“Astaga!” pekik tertahan Ziandra ketika menatap pantulan bayangannya di cermin besar kamar mandi mewah itu.
Dia bisa melihat gaun tersebut begitu mini dan minim. Dia yakin kalau merunduk sedikit saja, maka akan langsung terlihat bokongnya. Belum lagi bagian dada yang banyak diekspos.
Itu benar-benar kostum perawat seksi yang biasa digunakan untuk menaikkan gairah bercinta pasangan.
“Da-dasar maniak! Gila! Cowok cabul! Mesum! Apa fetishnya perawat? Menjijikkan!” Sumpah serapah pelan Ziandra mengalir lancar ketika menyadari kemauan Aldric.
Seumur-umur pernikahannya dengan Dion saja, suaminya tidak pernah minta macam-macam ketika mereka hendak bercinta.
Tapi ini Aldric, seorang bujangan ….
Ziandra tidak bisa tidak berasumsi liar bahwa bosnya sudah terbiasa memperlakukan wanita sedemikian rupa. Pikirannya gelap mengenai apa mungkin Aldric yang terlihat baik dan dermawan itu sejatinya suka merendahkan wanita?
“Hei! Kenapa belum keluar? Jangan katakan kalau kamu ingin aku masuk dan membopong kamu ala pengantin?!” Suara berat Aldric sudah sampai di pendengaran Ziandra meski pria itu masih ada di luar kamar mandi.
Maka, Ziandra terpaksa keluar.
“I-ini … bajunya ….” Suaranya tersendat-sendat karena malu.
Dia tak menyangka akan disuruh memakai pakaian semacam itu. Bisa-bisanya dia diharuskan memenuhi fetish cabul Aldric!
“Hm, ternyata kostumnya sangat pas di badanmu! Benar-benar tidak mengecewakan!” Tatapan Aldric seperti sedang memindai Ziandra dari atas sampai bawah. Lalu dengan senyum cabulnya, dia berkata, “Badanmu memang bagus, makanya cocok memakai baju dinas seperti itu.”
Heh? Apa maksud pria itu? Sayangnya, Ziandra tak sempat mengatakan apa pun karena sudah lebih dulu ditarik dan mulai dikuasai Aldric.
Secara beringas, Aldric meluapkan hasratnya, terlebih ketika melihat kostum seksi yang dikenakan Ziandra.
“Angh! Pak! Tolong pelan-pelan saja ….” Dia memohon.
Tapi sahutan dari Aldric justru membuatnya terkejut, “Kamu pikir kamu punya posisi tawar-menawar denganku?” Lalu dia terkekeh dan melanjutkan, “Lagipula, untuk apa pelan-pelan? Bukannya kamu sudah punya suami?!”
Mata Ziandra memejam erat ketika Aldric menyebut statusnya sebagai seorang wanita bersuami. Itu sama saja menabur garam di luka. Sekali lagi, dia merasa dirinya sangat kotor dan penuh dosa.
“Heheh! Dasar perempuan matre! Sudah ada suami, tapi masih belum puas juga! Mencari kepuasan uang dan kepuasan tubuh dari pria lain!” Aldric seperti sedang menguliti Ziandra dengan cara sangat menyakitkan.
Hati Ziandra semakin pedih mendengar tuduhan itu. Kalau bukan karena terdesak masalah keuangan, mana sudi dia disentuh pria lain selain Dion?
“Tapi tidak mengapa, tak masalah!” lanjut Aldric sambil terus mengentak tubuh Ziandra. “Kalau kamu sangat menyukai uang, maka aku hanya perlu memberi apa yang kamu suka, yaitu uang!”
Dua jam berikutnya, Ziandra sudah terkapar lemas di atas ranjang besar itu. Aldric sudah tak ada, entah pergi ke mana. Sedangkan kostum perawat seksi, tak jelas keberadaannya di mana setelah dirobek-robek ganas oleh Aldric.
‘Hina sekali aku ini,’ batin Ziandra sambil terisak penuh nelangsa.
Dia meringkukkan tubuhnya, mirip udang, dan menuntaskan tangisan lirihnya.
Dikarenakan lelah luar biasa karena bergadang semalaman menunggui putrinya, dan pagi ini sudah dijadikan mainan oleh Aldric, maka dia pun jatuh tertidur ketika ingin memejamkan mata sejenak.
“Hah!” Dia terbangun dengan kaget sambil menegakkan punggung di kasur. “Jam berapa sekarang?”
Matanya mencari-cari jam dinding dan menemukan jam digital di atas meja nakas.
“Ya ampun! Sudah jam 3 siang! Lama sekali aku tertidur!” Dia bergegas turun dari ranjang dan mencari pakaiannya.
Kembali ke rumah sakit, dia tergopoh-gopoh ke ruang ICU. Di sana dia melihat adiknya duduk di bangku panjang depan ICU sambil berkutat dengan ponselnya.
“Mila,” sapanya.
Namila mengalihkan pandangan dari ponsel ke kakaknya yang baru tiba. Dia tampak kesal.
