak? Saya yakin itu bukan jumlah besar yang memberatkan Bapak.” Aldric menetap heran ke Dion. Sememuakkan itukah suami Ziandra? Bagaimana bisa dulunya Ziandra sudi menjadi istrinya?“Bahkan jika itu sepuluh ribu rupiah pun, saya tidak ingin memberikannya ke kamu.”Tapi, Aldric mendadak merogoh saku jasnya dan mengeluarkan lembaran uang nominal Rp10 ribu.“Oh, kalau senilai ini, aku masih bermurah hati padamu, Pak Dion. Terimalah, mungkin bisa untuk biaya ojekmu pulang.” Aldric menempelkan lembaran itu ke dada Dion.Mau tak mau, Dion menerimanya.Hanya saja, kemudian Aldric me

  • Gairah Liar Presdir Posesif   92. Dion Vs Aldric

    “Jadi kamu mengundang saya ke sini hanya untuk mengatakan itu saja?”Di luar dugaan Dion, Aldric justru menanggapinya dengan sikap santai. Seolah-olah Dion tidak menimbulkan kegentaran di hatinya.Hal ini memang mengejutkan Dion. Dia sempat terdiam sesaat, tapi lekas mengambil kendali lagi.“Pak Aldric. Bapak orang ternama di negara ini. Anda pebisnis besar yang pastinya tak ada orang tak tahu Anda. Apakah Bapak yakin akan baik-baik saja apabila saya membongkar hubungan tabu Bapak dengan istri saya?”Dion tak kurang akal dan membawa-bawa status Aldric sebagai pengusaha ternama.Aldric tidak menyurutkan sikap santainya. Dua lengan direntangkan santai di sandaran kursi dan punggung bersandar rileks. Sungguh tak memiliki kesan dia sedang ditekan.“Langsung saja ke intinya, Pak Dion. Saya tak suka orang yang terlalu bertele-tele seperti kamu.” Aldric memberikan pandangan meremehkan ke Dion.Di matanya,

  • Gairah Liar Presdir Posesif   91. Interogasi dari Susan

    “Clara senang kamu datang,” ucap Ziandra pelan.Dia tak tahu harus berbincang apa jika ada Susan dan Clara di dekat mereka.Tapi… bukankah kalau mereka sedang berduaan saja pun tak pernah ada pembicaraan yang benar-benar obrolan? Mereka lebih banyak beraktivitas ketimbang berbincang!Ziandra melirik Aldric yang mengangguk kecil sambil pria itu berkata, “Bagus. Karena aku juga senang bisa datang.”“Tapi… kenapa harus datang begini?” Dia masih belum tenang dengan kedatangan tiba-tiba Aldric.Hatinya berdebar-debar, menduga-duga apa sekiranya yang dipikirkan ibunya saat ini. Seakan Aldric mempertebal fakta akan tuduhan yang dilontarkan Dion.Dia harus jawab apa jika Susan mempertanyakan mengenai kedatangan Aldric?“Sudah kukatakan, aku ingin melihatmu, dan sekaligus menjenguk Clara.” Aldic menegaskan ucapannya dengan suara rendah dia.Ziandra menghela napas pelan. Sepertinya susah sekali menghentikan pria ini kalau sudah punya kemauan.Maka dari itu, yang bisa dikatakan Ziandra hanya seb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status