“Mbak ini bagaimana? Lama sekali meninggalkan mama dan anakmu! Katanya hendak mencari makan pagi?” Namila tidak menyembunyikan suara kesalnya.
“Iya, iya, maaf. Mbak tadi selain mencari sarapan, juga pergi ke teman-teman Mbak untuk mencari uang tambahan.” Ziandra terpaksa memakai alasan itu.
Astaga, semenjak dia melayani Aldric, dia sudah mengembangkan kemampuan tak hanya sebagai pendosa, tapi juga pendusta!
“Mama baru saja pulang sebentar untuk berganti baju.” Namila seolah kesal karena harus menunggui keponakannya. “Apakah Mbak mendapatkan uang tambahannya?”
Secara mendadak, raut wajah Namila berubah lebih lembut dan tak terlihat cemberut seperti sebelumnya..
“I-iya, Mbak mendapatkannya.” Ziandra agak tak rela mengucapkannya.
Seketika, wajah Namila berubah lebih cerah lagi. Apakah ini efek dari uang?
“Mbak, minta uangnya sedikit, please! Hanya Rp2 juta saja, sumpah!” Namila langsung merayu.
Sampai-sampai dia memegangi lengan Ziandra dan menggoyang-goyangkannya untuk membujuk sang kakak.
“Lho, Mil, bukannya Mbak sudah memberikan uang bulanan ke kamu seminggu yang lalu?” Ziandra tak habis pikir dengan adiknya.
Bisa-bisanya sang adik meminta uang, padahal Namila mengetahui persis bahwa dia sedang pontang-panting mencari uang untuk pengobatan Clara.
“Ya ampun, Mbak! Uang yang kemarin itu sudah habis gara-gara ada ulang tahun dadakan dari geng Tik Tak aku. Rasanya kurang pantas kalau tidak memberikan kado yang bagus, ya kan? Ayolah, Mbak … kali ini jangan pelit. Please!” Namila terus membujuk.
Paham adiknya takkan berhenti merongrong sebelum mendapatkan keinginannya, maka Ziandra terpaksa menyetujui.
“Ya sudah kalau begitu, tapi ini yang terakhir untuk bulan ini, mengerti? Gunakan dengan sebijak mungkin, Mila! Jangan mementingkan temenmu saja! Mbak juga membutuhkan uang untuk keponakanmu.” Meski tak rela, Ziandra tetap memberikan uang yang diminta adiknya.
“Iya, iya! Aku paham, Mbak!” Namila tak sabar. “Lekas ditransfer ke aku, ya Mbak! Aku pulang dulu, bye!”
Namila melambaikan tangan dengan wajah gembira sambil berlari menjauh dari Ziandra.
“Huh! Memang susah dinasehati.” Ziandra menghela napas sambil mentransfer Rp2 juta dari rekening baru ke rekening yang biasa dia gunakan. “Keluargaku tidak boleh mengetahui rekening baruku ini, karena isinya uang dari Pak Aldric.”
“Membuntutinya?” Dion mengerutkan kening mendengar ide Namila.Dia diam untuk berpikir dulu mengenai itu.“Kenapa?” Namila bertanya. “Bukannya itu ide bagus?”Mata tajam Dion melirik Namila yang masih memandanginya demi menunggu jawaban.“Aku punya hal lain yang ingin aku kejar.” Dion berkata.“Apa itu?” Namila penasaran.Dion mulai tersenyum miring sebelum dia berkata, “Pokoknya ada! Kamu belum saatnya tahu.”Rupanya Dion masih ingin merahasiakan apa yang ada dalam benaknya dari Namila.Ini menyebabkan Namila merengek manja. Dia tak terima kekasih tabunya memiliki sesuatu yang disembunyikan darinya. "Ayolah, sayang, jangan main rahasia denganku. Aku bisa mati penasaran kalau kamu tidak memberitahu aku." Namila mencoba meluluhkan Dion dengan rengekannya.Tapi Dion masih kukuh, tak mau membagi pikirannya dengan Namila."Kali ini saja aku ingin menyimpan ini dulu darimu, Mila sayang." Dion mengelus wajah cantik Namila. "Nanti juga kamu akan tahu. Kan tidak menjadi kejutan menyenangkan
“Pak! Pak Aldric!” Dion bangkit, ingin menahan kepergian Aldric dari sana.Dia masih belum berhasil mendapatkan kesepakatan Aldric. Dia tak ingin impiannya musnah sebelum waktunya.“Apa lagi? Kurasa sudah tak ada yang perlu dibincangkan.” Aldric menatap malas ke Dion yang tak tahu malu.Sayang sekali, Dion ketika sudah menargetkan seseorang, dia jarang ingin melepaskan mangsanya.“Bagaimana kalau tiga puluh juta, Pak? Saya yakin itu bukan jumlah besar yang memberatkan Bapak.” Aldric menetap heran ke Dion. Sememuakkan itukah suami Ziandra? Bagaimana bisa dulunya Ziandra sudi menjadi istrinya?“Bahkan jika itu sepuluh ribu rupiah pun, saya tidak ingin memberikannya ke kamu.”Tapi, Aldric mendadak merogoh saku jasnya dan mengeluarkan lembaran uang nominal Rp10 ribu.“Oh, kalau senilai ini, aku masih bermurah hati padamu, Pak Dion. Terimalah, mungkin bisa untuk biaya ojekmu pulang.” Aldric menempelkan lembaran itu ke dada Dion.Mau tak mau, Dion menerimanya.Hanya saja, kemudian Aldric me
“Jadi kamu mengundang saya ke sini hanya untuk mengatakan itu saja?”Di luar dugaan Dion, Aldric justru menanggapinya dengan sikap santai. Seolah-olah Dion tidak menimbulkan kegentaran di hatinya.Hal ini memang mengejutkan Dion. Dia sempat terdiam sesaat, tapi lekas mengambil kendali lagi.“Pak Aldric. Bapak orang ternama di negara ini. Anda pebisnis besar yang pastinya tak ada orang tak tahu Anda. Apakah Bapak yakin akan baik-baik saja apabila saya membongkar hubungan tabu Bapak dengan istri saya?”Dion tak kurang akal dan membawa-bawa status Aldric sebagai pengusaha ternama.Aldric tidak menyurutkan sikap santainya. Dua lengan direntangkan santai di sandaran kursi dan punggung bersandar rileks. Sungguh tak memiliki kesan dia sedang ditekan.“Langsung saja ke intinya, Pak Dion. Saya tak suka orang yang terlalu bertele-tele seperti kamu.” Aldric memberikan pandangan meremehkan ke Dion.Di matanya,
“Clara senang kamu datang,” ucap Ziandra pelan.Dia tak tahu harus berbincang apa jika ada Susan dan Clara di dekat mereka.Tapi… bukankah kalau mereka sedang berduaan saja pun tak pernah ada pembicaraan yang benar-benar obrolan? Mereka lebih banyak beraktivitas ketimbang berbincang!Ziandra melirik Aldric yang mengangguk kecil sambil pria itu berkata, “Bagus. Karena aku juga senang bisa datang.”“Tapi… kenapa harus datang begini?” Dia masih belum tenang dengan kedatangan tiba-tiba Aldric.Hatinya berdebar-debar, menduga-duga apa sekiranya yang dipikirkan ibunya saat ini. Seakan Aldric mempertebal fakta akan tuduhan yang dilontarkan Dion.Dia harus jawab apa jika Susan mempertanyakan mengenai kedatangan Aldric?“Sudah kukatakan, aku ingin melihatmu, dan sekaligus menjenguk Clara.” Aldic menegaskan ucapannya dengan suara rendah dia.Ziandra menghela napas pelan. Sepertinya susah sekali menghentikan pria ini kalau sudah punya kemauan.Maka dari itu, yang bisa dikatakan Ziandra hanya seb
Ziandra membeku di tempatnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Satu nama yang tak dia harapkan muncul malam itu, justru kini berdiri di ambang pintu.“Ke-kenapa?”Aldric tersenyum tipis. Dibalut mantel hitam elegan, dengan rambut yang tertata rapi dan aroma khas yang langsung menyeruak ke hidung Ziandra, pria itu tampak seperti keluar dari adegan film.Di tangannya, dia membawa satu kantong besar berisi boneka dan beberapa bungkusan makanan.“Maaf kalau aku datang tanpa kabar. Tapi Clara bilang tadi sore kalau dia suka boneka beruang. Aku pikir, tak ada salahnya jadi ‘Om baik’ sekali lagi,” ucap Aldric santai, pandangannya hangat tertuju ke ranjang pasien.Ziandra melirik ke arah Susan yang masih berdiri mematung di samping meja.Wajah ibunya terlihat canggung. Tak heran—bagaimanapun, Susan sudah dicekoki berbagai tuduhan Dion dan Namila mengenai Ziandra menjalin hubungan terlarang dengan bosnya sendiri.Kini pria itu datang ke hadapan mereka, nyata, nyata sekali.“Oh…”
“Oh, aku orangnya simple, Bu, Kalau dia wanita baik dan masih ingin jadi istriku, yah dia pasti tidak akan macam-macam di luar sana. Tapi kalau dia tidak bisa menjaga kepercayaan yang aku beri, itu artinya dia bukan yang terbaik untukku.”Dion menyahut dan kemudian tersenyum ke Namila yang membalas senyumnya. Si tetangga pun manggut-manggut.“Mas Dion ini orangnya serba nerima, Bu. Dia laki-laki yang tidak suka ribet. Makanya asal percaya saja ke mbak Zia. Sekarang tinggal mbak Zianya saja, bisa menjaga kepercayaan atau tidak.” Namila menambahkan.Si tetangga masih manggut-manggut.Yang membuat si tetangga terheran-heran, Dion dengan santai menaruh satu lengan di bahu Namila, merangkul tanpa risih.“Wah, kalian sepertinya sangat akrab, yah!” Si tetangga tanpa ragu memberikan sindiran halus atas sikap Dion ke Namila.Menilik arah pandangan si tetangga ke rangkulan Dion pada bahu Namila, pria itu tak kurang kata-kata.“Ah, dia ini sudah seperti adik kandungku, Bu. Mila dan aku sudah san